Laman

Kamis, 01 Agustus 2013

Kisah Seribu Satu Malam dan Harun Ar-Rasyid

Dalam sejarah Islam, sejarawan-sejarawan terkemuka selalu berasal dari para penghafal riwayat yang berantai, seperti Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi. Berantai, maksudnya, memiliki rantai susunan para periwayat sebelumnya, sehingga orang-orang yang membaca riwayat itu pun dapat mengetahui siapa saja yang pernah menyampaikannya.

Masyarakat Arab, kemudian diteruskan oleh para pemeluk Islam beberapa abad pertama, memang dikenal sebagai penerus tradisi periwayatan seperti ini. Mereka menggunakannya dalam rangka mewariskan pengetahuan-pengetahuan mereka kepada generasi-generasi selanjutnya.

Mereka mencari riwayat-riwayat tersebut untuk dihafal, ada pula yang kemudian menuliskannya, dan kemudian menyampaikannya dalam majelis-majelis tahdits—sebuah majelis tempat menyampaikan riwayat-riwayat berantai. Di antara yang hadir pada majelis-majelis tersebut, ada yang menyebarkannya ke penjuru negeri Islam dan akhirnya sampai ke tangan kita sekarang.

Karena mencari riwayat-riwayat yang berantai, mereka betul-betul memperhatikan siapa saja yang pernah menyampaikan riwayat tersebut. Mereka menerima dan menyampaikan riwayat-riwayat dari rantai periwayat yang bisa dipercaya. Sebagian lagi, menerima dan menyampaikan riwayat dari rantai periwayat yang tidak bisa dipercaya semata-mata untuk menjadi bahan perhatian orang-orang lain supaya berhati-hati dari riwayat tersebut.

Yang selalu menjadi penyakit, ada para periwayat yang tidak memperhatikan rantai periwayat sebelum mereka. Akibatnya, orang-orang yang awam di sekitar mereka tertipu dan terus menyampaikan riwayat-riwayat seperti itu ke orang-orang lain yang terus menyebarkannya kembali. Hari ini, sayangnya, riwayat-riwayat seperti itu masih ada di sekitar kita.

Di antara peneliti sejarah peradaban Islam adalah Philip K. Hitti. Ia seorang profesor sastra Semit dan ketua Jurusan Bahasa-Bahasa Timur di salah satu universitas bergengsi di Amerika Serikat. Ia pernah menulis History of the Arabs. Buku ini diterbitkan pada tahun 1937. Sejak itu, buku tersebut naik cetak berulang-ulang dan menjadi salah satu rujukan berwibawa tentang sejarah peradaban Islam sampai sekarang.

Yang patut disayangkan, Philip K. Hitti menggunakan banyak riwayat-riwayat yang memiliki rantai periwayat bermasalah, sehingga tidak layak untuk dipakai atau disampaikan ke khalayak luas. Akibatnya, terjadi sejumlah distorsi sejarah peradaban Islam dalam buku tersebut. Ternyata, buku yang dimaksud telah lama diterjemahkan dan diterbitkan oleh Serambi, Jakarta, pada 2006 dengan judul History of the Arabs: Rujukan Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam.

Al-Aghani dan Alfu Laylah wa Laylah
Di antara kumpulan riwayat yang dimaksud adalah Kitab Al-Aghani (Buku Nyanyian). Buku ini adalah karya Abul Faraj Al-Asbahani. Berasal dari Isfahan di Khurasan, ia hidup pada 897 – 967 M. Nama aslinya adalah Ali bin Husein bin Muhammad, salah seorang keturunan Marwan bin Al-Hakam Al-Umawi. Meski tergolong ke dalam klan Bani Umayyah, Abul Faraj Al-Asbahani adalah seorang pemeluk Syiah. Al-Khatib Al-Baghdadi, penulis Tarikh Baghdad, dalam salah satu tulisannya menyebut bahwa Abul Faraj Al-Asbahani termasuk salah seorang yang paling pendusta dalam sejarah Islam.

Kitab Al-Aghani sendiri berisi kumpulan puisi Arab dan kisah-kisah bernilai sastra. Termasuk pula di dalamnya anekdot-anekdot yang diyakini pernah terjadi antara khalifah Harun Ar-Rasyid dan Abu Nuwas pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah di Bagdad. Dari kisah-kisah yang ada, dilukiskan kehidupan di istana Bani Abbasiyah pada waktu itu yang penuh dengan berbagai kesenangan duniawi. Wanita-wanita penghibur dan gelas-gelas anggur adalah dua contoh kesenangan yang ada dalam istana Harun Ar-Rasyid.

Bisa dikata, buku tersebut adalah karya sastra yang pernah ada pada zaman Bani Abbasiyah. Sayangnya, banyak keterangan-keterangan tentang kehidupan istana zaman Bani Abbasiyah dalam karya Philip K. Hitti justru berdasarkan buku itu.

Selain dari Kitab Al-Aghani, Philip K. Hitti juga mengambil keterangan dari Alfu Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam). Buku ini disusun oleh Al-Jahsyiyari mengacu pada sebuah karya Persia klasik, Hazar Afasana (Seribu Dongeng). Hazar Afsana sendiri juga berisikan beberapa kisah yang berasal dari India dan kisah-kisah lokal. Uniknya, seiring berjalannya waktu, ke dalam buku ini juga dimasukkan kisah-kisah rakyat Yunani, Mesir, Ibrani dan negeri-negeri lain.

Setelah dibakukan di Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk pada abad ke-14 M, Alfu Laylah wa Laylah diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Perancis oleh Antonio Galland di awal abad ke-18 M. Karya itu pun terkenal di Eropa dan menjadi wakil sastra Arab di sana. Namun, di akhir abad ke-18 M itu pula, terjemahan Galland itu diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Arab oleh Dionyius Shawish alias Dom Dennis Chavis, seorang pendeta Kristen Syiria.

Oleh Mikhail Sabbagh, terjemahan Chavis itu diperbaiki dan diaku sebagai naskah versi Bagdad yang disalin sendiri. Sabbagh membohongi orang-orang. Akan tetapi, justru naskah itulah yang kemudian digunakan oleh beberapa penerjemah dari Eropa. John Payne dan Richard F. Burton adalah penerjemah-penerjemah Alfu Laylah wa Laylah pada abad ke-19 M. Terjemahan-terjemahan merekalah yang sering dipakai sekarang ini.

Pada dasarnya, Alfu Laylah wa Laylah berkisah tentang raja Syahrayar yang dikhianati permaisurinya. Sejak pengkhianatan itu, ia berjanji akan membunuh wanita yang menjadi istri selanjutnya pada pagi setelah malam pertama.

Setelah jatuh banyak korban, Syahrazad diminta menjadi istrinya. Dengan jenius, sejak pertama menikah, ia mendongengkan raja Syahrayar dengan banyak kisah. Akibatnya, "malam pertama" mereka sebagai suami istri tak kunjung terjadi dan diganti dengan acara mendongeng.

Anehnya, banyak orang Eropa yakin, raja Syahrayar yang dimaksud adalah khalifah Harun Ar-Rasyid. Dan keyakinan seperti itu masih terus ada sampai sekarang.

Dalam bahasa Indonesia, Alfu Laylah wa Laylah diterjemahkan dan diterbitkan menjadi Kisah Seribu Satu Malam oleh penerbit Mizan, Bandung, pada tahun 1993. Sampai hari ini, buku yang berjilid-jilid itu sudah naik cetak berkali-kali.

Khalifah Harun Ar-Rasyid
Lahir di kota Ray, Khurasan, pada 150 H, Ar-Rasyid bernama Harun bin Muhammad Al-Mahdi bin Abdillah Al-Mansur. Ia adalah cucu pendiri kota Bagdad, Al-Mansur.

Kuniyah Harun Ar-Rasyid adalah Abu Ja'far. Kuniyah adalah nama yang berawalan abu atau ummu. Dalam kebiasaan kita, kuniyah sama seperti panggilan kepada orang yang kita kenal dengan "bapak si anu" atau "ibu si anu". Adapun "Ar-Rasyid", nama ini adalah julukan yang dikenakannya. Menjadi kelaziman di kalangan khalifah Bani Abbasiyah, seorang khalifah atau calon khalifah memiliki julukan masing-masing.

Harun Ar-Rasyid banyak memiliki kesamaan dengan kakeknya, Al-Mansur. Masing-masing mereka memiliki kesenangan mendengarkan riwayat-riwayat hadis. Baik Al-Mansur ataupun Ar-Rasyid, memiliki teman dari kalangan ahli hadits. Yang dimaksud ahli hadits adalah orang-orang yang mencari riwayat-riwayat hadis untuk diseleksi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, para pencari hadis itu menyampaikan hadis-hadis yang mereka peroleh dalam majelis-majelis tahdits.

Buku-buku sejarah mencatat bahwa pemerintahan Harun Ar-Rasyid adalah puncak keemasan kekhalifahan Bani Abbasiyah. Waktu itu, filsafat-filsafat Yunani belum mendominasi pemikiran para cendekiawan. Metode rasional seperti yang diajarkan Abu Hanifah sedikit banyak mendapat perhatian. Sementara itu, ilmu ushul fiqh mulai dikembangkan Imam Asy-Syafii.

Tetapi Harun Ar-Rasyid mati muda. Dalam suatu peperangan di Thus, Khurasan, pada 193 H, ajal menjemputnya. Waktu itu, usianya belum lagi 45 tahun. Dan betul, sepeninggalnya, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai memasuki gerbang kemundurannya sampai akhirnya diserbu oleh orang-orang Mongol pada 1258 M.


Harun Ar-Rasyid sendiri banyak dihormati raja-raja Eropa. Mereka saling berkirim surat. Di antara mereka adalah Raja Charle Magne dan Ratu Irene. Bagi orang-orang Eropa, nama Harun Ar-Rasyid beserta Shalahuddin Al-Ayyubi dijajarkan dalam daftar raja-raja terkenal yang pernah ada di dunia ini.[]