Laman

Sabtu, 08 Desember 2012

Daftar Rujukan Semua Artikel


Abdus Salam bin Salim As-Sihimi. Fikrut Takfir: Qodiman wa Haditsan wa Tabriah Ittiba' Mazhab As-Salaf minal Ghuluw wa Fikril Munharif. Kairo: Darul Imam Ahmad. 2005M/1426H.

Aiko Kurosawa. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942 – 1945 (Hermawan Sulistyo). Jakarta: Grasindo. 1993.

Ali Muhammad Ash-Shalabi. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Penerj. Samson Rahman). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2002.

Andree Feillard. NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna (Penerj. Lesmana). Yogyakarta: LkiS. 1999.

Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abd XVII & XVIII: Akar Pembaharuan Islam  (Edisi Revisi, Cet. II). Jakarta: Prenada Media. 2005.

Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2008.

Christine Dobbin. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784 – 1847 (Penerj. Lilian D. Tedjasudhana). Depok: Komunitas Bambu. 2008

Dadan Wildan. Yang Da'i Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis (Cet. II). Bandung: Remaja Rosdakarya. 1999.

Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 -1942 (Penerj. Deliar Noer, Cet. VIII, Edisi II). Jakarta: LP3ES. 1996.

Dick Douwes & Nico Kaptein (Eds). Indonesia dan Haji (Soedarso Soekarno, Theresia Slamet). Jakarta: INIS. 1997.

Deny Lombard. Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu, Bagian II: Jaringan Asia (Penerj. Winarsih Partaningrat, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf, Cet. III). Jakarta: Gramedia. 2005.

_____. Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu, Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Penerj. Winarsih Partaningrat, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf, Cet. III). Jakarta: Gramedia. 2005.

Endang Turmudi & Riza Sihbudi (Eds). Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press. 2005.

Greg Barton. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Penerj. Nanang Tahqiq). Jakarta: Paramadina-Pustaka Antara. 1999.

Harry J. Benda. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang (Penerj. Daniel Dhakidae, Cet. II). Jakarta: Pustaka Jaya. 1985.

Hermawan Sulistyo. Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965 – 1966) (Penerj. Suaedy, Uchi Sabirin, Syafiq; Cet. Ke-2). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2001.

Ira M. Lapidus. Sejarah Sosial Ummat Islam: Bagian Kesatu & Kedua (Penerj. Ghufron A. Mas'adi, Cet. Ke-2). Jakarta: Rajawali Press. 2000.

_____. Sejarah Sosial Ummat Islam: Bagian Ketiga (Penerj. Ghufron A. Mas'adi, Cet. Ke-2). Jakarta: Rajawali Press. 2000.

Imam As-Suyuthi. Tarikh Khulafa': Sejarah Para Penguasa Islam (Penerj. Samson Rahman). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2001.

Ismail bin Katsir. Al-Bidayah wan Nihayah: Juz 1-2. Al-Manshurah: Maktabah Al-Iman. Tth.

_____. Al-Bidayah wan Nihayah: Juz 3-4. Al-Manshurah: Maktabah Al-Iman. Tth.

_____. Al-Bidayah wan Nihayah: Juz 5-6. Al-Manshurah: Maktabah Al-Iman. Tth.

_____. Al-Bidayah wan Nihayah: Juz 7-8. Al-Manshurah: Maktabah Al-Iman. Tth.

_____. Al-Bidayah wan Nihayah: Juz 9-10. Al-Manshurah: Maktabah Al-Iman. Tth.


Karel A. Steenbrink. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Penerj. Karel Steenbrink & Abdurrahman, Cet. II). Jakarta: LP3ES. 1994.

Mangaradja Onggang Parlindungan. Pongkinanggogolan Sinambela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816 – 1831. Yogyakarta: LKiS. 2007.

Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III (Cet. VIII, Edisi IV). Jakarta: Balai Pustaka. 1993.

_____. Sejarah Nasional Indonesia IV (Cet. VIII, Edisi IV). Jakarta: Balai Pustaka. 1993.

_____. Sejarah Nasional Indonesia V (Cet. VIII, Edisi IV). Jakarta: Balai Pustaka. 1993.

Merle C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern (Penerj. Tim Penerjemah Serambi Edisi Ke-4). Jakarta: Serambi. 2008.

Muhammad bin Abdil Karim Asy-Syahrastni. Al-Milal wan Nihal (Cet. Ke-8). Libanon: Dar El-Marefah. 2001M/1421H.

Muhammad bin Isa At-Tirmidzi. Jami' At-Tirmidzi. Riyadh: Darus Salam. 1999M/1420H.

Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Shahih Al-Bukhari (Cet. Ke-2). Riyadh: Darus Salam. 1999M/1419H.

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Syarh Tsalatsatul Ushul (Cetakan III). Riyadh: Dar Ats-Tsurayya. 1997/1417 H.

Muhammad Aman bin Ali Al-Jami. Al-Aqidah Al-Islamiyah wa Tarikhuha. Kairo: Darul Minhaj. 2004M/1420H.

M. Dawam Rahardjo (ed). Pesantren dan Pembaharuan (Cet. II). Jakarta: LP3ES. 1983.

Muhammad Khalil Harras. Syarh Al-'Aqidah Al-Wasithiyah li Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sho'dah: Maktabah Ibnu Taimiyah. 2004.

Muhammad Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. II). Jakarta: Hidakarya Agung. 1996.

Muslim bin Hajjaj Al-Naisaburi. Shahih Muslim (Cet. Ke-2). Riyadh: Darus Salam. 1998M/1419H.

Philip K. Hitti. History of The Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam (Penerj. R. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi). Jakarta: Serambi. 2008.

Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri. Ar-Rahiqul Makhtum: Bahtsun fi As-Sirah An-Nabawiyyah (Cetakan IV). Kairo: Darul Hadits. 2002M/1423H.

Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan. Min A'lamil Mujaddidin:Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Ahmad bin Taimiyah, Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab. Riyadh: Dar Alam Al-Kutub. 2002/1423.

Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908 – 1945 (Cet. II). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001.

Takashi Shiraishi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 – 1926 (Penerj. Hilmar Farid). Jakarta: Grafiti. 1997.

Widyo Nugrahanto. Dinasti Cina Muslim di Nusantara. Jatinangor: Uvul Press. 2006.

_____. Bertahan di Perantauan: Wacana Cina Muslim di Nusantara Abad ke-15 dan ke-16. Jatinangor: Uvula Press. 2007.

Yasin bin Ali Al-'Adani. "Tamhid" dalam Muhammad Khalil Harras, Syarh'Aqidah Al-Wasithiyah li Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sha'dah: Maktabah Ibnu Taimiyah. 2004M/1424H.

Indonesia Merdeka


Islam di tengah bangsa Indonesia mengalami percepatan tumbuh pada masa pendudukan tentara Jepang. Dalam suasana Perang Dunia II, pemerintah Hindia Belanda yang ingin mengubah penduduk pribumi menjadi lebih rasional dipaksa untuk menghentikan segala usaha itu.

Untuk kepentingan perangnya, Jepang menggunakan Islam sebagai dalih untuk mendapatkan dukungan dari seluruh rakyat pribumi. Orang-orang terpelajar yang lama mengecap kehidupan gaya Eropa dipaksa untuk ikut kebijakan Jepang itu. Kebanyakan di antara mereka, karena latar belakang Islam yang sudah dibawa sejak lahir, dapat menyesuaikan diri dengan suasana baru itu.

Berbeda dengan Belanda yang membatasi kegiatan keislaman, Jepang menyokong penuh semua kegiatan keislaman selama sesuai dengan kepentingan perang mereka. Kebijakan itu menanam pengaruh yang sangat besar di kalangan orang-orang Islam. Setelah kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, pengaruh-pengaruh dari Jepang banyak mewarnai berbagai segi kehidupan di Indonesia. Dalam kaitannya dengan Islam di Indonesia, sampai tahun 1970-an, Islam warna Jepang itu mewarnai cara berpikir banyak kaum muslimin di Indonesia.

Politik Islam dan Budaya Islam

Tidak dapat ditolak kemajemukan yang ada di Indonesia. Faktor inilah mendorong para pengambil kebijakan di tingkat atas untuk mengambil langkah-langkah non-sektarian dalam kehidupan kenegaraan. Indonesia berdiri sebagai sebuah republik sekuler agamis. Undang-undang Republik Indonesia dibuat di atas kerangka rasionalitas yang tidak membabi buta. Tuhan yang maha esa tetap dipertahankan sebagai sesuatu yang tidak boleh dilupakan oleh siapa pun rakyat Indonesia.

Dari gambaran seperti itu, dapat dipahami jika Islam di masa Indonesia merdeka adalah Islam yang sama dari masa-masa sebelumnya. Di satu sisi terdapat keinginan untuk menciptakan hidup yang Islami, di sisi lain terdapat kenyataan bahwa pengaruh yang datang dari luar terus-menerus ada dan tidak dapat ditolak. 

Tahun-tahun dari 1945 sampai 1970 adalah tahun-tahun yang panjang ketika perdebatan untuk menjadikan Islam sebagai dasar aturan hidup di Indonesia mengemuka. Pemuka-pemuka Islam berusaha menempuh jalur politik agar Islam dapat diterima oleh seluruh rakyat negara. Mereka hanya terbentur pada kenyataan bahwa para pemeluk Islam di Indonesia adalah pemeluk-pemeluk Islam yang payah. 

Kebanyakan kaum muslimin memilih Islam sebagai identitas diri, bukan sebagai pandangan hidup. Dari pemilihan umum yang dilakukan pada pertengahan 1950-an, dapat ditarik kesimpulan ini. Partai-partai agama mendapat dukungan yang sedikit. 

Pada masa ini juga terjadi kembali pertentangan antara pandangan Islam murni dan Islam sinkretik. Pandangan pertama tetap menginginkan agar Islam dibangun di atas pondasi dasar, Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang sesuai dengan zaman. Pandangan kedua ingin mempertahankan Islam yang telah berkembang dan bercampur dengan tradisi-tradisi lokal di Nusantara berabad-abad.

Pertentangan antara dua cara pandang itu sudah mengemuka di tengah kaum muslimin di Nusantara sejak awal abad ke-20. Mesir adalah tempat banyak orang di dunia Islam mengambil cara pandang pertama. Lewat tokoh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan kemudian Muhammad Rasyid Ridha cara pandang itu mengemuka ke negara-negara Islam yang ada pada saat itu.

Perdebatan antara dua cara pandang itu belum kunjung usai di Indonesia, hingga muncul ancaman bersama yang datang dari Komunisme. Indonesia, bagaimana pun, berada di tengah konstelasi politik dunia. Perang dingin antara Kapitalisme dan Komunisme ikut merembet ke dalam negeri. Menghadapi ancaman baru ini, dua cara pandang kaum muslimin tersebut untuk sementara waktu dikesampingkan. 

Tahun 1965 – 1966 adalah tahun-tahun berdarah. Sejarah mencatat ratusan ribu penganut Komunisme dieksekusi. Sebagian besar mereka dibunuh oleh kelompok-kelompok Islam. Tindakan ini didukung oleh pemerintah dan tentara. Islam kembali menjadi ideologi perlawanan terhadap Komunisme di Indonesia.

Setelah ancaman bersama hilang, kaum muslimin di Indonesia mulai berdebat kembali. Sikap traumatik yang didapati pada masa 1950-an sampai 1965 menguatkan sebagian kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Bagi mereka, cita-cita Islam dapat ditempuh lewat jalur politik. Nilai-nilai Islami dapat dipaksakan dari atas ke bawah.

Islam Indonesia Sekarang

Pada masa itu, Islam bukan menjadi pendorong untuk membangun sebuah peradaban. Mencari pencapaian-pencapaian yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia sama artinya mencari pencapaian-pencapaian yang telah dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya. Hal itu berbeda dalam bidang pemikiran.

Tahun 1970 menjadi tonggak baru bagi pemikiran Islam di Indonesia. Para peneliti sejarah Islam di Indonesia sepakat bahwa 1970 memulai fase baru dalam sejarah. Fase ini terus berlanjut sampai bangkitnya Islam radikal di akhir millenium kedua.

Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah dua orang dari dua kubu berbeda yang memelopori perubahan itu. Meski dibesarkan dalam dua cara pandang keislaman yang saling bertentangan, mereka berdua sepakat bahwa pemikiran Islam mesti didefinisi ulang. Islam, menurut mereka, harus dibarukan kembali agar dapat mengikuti perkembangan zaman.

Sepintas, pemikiran mereka berdua tidak jauh berbeda dari pemikiran yang pernah tumbuh di awal abad ke-20. Akan tetapi, dalam satu penyederhanaan, pemikiran mereka berporos pada usaha menjadikan Islam hanya sebagai nilai yang bersifat pribadi. Negara, menurut mereka, tidak berhak mengatur keyakinan beragama seseorang. Islam tidak boleh menjadi dasar negara, sehingga negara dan agama harus terpisah.

Sepanjang tahun 1970-an, pemikiran mereka mendapat dukungan dan sekaligus juga tentangan. Akan tetapi, banyak dari kalangan pemuda Islam yang tertarik dengan pemikiran mereka berdua. Bermula dari gagasan, pemikiran mereka berkembang menjadi sebuah gerakan baru dalam sejarah Islam di Indonesia. Nahdhatul Ulama yang dikenal sebagai organisasi masyarakat tradisional dan berusaha mempertahankan Islam yang telah berkembang di Indonesia menjadi basis gerakan pemikiran baru Islam itu. Tahun 1990-an menjadi masa ketika hasil gerakan itu dituai.

Kalangan yang ingin tetap mempertahankan Al-Qur'an dan As-Sunnah mengubah cara berkembang mereka. Tahun 1970-an juga menjadi tahun-tahun ketika mereka memanfaatkan kampus-kampus perguruan tinggi sebagai basis gerakan. Mereka membuat jaringan intelektual yang luas dan menanamkan pemikiran bahwa Islam harus tetap berdiri di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebagai sebuah kelompok, mereka terkesan menarik diri percaturan gagasan di tingkat nasional. Mereka terus fokus pada usaha pengaderan. Usaha mereka menuai hasil juga di tahun 1990-an.

Awal millenium ketiga, Islam Indonesia kembali terkutub pada dua cara pandang keislaman. Berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1950-an, keadaan dunia pada saat ini menuntut banyak pihak untuk mempertanyakan kembali rasionalitas yang pernah agung pada abad ke-20. Seruan-seruan untuk memurnikan ajaran Islam menguat seiring dengan munculnya globalisasi dunia. Pada saat seperti inilah, Islam menjadi ideologi perlawanan bagi sebagian pihak. Mereka menyadari keadaan dunia dan, terlebih lagi, keadaan dunia Islam saat ini.

Islam Masa Hindia Belanda


Berbeda dengan kebijakan-kebijakan Kompeni, pada mulanya pemerintah Hindia Belanda membawa misi mengangkat perekonomian Kerajaan Belanda yang baru selesai menghadapi perang di Eropa. Di bawah kebijakan-kebijakan khusus gubernur jenderal di Batavia (sebelumnya Sunda Kelapa, sekarang Jakarta), misi itu berhasil dituntaskan. Dalam hitungan matematis, keberhasilan itu malah mendatangkan surplus bagi kas kerajaan Belanda.

Di antara kebijakan-kebijakan khusus yang dimaksud adalah Sistem Tanam Paksa. Menuntut kepala-kepala pemerintahan lokal, pemerintah Hindia Belanda mengerahkan ribuan tenaga kerja di Jawa. Mereka menanam komoditas-komoditas dagang yang menguntungkan di pasar Eropa. Di sisi lain, kebijakan itu mendatangkan kerugian besar. Banyak penduduk yang mati kelaparan atau karena sakit. Tidak sedikit pula yang jatuh miskin karena tidak sempat mengusahakan tanah-tanah milik sendiri.

Islam sebagai Ideologi Perlawanan

Pemerintah Hindia Belanda sendiri menyadari resiko yang timbul dari kebijakan khusus itu. Di beberapa tempat, muncul perlawanan-perlawanan dari penduduk setempat. Banyak di antaranya dapat mudah ditumpas. Akan tetapi, ada juga perlawanan-perlawanan yang sempat membuat pemerintah Hindia Belanda kewalahan.

Para pemimpin perlawanan itu hampir selalu menggunakan Islam sebagai ideologi perlawanan. Mereka mempertentangkan kembali Islam-Kafir dan menggunakan jihad sebagai alasan perlawanan mereka. Menarik untuk dicermati, para pengikut pemimpin perlawanan itu bukan tergolong pemeluk-pemeluk Islam yang taat. Penderitaan yang lama dialami menjadi alasan kuat untuk melakukan perlawanan.

Perlawanan yang dilancarkan oleh Pangeran Diponegoro, meski menggunakan Islam sebagai ideologi perlawanan, berangkat dari kepentingan pribadi yang dilanggar. Untuk meraih pengikut yang banyak, ia menjadikan Islam dan jihad fi sabilillah sebagai ideologi perlawanan mereka. Bagi pemerintah Hindia Belanda, perlawanan itu—atau yang disebut dengan Perang Jawa—menyadarkan mereka tentang bahaya Islam sebagai ideologi perlawanan.

Yang juga meletus pada waktu itu adalah perlawanan yang dilancarkan Tuanku Nan Renceh di Sumatera Barat. Menjadikan Islam yang sempurna sebagai tujuan politik, mereka melawan kaum adat dan tradisi setempat. Pertikaian itu pun meluas hingga menjadi perlawanan antara mereka dan pemerintah Hindia Belanda. 

Berbeda dengan Perang Jawa, sebagian pihak menyandarkan perlawanan di Sumatera Barat itu sebagai perlawanan kaum Wahabi yang menyerukan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafus Saleh. Bahkan Tuanku Imam Bonjol diaku sebagai pemimpin gerakan Wahabi pertama di Nusantara.

Islam yang tumbuh di Nusantara sampai saat itu adalah Islam yang terpaksa berkembang di tengah masyarakat antara. Tidak ada Islam murni, sebagaimana yang datang dari Timur Tengah. Islam membentur aneka tradisi yang masih terus hidup di tengah masyarakat, baik itu di Sumatera, Jawa, atau di pulau-pulau timur Nusantara. Pertemuan unsur-unsur Islam di Jawa dengan kebudayaan setempat, bahkan, jauh lebih intensif ketimbang di daerah-daerah lain. Islam mengalami proses sinkretisasi. Pada akhirnya, Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam hasil perkawinan mazhab Asy'ari dengan tradisi Hindu-Buddha.

Pemerintah Hindia Belanda, sampai abad ke-19, masih belum menyadari kenyataan penting ini. Bagi mereka, Islam di Jawa dan Sumatera memiliki kesamaan dengan Islam di Timur Tengah atau setidaknya Mesir yang pada abad itu mewarisi nama besar Islam pada awal masa Bani Abbasiyah. Karena itu, kekhawatiran akan bangkitnya kaum muslimin dengan ideologi jihad fi sabilillah masih menguasai orientasi mereka.

Tugas pejabat-pejabat pemerintahan di Batavia sebenarnya berkisar pada usaha mengamankan kepentingan ekonomi di daerah-daerah yang telah dikuasai. Jawa, misalnya, diatur sedemikian rupa, sehingga kemungkinan untuk bangkitnya perlawanan rakyat yang berbasiskan Islam dapat diminimalkan. Usaha tersebut berhasil baik. Terbukti, sampai awal abad ke-20, perlawanan-perlawanan rakyat atas nama Islam hanya berupa perlawanan-perlawanan kecil, lokal, dan sementara. 

Di antara para pakar sejarah Indonesia, ada yang menilai bahwa perlawanan tersebut muncul setelah titik terjauh penderitaan ekonomi yang diderita rakyat betul-betul terlewati. Dalam buku-buku sejarah, perlawanan-perlawanan rakyat yang seperti ini dikategorikan sebagai gerakan-gerakan sosial. Perang terakhir yang terjadi di Jawa hanya Perang Jawa.

Politik Kawan dalam Pertikaian

Bahwa mayoritas penduduk di daerah-daerah yang telah dikuasai adalah kaum muslimin adalah satu hal yang tidak bisa ditolak. Sejak abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda mengubah beberapa kebijakan penting mereka. Di antara kebijakan yang dihasilkan itu adalah usaha untuk merangkul kaum muslimin dalam menjalankan kepentingan-kepentingan kolonialisme. Dari politik untuk menghadapi musuh dalam pertikaian, pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik untuk mencari kawan dari pertikaian.

Umat Islam di Jawa memiliki kecenderungan bekerjasama yang baik, meskipun dengan pihak luar yang jelas-jelas membawa pengaruh baru. Tradisi singkretisasi yang telah lama hidup membuat mereka melihat itu semua bukan sebagai sebuah ancaman. Lewat berbagai penelitian tentang Islam di Jawa, pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa kaum muslimin di Jawa memiliki varian yang berbeda dengan kaum muslimin di luar Jawa.

Kenyataan ini turut mendorong pemerintah Hindia Belanda melakukan politik balas budi. Sejak awal abad ke-20, mereka menjalankan usaha membuka jalur-jalur transportasi secara intensif, memperbaiki taraf kesehatan penduduk pribumi, dan mengadakan usaha pendidikan modern. Usaha-usaha ini mendatangkan hasil di Jawa. Dari hasil yang ada, pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan yang sama untuk daerah-daerah kekuasaan mereka di luar Jawa.

Tidak sebagaimana di Jawa, di luar Jawa usaha-usaha tersebut mengalami kendala yang berarti. Di Sumatera, tepatnya di Aceh, meletus Perang Aceh yang sangat lama itu. Perlawanan terjadi bertahun-tahun. Rakyat setempat menggunakan Islam sebagai ideologi perlawanan. 

Selain itu, beberapa daerah di luar Jawa tidak memiliki tradisi sinkretisme yang tebal seperti Jawa. Pendidikan modern seperti yang diinginkan pemerintah Hindia Belanda harus menghadapi waktu yang lama agar dapat diterima di tengah-tengah penduduk pribumi. Kendala utama yang menghalangi penerimaan usaha-usaha itu adalah kenyataan bahwa pemerintah Hindia Belanda adalah orang-orang kafir yang menguasai daerah-daerah mereka.

Pembukaan daerah-daerah pelosok dengan membangun jaringan jalan raya yang menembus hutan-hutan dan lahan-lahan perawan memudahkan arus pengaruh yang diinginkan pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan-kebijakan vital dapat diberlakukan tidak hanya di kota-kota besar yang ada, tetapi juga sampai jauh ke pelosok-pelosok.

Islam yang berkembang di pedalaman secara perlahan ikut terpengaruh oleh pengaruh yang datang dari kota-kota besar itu. Sekali lagi, pertemuan dua budaya memaksa para pemeluk Islam setempat untuk memilih dan pada waktu itu mempertahankan diri menghadapi pengaruh dari luar itu sama berarti membiarkan diri tergerus oleh tekanan sosial.

Kesehatan masyarakat pribumi yang meningkat akibat usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, langsung atau tidak langsung, meningkatkan kepercayaan di masyarakat akan pentingnya kebijakan-kebijakan tersebut. Kepercayaan itu mendorong sebuah kesadaran baru tentang betapa harusnya mereka untuk berubah. Menerima pengaruh yang datang dari luar Islam tidak memestikan mereka untuk pindah keyakinan. Sebaliknya, menerima pengaruh yang datang itu menuntut mereka untuk berubah menjadi muslim yang lebih rasional tanpa membabi buta.

Corak Baru Islam Nusantara

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk membalas budi baik orang-orang pribumi bukan tanpa maksud. Dari pertimbangan ekonomi, menyediakan tenaga terampil tetapi murah karena berasal dari pribumi sendiri adalah pilihan masuk akal yang dapat diterima oleh pemutus kebijakan mana pun. Terlebih lagi, akhir abad ke-19 adalah awal baru bagi peradaban manusia. Pada waktu itu, industrialisasi dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang mesti bagi masyarakat Eropa dan Amerika.

Paruh pertama abad ke-20, sejarah mencatat perubahan penting yang diakibatkan politik balas budi pemerintah Hindia Belanda itu. Masyarakat pribumi yang menerima pendidikan dari pemerintah Hindia Belanda mengenal rasionalitas. Perubahan, bagi mereka, bukan berarti sesuatu yang turun begitu saja dari langit. Untuk sebuah cita-cita perubahan, mesti ada usaha-usaha yang konkret dan terencana. Mereka tidak lagi bersandar pada keterangan-keterangan yang bersifat ramalan dari balik buku-buku tua.

Kesadaran ini juga muncul di tengah kalangan pemeluk Islam yang taat. Meski tetap tidak mengenyampingkan takdir, mereka seolah baru diingatkan kembali tentang arti hidup dan usaha yang mesti dilakukan dalam hidup. Hidup bukan sekedar menunggu dan mengharap. Manusia diciptakan oleh Allah ta'ala sebagai khalifah di muka bumi untuk mengatur dan mengusahakan hidup mereka sendiri. Bukan sekedar pasrah dan menunggu nasib yang telah ditentukan.

Jika dicermati, kesadaran itu muncul akibat rasionalitas yang ditanamkan lewat sekolah-sekolah modern. Kesadaran itu menuntut kesadaran berikutnya bahwa mereka tidak belajar melulu untuk agama. Dunia, bagi mereka, diciptakan untuk diolah. Untuk mampu mengemban itu, mereka butuh pendidikan yang menyiapkan tenaga-tenaganya. Dari situ, muncul pula kesadaran untuk membangun sekolah-sekolah Islami yang menyiapkan mereka untuk mengolah bumi mereka. Mereka harus bekerja dalam dunia yang mereka hadapi pada waktu itu tetapi sekaligus tanpa melupakan kehidupan akhirat mereka.

Dapat dibayangkan, orientasi hidup yang berkembang dalam masyarakat muslimin pada waktu itu perlahan berubah. Kemuliaan dan kehormatan dilihat bukan dari penguasaan atas pengetahuan agama dan tata cara ibadah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki kekayaan tetapi juga taat beribadah. Karena itu, kita bisa memahami alasan di balik ditinggalkannya kehidupan model rahib yang terus-menerus beribadah dan melupakan kehidupan dunianya pada waktu itu.

Di Jawa dan Sumatera, bermunculan banyak sekolah-sekolah Islam yang menerapkan sistem pendidikan modern. Ijazah menjadi syarat untuk maju dalam persaingan hidup. Di sisi lain, pesantren-pesantren yang menyiapkan dai-dai Islam masih terus ada. Akan tetapi, perbandingannya dengan sekolah-sekolah Islam modern jauh. Lebih dari itu, perubahan orientasi hidup juga membuat sebagian besar orang memilih sekolah-sekolah yang khusus menyiapkan tenaga-tenaga terampil untuk diserap industri. Pemerintahan dan kedokteran adalah dua lahan yang sering dicari oleh mereka.

Dalam keadaan seperti itu, dari kalangan segelintir orang hasil pendidikan modern memunculkan kembali cita-cita kemerdekaan yang memerintah secara sendiri. Kemerdekaan, meski terwujud di pertengahan abad ke-20, adalah cita-cita yang sudah lama terkubur di dalam benak-benak penduduk pribumi  yang telah kalah puluhan tahun sebelum itu.

Dalam varian yang agak berbeda, segelintir kaum muslimin di Jawa dan Sumatera kembali menghidupkan pandangan Islam dan kafir. Bahwa pemerintah Hindia Belanda adalah orang-orang kafir, rakyat Indonesia yang mayoritas Islam harus merdeka dari cengkeraman orang-orang kafir itu. Pada titik inilah bertemu berbagai kelompok dalam satu kepentingan utama, kemerdekaan. Politik balas budi yang digulirkan pemerintah Hindia Belanda pada akhirnya hanya membuahkan keinginan bersama di kalangan penduduk pribumi bahwa mereka harus memegang negara sendiri.

Islam Masuk Ke Indonesia


Nama Indonesia baru muncul di awal abad ke-20. Ditinjau dari sisi etimologi, nama Indonesia pada mulanya mengacu ke satu wilayah luas yang mencakup juga Malaysia dan Fillipina sekarang. Untuk sebutan yang pantas, mengacu pada wilayah yang dimiliki oleh Indonesia sekarang, adalah Nusantara.

Sampai hari ini, para pakar sejarah Indonesia belum menemui kata sepakat tentang masuknya Islam ke Nusantara. Perdebatan tersebut berangkat dari ketiadaan sumber-sumber sejarah yang dapat menjelaskan bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara sebelum abad ke-11 Masehi. Beberapa pakar justru memilih untuk meninggalkan perdebatan itu dan memulai tulisan tentang sejarah Islam sejak kemunculan kerajaan Islam pertama di Jawa.

Perdebatan Masuknya Islam di Nusantara

Membicarakan kapan masuknya Islam di Nusantara tidak dapat pula dipisahkan dari membicarakan asal Islam yang masuk itu. Dengan menentukan asal Islam tersebut, seseorang dapat menentukan kapan Islam masuk ke Nusantara. 

Pendapat pertama mengatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dibawa oleh para pedagang dari Gujarat pada abad ke-12 Masehi. Para pedagang ini juga dikenal sebagai orang-orang penganut tasawwuf. Pendapat ini dibangun di atas penelitian tentang artefak-artefak peninggalan muslim di Nusantara seperti bentuk kuburan-kuburan dan nisan-nisan di sejumlah tempat. Terdapat kesamaan antara artefak-artefak yang dimaksud dan artefak-artefak yang ditemukan di Gujarat.

Pendapat kedua mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggala. Artefak-artefak yang ditemukan di Nusantara tersebut justru memiliki kemiripan dengan artefak-artefak sejenis yang ada di Benggala, sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam disebarkan oleh pedagang-pedagang dari sana. Sekarang, wilayah Benggala masuk ke dalam negara Bangladesh.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa Islam bukan disebarkan oleh pedagang-pedagang dari Gujarat tetapi dari pantai Koromandel, India Selatan sekarang. Hal itu disebabkan oleh fakta bahwa Gujarat pada abad ke-12 Masehi masih menjadi kerajaan Hindu. Hanya di sekitar pantai Koromandel kaum muslimin setempat telah memeluk Islam. Pendapat ini menguatkan tetapi sekaligus menyanggah pendapat pertama.

Pendapat keempat mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Persia. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa terdapat tradisi peringatan Karbala di sejumlah pesisir pantai tempat bandar dagang lama di Nusantara. Selain itu, ditemukan banyak kosakata yang menunjukkan adanya pengaruh bahasa Persia dan bukan Arab di pesisir-pesisir tersebut. Pendapat ini, meskipun tidak kuat, tetapi turut mewarnai perdebatan yang berlangsung di kalangan peneliti sejarah Islam di Indonesia.

Pendapat kelima mengatakan bahwa Islam berasal dari Makkah, Arab. Hamka yang menguatkan pendapat ini mendasarkan diri pada fakta bahwa mazhab fikih yang dianut di Nusantara adalah mazhab yang sama dianut di Makkah. Pengaruh dari Makkah ini masuk ke Nusantara seiring dengan keberadaan para pedagang Arab yang telah mencapai Cina pada abad ke-7 Masehi.

Atas dasar itulah, sejumlah pakar sejarah berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara lewat keberadaan pedagang-pedagang muslim dari Cina. Pendapat ini, pendapat keenam, didukung pula fakta bahwa sejumlah masjid tua di Indonesia sekarang adalah masjid muslim Cina. Di beberapa kelenteng Cina di sejumlah kota-kota tua di Jawa mengisyaratkan adanya pedagang-pedagang muslim Cina yang datang menyebarkan Islam ke penduduk setempat. Akan tetapi, akibat politik pemerintah Orde Baru, pendapat ini dibungkam bertahun-tahun. Banyak peneliti sejarah yang lebih tahu dan percaya bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang India.


Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara

Merenungi sejarah Islam di Nusantara, perdebatan yang terjadi itu terus mengemuka disebabkan ketidakjelasan jejak-jejak yang bisa didapat dalam sejarah yang ada. Bangsa yang mendiami Nusantara adalah bangsa antara. Mereka berdiam dan berada di tengah-tengah lalu lintas budaya dan perubahan yang dibawa oleh masing-masing budaya tersebut. 

Hampir bisa dikatakan tidak ada budaya dominan yang bertahan. Selalu saja terjadi perbenturan dan percampuran budaya, baik dengan budaya yang juga datang dari luar atau dengan budaya lokal yang telah ada atau dengan budaya baru hasil campuran budaya-budaya sebelumnya.

Betapa pun ramai perdebatan yang ada, komunitas-komunitas muslim yang pertama kali menetap di daerah-daerah pesisir itu menjalankan rutinitas harian mereka sebagai orang-orang pendatang yang memiliki kepentingan berdagang dengan penduduk setempat. Kebijakan politis belum mereka punyai. 

Karena itu, di tangan penguasa-penguasa setempat yang belum memeluk Islam, keadaan politik, sosial, budaya masih bernuansa Hindu-Buddha. Sebagaimana kita ketahui, Nusantara pra-Islam adalah wilayah-wilayah yang dihuni oleh masyarakat Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan setempat.

Dapat dikatakan, kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tumbuh seiring dengan kemunculan bangsa-bangsa Eropa untuk kepentingan perdagangan. Dari perdagangan, perseteruan melebar ke masalah agama. Selama itu, meletus berbagai bentrokan bersenjata antara Islam dan Kristen di Nusantara. 

Secara umum, ada tiga wilayah besar di Nusantara yang menjadi arena konflik tersebut. Di tiga wilayah ini pula tumbuh dan berkembang kerajaan-kerajaan Islam. Tiga wilayah yang dimaksud adalah Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.

Di Sumatera dan sekitarnya, kerajaan Islam yang pertama kali muncul adalah kerajaan Malaka. Kerajaan ini sudah muncul sejak paruh kedua abad ke-15 Masehi. Bangsa Portugis berhasil merebut pengaruh di sana baru pada paruh pertama abad ke-16 Masehi. Tahun 1511 menjadi tahun penaklukan Malaka oleh bangsa Portugis. 

Meski demikian, di wilayah yang berdekatan muncul kemudian kerajaan Aceh. Kekuasaan mereka berada di sekitar Aceh dan Sumatera Utara sekarang. Jauh ke selatan, muncul pula setelah itu kerajaan Minangkabau, Jambi, Palembang. Masing-masing kerajaan itu berdiri sendiri, menghadapi dominasi kekuatan Portugis dan perusahaan dagang Belanda dalam perdagangan di wilayah Sumatera dan sekitarnya.

Menariknya, keadaan sejenis juga muncul di Jawa. Keruntuhan kerajaan Hindu-Buddha mendorong kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Di belah timur Jawa, muncul berurutan kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Di belah barat Jawa, muncul kerajaan Cirebon, Banten. Masing-masing kerajaan itu berdiri sendiri, menghadapi perusahaan dagang Belanda yang memiliki kedudukan di Sunda Kelapa (Jakarta sekarang).

Ada kalanya, kerajaan-kerajaan Islam yang ada itu berselisih dan berperang antara mereka. Untuk kepentingan politik dan ekonomi, mereka bertikai dan bekerjasama dengan perusahaan dagang Belanda. Keadaan seperti ini juga melanda bagian timur Nusantara. Di sana berdiri kerajaan Ternate, Tidore, dan beberapa kerajaan Islam yang kecil. 

Masuknya Kolonialisme ke Nusantara

Semua kerajaan Islam yang ada di Nusantara pada akhirnya menghadapi pengaruh-pengaruh yang datang dari Eropa, baik dengan bangsa Portugis, Belanda, atau Inggris yang sempat menduduki beberapa tempat penting di Nusantara. Dalam keadaan seperti itu, kerajaan-kerajaan Islam itu mengalami semacam kekalahan budaya, termasuk juga kekalahan politik. Mereka terpaksa menerima atau mengadaptasi pengaruh-pengaruh yang dibawa bangsa Eropa.

Bangsa-bangsa Eropa hadir pertama kali di Nusantara untuk kepentingan perdagangan. Mereka mencapai Nusantara untuk mencari daerah-daerah produsen untuk pasaran masyarakat Eropa. Pada waktu itu, kepentingan agama, penyebaran agama Kristen menempati tempat ketiga dalam kepentingan mereka setelah kepentingan dagang dan politik. Bagaimana pun, Nusantara terkenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.

Bangsa Portugis mencapai Nusantara mendahului bangsa Belanda. Mereka berniat menguasai Malaka. Ketika niat itu sudah terlaksana, mereka juga menguasai Maluku. Malaka dan Maluku pada waktu itu berperan sebagai bandar dagang terkemuka. Portugis  berusaha memonopoli sumber daya alam setempat. Akan tetapi di antara dua tempat itu, muncul bandar-bandar lain yang tidak kalah penting, seperti Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, dan beberapa kota pesisir di Jawa bagian tengah dan timur.

Di kota-kota pesisir Jawa itulah bangsa Belanda menanam pengaruh. Mereka, dengan kongsi dagang VOC atau dikenal dengan sebutan Kompeni, ingin merebut monopoli perdagangan dari tangan Portugis. Merebut monopoli perdagangan seperti memaksa mereka untuk turut campur dalam politik kerajaan-kerajaan Islam setempat. Bahkan, ada kalanya, kepentingan Portugis dan Belanda mewujud dalam persekutuan masing-masing dengan dua kerajaan Islam yang kebetulan sedang bertikai.

Pada titik tersebut, sepintas dapat dinilai bahwa kepentingan dagang mendominasi politik mereka. Akan tetapi patut untuk dicermati bahwa Belanda dengan kongsi dagang mereka memiliki sentimen keagamaan terhadap Portugis. Sentimen tersebut hampir seumur dengan sejarah agama Kristen Protestan. Sebagaimana dapat dilihat, orang-orang Belanda adalah para pemeluk Kristen Protestan, sedangkan orang-orang Portugis adalah para pemeluk Kristen Katolik. Masing-masing membawa pandangan negatif terhadap satu sama lain.

Sejarah mencatat bahwa bangsa Belanda lebih lama dan luas berdiam di Nusantara. Tidak sepenuhnya benar mendiami selama 350 tahun, Belanda menguasai sebagian wilayah di Nusantara. Bermula dari kepentingan dagang, mereka kemudian membangun sebuah pemerintahan kolonial yang berada di bawah tanggung jawab Menteri Daerah Jajahan di Belanda. 

Selama rentang waktu yang panjang itu, keberadaan Belanda di Nusantara terbedakan menjadi dua periode, periode Kompeni (VOC) dan periode Hindia Belanda. Kompeni bubar akibat kebangkrutan yang dideritanya. Wilayah-wilayah di Nusantara diwariskan ke Kerajaan Belanda.

Islam Sekarang


Selama hampir tiga belas abad, Islam telah berkembang hampir ke separuh daratan di dunia. Wilayah kaum muslimin pun terbentang dari Maroko di Afrika sampai ke Indonesia di Asia. Akan tetapi, wilayah kaum muslimin yang luas itu berada dalam cengkeraman kekuasaan negara-negara Eropa.

Masalah yang mengemuka sejak abad ke-18 Masehi adalah modernisme. Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan memaksa bangsa-bangsa di dunia memikirkan kembali arah peradaban mereka. Bangsa-bangsa Eropa, tempat penemuan-penemuan itu muncul, telah menyiapkan diri untuk sebuah perubahan besar yang akan mereka alami. Adapun negeri-negeri kaum muslimin, mereka seperti kehilangan arah, terlebih lagi ketika Turki Usmani yang menjadi induk mereka tampil di pentas dunia seperti orang sakit (the sick man).

Akibat lebih jauh yang terjadi adalah kegegaran budaya yang terus melanda negeri-negeri kaum muslimin. Pertanyaan yang sering muncul ke permukaan adalah bagaimana Islam memasuki abad modern ini. Beberapa orang pemikir berdebat tentang pijakan yang dipakai, Islam atau Barat. Masing-masing perdebatan berusaha mencari jawab dan tidak pernah selesai.

Mereka seolah-olah mengulangi kembali pertanyaan yang sempat melanda Alexandria, Mesir, di abad-abad pertama Masehi. "Akal atau Wahyu yang menjadi penting?", demikian pertanyaan itu. Memilih salah satu atau mengompromikan keduanya adalah bentuk jawaban-jawaban yang muncul dan jawaban-jawaban itu tidak kunjung memuaskan. Masing-masing pihak memilih dan menentukan jawaban.

Islam dan Barat

Imperialisme, kolonialisme, atau yang sering hanya diartikan sebagai penjajahan, adalah gejala yang melanda dunia sejak abad ke-15 Masehi. Penemuan-penemuan dunia baru adalah upaya yang sering ditempuh oleh negara-negara Eropa. Langkah itu mereka lakukan untuk kepentingan politik, agama, dan ekonomi mereka. Mereka butuh tempat-tempat baru sebagai produsen dan konsumen dalam perdagangan mereka.

Yang sering terjadi, tempat-tempat produsen dan konsumen itu adalah negeri-negeri kaum muslimin. Penduduk setempat merasakan abad-abad gelap ketika mereka dijajah oleh bangsa-bangsa Barat. Mereka tidak dapat melawan kecuali sedikit sekali. Dalam keadaan seperti itu, bangsa penjajah sebagai pihak yang dominan memberi pengaruh yang luar biasa kepada bangsa terjajah.

Akidah kaum muslimin pun kembali dipertanyakan ulang di hadapan pengaruh-pengaruh bangsa Barat itu. Di pihak lain, tanpa disadari, moral beragama meluntur. Kasus paling baik untuk hal ini adalah Turki Usmani. Sebagaimana telah lewat, Turki Usmani mesti dibubarkan dan digantikan Republik Turki yang lebih modern dan sekuler.

Gejala seperti itu kemudian menimpa negeri-negeri kaum muslimin yang lain. Mesir termasuk negeri kaum muslimin yang lama berdebat menentukan sikap. Sampai pertengahan paruh pertama abad ke-20, Mesir masih dikuasai jawaban bahwa Islam dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan. Ada kompromi yang bisa diraih oleh kaum muslimin dalam menyikapi modernisme. Tokoh-tokoh mereka adalah Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Pemikiran mereka dan jawaban yang mereka pilih memengaruhi banyak negeri, termasuk di negeri-negeri kaum muslimin yang ada di Asia. India adalah salah satu negeri yang berusaha menerima jawaban seperti itu, meski tidak sepenuhnya berhasil. Irak dan Iran seperti itu juga. Beberapa negeri di Afrika masih dipaksa untuk mengesampingkan semua hal di luar Barat dan ilmu pengetahuan. Mereka kebanyakan masih di bawah cengkeraman penjajah sampai lewat pertengahan abad ke-20 Masehi.

Gejala yang berbeda muncul di Jazirah Arab. Arab Saudi adalah negara muslim yang memilih untuk mengesampingkan Barat pada tahun-tahun pertama pendirian negara. Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa Barat adalah kekuatan yang dominan pada abad ke-20 Masehi. Menghadapi Barat, mereka memilih untuk bertahan dengan keislaman seperti yang pernah dijalankan pada zaman Rasulullah hidup.

Beberapa negara di Asia Selatan berusaha mengikuti pilihan yang diambil Arab Saudi, tetapi mereka menyadari usaha itu sia-sia. Kaum muslimin setempat menyadari bahwa masa lalu yang traumatis di bawah pemerintahan agama masih terus lekat dalam ingatan bersama. Mereka pada akhirnya memilih kompromi. Demikian pula yang dialami oleh sebagian negara di wilayah Timur Tengah. Negara-negara bekas wilayah Syam memilih untuk berkompromi dengan keadaan.

Bagi sebagian orang, perang dunia yang terjadi dua kali adalah bukti kuat bahwa kaum muslimin tidak dapat menolak Barat dan segala yang datang dari Barat. Mereka dapat melawan Barat dengan cara-cara yang mereka ambil dari Barat. Usaha itu, bagaimana pun direncanakan sebaik mungkin, tetap belum mendatangkan hasil. Meski demikian, sebagian pihak optimis dengan langkah yang diambil itu.

Kemunculan Radikalisme Islam

Pendirian negara Yahudi (yang banyak disebut sebagai negara Israel) pada tahun 1948 adalah awal kebangkitan radikalisme di dunia muslim. Kekalahan dan ketidakberdayaan untuk melawan negara baru itu seolah membuktikan dengan jelas betapa keterpurukan Islam di depan Barat betul-betul dalam.

Rasa frustasi terhadap keadaan dan kekecewaan terhadap pemerintah-pemerintah negara-negara muslim yang tidak sesuai dengan cita-cita Islam membangkitkan sebuah perlawan baru. Pemikiran-pemikiran Islam radikal muncul di kantong-kantong tempat kaum muslimin tidak berdaya. Mesir dan Pakistan adalah dua kantong yang terus menyiapkan perlawanan orang-orang kalah.

Ada dua nama yang patut disebut pada saat itu. Sayyid Qutb dan Abul A'la Al-Maududi adalah dua tokoh yang memberikan pemikiran radikal dan akan memengaruhi banyak orang di negeri-negeri kaum muslimin. Mereka semua menyadari akan pentingnya perlawanan terhadap dominasi Barat. Mereka juga sekaligus kecewa dengan kebijakan pemerintah-pemerintah kaum muslimin saat itu. Mereka menyatakan kerinduan akan Islam ketika masih berjaya dalam peradaban manusia.

Pola yang muncul ternyata mirip dengan pola yang muncul ketika kelompok Khawarij berkembang di abad-abad pertama Hijriah dulu. Kekecewaan terhadap pemerintah kaum muslimin dan keterbatasan kemampuan membuat mereka sadar akan arti perlawanan dan pemberontakan. Mereka menyebarkan sikap itu di balik ketidakberdayaan massal mereka.

Sejak tahun 1970-an, radikalisme itu meningkat seiring tumbuhnya peradaban Islam yang banyak terpengaruh Barat. Mereka menjadi radikal tanpa diiringi dengan pengkajian terhadap sejarah kaum muslimin dengan teliti. Sebagian dari mereka bahkan tidak mengerti akan sejarah Islam.

Keadaan itu makin meningkat ketika komunisme hancur menjelang tahun 1990-an. Kaum muslimin banyak yang yakin bahwa Islam, mau tidak mau, harus berhadapan dengan Barat sebagai dua peradaban yang saling bertentangan. Di pihak lain, negara-negara Eropa dan Amerika menyadari akan keunggulan peradaban Barat di mata dunia. Satu-satunya yang menghalangi laju keunggulan itu adalah Islam versi Islam radikal itu.

Sampai memasuki abad ke-21 Masehi, perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal muncul sebagai tindakan-tindakan Khawarij. Mereka melawan Barat dengan cara menjatuhkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang mendukung Barat atau tidak sesuai dengan cita-cita Islam radikal. Pada akhirnya, sejauh itu, perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal masih dalam rupa perlawanan orang-orang kalah.

Turki Usmani

Tidak seperti Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, Turki Usmani bukan suatu kekhalifahan. Semula, kakek-moyang mereka berasal dari wilayah Transoxiana. Mereka kemudian mengembara ke barat kekuasaan kaum muslimin, berpindah dan menetap di wilayah Turki sekarang. Mereka pernah menjadi pengawal kekuasaan pemerintahan Bani Abbasiyah dari ancaman-ancaman yang diberikan oleh kelompok-kelompok Syiah dan Khawarij.

Orang-orang Turki bukan orang-orang Quraisy. Karena itu, mereka tidak memenuhi syarat utama untuk dikatakan sebagai kekhalifahan. Meski demikian, agar diakui sebagai suatu kekhalifahan dalam lembaran sejarah Islam, Turki Usmani mengadakan semacam upaya timbang-terima legitimasi dengan seseorang keturunan Bani Abbasiyah yang lemah. Diharapkan, publik sejarah kelak dapat melihat bahwa itulah peristiwa yang membuat Turki Usmani menjadi pewaris kekhalifahan Islam.

Perpecahan Masa Bani Abbasiyah

Sebelum Bani Abbasiyah mundur, sudah muncul bibit-bibit perpecahan di dalam tubuh pemerintahan. Dapat dikatakan, perpecahan itu mengendap banyak disebabkan oleh kekecewaan terhadap kebijakan pemerintahan.

Di antara kelompok-kelompok yang kecewa dan membangun pemerintahan setengah merdeka di barat wilayah Bani Abbasiyah adalah Bani Umayyah di Spanyol, Bani Idrisiyah dan Bani Aglabiyah di timur Afrika, Bani Thulun dan Bani Hamdaniyah di Mesir dan sebagian Syam. Di timur wilayah Bani Abbasiyah, bergantian berdiri kelompok-kelompok yang ingin mendikte khalifah di Bagdad. Di antara mereka adalah Bani Thahiriyah, Bani Saffariyah, Bani Samaniyah, Bani Ghaznawi, dan Bani Seljuk yang menjadi cikal-bakal Turki Usmani. Semua kelompok itu memakai gelar amir dan masih mengakui khalifah Bani Abbasiyah.

Syiah adalah kelompok yang sangat ingin berpisah dari Bani Abbasiyah. Selain didorong oleh akidah yang dianut, Syiah juga didorong oleh kekecewaan masa lalu terhadap Bani Abbasiyah. Sebagaimana telah lewat, khalifah Bani Abbasiyah pertama menyingkirkan kelompok Syiah dari lingkaran kekuasaan.

Akidah Syiah menjadi suatu kekuatan memberontak bagi beberapa kelompok yang ada. Sebagai misal, Bani Idrisiyah, Bani Hamdaniyah, dan Bani Samaniyah adalah kelompok-kelompok yang berakidah Syiah dan berhasil mendirikan kekuatan politik yang setengah merdeka dari Bani Abbasiyah.

Akan tetapi, dalam sejarah Bani Abbasiyah, Bani Fatimiyah dan Bani Buwaihi tercatat sebagai kekuatan politik Syiah yang paling brutal dalam merongrong kekuasaan Bani Abbasiyah. Jika Bani Fatimiyah terang-terangan mengaku sebagai kekhalifahan dan memisahkan diri dari Bani Abbasiyah, maka Bani Buwaihi menggunakan kekuatan mereka untuk mengatur-atur khalifah-khalifah Bani Abbasiyah.

Bani Abbasiyah memang memasuki kehancuran setelah Bani Buwaihi memegang kekuasaan atas khalifah. Mereka mengatur para khalifah sekehendak hati, termasuk menyingkirkan khalifah yang tidak disukai. Khalifah Bani Abbasiyah baru terlepas dari Bani Buwaihi setelah Bani Seljuk merebut Bagdad pada tahun 1056 dan berkuasa hanya sampai tahun 1194.

Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah setelah itu kembali menjadi permainan orang-orang Syiah sampai muncul serbuan orang-orang Mongol. Bagdad jatuh ke tangan orang-orang Mongol pada tahun 1258. Sejak saat itu, Bani Abbasiyah hanya menjadi nama tanpa kekuasaan sama sekali yang melegitimasi suatu kekuatan politik, baik di timur ataupun di barat wilayah kaum muslimin kecuali pemerintahan Islam di Andalusia.

Mazhab Syafii dan Asy'ari

Di awal kemunduran Bani Abbasiyah, terjadi sebuah bias sejarah yang belum terkoreksi sampai sekarang. Bias yang dimaksud berlangsung dalam aspek akidah. Akibat dari semua itu, sampai hari ini, kebanyakan orang percaya bahwa akidah Asy'ari adalah akidah yang benar atau akidah ahlus sunnah wal jamaah.

Ketika Abu Musa Al-Asy'ari meninggal dunia, banyak pengikutnya tidak mengetahui bahwa ia telah bertobat dari keyakinannya, akidah Asy'ari. Ketidaktahuan ini kemudian terwariskan dan perlahan orang-orang meyakini bahwa akidah itu adalah akidah ahlus sunnah wal jamaah yang menjadi satu-satunya akidah benar dari Rasulullah. 

Para penganut akidah Asy'ari pada nyatanya adalah orang-orang yang menggunakan fikih Imam Syafii. Kenyataan itu memperkuat anggapan bahwa akidah ahlus sunnah wal jamaah adalah juga berfikih mazhab Syafii. Padahal, jika melihat perkembangan yang ada, akidah yang diwarisi dari Rasulullah justru banyak dipelajari dan dipegang oleh guru-guru hadits (muhaddits atau ahlul hadits). Mereka dalam prakteknya tidak bermazhab apa pun dalam fikih, tetapi banyak kesamaan pendapat dengan orang-orang yang bermazhab fikih Hanbali.

Keadaan itu terus ada sampai Turki Usmani memegang kekuasaan atas kaum muslimin. Pemerintah Turki Usmani sendiri lebih memilih mazhab Syafii sebagai mazhab fikih yang resmi dipegang negara. Akidah yang sebenarnya diwariskan dari Rasulullah pun dianggap sebagai bagian mazhab Hanbali. Sikap fanatik terhadap mazhab dan menentang orang-orang yang tidak semazhab membuat akidah yang benar itu tersamarkan. Sejak waktu itu, sampai hari ini, mazhab Hanbali hanya sedikit yang menganut.

Kelompok Sufi, sejak penyerbuan orang-orang Mongol, banyak yang pergi ke pelosok-pelosok negeri kaum muslimin. Bahkan, sebagian mereka ada ikut mengenalkan Islam ke daerah-daerah non muslim. Di tangan mereka pun akhirnya banyak yang masuk Islam. Akibat lebih jauh, berabad-abad lamanya Islam yang berkembang di negeri-negeri kaum muslimin, dari Afrika sampai ke Indonesia, adalah Islam yang diyakini para Sufi. 

Kecenderungan seperti itulah kemudian yang membuat peradaban Islam perlahan-lahan berhenti. Orang-orang yang berakidah kelompok Sufi lebih mementingkan kehidupan yang hening, jauh dari semangat memajukan peradaban dan juga hasrat untuk berjihad melawan ancaman-ancaman bersenjata dari pihak non muslim. Dapat dipahami pula, kiranya, kekosongan tersebut membuat sebagian kaum muslimin berpaling kepada semangat yang dihidupkan oleh peradaban Barat.

Di sisi lain, kelompok Syiah yang terus memiliki hasrat untuk memengaruhi kaum muslimin sebanyak-banyaknya menggunakan keadaan itu untuk menghidupkan peradaban sendiri yang jelas-jelas tidak sesuai dengan tuntunan Qur'an dan Hadis. Selama berabad-abad, pencapaian-pencapaian khusus berhasil didapati dan kemudian diwarisi ke generasi Syiah berikutnya. Kenyataan ini membuat wibawa Turki Usmani sebagai wakil Islam Sunni menurun untuk kemudian hilang.

Kekuatan Politik Turki Usmani

Sebenarnya, kejayaan Islam mulai muncul kembali ketika Turki Usmani berdiri dan berkembang menjadi suatu kekuatan politik di tengah-tengah kaum muslimin. Dengan komitmen membela Islam dari ancaman Kristen Eropa, Turki Usmani perlahan-lahan meluaskan pengaruhnya ke luar dan dalam negeri. Kesultanan Turki Usmani berlangsung sejak tahun 1280 sampai Tahun 1923. Selama periode yang panjang ini, Turki Usmani mesti bersaing dengan dua kekuatan dominan di bagian timur yang juga mengatasnamakan Islam. Mereka adalah Kesultanan Mogul di India dan Kesultanan Safawiyah di Iran.

Dengan identitas keturkian yang mereka miliki, Turki Usmani berusaha meneruskan upaya jihad melawan kekaisaran Romawi yang sedang mengalami kemunduran. Puncak dari usaha itu adalah ketika Konstantinopel berhasil direbut pada tahun 1453 di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad II. Ibukota Turki Usmani pun pindah ke Konstantinopel. Penaklukan itu dicatat sebagai puncak pencapaian kaum muslimin dalam bidang militer.

Kejayaan Turki Usmani diteruskan oleh beberapa sultan berikutnya. Salah satu di antara mereka adalah Sulaiman Al-Qanuni. Di bawah kepemimpinannya, Turki Usmani mewakili nama Islam di dunia. Sampai saat itu juga, Turki Usmani mewakili komunitas Islam Sunni berhadapan dengan kekuasaan Syiah di wilayah Safawilyah. Wilayah taklukan Turki Usmani pun membentang hingga mencapai wilayah-wilayah Eropa Timur dan Rusia. Konstantinopel meneruskan tradisi sebagai pusat peradaban maju dunia.

Turki Usmani mulai mundur ketika muncul konflik-konflik dalam negeri. Intrik-intrik untuk merebut kekuasaan atau merebut pengaruh atas kekuasaan sultan yang memerintah adalah dua bentuk sebab untuk memunculkan konflik dalam negeri. Selain itu, wibawa sultan yang mulai merosot akibat dekadensi moral turut memengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Akibat lebih jauh, muncul pula kekecewaan-kekecewaan di antara rakyat Turki Usmani.

Daerah-daerah yang baru ditaklukkan, seperti daerah-daerah di Balkan, Eropa, menyimpan ketidakpuasan terhadap Turki Usmani. Bagi mereka, Turki Usmani tidak lebih dari penjajah yang hanya mengeruk kekayaan lewat pajak-pajak atas mereka. Di sisi lain, mereka pun menolak untuk masuk Islam. Satu per satu mereka melepaskan diri. Kekuatan militer Turki Usmani yang melemah turut menjadi sebab keberhasilan daerah-daerah itu melepaskan diri.

Puncak dari itu semua adalah ketika muncul ketidakpercayaan pada kaum muslimin terhadap pemerintah Turki Usmani. Suara-suara ketidakpercayaan menghendaki agar kekuasaan atas kaum muslimin diberikan kepada orang-orang Quraisy Arab, sebab kekhalifahan hanya sah di tangan mereka.

Di sisi lain, ketertinggalan dari Barat ikut memengaruhi suara-suara ketidakpercayaan itu. Turki Usmani waktu itu, di mata orang-orang yang kagum terhadap Barat, sudah tertinggal jauh. Bagi mereka, Turki Usmani mesti belajar kepada Barat agar dapat meraih posisi terdepan dalam peradaban dunia.

Semua itu berakhir ketika pandangan bahwa agama mesti dipisahkan dari negara diterima banyak orang, sebagaimana negara-negara Eropa telah melakukan itu. Didorong oleh gagasan tersebut lewat perdebatan-perdebatan sengit banyak kalangan, Turki Usmani berhasil dibubarkan pada tahun 1923. Setahun kemudian Turki diubah menjadi sebuah republik yang sekuler.

Bani Abbasiyah


Kemunculan Bani Umayyah beriring dengan kemunculan kelompok Nashibiyah. Kelompok ini adalah kelompok yang betul-betul membenci Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Mereka selalu menjelek-jelekkan Ali dan keturunannya, baik di mimbar-mimbar, di majelis-majelis pertemuan, ataupun di tempat-tempat biasa seperti di jalan. Kelompok Nashibiyah adalah lawan dari kelompok Syiah. Kedua kelompok itu termasuk ke dalam kelompok-kelompok menyimpang dalam Islam.

Di akhir pemerintahan Bani Umayyah, geliat kelompok Syiah menguat. Di dalam barisan mereka, ikut serta pula kekuatan dari kalangan Bani Hasyim, khususnya keturunan Abbas bin Abdil Muththalib. Bani Hasyim adalah orang-orang keturunan Hasyim bin Abdi Manaf, salah seorang pemuka Quraisy sebelum Rasulullah lahir.

Bersama kelompok Khawarij yang membenci kelakuan-kelakuan anggota Bani Umayyah, mereka menyiapkan dan melancarkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Dalam perjalanan waktu gabungan kelompok pemberontak menjadi keturunan Abbas sebagai pemimpin gerakan.
Didukung oleh keadaan-keadaan waktu itu, gerakan mereka berhasil menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah. Lewat intrik-intrik politik, Bani Abbasiyah berhasil menyingkirkan kekuatan kolompok Khawarij dan Syiah. Sejak saat itu, Bani Abbasiyah memegang kekuasaan atas negeri-negeri kaum muslimin—kecuali semenanjung Iberia (Andalus)—selama hampir 500 tahun.

Akidah Islam Masa Bani Abbasiyah

Dalam Sunan Abi Dawud, pada "Kitab As-Sunnah Bab Syarhus Sunnah," terdapat sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari sahabat Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu 'anhu yang mengabarkan tentang perpecahan umat Islam menjadi berkelompok-kelompok.

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلىَ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّة وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاث وَسَبْعِيْنَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٍ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَة

Rasulullah bersabda,

"Ketahuilah. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari ahlul kitab berpeca-belah menjadi 72 golongan. Dan umat (Islam) ini akan berpecah-belah menjadi 73 golongan; 72 golongan di Neraka, 1 golongan di Surga. Satu golongan itu adalah yang mengikuti jama'ah." [Hadits ini dihasankan oleh Muhammad Nasiruddin Al-Albany dalam Shahih Abi Dawud hadits nomor 4597].

Sebagaimana telah lewat, perpecahan yang terjadi sudah dimulai sejak masa khalifah Usman bin Affan. Dari dua kelompok menyimpang, perpecahan itu melebar menjadi beberapa kelompok lagi. Pada masa Bani Abbasiyah, perpecahan tersebut makin menjadi-jadi. Semua itu adalah ketentuan yang tidak dapat ditolak oleh kaum muslimin.

Semula, pemerintahan Bani Abbasiyah memiliki kedekatan dengan kelompok Syiah. Akan tetapi, pada masa keemasan mereka, ketika khalifah Harun Ar-Rasyid memerintah, Bani Abbasiyah memiliki kedekatan dengan akidah Islam yang benar. Pada waktu, kelompok-kelompok menyimpang semisal Syiah, Mu'tazilah dan Khawarij mendapatkan tekanan dari penguasa.

Muktazilah mendapatkan angin sejak khalifah Al-Makmun berkuasa. Mereka menjadikan akidah Muktazilah sebagai dasar negara. Inkuisisi, pemeriksaan akidah, dilaksanakan pada waktu itu dan banyak menelan korban. Ahmad bin Hanbal, seorang guru hadits di Bagdad, berhasil mempertahankan akidah yang benar meski mendapatkan tekanan dari penguasa. 

Keadaan tersebut berubah ketika khalifah Al-Mutawakkil berkuasa. Sejak saat itu, kelompok Mu'tazilah terpinggirkan. Akan tetapi, perdebatan dalam bidang agama terus terjadi. Isu pokok yang diangkat adalah kedudukan akal di depan wahyu.

Pengaruh-pengaruh yang masuk ke dalam negeri kaum muslimin turut memengaruhi perdebatan itu. Beberapa khalifah Bani Abbasiyah justru menjadi sponsor utama di balik penerjemahan naskah-naskah kuno Yunani. Bermunculan pula kemudian para pengagum filsafat Yunani yang terus mempertahankan akidah Mu'tazilah. Di sisi lain, muncul orang-orang yang berusaha mencari kompromi antara akal dan wahyu. Mereka tidak dapat menolak peran akal.

Salah satu di antara mereka adalah Abu Musa Al-Asy'ari. Ia adalah penganut Mu'tazilah yang bertobat dan berusaha mendalami akidah yang dipegang oleh Ahmad bin Hanbal. Di usahanya itu membuahkan hasil, ia memunculkan sebuah akidah baru yang akan berpengaruh di negeri-negeri kaum muslimin kelak. Sejarah merekam pengaruh tersebut selama berabad-abad peradaban Islam.

Kelompok Asy'ariyah menganggap bahwa Allah hanya memiliki tujuh sifat. Selain itu, mereka yakin, bahwa Al-Qur'an bukan kalam Allah. Dalam masalah iman dan takdir, mereka memiliki akidah yang sama dengan kelompok Jahmiyah. Akidah seperti ini terus dipegang dan disebarkan oleh para pengikutnya, meskipun Abu Musa Al-Asy'ari sendiri bertobat di akhir hidupnya.

Ada banyak kelompok menyimpang yang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Kelompok Khawarij semakin terpecah menjadi kelompok-kelompok yang banyak. Demikian pula dengan kelompok Syiah, mereka terpecah-pecah kembali. Pada masa Bani Abbasiyah, muncul dan berkembang kelompok Sufi. Mereka pun kemudian terpecah-pecah lagi menjadi bermacam-macam kelompok.

Akidah Islam yang benar menjadi semakin terkaburkan pada masa Bani Abbasiyah itu. Kebanyakan orang yang mencari kebenaran berpaling kepada para guru hadits. Mereka bergabung ke dalam lingkaran guru-guru hadits itu dan berusaha kembali kepada Qur'an dan Hadits berdasarkan pemahaman para sahabat Rasulullah dengan mempelajari ilmu sanad (ilmu tentang rantai riwayat).

Bagaimana pun, keadaan itu berkembang hanya dalam skala kecil. Pengaruh yang datang dari luar, terutama dari filsafat Yunani yang membanjiri negeri-negeri kaum muslimin pada era penerjemahan, memengaruhi banyak kaum muslimin, sehingga wahyu banyak dipahami oleh logika dan pada akhirnya banyak ketentuan-ketentuan yang datang dari Allah dan Rasulullah ditinggalkan.

Pencapaian-Pencapaian Bani Abbasiyah

Tahun-tahun pertama pemerintahan Bani Abbasiyah adalah tahun-tahun berdarah. Khalifah pertama mereka, As-Saffah, adalah sosok khalifah berdarah dingin. Bersama pasukannya, ia banyak membantai anggota Bani Umayyah, kelompok Syiah dan Khawarij. Peradaban seakan-akan berhenti pada masa itu.

Kaum muslimin mulai merasakan pencapaian-pencapaian Bani Abbasiyah pada masa khalifah Al-Manshur. Kota Bagdad dibangun olehnya menghabiskan biaya besar. Usaha itu kemudian diiringi dengan menghidupkan kegiatan intelektual. Puncak keemasan Bani Abbasiyah baru diraih pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid.

Meneruskan tradisi yang pernah dijalankan Bani Umayyah, khalifah-khalifah Bani Abbasiyah banyak mengusahakan pendirian sarana-sarana umum. Kota Bagdad sendiri adalah monumen mereka akan itikad itu. Di Bagdad, selain terdapat masjid dan istana megah juga terdapat Baitul Hikmah. Para sarjana Barat menganggap Baitul Hikmah ini sebagai puncak raihan dalam peradaban Islam.

Pada masa Bani Abbasiyah juga, perluasan wilayah Islam terus dilakukan. Berbeda dari Bani Umayyah, wilayah yang luas ini disiasati oleh para khalifah Bani Abbasiyah dengan mempekerjakan tenaga-tenaga bayaran. Untuk urusan administrasi, mereka mempekerjakan orang-orang Persia dan Transoxiana. Bahasa Arab pun mulai ditinggalkan sebagai bahasa resmi pemerintahan. 

Apabila perluasan wilayah kekuasan Islam dinilai sebagai jihad dan itu adalah ibadah pada masa Rasulullah, khalifah-khalifah yang empat, dan Bani Umayyah, maka pada masa Bani Abbasiyah perluasan wilayah menjadi tugas profesional. Pemerintah Bani Abbasiyah mempekerjakan tentara bayaran untuk urusan keamanan dan peperangan. Biasanya yang menjadi tenaga bayaran adalah orang-orang Transoxiana juga.

Korps pegawai Transoxiana dikenal sebagai orang-orang Turki. Mereka memilki budaya sendiri. Pertemuan antara Islam dan budaya mereka tidak memengaruhi budaya mereka secara keseluruhan. Pada masa Bani Abbasiyah, perkembangan yang terjadi adalah peminggiran orang-orang Arab sebagai unsur pendukung budaya Islam.

Dalam buku-buku sejarah Islam tulisan sarjana-sarjana Barat, masa Bani Abbasiyah adalah masa-masa penemuan terbesar dalam Islam. Ketika orang-orang Eropa berada dalam abad-abad kegelapan (Dark Ages), banyak tokoh-tokoh muslim yang berhasil melakukan lompatan-lompatan besar dalam bisang pengetahuan. 

Bidang kedokteran adalah bidang yang paling maju pada masa Bani Abbasiyah. Karya-karya tulis yang dihasilkan pada waktu itu, terbukti menjadi rujukan kedokteran dunia berabad-abad. Selain itu, bidang matematika, fisika, kimia, dan kesenian menjadi tempat kemunculan karya-karya besar. Para penggiat bidang-bidang itu adalah orang-orang yang masuk dalam lingkaran Baitul Hikmah.

Pada masa Bani Abbasiyah, majelis-majelis guru hadits terbentang dari Mesir sampai ke Transoxiana. Para pencari hadits menempuh perjalanan menuju kota-kota yang ada dalam bentangan wilayah itu. Pada masa ini pula, Qur'an dan Hadits dikuasai oleh orang-orang di luar Arab. Kitab-kitab kumpulan hadits ditulis oleh ulama-ulama non-Arab. Demikian pula dengan kitab-kitab akidah, fikih, akhlak, bahasa, dan sejarah banyak ditulis oleh orang-orang non-Arab.

Kemunduran Bani Abbasiyah

Faktor akidah adalah faktor penting yang memengaruhi jalan peradaban Islam. Sejauh ini, akidah kaum muslimin banyak dipengaruhi oleh cara berpikir di luar Islam. Wilayah kekuasaan yang meluas ternyata banyak berpengaruh. Budaya daerah-daerah yang baru ditaklukkan ikut mendorong terjadinya pencampuran antara akidah Islam dan akidah agama-agama lama mereka.

Usaha-usaha perbaikan terus dilakukan oleh para guru hadits. Kebanyakan dari mereka menerapkan ilmu sanad untuk menentukan kesahihan cara beribadah dalam Islam. Mereka melakukan seleksi ketat dalam cara berpikir. Dalam prakteknya, usaha-usaha mereka itu banyak dilakukan di luar lembaga-lembaga resmi pemerintah semisal Baitul Hikmah.

Penggunaan tenaga dari luar Arab mengakibatkan kemunculan solidaritas orang-orang terjajah. Sebagai orang-orang taklukkan, mereka memandang anggota Bani Abbasiyah sebagai wakil Arab yang menjajah mereka. Cara pandang ini melandasi berbagai usaha-usaha terselubung untuk memanfaatkan wewenang yang dipegang oleh orang-orang Turki itu.

Dalam perjalanan pemerintahan Bani Abbasiyah, terdapat sejumlah khalifah yang dikhianati oleh tenaga-tenaga bayaran itu. Dalam hal ini, tentara bayaran banyak memainkan peran pemberontakan terselubung. Pada kenyataannya, para khalifah tidak lagi memiliki pasukan-pasukan yang loyal terhadap Bani Abbasiyah. Mereka sering kali menjadi boneka orang-orang Turki yang mereka pekerjakan.

Keberlimpahan harta adalah satu sisi buram yang terus menggerogoti wibawa khalifah. Sering kali terjadi pembangunan sarana-sarana umum yang megah tidak diimbangi oleh kelakuan pribadi para khalifah. Banyak di antara mereka yang jauh dari agama dan hanyut dalam kemaksiatan-kemaksiatan.

Ancaman serius muncul dari kelompok-kelompok menyimpang. Beberapa kelompok berubah menjadi satuan-satuan bersenjata yang tidak tertandingi oleh tentara-tentara bayaran khalifah. Pada titik tertentu, mereka mendirikan negara sendiri yang bebas dari kekuasaan Bani Abbasiyah. Wibawa yang turun di mata rakyat membuat sejumlah khalifah Bani Abbasiyah tidak berdaya melawan negara-negara pemberontak itu.

Bani Abbasiyah menuju keruntuhan ketika muncul pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang Syiah dan kekuatan-kekuatan di luar wilayah Bani Abbasiyah. Puncak dari itu semua terjadi ketika tentara Mongol menyerbu Bagdad pada tahun 1258 dan menghancurkan peradaban yang telah dibangun ratusan tahun itu. 

Sejak itulah, kekuasaan Bani Abbasiyah dinyatakan tamat. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang memerintah setelah tahun itu tidak lebih dari boneka-boneka simbol tanpa kekuatan demi menghormati ajaran Rasulullah yang menerangkan bahwa khalifah harus berasal dari Quraisy. Mereka menjadi bahan permainan dan olok-olok di antara kekuatan-kekuatan yang menguasai negeri-negeri kaum muslimin saat itu.

Bani Umayyah


Ketika kepemimpinan kaum muslimin berpindah tangan ke Mua'awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu 'anhu, pusat pemerintahan segera berpindah ke Damaskus, di Syam. Meski demikian, Madinah, Makkah, dan Kufah di Irak masih menjadi pusat perkembangan intelektual pada waktu itu. Para sahabat Rasulullah yang masih hidup banyak bermukim di ketiga kota itu.

Berbeda dengan pemerintahan khalifah yang empat, pemerintahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan memulai suatu corak pemerintahan baru, yaitu corak kerajaan Arab Islam. Mu'awiyah adalah salah seorang keturunan Umayyah bin Abdil Syams. Mereka semua adalah anggota suku Quraisy yang terkenal itu.

Satu hal yang mesti dicatat adalah pemerintahan mereka tetap dianggap sebagai pemerintahan kekhalifahan dalam Islam. Mereka masih memenuhi syarat mutlak bagi suatu kekhalifahan, yaitu suku Quraisy. Rasulullah telah menetapkan bagi umat Islam bahwa kekhalifahan hanya menjadi hak orang-orang Quraisy.

Akidah Islam Masa Bani Umayyah

Akidah yang benar diwariskan dari zaman Rasulullah hidup. Para sahabat Rasulullah mengajarkan dan menyebarkan akidah tersebut seiring dengan penempatan mereka di daerah-daerah yang baru dibuka. Tidak jarang khalifah-khalifah yang empat memilih sahabat-sahabat Rasulullah yang berilmu sebagai pemegang jabatan gubernur di daerah-daerah baru tersebut.

Akan tetapi, sejak masa pemerintahan Usman bin Affan, kelompok-kelompok yang menyimpang mulai bermunculan. Khawarij adalah kelompok menyimpang yang pertama kali muncul. Tidak hanya para pelaku berdosa besar yang mereka kafirkan, para sahabat Rasulullah yang masih hidup pun mereka kafirkan.

Kelompok Khawarij terus eksis, meski pada masa pemerintahan Ali sempat ditumpas. Selama masa pemerintahan khalifah-khalifah Bani Umayyah, mereka terus berkembang dengan menyedihkan. Di antara mereka terjadi perpecahan yang terus menerus. Ironisnya, antar pecahan mereka itu terjadi saling mengafirkan. Perpecahan tersebut terkadang diiringi dengan peperangan antara mereka, baik dalam skala kecil ataupun besar.

Seperti sisi koin yang lain, pada masa Ali, muncul pula kelompok Syiah yang memiliki akidah menyimpang. Mereka berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah meninggal dunia. Mereka yakin, Abu Bakar dan Umar telah mencuri hak itu dari Ali. Pada tingkat tertentu, sebagian mereka justru menganggap Abu Bakar dan Umar telah kafir karena telah menjadi khalifah sebelum Ali.

Bermula dari keyakinan seperti itu, akidah tersebut dikembangkan menjadi sebuah ajaran agama tersendiri. Mereka memiliki kitab suci sendiri. Sebagian mereka, bahkan, meyakini bahwa Ali-lah Tuhan semesta alam. Terkait dengan pemerintahan Bani Umayyah, Syi'ah meyakini bahwa Mu'awiyah dan keluarganya adalah musuh mereka. Bersama kelompok khawarij, mereka selalu merongrong pemerintahan Bani Umayyah.

Akidah Jahmiyah kemudian mempengaruhi akidah kelompok Murjiah dan Mu'tazilah. Kedua kelompok ini muncul pertama kali pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Bahkan, beberapa khalifah Bani Umayyah terpengaruh akidah dua kelompok ini.Murjiah adalah kelompok menyimpang yang menganggap bahwa amal ibadah tidak termasuk ke dalam bagian iman. Iman, menurut mereka, cukup dengan keyakinan dalam hati. Sebagian dari mereka malah meyakini bahwa iman cukup dengan ucapan di bibir tanpa keyakinan di dalam hati.

Mu'tazilah adalah kelompok yang dinisbatkan kepada Washil binti 'Atha. Mereka meyakini bahwa Allah hanya punya nama, tetapi tidak memiliki sifat-sifat. Seperti Jahmiyah, mereka yakin bahwa Al-Qur'an bukan kalam Allah. Juga seperti Khawarij, mereka yakin bahwa siapa pun yang melakukan dosa besar kafir yang jika mati dan belum bertaubat, maka dia akan kekal di Jahannam.

Di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang terakhir meninggal dunia terdapat beberapa orang yang menyaksikan kemunculan kelompok Qadariyah. Kelompok ini termasuk kelompok yang menyimpang dalam Islam. Tokoh terkenal kelompok ini adalah Ma'bad Al-Juhani yang bermukim di Basrah, Irak.

Mereka yakin, semua yang dilakukan oleh manusia adalah hasil usaha manusia itu sendiri. Allah sebagai penguasa alam semesta tidak ikut campur-tangan sama sekali. Dengan kata lain, takdir Allah tidak ada. Selama masa kekhalifahan Bani Umayyah, kelompok ini berkembang meski sering dalam skala yang kecil dan turut memengaruhi akidah-akidah kelompok menyimpang yang lain.

Kemunculan kelompok Qadariyah memancing kemunculan kelompok Jabbariyah. Kelompok ini adalah kelompok menyimpang yang menganggap bahwa semua yang terjadi di alam semesta ini adalah perbuatan Allah. Makhluk-makhluk yang ada tidak memiliki kehendak sama sekali, seolah-olah dipaksa untuk berbuat oleh Allah. Mereka yakin, para makhluk seperti sehelai bulu yang diterbangkan angin ke mana pun bertiup.


Pencapaian-Pencapaian Bani Umayyah

Mu'awiyah bin Abi Sufyan menjadi orang yang memulai perjalanan Dinasti Umayyah (Bani Umayyah) di panggung kekuasaan. Dinasti ini memegang kekhalifahan selama kurang lebih 90 tahun. Dalam rentang waktu kurang dari seabad itu, Islam disebar ke wilayah geografis yang lebih luas. Peradaban Islam—yang seperti terhenti oleh pertikaian-pertikaian sebelumnya—berkembang kembali. 

Mu'awiyah sendiri, dalam sejarah, akan dicatat sebagai khalifah terbaik Bani Umayyah. Setelah itu, baru khalifah Umar bin Abdil Aziz. Kekhalifahan Bani Umayyah mulai mengalami kemunduran setelah dirongrong oleh akftivitas khawarij dan sejumlah pemberontakan yang muncul dari kelompok-kelompok sempalan dalam Islam. 

Mu'awiyah, sebagai khalifah Bani Umayyah pertama, menyadari bahwa modal pertama untuk membangun sebuah peradaban yang maju adalah keamanan dalam negeri. Beliau mengupayakan hal itu sebagai langkah pertama pemerintahannya. Cara pandang seperti itu rupanya menjadi contoh bagi khalifah-khalifah selanjutnya.

Untuk itulah, pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, beliau mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan pihak Romawi. Dengan demikian, diharapkan ancaman-ancaman dari luar untuk sementara waktu dapat diredam. Fokus perhatian adalah ancaman-ancaman bersenjata yang datang dari sisa-sisa Khawarij yang belum ditumpas oleh khalifah Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali radhiallahu 'anhuma dan kelompok Syiah.

Pemberontakan kelompok Khawarij dan Syiah banyak menumpahkan darah kaum muslimin. Di tengah keredaan ancaman-ancaman dari mereka itu, para khalifah Bani Umayyah meneruskan usaha pembukaan daerah-daerah baru. Mereka menaklukkan daerah-daerah yang membentang dari delta sungai Indus dan Tashken di belahan timur bumi sampai ke batas Konstantinopel dan semenanjung Iberia (Andalus) di belahan barat bumi.

Seiring perluasan wilayah kekuasaan, pemerintahan Bani Umayyah mencari cara efektif untuk menjalankan pemerintahan mereka. Untuk itulah, mereka mengadakan perbaikan-perbaikan sistem administrasi. Dari daerah-daerah yang baru mereka taklukkan, sedikit-banyak mereka telah belajar tentang administrasi pemerintahan. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga, pertama kali muncul sistem pos yang menjadi cikal bakal perposan di zaman kita ini.

Kegiatan sehari-hari administrasi pemerintahan menggunakan bahasa Arab. Para pegawai pemerintahan yang direkrut dari penduduk daerah-daerah baru diharuskan menguasai bahasa Arab. Pengaraban seperti ini dikenal lewat sebutan Arabisasi administrasi. Salah seorang khalifah yang menggiatkan Arabisasi ini adalah khalifah Abdul Malik bin Marwan.

Yang tidak kalah menarik adalah sistem pertukaran barang. Pemerintahan Bani Umayyah memperkenalkan kepada umat Islam mata uang Islam. Dengan mata uang ini, penduduk di wilayah kaum muslimin dapat melakukan kegiatan-kegiatan perdagangan dengan lebih efektif dan praktis. Sebelum itu, mereka hanya menggunakan uang emas atau perak Romawi dan Persia.

Pembangunan sarana-sarana umum menjadi semacam program wajib bagi setiap pemerintahan di mana pun. Sejarah mencatat dan menyimpulkan hal ini. Pemerintahan Bani Umayyah termasuk pula yang giat mengadakan sarana-sarana umum itu. Masjid, perpustakaan, jaringan jalan raya, dan bendungan air adalah beberapa di antara contoh sarana-sarana umum yang dibangun mereka.

Khusus pendidikan dan pengajaran, di wilayah kekuasaan Bani Umayyah, pelajaran Qur'an menjadi prioritas bagi pendidikan dasar. Kuttab-kuttab banyak ditemukan di kota-kota tua kaum muslimin saat itu, seperti Makkah dan Madinah di Jazirah Arab juga Kufah dan Basrah di Irak. Kota-kota baru kaum muslimin perlahan-lahan juga mengikuti perkembangan tersebut.

Pelajaran hadits menjadi catatan sendiri yang berbeda dari pelajaran Qur'an. Meneruskan tradisi yang sudah berkembang sejak masa pemerintahan khalifah-khalifah yang empat, pelajaran hadits menjadi semacam pendidikan lanjutan bagi seseorang yang telah mempelajari Qur'an. Untuk mendapatkan hadits, seseorang mesti menyiapkan bekal. Ia mesti melakukan perjalanan jauh menuju kota-kota tertentu yang banyak didiami oleh guru-guru hadits. Guru-guru tersebut biasa dikenal dengan sebutan muhaddits. Karena itulah, perhatian terhadap pelajaran hadits jauh lebih sedikit daripada Qur'an.

Kemunduran Bani Umayyah

Ada banyak faktor yang membuat pemerintahan Bani Umayyah mundur. Masing-masing faktor saling memengaruhi dan menggerogoti kekuasaan Bani Umayyah. Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah wibawa khalifah mengalami kemerosotan. Hal ini ternyata banyak didorong oleh sikap beragama mereka yang berkurang. 

Kelompok-kelompok menyimpang dalam Islam adalah ancaman yang terus hidup di dalam negeri. Mereka menyebarkan akidah-akidah mereka di tengah-tengah kaum muslimin. Akibat lebih jauh, berkembang di tengah-tengah mereka sistem hidup yang bukan berasal dari Islam.

Dalam kacamata sarjana Barat, sistem hidup tersebut dinilai sebagai ruh positif yang mendorong kemunculan filsafat, seni, dan pengetahuan yang tidak pernah dikenal pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Kita bisa lihat dari penemuan-penemuan yang muncul pada masa Bani Umayyah dalam bidang seni lukis, seni musik, dan seni arsitektur. Semua itu ternyata banyak yang bertentangan dengan akidah Islam yang sahih.

Kemampuan ekonomi yang melonjak naik pada waktu itu akibat penaklukan daerah-daerah baru menjadikan sistem hidup yang betentangan dengan Islam yang benar berkembang dengan baik. Ironisnya, banyak khalifah Bani Umayyah yang justru menjadi sponsor akan itu dan bahkan memberikan contoh kepada rakyat mereka. 

Di sisi lain, beberapa khalifah Bani Umayyah kurang tertarik untuk menangani masalah keagamaan di daerah-daerah baru kaum muslimin. Meski pada dasarnya masih terdapat para ulama yang berakidah benar di kota-kota besar kaum muslimin dan aktif menasehati mereka, secara umum keadaan yang berkembang mendorong secara luas kemunduran itu.

Ironisnya, kekaisaran Romawi yang sering digempur oleh kaum muslimin waktu itu memang sedang mengalami proses kemunduran pula. Tanpa menghadapi ancaman berarti dari luar, Bani Umayyah mundur dan tenggelam oleh kesalahan-kesalahan sendiri. Umat Islam secara khusus, pada waktu itu, mengalami kemunduran tanpa mereka sadari.

Khalifah yang Empat



Dalam masalah kepemimpinan, Rasulullah tidak menetapkan pemimpin seperti seorang kepala suku. Beliau menunjuk sebagai pengganti orang yang paling berilmu dari kalangan sahabat-sahabat beliau.

Adalah fakta, bahwa Allah ta'ala meninggikan orang yang berilmu dari orang-orang yang kurang dan tidak berilmu, sebagaimana yang telah Allah firmankan.

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Mujadilah: 11).

Dengan ilmu pula, Allah menjadikan seseorang sebagai pemimpin. Allah subahana wa ta'ala berfirman,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (Q.S. As-Sajdah: 24).

Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq

Atas dasar itulah, Rasulullah telah menunjuk Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pengganti beliau ketika beliau tidak ada dan juga ketika beliau telah meninggal dunia. Hal ini adalah sesuatu yang telah diketahui dan disadari bersama oleh para sahabat Rasulullah. Untuk mengambil contoh, beliau telah menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin rombongan haji ketika beliau sedang tersibukkan menerima utusan berbagai kabilah Arab untuk masuk Islam. 

Beliau juga telah menunjuk Abu Bakar sebagai pengganti imam shalat berjamaah ketika beliau mulai beranjak sakit di akhir hidup beliau. Bahkan, beliau pernah merekomendasikan Abu Bakar kepada seseorang jika datang suatu permasalahan yang harus segera diselesaikan. Para sahabat Rasulullah pun mengakui bahwa Abu Bakar lebih baik daripada mereka.

Masa kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah dua tahun tiga bulan. Meski demikian, selama masa yang singkat itu, ia telah memutuskan kebijakan-kebijakan penting yang sangat berarti bagi perkembangan Islam saat itu. 

Pada masa pemerintahannya, Islam disebarluaskan ke segala penjuru Jazirah Arab. Kemurtadan yang sempat timbul dan keengganan membayar zakat setelah kematian Rasulullah berhasil dipadamkan lewat pasukan-pasukan yang dikirimkan Abu Bakar. Menyusul langkah itu, Abu Bakar pun mulai meluaskan penyebaran Islam ke wilayah Romawi dan Persia. Banyak sahabat-sahabat Rasulullah yang berilmu turut serta dalam usaha tersebut.

Jasa yang tidak kalah penting adalah pengumpulan dan penulisan Al-Qur'an. Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melakukan tugas itu. Keputusan tersebut muncul setelah Ali bin Abi Thalib melaporkan banyak sahabat Rasulullah yang hafal Al-Qur'an tewas ketika memerangi orang-orang murtad. Hasil usaha itu menjadikan kaum muslimin memiliki Al-Qur'an standar yang menjadi acuan sampai hari ini.
 

Masa Umar bin Khaththab

Setelah Abu Bakar meninggal dunia, kepemimpinan kaum muslimin diserahkan kepada Umar bin Khaththab. Sebelum meninggalnya, Abu Bakar menunjuk dan mewasiati para sahabat Rasulullah yang lain agar menjadikan Umar bin Khaththab sebagai pemimpin mereka. Kepemimpinan yang baru ini diterima bulat oleh kaum muslimin waktu itu. Sejak masa Umar, sebutan amirul mukminin dipakai oleh khalifah-khalifah kaum muslimin. Pemerintahan Umar bin Khaththab ini berlangsung selama sepuluh tahun. 

Langkah-langkah yang ditempuh pemerintahan baru adalah meneruskan upaya penyebaran Islam ke wilayah Romawi di Syam, Mesir, beberapa wilayah di Afrika Utara dan wilayah Persia di Irak. Lewat komandan-komandan pasukan, Umar memerintahkan mereka membuka pusat-pusat peradaban baru dengan masjid sebagai pusat kehidupan beragama dan bermasyarakat. Bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi yang dipakai.

Untuk menertibkan sistem administrasi, Umar membagi wilayah-wilayah Islam ke dalam daerah-daerah yang lebih kecil dan tertib. Masing-masing daerah dipimpin oleh gubernur-gubernur yang langsung ditunjuk pusat. Seorang gubernur berfungsi sebagai pemimpin pemerintahan, pengadilan, dan shalat berjamaah. Gubernur juga berhak memungut pajak dari orang-orang non muslim yang tunduk ke dalam undang-undang Islam.

Di Madinah sebagai pusat pemerintahan negara, didirikan Baitul Mal yang berfungsi sebagai kas negara sekaligus lembaga sosial yang memberikan tunjangan-tunjangan kepada masyarakat yang tidak mampu. Selain itu, didirikan pula kantor administrasi negara yang pertama dalam masyarakat muslimin. Dengan keberadaan kantor ini, Umar ingin menciptakan lingkungan yang tertib dan terjaga.

Ketertiban yang dimaksudnya juga merambah ke sistem penanggalan. Pada tahun ke-16 setelah hijrah Rasulullah ke Madinah, tahun Hijriah dibakukan oleh Umar atas saran yang diajukan Ali bin Abi Thalib. Penanggalan itu dapat digunakan untuk menjalankan ibadah-ibadah dan memutuskan kebijakan-kebijakan.
 

Masa Usman bin Affan

Tepat pada tahun ke-23 dari hijrah Rasulullah, Umar ditikam ketika sedang mengimami shalat Subuh. Penikamnya adalah seorang budak dari negeri Persia bernama Abu Lu'lu Al-Majusi. Menunjuk beberapa orang sahabat Rasulullah sebagai calon khalifah selanjutnya, Umar meninggal dunia tiga hari kemudian.

Dari beberapa sahabat Rasulullah tersebut, terpilih Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu sebagai penerus Umar bin Khaththab memegang pemerintahan kaum muslimin. Pemerintahan Utsman adalah pemerintahan yang paling lama di antara khalifah yang empat. Ia menjabat sebagai khalifah selama sebelas tahun sebelas bulan dan tujuh belas hari.

Dalam rentang waktu yang lama itu, Usman berhasil mengusahakan kesejahteraan rakyat melebihi dua khalifah sebelumnya. Pajak-pajak yang masuk ke dalam kas negara dari daerah-daerah baru melimpah dan dapat menghidupi rakyat-rakyat miskin di Madinah, Makkah dan sekitarnya. Usman juga banyak membuka dan memperbaiki fasilitas-fasilitas umum.

Kemelimpahan itu dapat dicapai setelah banyak negeri-negeri bekas wilayah kerajaan Romawi, Mesir dan Persia ditaklukkan. Pada masa Usman ini, Islam mulai memasuki gerbang ke wilayah Transoxiana atau negeri-negeri di seberang sungai Oxus. Sekarang, wilayah yang dimaksud itu ditempati oleh negara-negara bekas pecahan Uni Soviet. Islam juga mulai memasuki gerbang ke benua Eropa. Kepulauan Siprus ditaklukkan pada masa Usman ini.

Meneruskan maksud di balik usaha Abu Bakar, Usman menugaskan sejumlah orang untuk menuliskan dan menggandakan naskah standar Al-Qur'an untuk disebar ke beberapa penjuru negeri-negeri Islam. Sampai hari ini, naskah standar dari zaman Usman ini masih ada di tengah-tengah kita yang dikenal lewat sebutan mushaf rasmu Utsmani.

Kesejahteraan yang dirasakan bersama itu pada akhirnya dilupakan oleh sebagian orang. Adalah Abdullah bin Saba' seorang Yahudi yang pertama kali menyebarkan berita dusta tentang Usman dan pemerintahannya. Usaha tersebut lalu disambut oleh sebagian orang yang ada di Mesir dan Irak. Mereka bergerak ke Madinah dan merongrong keamanan dan ketertiban di sana. Setelah mengepung selama beberapa hari, mereka berhasil membunuh Usman.
 

Masa Ali bin Abi Thalib

Pembunuhan Usman bin Affan tercatat sebagai pemberontakan berdarah pertama yang terjadi dalam sejarah Islam. Rasulullah telah memperingati para sahabatnya tentang ini. Para pemberontak pemerintahan kaum muslimin akan terus ada sampai hari Kiamat nanti. Mereka dikenal sebagai orang-orang khawarij.

Dalam suasana yang kacau tanpa kepemimpinan seperti itu, kaum muslimin mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Usman. Pemerintahan Ali akhirnya tercatat sebagai pemerintahan singkat yang penuh pergolakan. Terjadi berbagai macam perang saudara. Bahkan, untuk menghindari kerusakan yang lebih jauh, pusat pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak.

Akibat pergolakan yang terjadi itu, peradaban Islam seolah-olah berhenti. Ali adalah khalifah yang banyak disibukkan oleh usaha-usaha meredam konflik. Pembunuhan Usman menjadi inti perselisihan. Banyak pihak yang berseberangan dengan pemerintahan Ali atas dasar ijtihad mereka terhadap kasus pembunuhan Usman sampai meletus kemudian perang Jamal dan Shiffin. Di tengah keadaan seperti itu, meletus pula pemberontakan kaum khawarij di Nahrawan.

Setelah hampir lima tahun memerintah, Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh salah seorang anggota kaum khawarij yang bernama Abdurahman bin Muljam. Ketika keluar hendak mengimami shalat Subuh, wajah Ali dihantam oleh pedang beracun Abdurrahman. Beberapa hari kemudian Ali meninggal dunia. 

Putranya, yang bernama Hasan, diminta untuk meneruskan pemerintahan kaum muslimin. Orang-orang yang memihak Ali bin Abi Thalib segera membaiat Hasan. Akan tetapi, pemerintahannya tidak berlangsung lama. Menghindari pertikaian berdarah yang berkepanjangan, Hasan dengan kebesaran jiwanya menyerahkan kepemimpinan kaum muslimin kepada Mu'awiyah bin Abi Sufyan di Syam pada tahun 40 H. Sejak saat itu, barisan kaum muslimin menjadi satu dan tahun itu dikenang sebagai 'amul jama'ah (tahun persatuan).