Mengubah sebuah
pengertian yang beratus-ratus tahun telah diterima di tengah masyarakat nyaris
menjadi sebuah perkara yang mustahil. Sebuah uraian
yang detil sekalipun, meski didukung oleh fakta-fakta sejarah, masih sangat-sangat
belum cukup kuat untuk membuat semacam perubahan.
Sudah jamak, dalam
sejarah ada banyak kesalahpahaman yang kadung diterima-jadi oleh masyarakat
tanpa reserve. Akibatnya, dari sebuah bentuk salah paham, perkara itu
menjadi sebuah cacat sejarah yang memualkan. Amat disayangkan, suara seorang
sejarawan sering kali sepi ditelan zaman, kontan, dengan segala fakta yang
dibawanya.
Di antara cacat
sejarah yang muncul dalam sejarah peradaban Islam ialah pemaknaan ahlus
sunnah wal jama’ah sebagai Islam yang berakidah Asy’ariyah-Maturidiyah,
bermazhab Syafi’i dalam masalah-masalah fikih, dan berpekerti dengan tasawwuf
yang diletakkan Abul Qasim Muhammad Al-Junaidi Al-Baghdadi (821–910 M) dan Abul
Hamid Muhammad Ath-Thusi Al-Ghazali (1058–1111 M). Di Indonesia, misalnya, kita dapat temukan itu dalam Risalah
Ahlussunnah wal-jama’ah tulisan K.H. Bisri Mustafa (1915–1977).
Dalam buku yang
diterbitkan Menara Kudus pada 1967 itu, penulisnya merumuskan bahwa ahlus
sunnah wal jama’ah adalah sebuah paham yang berpegang teguh kepada (a)
ajaran-ajaran salah satu mazhab fikih yang empat (mazhab Abu Hanifah atau
Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, mazhab Hanbali) dengan praktek paling
kuat pada mazhab Syafi’i dalam permasalahan hukum-hukum Islam; (b)
ajaran-ajaran Abul Hasan Al-Asy’ari dan
Abul Mansur Al-Maturidi dalam soal-soal akidah ketauhidan; dan (c)
ajaran-ajaran Abul Qasim Al-Junaid dalam permasalahan tasawwuf. Hanya
nama Al-Ghazali yang tidak disebutkan di situ.
Nurcholish
Madjid (1939–2005), yang digadang-gadang sebagai tokoh pembaru pemikiran Islam
di Indonesia, pun tidak jauh berbeda dalam memandang ahlus sunnah wal
jama’ah. Dalam salah satu tulisan, ia pernah menggariskan bahwa,
“Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l Jama’ah sendiri
pertama-pertama adalah mengacu kepada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau
ilmu ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu
Hassan al-Asy’ari, dan yang kemudian tersebar antara lain melalui karya-karya
Imam Ghazali. Dari teologi Asy’ari itu yang biasa dipelajari kaum santri adalah
(khususnya) rumusannya tentang dua
puluh sifat Tuhan yang terkenal itu. […] Tetapi konsep Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jama’ah itu lebih terasa dalam hal
fiqh. Kaum santri dalam hal fiqh mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah satu
dari sekurang-kurangnya empat imam madzhab fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i, Hanafi
dan Hanbali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam Syafi’i.
Pembelaan mereka kepada penganut madzhab itu sejalan dengan paham tentang
taqlid yang berposisi menjadi lawan ijtihad. Sedang untuk ijtihad ini
diperjuangkan oleh organisasi reformasi di Indonesia, yaitu (terutama) oleh
Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan
Persis. Maka kalangan pesantren, dengan menamakan diri Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jama’ah membedakan diri dari golongan
reformis itu, dan sering menyebut mereka (golongan reformis) secara tak langsung sebagai ahli
bid’ah yang sesat.”
Coba bandingkan dengan apa yang pernah dirumuskan K.H. Hasyim
Asy’ari (1875–1947), salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sebagai pengertian ahlus
sunnah wal jama’ah. Menurut Kyai Hasyim, ahlus sunnah wal jama’ah adalah
“mereka yang mengikuti ajaran para pendahulu yang saleh
(salaf), memegang teguh mazhab hukum [Syafi’i] dengan kitab-kitab yang
diakui dan diterima secara luas (mu’tabarah), mencintai Nabi beserta
keluarganya (ahl al-bait), sangat menghormati orang suci (wali)
dan ulama serta memohon berkat mereka (tabarruk), mengunjungi makam
mereka (ziyarah), melakukan talqin (membisiki telinga jenazah
sebelum dikuburkan), dan meyakini tawasul (perantara dalam memohon
pertolongan Tuhan).”
Di tengah masyarakat, rumusan-rumusan seperti itulah yang
kemudian diterima bertahun-tahun sebagai pengertian baku untuk ahlus sunnah wal jamaah. Pengertian tersebut
sudah menjadi semacam pengertian yang
klasik sampai sekarang.
Hanya saja,
beberapa tahun ke belakang telah muncul sejumlah upaya dari dalam NU sendiri
untuk mendefinisi ulang pengertian ahlus sunnah wal jamaah itu. Adalah Said Aqiel Siradj yang pertama kali mempertanyakan
pengertian ahlus sunnah wal jamaah. Menurutnya, selama ini NU telah
menerima pengertian ahlus sunnah wal jamaah yang mengandung kesalahan konsep.
“Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, disingkat Aswaja, sering
dinamakan pula dengan Sunni. Terminologi ini sesungguhnya sederhana, singkat,
dan sudah tidak asing lagi di telinga kita—diakui ataupun tidak—masih banyak
mengundang salah persepsi. Sebagian memahami Aswaja identik dengan ‘Islam’.
Sebagian yang lain melihat Aswaja hanya sebagai ‘mazhab’. Ada pula yang
mengartikan Aswaja sebagai karakteristik komunitas kaum Muslimin yang
mengamalkan aktivitas tertentu, seperti tahlilan,
selamatan, berjanjenan (baca: maulid Nabi Muhamad SAW) dan baca
doa qunut. Bahkan, ada yang memakai term Aswaja sebagai langkah
‘purifikasi’ ajaran Islam (al-ishlah al-din).”
Bagi Said Aqiel,
“Mengidentikkan Aswaja dengan ‘al-Islam’ berarti
menganggap selainnya sebagai non-Islam, kuffar (begitu kira-kira). Sikap
eksklusif dan fanatisme buta tampak sekali pada syakhsiyyah
(kepribadian) mereka. Di samping provokasi politik yang saling menghantam satu
faksi dengan lainnya. Dengan demikian, pemahaman semacam ini sebagai suatu al-firqah (partai
politik). Secara historis, pemikiran tersebut sangat tepat diaplikasikan pada
saat ketegangan antarfaksi dalam Islam menajam, terutama antara Sunni dan
Syiah. Hal ini terlihat pada pernyataan al-Syahrastani dalam al-Milal
wal-Mihal atau al-Isfirayini dalam al-Farqu bainal-Firaq. Sementara
pendahulunya, seperti Imam al-Asy’ari,
Imam al-Maturidi, al-Baqillani, dan al-Juwaini, justru tidak menampakkan visi
tersebut. Karena itu, relevankah identiknya Aswaja dengan al-Islam dalam era
saat ini? Atau, salahkah jika Aswaja tidak dipahami sebagai Islam
sebagaimana ulama sebelumnya? Semua ini akan bisa terjawab jika kita paham
lintasan sejarah umat Islam secara utuh, tidak sepotong-sepotong. Sementara
jika dipahami sebagai sebuah mazhab, eksistensi Aswaja semakin mengkristal menjadi satu institusi.
Jelas pandangan ini paradoks dengan fakta sejarah kelahiran Aswaja. Begitu pula
pengedepanan ta’rif bil-mitsal bagi
Aswaja. Ringkasnya, kedua pendapat di atas menunjukkan pola berpikir yang sathi,
setengah-setengah atau ‘dangkal’. Sedangkan
pola ‘purifikasi’ (al-ishlah al-dini) yang mengaku-aku sebagai penerus
golongan salaf dan menamakan diri sebagai Ahlus-Sunnah wal-Jamaah sungguh
disayangkan justru kemudian bersikap ekstrem, men-takfir (mengafirkan)
sesama Muslim, dan
sangat eksklusif. Mungkin karakteristik tersebut jika diperhatikan secara
seksama, tidak berlebihan jika ada yang menyebut Khawarij gaya baru
(neo-Khawarij).”
Terkait fikih, Said
Aqiel mempertanyakan gagasan empat mazhab, khususnya memasukkan Imam Ahmad bin
Hanbal. Bagi Said Aqiel, Imam Ahmad bin Hanbal bukanlah seorang fakih
atau ahli fikih, namun lebih sebagai muhaddits atau ahli
hadits.
Karena itu, Said
Aqiel mengusulkan agar Imam Ahmad bin Hanbal dikeluarkan dari daftar empat imam mazhab fikih
Aswaja. Said Aqiel justru balik
mengingatkan bahwa dari segi substansi pemikiran, fikih mazhab Syafi’i lebih
dekat dengan fikih mazhab Ja’far Shadiq, imam keenam dalam keyakinan Syiah
Itsna ‘Asyariyah (Syiah Imamiyah), ketimbang dengan fikih mazhab Hanafi.
Said Aqiel ikut
mempertanyakan akidah Imam Ahmad bin Hanbal. Bagi Said Aqiel, Imam Ahmad tidak
lebih dari seorang mutasyabbih yang menyepertikan Allah dengan makhlukNya.
Padahal, Aswaja mengecam keras keyakinan seperti itu.
Demikian pula
dengan Ibnu Taimiyah. Menurut Said Aqiel, Ibnu Taimiyah adalah seorang pengikut
Imam Ahmad bin Hanbal yang menganggap Imam Al-Asy’ari kafir karena akidah yang
dianutnya.
Adapun masalah
tasawuf, Said Aqiel menilai bahwa Al-Junaid dan Al-Ghazali adalah dua orang
yang diketahui memuji paham wihdatul wujud atau panteisme. Al-Ghazali
sendiri diyakini sebagai orang yang mengagungkan Husein bin Mansur Al-Hallaj. Seperti diketahui,
Al-Hallaj memiliki ajaran yang menyimpang dari Islam dan karenanya dihukum mati
oleh penguasa waktu itu.
Menurut Said Aqiel,
daripada mengikuti dan menjadikan Al-Junaid dan Al-Ghazali rujukan dalam bidang
tasawwuf, lebih baik menjadikan Al-Qusyairi sebagai imam rujukan tasawwuf
dalam NU. Jika dilihat
dari sudut pandang NU, Al-Qusyairi, tegas Said Aqiel, “lebih
tepat untuk diikuti oleh penganut Aswaja.”
Tentu saja kritik
dari Said Aqiel itu mendatangkan reaksi keras dari tokoh-tokoh NU. Meski
demikian, oleh banyak orang di Indonesia, ahlus sunnah wal jama’ah pada
akhirnya tetap didudukkan sebagai sebutan untuk muslim tradisionalis, muslim
yang ortodoks, sebagai lawan dari muslim modernis atau muslim reformis.
Dalam sejarah
Indonesia, sebutan reformis itu melulu ditujukan kepada siapa saja, kelompok
mana pun, yang terpengaruh pemikiran Jamaluddin Al-Afghani (1838 – 1897) dan
Muhammad Abduh (1849 – 1905)—kemudian—juga Muhammad Rasyid Ridha (1865 – 1935). Kelompok
reformis biasa dikenal lewat slogan “kembali kepada Qur’an dan Sunnah” dan
penolakan mereka terhadap apa yang diistilahkan dengan TBC atau takhayul-bid’ah-churafat.
Yang juga tidak
dilupakan adalah komitmen siapa saja yang dicap sebagai reformis itu untuk
“membuka terus pintu ijtihad” dan menolak taklid terhadap ijma’ para
ulama, baik ulama terdahulu ataupun ulama belakangan. Pada titik inilah,
perbedaan mencolok antara kelompok tradisionalis dan kelompok reformis terlihat.
Bagi kalangan tradisionalis, ijma’ ulama dan taklid terhadap apa
yang dikatakan para ulama adalah sebuah kemestian. Tanpa itu,
Islam hanya menjadi sebentuk kepercayaan yang lupa dengan kulitnya. Terkait ijma’
ulama dan taklid kepada mereka, K.H. Hasyim Asy’ari dalam kedudukannya
sebagai Hoofd Bestuur (HB [pimpinan pengurus]) NU pernah menyatakan,
“Wahai para ulama dan para sahabat sekalian yang takut
kepada Allah dari golongan Ahlussunnah wal-jama’ah! Dari golongan yang
menganut madzhab Imam yang empat. Engkau sekalian orang-orang yang telah
menuntut ilmu pengetahuan agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian dan
begitu juga seterusnya dengan tidak gegabah dalam memilih seorang guru di mana
kalian menuntut ilmu pengetahuan dari padanya. Maka oleh karena menuntut ilmu
pengetahuan dengan cara demikian itulah, maka sebenarnya, kalian yang memegang
kunci bahkan juga menjadi pintunya ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh karenanya
apabila kalian memasuki suatu rumah, hendaknya melalui pintunya, maka barang
siapa memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya, maka ia dikatakan seorang
pencuri.”
Lebih jauh, Kyai Hasyim sendiri menganggap kelompok
reformis sebagai orang-orang yang berada di luar ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka itu,
“mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka juga menggunakan
istilah bid’ah yang diprakarsai oleh Muhammad bin al-Wahhab al-Najdi. Mereka
melarang keras (mengharamkan) praktik keagamaan yang telah disepakati umat
Muslim sebagai dianjurkan secara agama (mandub), seperti mengunjungi
makam Nabi Muhammad.”
Sebenarnya, dikotomi tradisionalis dan reformis yang dipakai untuk
melukiskan wajah Islam di Indonesia dapat dikatakan sebagai hasil “kerja”
Deliar Noer (1926 – 2008). Penulis buku Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900–1942 itu dinilai sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas
penabalan istilah Islam modernis atau Islam reformis untuk kelompok-kelompok seperti
Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Persyarikatan Ulama, Sarekat Islam,
dan Islam tradisional untuk NU di Jawa.
Akan tetapi, menjadi sebuah kesimpulan yang terburu-buru, ketika kita
menilai Islam tradisionalis di Indonesia adalah NU. Bagaimana pun, di
Indonesia, di luar NU, ada banyak kelompok yang dapat dikategorikan sebagai
kelompok tradisionalis.
Mereka itu seperti Mathla’ul Anwar (berdiri di Menes, Banten, pada
1916), Persatuan Umat Islam (berdiri di Majalengka, Jawa Barat, pada 1917),
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (berdiri di Sumatera Barat pada 1926),
Al-Jam’iyatul Washliyah (berdiri di Medan, Sumatera Utara, pada 1930),
Al-Khayrat (berdiri di Palu, Sulawesi Tengah, pada 1930), Nahdlatul Wathan
(berdiri di Lombok pada 1934), dan Dewan Darul Irsyad wad-Dakwah (berdiri di
Kendari, Sulawesi Selatan, pada 1938). Mereka bukan NU, namun masing-masing
mereka mengikuti akidah Asy’ariyah, fikih Syafi’i, dan menganggap satu barisan
dengan NU di bawah sebutan ahlus sunnah wal jama’ah.
Bahwa mereka bersama-sama dengan NU dalam kategori tradisionalis, bukan
saja dilihat dari Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)
organisasi mereka atau dari bentuk-bentuk keberagamaan mereka. Akan tetapi, hal
itu juga dapat dilihat dari kesadaran kolektif yang mereka miliki untuk membela
diri dari serangan-serangan kelompok reformis dan mempertahankan apa yang
mereka sebut sebagai Islam ahlus sunnah wal jama’ah itu.
Untuk contoh, patut kita lihat usaha yang pernah dilakukan Siradjuddin
Abbas (1905–1980). Selama hidupnya, tokoh yang mendapatkan pendidikan agamanya
di surau-surau Minangkabau dan di Mekkah
ini banyak menulis tentang Imam Syafi’i, fikih Syafi’i, dan sejarah penyebaran
mazhab Syafi’i, seperti buku Sejarah dan Keagungan Mazhab Sjafi’i dan empat jilid buku 40 Masalah Agama.
Salah satu bukunya yang patut disebut di sini adalah I’tiqad
Ahlussunnah Wal Djama’ah. Siradjuddin menulis buku terkenal itu untuk
menjelaskan kepada khalayak pemakai bahasa Indonesia tentang apa yang
menurutnya disebut sebagai ahlus sunnah wal jama’ah dan mengapa harus ahlus
sunnah wal jama’ah seperti yang ia maksud yang harus dipilih.
Buku itu telah mengalami cetak berulang-ulang, tanda bahwa masyarakat
Indonesia menerimanya dan apa yang dijelaskan di dalamnya. Ironisnya, hanya
sebagian orang yang tahu bahwa Siradjuddin Abbas adalah salah seorang tokoh
terkemuka Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Orang-orang justru menganggapnya
sebagai salah satu kyai NU yang sering menulis buku.
Masalahnya, dibanding kelompok-kelompok tradisionalis lain, NU terhitung
lebih dapat mengembangkan dirinya sendiri secara komprehensif sejak pertama
kali berdiri dan menempatkan diri sebagai wakil terkemuka dari kalangan
tradisionalis. Bicara tentang Islam tradisional berarti bicara tentang NU.
Sadar atau tidak, sejak pertama kali berdiri, NU berhasil memanfaatkan
tiga fakta sosial terkait umat Islam yang ada di Jawa—untuk tidak mengatakan di
Indonesia. Pertama, mayoritas umat Islam di Jawa berdiam di perdesaan ketimbang
di perkotaan. Kedua, mereka itu telah menjadi muslim tradisionalis jauh sebelum
muncul kelompok-kelompok reformis atau terpengaruh pemikiran Al-Afghani dan
Abduh. Yang paling penting, ketiga, referensi keislaman di tengah-tengah masyarakat
pedesaan sendiri tidak lain dari para kyai yang rela menjalankan kehidupan
asketik, jauh dari hingar-bingar peradaban.
Dalam tubuh NU sendiri, kyai-kyai dan tokoh-tokoh NU berupaya keras
untuk mempertahankan empat prinsip utama yang selalu mewarnai perjalanan
sejarah NU. Empat prinsip itu adalah tawasuth dan i’tidal, tasamuh,
tawazun, amar ma’ruf nahi mungkar.
Tawasuth dan i’tidal
mereka artikan sebagai moderat dan berlaku adil. Prinsip ini mendorong NU untuk
selalu bersikap moderat dan menghindari segala pendekatan yang bersikap
ekstrem.
Dari prinsip pertama itu, NU dituntut untuk ber-tasamuh. Tasamuh,
oleh mereka, diartikan sebagai sikap toleran yang memberikan tempat dan kesempatan
yang sama kepada siapa pun tanpa memandang perbedaan latar belakang apa pun.
Dengan prinsip tasamuh, NU mengharuskan diri untuk selalu menjunjung
tinggi perbedaan dengan kesediaan menerima kebenaran dan kebaikan yang berasal
dari pihak lain.
Pinsip NU yang ketiga adalah tawazun yang mereka artikan sebagai
sikap seimbang. Artinya, dengan tawazun, NU harus menjadi pihak yang
selalu dapat menyerasikan berbagai hal dan kepentingan. NU, misalnya, harus
bisa menyerasikan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Dengan tawazun juga, misal yang lain, NU harus selalu dapat
menyelaraskan antara kepentingan pribadi, sosial, bangsa, dan kemanusiaan demi
kepentingan yang lebih baik, lebih luas dan lebih abadi.
Bagi NU, amar ma’ruf nahi mungkar menjadi prinsip yang membuat NU
harus selalu memiliki kepekaan, keterlibatan, dan tanggung jawab untuk
mendorong perbuatan yang baik, berguna atau bermanfaat bagi kehidupan bersama.
Sebaliknya, dengan amar ma’ruf nahi mungkar juga, NU harus
menolak dan mencegah segala sesuatu yang dapat menjerumuskan dan merendahkan
nilai-nilai kehidupan.
Semua itu makin lengkap dengan sebuah keyakinan penting yang terus hidup
di tengah warga NU bahwa mereka mewarisi ajaran Asy’ariyah yang pernah Abul
Hasan Al-Asy’ari sampaikan dulu. Said Aqiel Siradj yang menjabat sebagai Ketua
PBNU sejak 2010 pernah menulis,
“Asy’ari wafat, lalu punya murid bernama Abu Al-Bahili.
Al-Bahili wafat, punya murid bernama Al-Juwaini, Al-Juwaini wafat, punya murid
bernama Al-Ghazali; Al-Ghazali wafat, punya murid bernama Al-Syahrastani;
Al-Syahrastani wafat, punya murid bernama Fakhrurrazi; Fakhrurrazi wafat, punya
murid bernama Al-‘Izzi; Al-‘Izzi wafat, punya murid bernama Al-Sanusi yang
menulis Kitab Al-‘Aqidah Al-Kubra yang melengkapi Kitab Ma’nawiyat;
Al-Sanusi wafat, mempunyai murid bernama Ibrahim Al-Baizuri; Al-Baizuri wafat,
punya murid bernama Al-Dasuqi, Al-Dasuqi wafat, punya murid bernama Ahmad Zaini
Dahlan. Ahmad Zaini Dahlan adalah ulama besar di Masjidil Haram. Di antara
muridnya adalah Ahmad Khatib Sambas dari Kalimantan Barat, yang menyusun kitab
berjudul Fathul ‘Arifin. Khatib Sambas mempunyai murid bernama Muhammad
Nawawi Banten, yang menulis lebih dari 200 judul kitab. Nawawi Banten mempunyai
murid bernama Mahmud Perma Banjarmasin, Khalil Bangkalan, Abdul Samad
Palembang, dan Ihsan. Mahmud Perma mempunyai murid bernama Hasyim Asy’ari.
Hasyim Asy’ari mempunyai anak bernama Wahid Hasyim. Wahid Hasyim mempunyai
putra bernama Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid diganti oleh Hasyim Muzadi.
Dan Hasyim Muzadi diganti oleh saya.”
Harus disadari, Islam seperti dijalankan oleh kalangan tradisionalislah yang
diklaim banyak orang sebagai bentuk Islam yang asli
Indonesia. Dalam istilah yang pernah dipakai National Geographic, Islam yang sangat
Indonesia itu disebut Islam yang ramah, the smilling Islam (atau “Islam with a smilling face”, seperti yang juga pernah ditulis Times dan Newsweek), sebuah varian keislaman yang unik dan sangat khas Nusantara, hasil
interaksi budaya masyarakat Indonesia beratus-ratus tahun lamanya dengan ajaran
Islam yang datang dari luar.
***
Berkembang dari tengah-tengah masyarakat Arab, hal itu tidak menunjukkan
bahwa Islam adalah Arab. Arab hanyalah bagian dari Islam. Allah subhana wa
ta'ala menjadikan Jazirah Arab secara umum dan Makkah-Madinah secara khusus
sebagai panggung tempat Islam mengukuhkan diri sebagai agama yang sempurna dan
telah Allah restui.
Suatu hari, seorang laki-laki Yahudi pernah berkata kepada Umar
bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, "Wahai, Amirul Mukminin. Ada ayat
dalam kitab yang kalian baca. Jika ayat itu turun kepada kami, orang-orang Yahudi
ini, niscaya akan kami jadikan hari turun ayat itu sebagai hari raya."
"Ayat apa itu?", tanya Umar.
Laki-laki Yahudi itu menjawab,
ﭻ ﭼ
ﭽ ﭾ ﭿ
ﮀ ﮁ ﮂ
ﮃ ﮄ ﮅﮆ
'Hari ini, telah
Kusempurnakan buat kalian agama kalian dan telah Kucukupkan nikmatKu kepada
kalian dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama kalian." (Q.S.
Al-Maidah: 3).'
"Aku,” kata
Umar seperti dalam riwayat nomor 45 di Shahih Al-Bukhari, “betul-betul
tahu hari dan tempat turunnya ayat itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam. Yaitu pada hari Jum'at ketika beliau sedang berkhotbah di padang Arafah (Makkah).”
Poinnya, hanya nilai-nilai yang telah Rasulullah
ajarkan kepada sahabat-sahabatnya menjadi sesuatu yang baku sebagai acuan bagi para pemeluk yang
datang setelah mereka. Halal dan haram telah ditetapkan.
Abu 'Abdillah
An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma pernah mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah
bersabda,
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَ الْحَرَامَ بَيِّنٌ ,
وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ قَدْ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ
, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَات فَقَدِ اْستَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ , وَمَنْ
وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ فَقَدْ وَقَعَ فِي
الْحَرَامِ
‘Sesungguhnya
yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya ada perkara
yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Karena itu, siapa saja menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah
menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa saja yang terjerumus dalam wilayah samar-samar,
maka ia telah terjerumus ke dalam wilayah yang haram." [H.R. Al-Bukhari
no. 52, Muslim no. 1599].
Meski hidup dalam
ruang dan waktu yang berbeda, seorang muslim mesti menyesuaikan dirinya untuk
mengikuti Islam yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Penemuan-penemuan, terobosan-terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat
dicapai dan digunakan oleh umat manusia, tetapi Islam yang mereka peluk tetap
Islam sebagaimana datang pada Rasulullah dan para sahabatnya yang dengan itu
juga akan menjadi tanda keimanan dan kecintaan kepada Allah ta'ala.
Dalam kitab yang telah diturunkanNya, Allah ‘azza wa jalla
berfirman,
ﭮ ﭯ ﭰ
ﭱ ﭲ
ﭳ ﭴ ﭵ
ﭶ ﭷ ﭸﭹ ﭺ
ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁﮂ ﮃ ﮄ
ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ
ﮊ
"Katakan
(olehmu, hai, Muhammad), 'Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku.
Niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.' Dan Allah,
Dialah yang maha pengampun lagi maha penyayang. Katakan juga pada mereka,
'Taatilah Allah dan RasulNya. Apabila kalian berpaling, sungguh, Allah tidak
menyukai orang-orang yang kafir'."(Q.S. Ali
Imran: 31-32).
ﯯ ﯰ
ﯱ ﯲ ﯳ
ﯴ ﯵ ﯶﯷ ﯸ ﯹ
ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ
"Dan
apa-apa yang kalian perselisihkan di dalamnya, maka berhukumlah kepada Allah. Yang demikian itu, karena Allah Dialah Rabbku,
atasNyalah aku bertawakkal, dan kepadaNyalah aku kembali." (Q.S. Asy-Syura: 10).
Kemudian juga,
ﮠ ﮡ
ﮢ ﮣ ﮤ
ﮥ ﮦ ﮧﮨ ﮩ ﮪﮫ ﮬ ﮭ
ﮮ ﮯ
"Dan apa-apa yang datang kepada kalian dari Rasulullah, maka
ambillah. Dan apa-apa yang ia larang kalian dari itu, maka jauhilah.
Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat pedih siksaNya." (Q.S. Al-Hasyr: 7).
ﭮ ﭯ
ﭰ ﭱ ﭲ
ﭳ ﭴ ﭵ
ﭶ ﭷ ﭸ
ﭹ ﭺ ﭻ
ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ
ﮃ
"Dan siapa saja yang menyelisihi Rasulullah setelah jelas baginya
petunjuk serta mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman, maka akan kami
palingkan ia kepada sesuatu yang ia berpaling kepadanya dan siapkan pula
Jahannam—yang itu sejelek-jelek tempat kembali—baginya." (Q.S. An-Nisa': 115).
ﯜ ﯝ
ﯞ ﯟ ﯠ
ﯡ ﯢ ﯣ
ﯤ ﯥ ﯦ
ﯧ ﯨ ﯩ
ﯪ ﯫ ﯬ
ﯭ ﯮ ﯯ
"Maka demi Rabbmu, mereka,
sesungguhnya, tidak beriman sampai mereka jadikan kamu hakim atas perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu
keberatan terhadap putusan yang telah kamu berikan dan mereka menerima dengan
sepenuhnya keputusan
tersebut." (Q.S. An-Nisa': 65).
Satu alasan yang pasti, Rasulullah dan para sahabatnyalah orang-orang
yang telah Allah ridhai dan puji dengan pujian yang baik dan abadi. Allah telah
janjikan untuk mereka balasan yang sempurna.
Tidak ada alasan bagi kita untuk mangkir dan ogah mengikuti jalan mereka
dalam menjalankan Islam. Allah ‘ta’ala berfirman,
ﭑ ﭒ
ﭓ ﭔ ﭕ
ﭖ ﭗ ﭘ
ﭙ ﭚ ﭛ
ﭜ ﭝ ﭞ
ﭟ ﭠ ﭡ
ﭢ ﭣ ﭤ
ﭥ ﭦﭧ ﭨ
ﭩ ﭪ ﭫ
"Dan
orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama kali (masuk Islam) dari
golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan untuk mereka surga-surga
di dalamnya yang selama-lamanya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (Q.S.
At-Taubah: 100).
ﯧ ﯨ
ﯩ ﯪ ﯫ
ﯬ ﯭ ﯮ
ﯯ ﯰ ﯱﯲ ﯳ
ﯴ ﯵ ﯶ
ﯷ ﯸ ﯹ
ﯺ ﯻﯼ ﯽ
ﯾ ﯿ ﰀ
ﰁ ﰂ ﰃ
ﰄ ﰅﰆ ﰇ
ﰈ ﰉ ﰊﰋ ﰌ
ﰍ ﰎ ﰏ
ﰐ
"Dan mengapa kalian tidak menafkahkan
(sebagian harta kalian) di jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempunyai langit
dan bumi? Tidak sama di antara kalian orang-orang yang menafkahkan (hartanya)
dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya
daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah
penaklukan itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang
lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan." (Q.S.
Al-Hadid: 10).
Islam yang
dijalankan oleh Rasulullah dan—kemudian—para sahabatnya itulah yang kemudian
disebut sebagai Islam ahlus sunnah wal jama’ah. Penyebutan
seperti ini mulai digunakan, ketika pada abad-abad pertama peradaban Islam,
berbagai kelompok menyimpang memunculkan “Islam” masing-masing yang tidak
sejalan dengan apa yang pernah Rasulullah ajarkan kepada para sahabatnya.
Tanpa bermaksud mengulang apa yang sudah banyak diketahui orang-orang,
istilah ahlus sunnah wal jama’ah berasal dari ahlus
sunnah dan al-jama’ah. Orang-orang yang memegang-teguh dan
mengikuti apa-apa yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam beragama adalah pengertian sebenarnya dari ahlus sunnah; harfiahnya,
ahlus sunnah adalah para pengikut sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Pada awal kemunculannya, sebutan ahlus sunnah
sekaligus menjadi identitas pembeda dari siapa saja yang waktu itu mengaku
beragama Islam tetapi melakukan bid’ah-bid’ah dalam keyakinan
ataupun praktek ibadah.
Adapun al-jama’ah,
istilah ini sendiri telah disebutkan dalam sejumlah hadits sahih Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika mengabarkan tentang nasib umat Islam di masa depan, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ
الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى
النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَهِىَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah, sesungguhnya, orang-orang sebelum kalian dari ahl
al-kitab (Yahudi dan Nasrani) telah berpecah menjadi 72 golongan. Dan umat ini
akan berpecah menjadi 73 golongan. 72 golongan di antaranya akan masuk ke dalam
Neraka, 1 golongan akan masuk ke dalam Surga. Itulah al-jama’ah.” [HR. Abu Dawud]
Dalam Musnad Ahmad, hadits itu
beredaksi,
إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى
إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَهَلَكَتْ سَبْعُونَ فِرْقَةً وَخَلَصَتْ فِرْقَةٌ
وَاحِدَةٌ وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
فَتَهْلِكُ إِحْدَى وَسَبْعِينَ وَتَخْلُصُ فِرْقَةٌ
“Sesungguhnya, Bani Israil telah
berpecah menjadi 71 golongan. 70 golongan di antaranya binasa dan hanya 1
golongan yang selamat. Sesungguhnya umatku akan berpecah menjadi 72 golongan.
71 golongan binasa dan 1 golongan yang selamat.”
Para
sahabat Rasulullah bertanya,
“Wahai
Rasulullah, 1 golongan itu siapa?”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الْجَمَاعَةُ الْجَمَاعَةُ
“Al-jama’ah,
al-jama’ah.” [HR.
Ahmad]
Menariknya, makna al-jama’ah
itu dapat kita temukan kembali dalam riwayat lain yang ada di Jami’ At-Tirmidzi. Di situ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتيِ مَا أَتَى عَلَى
بَنِي إِسْرَائِيْلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتىَّ إِنْ كَانَ مِنْهُمْ
مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَّةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَع ذَلِكَ
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ
إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً
"Akan terjadi pada umatku nanti apa yang pernah
terjadi pada Bani Israil setapak demi setapak. Sampai-sampai, jika salah
seorang dari Bani Israil ada yang mencampuri ibunya, maka di tengah umatku
pasti ada yang akan menirunya. Sesungguhnya, Bani Israil akan terpecah menjadi
72 golongan. Adapun umatku, mereka akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di
Neraka kecuali satu golongan saja."
Para sahabat Rasulullah bertanya,
"Siapa golongan yang satu itu, Rasulullah?"
Rasulullah menjawab,
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
"(Golongan yang selamat itu adalah) apa yang aku dan
para sahabatku ada di atasnya." [H.R. At-Tirmidzi]
Kemudian, dari
salah satu penafsiran Abdullah bin Abbas, kita dapat mengetahui bahwa para salaf dan
orang-orang yang mengikuti mereka bisa juga disebut dengan ahlus sunnah wal
jama’ah. Dalam tafsir ayat ke-106 surat Ali Imran, kita dapat temukan itu. Mengutip secara lengkap
yang ada di Syarh Ushul I’tiqad Ahlus sunnah wal jama’ah karya
Al-Lalika’i, lafal penafsiran yang dimaksud beredaksi,
عَنِ اْبنِ عَبَّاسٍ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالىَ:
ﯗ ﯘ ﯙ
ﯚ ﯛ
فَأَمَّا الَّذِيْنَ ابْيَضَّتْ وُجُوْهُهُمْ
فَأَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأُوْلُو اْلعِلْمِ ، وَأَمَّا الَّذِيْنَ
اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ الْبِدَعِ وَالضَّلاَلَةِ
“Dari
Ibnu Abbas, tentang perkataan Allah ta’ala,
ﭽ ﯗ ﯘ
ﯙ ﯚ ﯛﯜ
ﯩ ﭼ
‘Hari ketika ada wajah-wajah yang memutih
dan wajah-wajah yang menghitam.’ (QS. Ali Imran: 106)
Adapun yang wajah-wajah mereka memutih, maka mereka itu adalah ahlus
sunnah wal jama’ah dan orang-orang yang memiliki ilmu. Adapun yang wajah-wajah mereka
menghitam, maka mereka itu adalah ahl al-bida’ wa adh-dhalalah.”
Sayangnya, sejak abad ke-4 Hijriah,
makna ahlus sunnah wal jama’ah mulai bergeser. Pergeseran seperti ini
dapat kita lacak sebab-musababnya dengan memerhatikan rangkaian peristiwa pada
masa Ahmad bin Hanbal (781–855 M). Pada masa itu, terjadi apa yang sering
disebut dalam buku-buku sejarah sebagai peristiwa al-mihnah.
Al-mihnah atau sering juga disebut dengan ayyam
al-mihnah adalah bentuk serangan kaum rasionalis, dalam hal ini kelompok
Mu’tazilah, yang dimulai pada 218 H terhadap keyakinan yang ada di tengah kaum
muslimin waktu itu, ahlus sunnah wal jama’ah. Akan tetapi, serangan itu
gagal. Kegagalan serangan itu dan refresi dari pihak penguasa hanya menambah
derajat keengganan banyak orang untuk beragama dengan prinsip-prinsip
Mu’tazilah.
Meski demikian, kegagalan itu tidak
membuat mereka surut dengan keyakinan Mu’tazilah mereka. Sebaliknya, mereka
masih diperkenankan penguasa untuk tinggal di Baghdad serta di sejumlah kota
yang ada dan mengajarkan prinsip-prinsip mereka. Dalam satu ibarat, Abu Bakar
Ash-Shairufi berkomentar, “Mereka masih dapat menegakkan kepala-kepala mereka.”
Sebagai minoritas, harus diakui,
orang-orang Mu’tazilah tetap menjadi semacam ganjalan di tengah kaum muslimin
waktu itu. Dengan bantuan filsafat, orang-orang Mu’tazilah terus menyiapkan
seperangkat metode untuk meruntuhkan argumen-argumen ahlus sunnah wal jama’ah dalam akidah
mereka yang waktu itu digawangi oleh para ahlul hadits, seperti Ahmad
bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Zur’ah dan Abu Hatim Ar-Razi, Al-Bukhari,
Muslim, An-Nasai.
Di antara metode yang dimaksud,
misalnya, adalah prinsip bahwa keraguan adalah kebutuhan mutlak ketika
menghadapi dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits. Orang-orang Mu’tazilah
mengadaptasi prinsip seperti ini dari filsafat yang dikenalkan oleh Anaxagoras,
filosof Yunani yang hidup pada 500 – 428 sM.
Gerak sejarah akhirnya berubah ketika
Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari (260 – 324 H) muncul ke tengah kaum muslimin. Berusaha
mewakili mayoritas kaum muslimin dalam meruntuhkan argumen-argumen Mu’tazilah,
Al-Asy’ari justru menawarkan satu perangkat baru, sebentuk kompromi antara
keyakinan Mu’tazilah dan ahlus sunnah wal jama’ah, dan ia berhasil.
Bukan hanya meruntuhkan
argumen-argumen Mu’tazilah dan kelompok-kelompok Islam sempalan lainnya. Dengan
sistem keyakinan yang diperkenalkannya, Al-Asy’ari juga membantah
argumen-argumen teologis yang dibawakan oleh orang-orang Nasrani dan Majusi.
Semua itu terjadi pada paruh pertama
abad ke-4 Hijriah. Keberhasilan Al-Asy’ari menarik perhatian banyak orang di
zaman itu. Orang-orang lebih mengenalnya ketimbang Ibnu Kullab, orang yang
pernah membuat Asy’ari bertobat dari akidah Mu’tazilah sekaligus memengaruhinya
agar mengompromikan akidah Mu’tazilah dengan akidah ahlus sunnah wal jama’ah.
Karena itu, mereka menyebut apa yang dikembangkan Al-Asy’ari sebagai
Asy’ariyyah, bukan Kullabiyah.
Sepeninggal Al-Asy’ari, Asy’ariyyah
sebagai sebuah keyakinan menarik perhatian banyak kalangan. Di antara mereka
yang patut disebut di sini adalah Abu Bakar Al-Baqillani Al-Maliki,
Asy-Syahrastani, Ar-Razi sang dokter, Al-Juwaini, Imam Al-Haramain, Al-Ghazali,
Nizhamul Mulk, dan bahkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Banyak di antara mereka yang justru
berperan aktif mengembangkan dan menyempurnakan Asy’ariyyah. Al-Baqillani,
misalnya, dikenal dalam sejarah Islam sebagai ahli fikih mazhab Maliki yang
pertama kali mengembangkan Asy’ariyah sepeninggal Al-Asy’ari.
Demikian pula Al-Ghazali. Setelah
belajar kepada Imam Al-Haramain, Al-Ghazali menyempurnakan sekaligus membakukan
Asy’ariyah sebagai bagian penting dari ajaran Islam. Lewat kebijakan-kebijakan
Nizhamul Mulk, Al-Ghazali berhasil menempatkan Asy’ariyah sebagai benteng
pijakan mayoritas kaum muslimin
menghadapi pengaruh Syi’ah di wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah yang sudah
carut-marut waktu itu.
Lain lagi peran yang dijalankan
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Dikenal sebagai pahlawan Perang Salib sepanjang
masa, Al-Ayyubi menetapkan Asy’ariyyah sebagai mainstream Islam di
wilayah kekuasaannya, Mesir. Ia meyakini, apa yang ditetapkannya itu sebagai
akidah ahlus sunnah wal jama’ah.
Dengan keadaan seperti itu,
Asy’ariyah akhirnya menjadi keyakinan mayoritas kaum muslimin. Mereka memandang
Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jama’ah dan ahlus sunnah wal jama’ah
adalah Asy’ariyyah. Menyebut keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah,
tidak pelak, orang-orang akan mengasosiasikannya kepada keyakinan Asy’ariyyah. Ahlus
sunnah wal jama’ah pun bergeser makna.
Pada abad ke-8 Hijriah, Ibnu Taimiyah
berusaha menjadi salah seorang yang berusaha mengungkap salah kaprah tersebut.
Mengenalkan kembali metode untuk memahami Al-Qur’an dan hadits dengan pemahaman
para salaf ash-shalih seperti yang pernah dijalani Imam Ahmad dan ahlul
hadits lainnya, Ibnu Taimiyah justru mendapatkan berbagai cemooh dan
fitnah yang juga sekaligus
mengantarkannya ke penjara dan meninggal-dunia di sana.
Akan tetapi, usaha itu tidak sia-sia.
Muhammad Khalil Harras, seorang doktor yang pernah tidak suka kepada Ibnu
Taimiyah, menegaskan dalam kitab Ibnu Taimiyah As-Salafi bahwa salah
satu jasa Ibnu Taimiyah yang paling penting dalam sejarah adalah meluruskan
salah kaprah banyak orang terhadap makna ahlus sunnah wal jama’ah.
Amat disayangkan, jika para pembela
Asy’ariyah waktu itu menyempitkan apa yang diungkap Ibnu Taimiyah tersebut sebagai
akidah Mazhab Hanbali dalam masalah sifat dan nama Allah. Mereka menganggap
penjelasan Ibnu Taimiyah sebagai sebuah pengertian untuk ahlus sunnah wal
jama’ah yang datangdari kalangan Mazhab Hanbali. Mereka percaya, itu adalah
apa yang pernah diyakini ahlul hadits dulu.
Tampil dengan rumusan seperti itu
hanya akan mengundang olok-olok, dikatakan sebagai seorang Hanbali, dan memang sudah
sejak zaman Ibnu Taimiyah hidup tidak ada yang menyelisihi Asy’ariyah kecuali
orang-orang dari Mazhab Hanbali. “Pada hari ini tidak ada satu mazhab pun yang menyelisihi keyakinan Asy’ariyyah itu
kecuali Mazhab Hanbali, para pengikut Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal,” kata
Taqiyuddin Al-Maqrizi di salah
satu hari di tahun 845 H, sekitar empat
abad berlalu dari kematian Al-Asy’ari.
sudah sejak 25 tahun lalu, di
Indonesia, telah muncul usaha-usaha konstruktif untuk mengembalikan makna ahlus
sunnah wal jama’ah ke makna sebenarnya. Amat disayangkan, berbagai usaha itu belum mampu mengubah persepsi
orang-orang kebanyakan tentang ahlus sunnah wal jama’ah. Selalu saja, ahlus
sunnah wal jama’ah diartikan sebagai Asy’ariyah dalam berakidah, Mazhab
Syafi’i dalam beribadah, dan tasawwuf Al-Ghazali dalam bepekerti. Selalu
saja dikata bahwa ahlus sunnah wal jama’ah adalah NU.
Orang-orang yang menyadari adanya
bias sejarah dalam makna ahlus sunnah wal jama’ah masih belum putus asa,
meski mereka sendiri akhirnya dikatakan sebagai Wahabi. Mereka tahu, usaha yang
mereka lakukan itu tidak mudah, apalagi jika bias yang dimaksud telah
berlangsung ratusan tahun.
Sekarang ini, sudah ada kurang lebih
30.000 orang yang menyadari bahwa ahlus sunnah wal jama’ah bukan seperti
apa yang dikenal di tengah masyarakat. Meski belum ada apa-apanya dibanding
jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 210 juta, kesadaran baru itu sudah
cukup menggembirakan. Ya, setidaknya, kesadaran itu tidak membuat mereka
bernasib seperti Ibnu Taimiyah yang dipenjara dan meninggal dunia di sana hanya
karena meyakini bahwa ahlus sunnah wal jama’ah bukan Asy’ariyah, anti
terhadap tasawwuf apapun variannya, dan beribadah sesuai dalil-dalil
sahih yang ada.
Dalam keadaan seperti,
mereka—pertama-tama—bersyukur kepada Allah ta’ala atas segala limpahan
hidayah dan taufikNya, sehingga dapat beragama dengan agama yang benar, Islam
yang ahlus sunnah wal jama’ah, Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Setelah itu, mereka mendoakan para ulama dari
kalangan sahabat sampai ulama yang masih hidup pada zaman ini, karena lewat
perantaraan merekalah mereka tahu apa dan bagaimana semestinya ahlus sunnah
wal jama’ah itu.
Mereka juga tidak lupa mendoakan Ibnu
Taimiyah yang telah memberikan pencerahan dan sumber inspirasi lewat
karya-karyanya, terutama Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, yang telah bicara
banyak tentang prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jama’ah. Dari situlah,
sebagian mereka jadi tahu bahwa Asy’ariyah bukan ahlus sunnah wal jama’ah,
apapun yang dikatakan orang-orang. Dari situ pula, mereka tahu, NU hanyalah
sebuah ormas besar yang mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah di
Indonesia dan memiliki pengaruh dalam setiap fase sejarah modern Indonesia.[]