Dalam sejarah
Islam, sejarawan-sejarawan terkemuka selalu berasal dari para penghafal riwayat
yang berantai, seperti Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi. Berantai,
maksudnya, memiliki rantai susunan para periwayat sebelumnya, sehingga
orang-orang yang membaca riwayat itu pun dapat mengetahui siapa saja yang
pernah menyampaikannya.
Masyarakat
Arab, kemudian diteruskan oleh para pemeluk Islam beberapa abad pertama, memang
dikenal sebagai penerus tradisi periwayatan seperti ini. Mereka menggunakannya
dalam rangka mewariskan pengetahuan-pengetahuan mereka kepada generasi-generasi
selanjutnya.
Mereka mencari
riwayat-riwayat tersebut untuk dihafal, ada pula yang kemudian menuliskannya,
dan kemudian menyampaikannya dalam majelis-majelis tahdits—sebuah
majelis tempat menyampaikan riwayat-riwayat berantai. Di antara yang hadir pada
majelis-majelis tersebut, ada yang menyebarkannya ke penjuru negeri Islam dan
akhirnya sampai ke tangan kita sekarang.
Karena mencari
riwayat-riwayat yang berantai, mereka betul-betul memperhatikan siapa saja yang
pernah menyampaikan riwayat tersebut. Mereka menerima dan menyampaikan
riwayat-riwayat dari rantai periwayat yang bisa dipercaya. Sebagian lagi,
menerima dan menyampaikan riwayat dari rantai periwayat yang tidak bisa
dipercaya semata-mata untuk menjadi bahan perhatian orang-orang lain supaya
berhati-hati dari riwayat tersebut.
Yang selalu
menjadi penyakit, ada para periwayat yang tidak memperhatikan rantai periwayat
sebelum mereka. Akibatnya, orang-orang yang awam di sekitar mereka tertipu dan
terus menyampaikan riwayat-riwayat seperti itu ke orang-orang lain yang terus
menyebarkannya kembali. Hari ini, sayangnya, riwayat-riwayat seperti itu masih
ada di sekitar kita.
Di antara
peneliti sejarah peradaban Islam adalah Philip K. Hitti. Ia seorang profesor
sastra Semit dan ketua Jurusan Bahasa-Bahasa Timur di salah satu universitas
bergengsi di Amerika Serikat. Ia pernah menulis History of the Arabs.
Buku ini diterbitkan pada tahun 1937. Sejak itu, buku tersebut naik cetak
berulang-ulang dan menjadi salah satu rujukan berwibawa tentang sejarah
peradaban Islam sampai sekarang.
Yang patut
disayangkan, Philip K. Hitti menggunakan banyak riwayat-riwayat yang memiliki
rantai periwayat bermasalah, sehingga tidak layak untuk dipakai atau
disampaikan ke khalayak luas. Akibatnya, terjadi sejumlah distorsi sejarah
peradaban Islam dalam buku tersebut. Ternyata, buku yang dimaksud telah lama
diterjemahkan dan diterbitkan oleh Serambi, Jakarta, pada 2006 dengan judul History
of the Arabs: Rujukan Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam.
Al-Aghani
dan Alfu Laylah wa Laylah
Di antara
kumpulan riwayat yang dimaksud adalah Kitab Al-Aghani (Buku Nyanyian).
Buku ini adalah karya Abul Faraj Al-Asbahani. Berasal dari Isfahan di Khurasan,
ia hidup pada 897 – 967 M. Nama aslinya adalah Ali bin Husein bin Muhammad,
salah seorang keturunan Marwan bin Al-Hakam Al-Umawi. Meski tergolong ke dalam
klan Bani Umayyah, Abul Faraj Al-Asbahani adalah seorang pemeluk Syiah.
Al-Khatib Al-Baghdadi, penulis Tarikh Baghdad, dalam salah satu
tulisannya menyebut bahwa Abul Faraj Al-Asbahani termasuk salah seorang yang
paling pendusta dalam sejarah Islam.
Kitab
Al-Aghani sendiri berisi kumpulan puisi Arab dan kisah-kisah
bernilai sastra. Termasuk pula di dalamnya anekdot-anekdot yang diyakini pernah
terjadi antara khalifah Harun Ar-Rasyid dan Abu Nuwas pada masa pemerintahan
Bani Abbasiyah di Bagdad. Dari kisah-kisah yang ada, dilukiskan kehidupan di
istana Bani Abbasiyah pada waktu itu yang penuh dengan berbagai kesenangan
duniawi. Wanita-wanita penghibur dan gelas-gelas anggur adalah dua contoh
kesenangan yang ada dalam istana Harun Ar-Rasyid.
Bisa dikata,
buku tersebut adalah karya sastra yang pernah ada pada zaman Bani Abbasiyah.
Sayangnya, banyak keterangan-keterangan tentang kehidupan istana zaman Bani
Abbasiyah dalam karya Philip K. Hitti justru berdasarkan buku itu.
Selain dari Kitab
Al-Aghani, Philip K. Hitti juga mengambil keterangan dari Alfu Laylah wa
Laylah (Seribu Satu Malam). Buku ini disusun oleh Al-Jahsyiyari mengacu
pada sebuah karya Persia klasik, Hazar Afasana (Seribu Dongeng). Hazar
Afsana sendiri juga berisikan beberapa kisah yang berasal dari India dan
kisah-kisah lokal. Uniknya, seiring berjalannya waktu, ke dalam buku ini juga
dimasukkan kisah-kisah rakyat Yunani, Mesir, Ibrani dan negeri-negeri lain.
Setelah
dibakukan di Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk pada abad ke-14 M, Alfu
Laylah wa Laylah diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Perancis oleh
Antonio Galland di awal abad ke-18 M. Karya itu pun terkenal di Eropa dan
menjadi wakil sastra Arab di sana. Namun, di akhir abad ke-18 M itu pula,
terjemahan Galland itu diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Arab oleh Dionyius
Shawish alias Dom Dennis Chavis, seorang pendeta Kristen Syiria.
Oleh Mikhail
Sabbagh, terjemahan Chavis itu diperbaiki dan diaku sebagai naskah versi Bagdad
yang disalin sendiri. Sabbagh membohongi orang-orang. Akan tetapi, justru
naskah itulah yang kemudian digunakan oleh beberapa penerjemah dari Eropa. John
Payne dan Richard F. Burton adalah penerjemah-penerjemah Alfu Laylah wa
Laylah pada abad ke-19 M. Terjemahan-terjemahan merekalah yang sering
dipakai sekarang ini.
Pada dasarnya,
Alfu Laylah wa Laylah berkisah tentang raja Syahrayar yang dikhianati
permaisurinya. Sejak pengkhianatan itu, ia berjanji akan membunuh wanita yang
menjadi istri selanjutnya pada pagi setelah malam pertama.
Setelah jatuh
banyak korban, Syahrazad diminta menjadi istrinya. Dengan jenius, sejak pertama
menikah, ia mendongengkan raja Syahrayar dengan banyak kisah. Akibatnya,
"malam pertama" mereka sebagai suami istri tak kunjung terjadi dan
diganti dengan acara mendongeng.
Anehnya,
banyak orang Eropa yakin, raja Syahrayar yang dimaksud adalah khalifah Harun
Ar-Rasyid. Dan keyakinan seperti itu masih terus ada sampai sekarang.
Dalam bahasa
Indonesia, Alfu Laylah wa Laylah diterjemahkan dan diterbitkan menjadi Kisah
Seribu Satu Malam oleh penerbit Mizan, Bandung, pada tahun 1993. Sampai
hari ini, buku yang berjilid-jilid itu sudah naik cetak berkali-kali.
Khalifah
Harun Ar-Rasyid
Lahir di kota
Ray, Khurasan, pada 150 H, Ar-Rasyid bernama Harun bin Muhammad Al-Mahdi bin
Abdillah Al-Mansur. Ia adalah cucu pendiri kota Bagdad, Al-Mansur.
Kuniyah Harun Ar-Rasyid adalah Abu Ja'far. Kuniyah adalah nama yang
berawalan abu atau ummu. Dalam kebiasaan kita, kuniyah
sama seperti panggilan kepada orang yang kita kenal dengan "bapak si
anu" atau "ibu si anu". Adapun "Ar-Rasyid", nama ini
adalah julukan yang dikenakannya. Menjadi kelaziman di kalangan khalifah Bani
Abbasiyah, seorang khalifah atau calon khalifah memiliki julukan masing-masing.
Harun
Ar-Rasyid banyak memiliki kesamaan dengan kakeknya, Al-Mansur. Masing-masing mereka
memiliki kesenangan mendengarkan riwayat-riwayat hadis. Baik Al-Mansur ataupun
Ar-Rasyid, memiliki teman dari kalangan ahli hadits. Yang dimaksud ahli
hadits adalah orang-orang yang mencari riwayat-riwayat hadis untuk
diseleksi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, para pencari
hadis itu menyampaikan hadis-hadis yang mereka peroleh dalam majelis-majelis tahdits.
Buku-buku
sejarah mencatat bahwa pemerintahan Harun Ar-Rasyid adalah puncak keemasan
kekhalifahan Bani Abbasiyah. Waktu itu, filsafat-filsafat Yunani belum
mendominasi pemikiran para cendekiawan. Metode rasional seperti yang diajarkan
Abu Hanifah sedikit banyak mendapat perhatian. Sementara itu, ilmu ushul
fiqh mulai dikembangkan Imam Asy-Syafii.
Tetapi Harun
Ar-Rasyid mati muda. Dalam suatu peperangan di Thus, Khurasan, pada 193 H, ajal
menjemputnya. Waktu itu, usianya belum lagi 45 tahun. Dan betul,
sepeninggalnya, pemerintahan Bani Abbasiyah mulai memasuki gerbang
kemundurannya sampai akhirnya diserbu oleh orang-orang Mongol pada 1258 M.
Harun
Ar-Rasyid sendiri banyak dihormati raja-raja Eropa. Mereka saling berkirim
surat. Di antara mereka adalah Raja Charle Magne dan Ratu Irene. Bagi
orang-orang Eropa, nama Harun Ar-Rasyid beserta Shalahuddin Al-Ayyubi
dijajarkan dalam daftar raja-raja terkenal yang pernah ada di dunia ini.[]