Laman

Sabtu, 14 September 2013

AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH-NYA NU

Mengubah sebuah pengertian yang beratus-ratus tahun telah diterima di tengah masyarakat nyaris menjadi sebuah perkara yang mustahil.  Sebuah uraian yang detil sekalipun, meski didukung oleh fakta-fakta sejarah, masih sangat-sangat belum cukup kuat untuk membuat semacam perubahan.

Sudah jamak, dalam sejarah ada banyak kesalahpahaman yang kadung diterima-jadi oleh masyarakat tanpa reserve. Akibatnya, dari sebuah bentuk salah paham, perkara itu menjadi sebuah cacat sejarah yang memualkan. Amat disayangkan, suara seorang sejarawan sering kali sepi ditelan zaman, kontan, dengan segala fakta yang dibawanya.

Di antara cacat sejarah yang muncul dalam sejarah peradaban Islam ialah pemaknaan ahlus sunnah wal jama’ah sebagai Islam yang berakidah Asy’ariyah-Maturidiyah, bermazhab Syafi’i dalam masalah-masalah fikih, dan berpekerti dengan tasawwuf yang diletakkan Abul Qasim Muhammad Al-Junaidi Al-Baghdadi (821–910 M) dan Abul Hamid Muhammad Ath-Thusi Al-Ghazali (1058–1111 M). Di Indonesia, misalnya, kita dapat temukan itu dalam Risalah Ahlussunnah wal-jama’ah tulisan K.H. Bisri Mustafa (1915–1977).

Dalam buku yang diterbitkan Menara Kudus pada 1967 itu, penulisnya merumuskan bahwa ahlus sunnah wal jama’ah adalah sebuah paham yang berpegang teguh kepada (a) ajaran-ajaran salah satu mazhab fikih yang empat (mazhab Abu Hanifah atau Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, mazhab Hanbali) dengan praktek paling kuat pada mazhab Syafi’i dalam permasalahan hukum-hukum Islam; (b) ajaran-ajaran Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abul Mansur Al-Maturidi dalam soal-soal akidah ketauhidan; dan (c) ajaran-ajaran Abul Qasim Al-Junaid dalam permasalahan tasawwuf. Hanya nama Al-Ghazali yang tidak disebutkan di situ.
Nurcholish Madjid (1939–2005), yang digadang-gadang sebagai tokoh pembaru pemikiran Islam di Indonesia, pun tidak jauh berbeda dalam memandang ahlus sunnah wal jama’ah. Dalam salah satu tulisan, ia pernah menggariskan bahwa,

Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l Jama’ah sendiri pertama-pertama adalah mengacu kepada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan al-Asy’ari, dan yang kemudian tersebar antara lain melalui karya-karya Imam Ghazali. Dari teologi Asy’ari itu yang biasa dipelajari kaum santri adalah (khususnya) rumusannya tentang dua puluh sifat Tuhan yang terkenal itu. […] Tetapi konsep Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jama’ah itu lebih terasa dalam hal fiqh. Kaum santri dalam hal fiqh mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzhab fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hanbali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam Syafi’i. Pembelaan mereka kepada penganut madzhab itu sejalan dengan paham tentang taqlid yang berposisi menjadi lawan ijtihad. Sedang untuk ijtihad ini diperjuangkan oleh organisasi reformasi di Indonesia, yaitu (terutama) oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Maka kalangan pesantren, dengan menamakan diri  Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jama’ah membedakan diri dari golongan reformis itu, dan sering menyebut mereka (golongan reformis) secara tak langsung sebagai ahli bid’ah yang sesat.”

Coba bandingkan dengan apa yang pernah dirumuskan K.H. Hasyim Asy’ari (1875–1947), salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sebagai pengertian ahlus sunnah wal jama’ah. Menurut Kyai Hasyim,  ahlus sunnah wal jama’ah adalah

“mereka yang mengikuti ajaran para pendahulu yang saleh (salaf), memegang teguh mazhab hukum [Syafi’i] dengan kitab-kitab yang diakui dan diterima secara luas (mu’tabarah), mencintai Nabi beserta keluarganya (ahl al-bait), sangat menghormati orang suci (wali) dan ulama serta memohon berkat mereka (tabarruk), mengunjungi makam mereka (ziyarah), melakukan talqin (membisiki telinga jenazah sebelum dikuburkan), dan meyakini tawasul (perantara dalam memohon pertolongan Tuhan).”

Di tengah masyarakat, rumusan-rumusan seperti itulah yang kemudian diterima bertahun-tahun sebagai pengertian baku untuk  ahlus sunnah wal jamaah. Pengertian tersebut sudah menjadi semacam pengertian yang klasik sampai sekarang.

Hanya saja, beberapa tahun ke belakang telah muncul sejumlah upaya dari dalam NU sendiri untuk mendefinisi ulang pengertian ahlus sunnah wal jamaah itu. Adalah Said Aqiel Siradj yang pertama kali mempertanyakan pengertian ahlus sunnah wal jamaah. Menurutnya, selama ini NU telah menerima pengertian ahlus sunnah wal jamaah  yang mengandung kesalahan konsep.

“Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, disingkat Aswaja, sering dinamakan pula dengan Sunni. Terminologi ini sesungguhnya sederhana, singkat, dan sudah tidak asing lagi di telinga kita—diakui ataupun tidak—masih banyak mengundang salah persepsi. Sebagian memahami Aswaja identik dengan ‘Islam’. Sebagian yang lain melihat Aswaja hanya sebagai ‘mazhab’. Ada pula yang mengartikan Aswaja sebagai karakteristik komunitas kaum Muslimin yang mengamalkan aktivitas tertentu,  seperti tahlilan, selamatan, berjanjenan (baca: maulid Nabi Muhamad SAW) dan baca doa qunut. Bahkan, ada yang memakai term Aswaja sebagai langkah ‘purifikasi’ ajaran Islam (al-ishlah al-din).”

Bagi Said Aqiel,

“Mengidentikkan Aswaja dengan ‘al-Islam’ berarti menganggap selainnya sebagai non-Islam, kuffar (begitu kira-kira). Sikap eksklusif dan fanatisme buta tampak sekali pada syakhsiyyah (kepribadian) mereka. Di samping provokasi politik yang saling menghantam satu faksi dengan lainnya. Dengan demikian, pemahaman semacam ini  sebagai suatu al-firqah (partai politik). Secara historis, pemikiran tersebut sangat tepat diaplikasikan pada saat ketegangan antarfaksi dalam Islam menajam, terutama antara Sunni dan Syiah. Hal ini terlihat pada pernyataan al-Syahrastani dalam al-Milal wal-Mihal atau al-Isfirayini dalam al-Farqu bainal-Firaq. Sementara pendahulunya, seperti Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, al-Baqillani, dan al-Juwaini, justru tidak menampakkan visi tersebut. Karena itu, relevankah identiknya Aswaja dengan al-Islam dalam era saat ini? Atau, salahkah jika Aswaja tidak dipahami sebagai Islam sebagaimana ulama sebelumnya? Semua ini akan bisa terjawab jika kita paham lintasan sejarah umat Islam secara utuh, tidak sepotong-sepotong. Sementara jika dipahami sebagai sebuah mazhab, eksistensi Aswaja semakin mengkristal menjadi satu institusi. Jelas pandangan ini paradoks dengan fakta sejarah kelahiran Aswaja. Begitu pula pengedepanan ta’rif bil-mitsal  bagi Aswaja. Ringkasnya, kedua pendapat di atas menunjukkan pola berpikir yang sathi, setengah-setengah atau ‘dangkal’. Sedangkan pola ‘purifikasi’ (al-ishlah al-dini) yang mengaku-aku sebagai penerus golongan salaf dan menamakan diri sebagai Ahlus-Sunnah wal-Jamaah sungguh disayangkan justru kemudian bersikap ekstrem, men-takfir (mengafirkan) sesama Muslim, dan sangat eksklusif. Mungkin karakteristik tersebut jika diperhatikan secara seksama, tidak berlebihan jika ada yang menyebut Khawarij gaya baru (neo-Khawarij).”

Terkait fikih, Said Aqiel mempertanyakan gagasan empat mazhab, khususnya memasukkan Imam Ahmad bin Hanbal. Bagi Said Aqiel,            Imam Ahmad bin Hanbal bukanlah seorang fakih atau ahli fikih,              namun lebih sebagai muhaddits atau ahli hadits.

Karena itu, Said Aqiel mengusulkan agar Imam Ahmad bin Hanbal dikeluarkan dari daftar empat imam mazhab fikih Aswaja. Said Aqiel  justru balik mengingatkan bahwa dari segi substansi pemikiran, fikih mazhab Syafi’i lebih dekat dengan fikih mazhab Ja’far Shadiq, imam keenam dalam keyakinan Syiah Itsna ‘Asyariyah (Syiah Imamiyah), ketimbang dengan fikih mazhab Hanafi.

Said Aqiel ikut mempertanyakan akidah Imam Ahmad bin Hanbal. Bagi Said Aqiel, Imam Ahmad tidak lebih dari seorang mutasyabbih yang menyepertikan Allah dengan makhlukNya. Padahal, Aswaja mengecam keras keyakinan seperti itu.

Demikian pula dengan Ibnu Taimiyah. Menurut Said Aqiel, Ibnu Taimiyah adalah seorang pengikut Imam Ahmad bin Hanbal yang menganggap Imam Al-Asy’ari kafir karena akidah yang dianutnya.

Adapun masalah tasawuf, Said Aqiel menilai bahwa Al-Junaid dan Al-Ghazali adalah dua orang yang diketahui memuji paham wihdatul wujud atau panteisme. Al-Ghazali sendiri diyakini sebagai orang yang mengagungkan Husein bin Mansur Al-Hallaj. Seperti diketahui, Al-Hallaj memiliki ajaran yang menyimpang dari Islam dan karenanya dihukum mati oleh penguasa waktu itu.

Menurut Said Aqiel, daripada mengikuti dan menjadikan Al-Junaid dan Al-Ghazali rujukan dalam bidang tasawwuf, lebih baik menjadikan Al-Qusyairi sebagai imam rujukan tasawwuf dalam NU. Jika dilihat dari sudut pandang NU, Al-Qusyairi, tegas Said Aqiel, “lebih tepat untuk diikuti oleh penganut Aswaja.”

Tentu saja kritik dari Said Aqiel itu mendatangkan reaksi keras dari tokoh-tokoh NU. Meski demikian, oleh banyak orang di Indonesia, ahlus sunnah wal jama’ah pada akhirnya tetap didudukkan sebagai sebutan untuk muslim tradisionalis, muslim yang ortodoks, sebagai lawan dari muslim modernis atau muslim reformis.

Dalam sejarah Indonesia, sebutan reformis itu melulu ditujukan kepada siapa saja, kelompok mana pun, yang terpengaruh pemikiran Jamaluddin Al-Afghani (1838 – 1897) dan Muhammad Abduh (1849 – 1905)—kemudian—juga Muhammad Rasyid Ridha (1865 – 1935). Kelompok reformis biasa dikenal lewat slogan “kembali kepada Qur’an dan Sunnah” dan penolakan mereka terhadap apa yang diistilahkan dengan TBC atau takhayul-bid’ah-churafat.

Yang juga tidak dilupakan adalah komitmen siapa saja yang dicap sebagai reformis itu untuk “membuka terus pintu ijtihad” dan menolak taklid terhadap ijma’ para ulama, baik ulama terdahulu ataupun ulama belakangan. Pada titik inilah, perbedaan mencolok antara kelompok tradisionalis dan kelompok reformis terlihat.

Bagi kalangan tradisionalis, ijma’ ulama dan taklid terhadap apa yang dikatakan para ulama adalah sebuah kemestian. Tanpa itu, Islam hanya menjadi sebentuk kepercayaan yang lupa dengan kulitnya. Terkait ijma’ ulama dan taklid kepada mereka, K.H. Hasyim Asy’ari dalam kedudukannya sebagai Hoofd Bestuur (HB [pimpinan pengurus]) NU pernah menyatakan,

“Wahai para ulama dan para sahabat sekalian yang takut kepada Allah dari golongan Ahlussunnah wal-jama’ah! Dari golongan yang menganut madzhab Imam yang empat. Engkau sekalian orang-orang yang telah menuntut ilmu pengetahuan agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian dan begitu juga seterusnya dengan tidak gegabah dalam memilih seorang guru di mana kalian menuntut ilmu pengetahuan dari padanya. Maka oleh karena menuntut ilmu pengetahuan dengan cara demikian itulah, maka sebenarnya, kalian yang memegang kunci bahkan juga menjadi pintunya ilmu pengetahuan agama Islam. Oleh karenanya apabila kalian memasuki suatu rumah, hendaknya melalui pintunya, maka barang siapa memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya, maka ia dikatakan seorang pencuri.”

Lebih jauh, Kyai Hasyim sendiri menganggap kelompok reformis sebagai orang-orang yang berada di luar ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka itu,

“mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka juga menggunakan istilah bid’ah yang diprakarsai oleh Muhammad bin al-Wahhab al-Najdi. Mereka melarang keras (mengharamkan) praktik keagamaan yang telah disepakati umat Muslim sebagai dianjurkan secara agama (mandub), seperti mengunjungi makam Nabi Muhammad.”

Sebenarnya, dikotomi tradisionalis dan reformis yang dipakai untuk melukiskan wajah Islam di Indonesia dapat dikatakan sebagai hasil “kerja” Deliar Noer (1926 – 2008). Penulis buku Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900–1942 itu dinilai sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas penabalan istilah Islam modernis atau Islam reformis untuk kelompok-kelompok seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Persyarikatan Ulama, Sarekat Islam, dan Islam tradisional untuk NU di Jawa.

Akan tetapi, menjadi sebuah kesimpulan yang terburu-buru, ketika kita menilai Islam tradisionalis di Indonesia adalah NU. Bagaimana pun, di Indonesia, di luar NU, ada banyak kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok tradisionalis.

Mereka itu seperti Mathla’ul Anwar (berdiri di Menes, Banten, pada 1916), Persatuan Umat Islam (berdiri di Majalengka, Jawa Barat, pada 1917), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (berdiri di Sumatera Barat pada 1926), Al-Jam’iyatul Washliyah (berdiri di Medan, Sumatera Utara, pada 1930), Al-Khayrat (berdiri di Palu, Sulawesi Tengah, pada 1930), Nahdlatul Wathan (berdiri di Lombok pada 1934), dan Dewan Darul Irsyad wad-Dakwah (berdiri di Kendari, Sulawesi Selatan, pada 1938). Mereka bukan NU, namun masing-masing mereka mengikuti akidah Asy’ariyah, fikih Syafi’i, dan menganggap satu barisan dengan NU di bawah sebutan ahlus sunnah wal jama’ah.

Bahwa mereka bersama-sama dengan NU dalam kategori tradisionalis, bukan saja dilihat dari Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) organisasi mereka atau dari bentuk-bentuk keberagamaan mereka. Akan tetapi, hal itu juga dapat dilihat dari kesadaran kolektif yang mereka miliki untuk membela diri dari serangan-serangan kelompok reformis dan mempertahankan apa yang mereka sebut sebagai Islam ahlus sunnah wal jama’ah itu.

Untuk contoh, patut kita lihat usaha yang pernah dilakukan Siradjuddin Abbas (1905–1980). Selama hidupnya, tokoh yang mendapatkan pendidikan agamanya di surau-surau Minangkabau  dan di Mekkah ini banyak menulis tentang Imam Syafi’i, fikih Syafi’i, dan sejarah penyebaran mazhab Syafi’i, seperti buku Sejarah dan Keagungan Mazhab Sjafi’i  dan empat jilid buku 40 Masalah Agama.

Salah satu bukunya yang patut disebut di sini adalah I’tiqad Ahlussunnah Wal Djama’ah. Siradjuddin menulis buku terkenal itu untuk menjelaskan kepada khalayak pemakai bahasa Indonesia tentang apa yang menurutnya disebut sebagai ahlus sunnah wal jama’ah dan mengapa harus ahlus sunnah wal jama’ah seperti yang ia maksud yang harus dipilih.

Buku itu telah mengalami cetak berulang-ulang, tanda bahwa masyarakat Indonesia menerimanya dan apa yang dijelaskan di dalamnya. Ironisnya, hanya sebagian orang yang tahu bahwa Siradjuddin Abbas adalah salah seorang tokoh terkemuka Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Orang-orang justru menganggapnya sebagai salah satu kyai NU yang sering menulis buku.

Masalahnya, dibanding kelompok-kelompok tradisionalis lain, NU terhitung lebih dapat mengembangkan dirinya sendiri secara komprehensif sejak pertama kali berdiri dan menempatkan diri sebagai wakil terkemuka dari kalangan tradisionalis. Bicara tentang Islam tradisional berarti bicara tentang NU.

Sadar atau tidak, sejak pertama kali berdiri, NU berhasil memanfaatkan tiga fakta sosial terkait umat Islam yang ada di Jawa—untuk tidak mengatakan di Indonesia. Pertama, mayoritas umat Islam di Jawa berdiam di perdesaan ketimbang di perkotaan. Kedua, mereka itu telah menjadi muslim tradisionalis jauh sebelum muncul kelompok-kelompok reformis atau terpengaruh pemikiran Al-Afghani dan Abduh. Yang paling penting, ketiga, referensi keislaman di tengah-tengah masyarakat pedesaan sendiri tidak lain dari para kyai yang rela menjalankan kehidupan asketik, jauh dari hingar-bingar peradaban.

Dalam tubuh NU sendiri, kyai-kyai dan tokoh-tokoh NU berupaya keras untuk mempertahankan empat prinsip utama yang selalu mewarnai perjalanan sejarah NU. Empat prinsip itu adalah tawasuth dan i’tidal, tasamuh, tawazun, amar ma’ruf nahi mungkar.

Tawasuth dan i’tidal mereka artikan sebagai moderat dan berlaku adil. Prinsip ini mendorong NU untuk selalu bersikap moderat dan menghindari segala pendekatan yang bersikap ekstrem.

Dari prinsip pertama itu, NU dituntut untuk ber-tasamuh. Tasamuh, oleh mereka, diartikan sebagai sikap toleran yang memberikan tempat dan kesempatan yang sama kepada siapa pun tanpa memandang perbedaan latar belakang apa pun. Dengan prinsip tasamuh, NU mengharuskan diri untuk selalu menjunjung tinggi perbedaan dengan kesediaan menerima kebenaran dan kebaikan yang berasal dari pihak lain.

Pinsip NU yang ketiga adalah tawazun yang mereka artikan sebagai sikap seimbang. Artinya, dengan tawazun, NU harus menjadi pihak yang selalu dapat menyerasikan berbagai hal dan kepentingan. NU, misalnya, harus bisa menyerasikan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Dengan tawazun juga, misal yang lain, NU harus selalu dapat menyelaraskan antara kepentingan pribadi, sosial, bangsa, dan kemanusiaan demi kepentingan yang lebih baik, lebih luas dan lebih abadi.

Bagi NU, amar ma’ruf nahi mungkar menjadi prinsip yang membuat NU harus selalu memiliki kepekaan, keterlibatan, dan tanggung jawab untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna atau bermanfaat bagi kehidupan bersama. Sebaliknya, dengan amar ma’ruf nahi mungkar juga, NU harus menolak dan mencegah segala sesuatu yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Semua itu makin lengkap dengan sebuah keyakinan penting yang terus hidup di tengah warga NU bahwa mereka mewarisi ajaran Asy’ariyah yang pernah Abul Hasan Al-Asy’ari sampaikan dulu. Said Aqiel Siradj yang menjabat sebagai Ketua PBNU sejak 2010 pernah menulis,

“Asy’ari wafat, lalu punya murid bernama Abu Al-Bahili. Al-Bahili wafat, punya murid bernama Al-Juwaini, Al-Juwaini wafat, punya murid bernama Al-Ghazali; Al-Ghazali wafat, punya murid bernama Al-Syahrastani; Al-Syahrastani wafat, punya murid bernama Fakhrurrazi; Fakhrurrazi wafat, punya murid bernama Al-‘Izzi; Al-‘Izzi wafat, punya murid bernama Al-Sanusi yang menulis Kitab Al-‘Aqidah Al-Kubra yang melengkapi Kitab Ma’nawiyat; Al-Sanusi wafat, mempunyai murid bernama Ibrahim Al-Baizuri; Al-Baizuri wafat, punya murid bernama Al-Dasuqi, Al-Dasuqi wafat, punya murid bernama Ahmad Zaini Dahlan. Ahmad Zaini Dahlan adalah ulama besar di Masjidil Haram. Di antara muridnya adalah Ahmad Khatib Sambas dari Kalimantan Barat, yang menyusun kitab berjudul Fathul ‘Arifin. Khatib Sambas mempunyai murid bernama Muhammad Nawawi Banten, yang menulis lebih dari 200 judul kitab. Nawawi Banten mempunyai murid bernama Mahmud Perma Banjarmasin, Khalil Bangkalan, Abdul Samad Palembang, dan Ihsan. Mahmud Perma mempunyai murid bernama Hasyim Asy’ari. Hasyim Asy’ari mempunyai anak bernama Wahid Hasyim. Wahid Hasyim mempunyai putra bernama Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid diganti oleh Hasyim Muzadi. Dan Hasyim Muzadi diganti oleh saya.”

Harus disadari, Islam seperti dijalankan oleh kalangan tradisionalislah yang diklaim banyak orang sebagai bentuk Islam yang asli Indonesia. Dalam istilah yang pernah dipakai National Geographic, Islam yang sangat Indonesia itu disebut Islam yang ramah, the smilling Islam (atau “Islam with a smilling face”, seperti yang juga pernah ditulis Times dan Newsweek), sebuah varian keislaman yang unik dan sangat khas Nusantara, hasil interaksi budaya masyarakat Indonesia beratus-ratus tahun lamanya dengan ajaran Islam yang datang dari luar.

***

Berkembang dari tengah-tengah masyarakat Arab, hal itu tidak menunjukkan bahwa Islam adalah Arab. Arab hanyalah bagian dari Islam. Allah subhana wa ta'ala menjadikan Jazirah Arab secara umum dan Makkah-Madinah secara khusus sebagai panggung tempat Islam mengukuhkan diri sebagai agama yang sempurna dan telah Allah restui.

Suatu hari, seorang laki-laki Yahudi pernah berkata kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, "Wahai, Amirul Mukminin. Ada ayat dalam kitab yang kalian baca. Jika ayat itu turun kepada kami, orang-orang Yahudi ini, niscaya akan kami jadikan hari turun ayat itu sebagai hari raya."

"Ayat apa itu?", tanya Umar.

Laki-laki Yahudi itu menjawab,

ﭻ  ﭼ  ﭽ  ﭾ  ﭿ   ﮀ  ﮁ  ﮂ  ﮃ  ﮄ  ﮅ
'Hari ini, telah Kusempurnakan buat kalian agama kalian dan telah Kucukupkan nikmatKu kepada kalian dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama kalian."              (Q.S. Al-Maidah: 3).'

"Aku,” kata Umar seperti dalam riwayat nomor 45 di Shahih Al-Bukhari, “betul-betul tahu hari dan tempat turunnya ayat itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu pada hari Jum'at ketika beliau sedang berkhotbah di padang Arafah (Makkah).”

Poinnya, hanya nilai-nilai yang telah Rasulullah ajarkan kepada sahabat-sahabatnya menjadi sesuatu yang baku sebagai acuan bagi para pemeluk yang datang setelah mereka. Halal dan haram telah ditetapkan.
Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma pernah mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah bersabda,

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَ الْحَرَامَ بَيِّنٌ , وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ قَدْ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ , فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَات فَقَدِ اْستَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ , وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ فَقَدْ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia                       tidak mengetahuinya. Karena itu, siapa saja menjaga dirinya dari                    yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama                                dan kehormatannya. Dan siapa saja yang terjerumus dalam wilayah               samar-samar, maka ia telah terjerumus ke dalam wilayah yang haram." [H.R. Al-Bukhari no. 52, Muslim no. 1599].

Meski hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda, seorang muslim mesti menyesuaikan dirinya untuk mengikuti Islam yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Penemuan-penemuan, terobosan-terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dicapai dan digunakan oleh umat manusia, tetapi Islam yang mereka peluk tetap Islam sebagaimana datang pada Rasulullah dan para sahabatnya yang dengan itu juga akan menjadi tanda keimanan dan kecintaan kepada Allah ta'ala.

Dalam kitab yang telah diturunkanNya, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

ﭮ  ﭯ  ﭰ ﭱ  ﭲ   ﭳ  ﭴ   ﭵ  ﭶ  ﭷ    ﭸ  ﭺ  ﭻ  ﭼ   ﭽ                 ﭾ  ﭿ  ﮀ  ﮁ  ﮃ  ﮄ  ﮅ  ﮆ  ﮇ  ﮈ   ﮉ  ﮊ 
"Katakan (olehmu, hai, Muhammad), 'Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.' Dan Allah, Dialah yang maha pengampun lagi maha penyayang. Katakan juga pada mereka, 'Taatilah Allah dan RasulNya. Apabila kalian berpaling, sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir'."(Q.S. Ali Imran: 31-32).

ﯯ  ﯰ  ﯱ  ﯲ  ﯳ  ﯴ   ﯵ  ﯶ  ﯸ  ﯹ  ﯺ  ﯻ  ﯼ  ﯽ  ﯾ 
"Dan apa-apa yang kalian perselisihkan di dalamnya, maka berhukumlah kepada Allah. Yang demikian itu, karena Allah Dialah Rabbku, atasNyalah aku bertawakkal, dan kepadaNyalah aku kembali." (Q.S. Asy-Syura: 10).

Kemudian juga,

ﮠ  ﮡ  ﮢ  ﮣ  ﮤ   ﮥ    ﮦ  ﮧ  ﮩ  ﮪ  ﮬ     ﮭ  ﮮ  ﮯ 
"Dan apa-apa yang datang kepada kalian dari Rasulullah, maka ambillah. Dan apa-apa yang ia larang kalian dari itu, maka jauhilah. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat pedih siksaNya." (Q.S. Al-Hasyr: 7).

ﭮ   ﭯ  ﭰ  ﭱ  ﭲ  ﭳ  ﭴ  ﭵ  ﭶ  ﭷ  ﭸ   ﭹ  ﭺ  ﭻ  ﭼ  ﭽ  ﭾ  ﭿ  ﮁ   ﮂ  ﮃ 
"Dan siapa saja yang menyelisihi Rasulullah setelah jelas baginya petunjuk serta mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman, maka akan kami palingkan ia kepada sesuatu yang ia berpaling kepadanya dan siapkan pula Jahannam—yang itu sejelek-jelek tempat kembali—baginya." (Q.S. An-Nisa': 115).

ﯜ  ﯝ  ﯞ   ﯟ      ﯠ  ﯡ  ﯢ  ﯣ  ﯤ    ﯥ  ﯦ  ﯧ      ﯨ  ﯩ  ﯪ  ﯫ   ﯬ  ﯭ  ﯮ  ﯯ  
"Maka demi Rabbmu, mereka, sesungguhnya, tidak beriman sampai mereka jadikan kamu hakim atas perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang telah kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya keputusan tersebut." (Q.S.              An-Nisa': 65).

Satu alasan yang pasti, Rasulullah dan para sahabatnyalah orang-orang yang telah Allah ridhai dan puji dengan pujian yang baik dan abadi. Allah telah janjikan untuk mereka balasan yang sempurna.   Tidak ada alasan bagi kita untuk mangkir dan ogah mengikuti jalan mereka dalam menjalankan Islam. Allah ‘ta’ala berfirman,

ﭑ  ﭒ  ﭓ  ﭔ  ﭕ  ﭖ   ﭗ  ﭘ  ﭙ  ﭚ  ﭛ  ﭜ  ﭝ  ﭞ    ﭟ  ﭠ  ﭡ  ﭢ  ﭣ          ﭤ  ﭥ  ﭦ   ﭨ  ﭩ  ﭪ  ﭫ 
"Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama kali (masuk Islam)                      dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah                   dan Allah menyediakan untuk mereka surga-surga di dalamnya yang selama-lamanya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (Q.S. At-Taubah: 100).

ﯧ  ﯨ  ﯩ  ﯪ  ﯫ  ﯬ  ﯭ  ﯮ  ﯯ     ﯰ  ﯱ  ﯳ  ﯴ  ﯵ  ﯶ  ﯷ  ﯸ  ﯹ  ﯺ      ﯻ  ﯽ  ﯾ  ﯿ  ﰀ  ﰁ  ﰂ  ﰃ  ﰄ  ﰅ   ﰇ  ﰈ  ﰉ  ﰊ  ﰌ  ﰍ  ﰎ  ﰏ  ﰐ 
"Dan mengapa kalian tidak menafkahkan (sebagian harta kalian) di jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempunyai langit dan bumi? Tidak sama di antara kalian orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah penaklukan itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui                      apa yang kalian kerjakan." (Q.S. Al-Hadid: 10).

Islam yang dijalankan oleh Rasulullah dan—kemudian—para sahabatnya itulah yang kemudian disebut sebagai Islam ahlus sunnah wal jama’ah. Penyebutan seperti ini mulai digunakan, ketika pada abad-abad pertama peradaban Islam, berbagai kelompok menyimpang memunculkan “Islam” masing-masing yang tidak sejalan dengan apa yang pernah Rasulullah ajarkan kepada para sahabatnya.

Tanpa bermaksud mengulang apa yang sudah banyak diketahui orang-orang, istilah ahlus sunnah wal jama’ah berasal dari ahlus sunnah dan al-jama’ah. Orang-orang yang memegang-teguh dan mengikuti apa-apa yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beragama adalah pengertian sebenarnya dari ahlus sunnah; harfiahnya, ahlus sunnah adalah para pengikut sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada awal kemunculannya, sebutan ahlus sunnah sekaligus menjadi identitas pembeda dari siapa saja yang waktu itu mengaku beragama Islam tetapi melakukan bid’ah-bid’ah dalam keyakinan ataupun praktek ibadah.

Adapun al-jama’ah, istilah ini sendiri telah disebutkan dalam sejumlah hadits sahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mengabarkan tentang nasib umat Islam di masa depan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَهِىَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah, sesungguhnya, orang-orang sebelum kalian dari ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani) telah berpecah menjadi 72 golongan. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan. 72 golongan di antaranya akan masuk ke dalam Neraka, 1 golongan akan masuk ke dalam Surga. Itulah                    al-jama’ah.” [HR. Abu Dawud]

Dalam Musnad Ahmad, hadits itu beredaksi,

إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَهَلَكَتْ سَبْعُونَ فِرْقَةً وَخَلَصَتْ فِرْقَةٌ وَاحِدَةٌ وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَتَهْلِكُ إِحْدَى وَسَبْعِينَ وَتَخْلُصُ فِرْقَةٌ
Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah menjadi 71 golongan. 70 golongan di antaranya binasa dan hanya 1 golongan yang selamat. Sesungguhnya umatku akan berpecah menjadi 72 golongan. 71 golongan binasa dan 1 golongan yang selamat.”

Para sahabat Rasulullah bertanya,

“Wahai Rasulullah, 1 golongan itu siapa?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الْجَمَاعَةُ الْجَمَاعَةُ
“Al-jama’ah, al-jama’ah.” [HR. Ahmad]

Menariknya, makna al-jama’ah itu dapat kita temukan kembali dalam riwayat lain yang ada di Jami’ At-Tirmidzi. Di situ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتيِ مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيْلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتىَّ إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَّةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَع ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً
"Akan terjadi pada umatku nanti apa yang pernah terjadi pada Bani Israil setapak demi setapak. Sampai-sampai, jika salah seorang dari Bani Israil ada yang mencampuri ibunya, maka di tengah umatku pasti ada yang akan menirunya. Sesungguhnya, Bani Israil akan terpecah menjadi 72 golongan. Adapun umatku, mereka akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di Neraka kecuali satu golongan saja."

Para sahabat Rasulullah bertanya,

"Siapa golongan yang satu itu, Rasulullah?"

Rasulullah menjawab,

مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
"(Golongan yang selamat itu adalah) apa yang aku dan para sahabatku ada di atasnya." [H.R. At-Tirmidzi]

Kemudian, dari salah satu penafsiran Abdullah bin Abbas, kita dapat mengetahui bahwa para salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka bisa juga disebut dengan ahlus sunnah wal jama’ah. Dalam tafsir ayat ke-106 surat Ali Imran, kita dapat temukan itu. Mengutip secara lengkap yang ada di Syarh Ushul I’tiqad Ahlus sunnah wal jama’ah karya Al-Lalika’i, lafal penafsiran yang dimaksud beredaksi,

عَنِ اْبنِ عَبَّاسٍ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالىَ:
ﯗ  ﯘ  ﯙ  ﯚ    ﯛ
فَأَمَّا الَّذِيْنَ ابْيَضَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأُوْلُو اْلعِلْمِ ، وَأَمَّا الَّذِيْنَ اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ الْبِدَعِ وَالضَّلاَلَةِ
“Dari Ibnu Abbas, tentang perkataan Allah ta’ala,

ﯗ  ﯘ  ﯙ  ﯚ    ﯛﯜ  ﯩ 
‘Hari ketika ada wajah-wajah yang memutih dan wajah-wajah yang menghitam.’ (QS. Ali Imran: 106)

Adapun yang wajah-wajah mereka memutih, maka mereka itu adalah ahlus sunnah wal jama’ah dan orang-orang yang memiliki ilmu. Adapun yang wajah-wajah mereka menghitam, maka mereka itu adalah ahl al-bida’ wa adh-dhalalah.”

Sayangnya, sejak abad ke-4 Hijriah, makna ahlus sunnah wal jama’ah mulai bergeser. Pergeseran seperti ini dapat kita lacak sebab-musababnya dengan memerhatikan rangkaian peristiwa pada masa Ahmad bin Hanbal (781–855 M). Pada masa itu, terjadi apa yang sering disebut dalam buku-buku sejarah sebagai peristiwa al-mihnah.

Al-mihnah atau sering juga disebut dengan ayyam al-mihnah adalah bentuk serangan kaum rasionalis, dalam hal ini kelompok Mu’tazilah, yang dimulai pada 218 H terhadap keyakinan yang ada di tengah kaum muslimin waktu itu, ahlus sunnah wal jama’ah. Akan tetapi, serangan itu gagal. Kegagalan serangan itu dan refresi dari pihak penguasa hanya menambah derajat keengganan banyak orang untuk beragama dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah.

Meski demikian, kegagalan itu tidak membuat mereka surut dengan keyakinan Mu’tazilah mereka. Sebaliknya, mereka masih diperkenankan penguasa untuk tinggal di Baghdad serta di sejumlah kota yang ada dan mengajarkan prinsip-prinsip mereka. Dalam satu ibarat, Abu Bakar Ash-Shairufi berkomentar, “Mereka masih dapat menegakkan kepala-kepala mereka.”

Sebagai minoritas, harus diakui, orang-orang Mu’tazilah tetap menjadi semacam ganjalan di tengah kaum muslimin waktu itu. Dengan bantuan filsafat, orang-orang Mu’tazilah terus menyiapkan seperangkat metode untuk meruntuhkan argumen-argumen  ahlus sunnah wal jama’ah dalam akidah mereka yang waktu itu digawangi oleh para ahlul hadits, seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Zur’ah dan Abu Hatim Ar-Razi, Al-Bukhari, Muslim, An-Nasai.  

Di antara metode yang dimaksud, misalnya, adalah prinsip bahwa keraguan adalah kebutuhan mutlak ketika menghadapi dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits. Orang-orang Mu’tazilah mengadaptasi prinsip seperti ini dari filsafat yang dikenalkan oleh Anaxagoras, filosof Yunani yang hidup pada 500 – 428 sM.

Gerak sejarah akhirnya berubah ketika Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari (260 – 324 H) muncul ke tengah kaum muslimin. Berusaha mewakili mayoritas kaum muslimin dalam meruntuhkan argumen-argumen Mu’tazilah, Al-Asy’ari justru menawarkan satu perangkat baru, sebentuk kompromi antara keyakinan Mu’tazilah dan ahlus sunnah wal jama’ah, dan ia berhasil.

Bukan hanya meruntuhkan argumen-argumen Mu’tazilah dan kelompok-kelompok Islam sempalan lainnya. Dengan sistem keyakinan yang diperkenalkannya, Al-Asy’ari juga membantah argumen-argumen teologis yang dibawakan oleh orang-orang Nasrani dan Majusi.

Semua itu terjadi pada paruh pertama abad ke-4 Hijriah. Keberhasilan Al-Asy’ari menarik perhatian banyak orang di zaman itu. Orang-orang lebih mengenalnya ketimbang Ibnu Kullab, orang yang pernah membuat Asy’ari bertobat dari akidah Mu’tazilah sekaligus memengaruhinya agar mengompromikan akidah Mu’tazilah dengan akidah ahlus sunnah wal jama’ah. Karena itu, mereka menyebut apa yang dikembangkan Al-Asy’ari sebagai Asy’ariyyah, bukan Kullabiyah.

Sepeninggal Al-Asy’ari, Asy’ariyyah sebagai sebuah keyakinan menarik perhatian banyak kalangan. Di antara mereka yang patut disebut di sini adalah Abu Bakar Al-Baqillani Al-Maliki, Asy-Syahrastani, Ar-Razi sang dokter, Al-Juwaini, Imam Al-Haramain, Al-Ghazali, Nizhamul Mulk, dan bahkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Banyak di antara mereka yang justru berperan aktif mengembangkan dan menyempurnakan Asy’ariyyah. Al-Baqillani, misalnya, dikenal dalam sejarah Islam sebagai ahli fikih mazhab Maliki yang pertama kali mengembangkan Asy’ariyah sepeninggal Al-Asy’ari.  

Demikian pula Al-Ghazali. Setelah belajar kepada Imam Al-Haramain, Al-Ghazali menyempurnakan sekaligus membakukan Asy’ariyah sebagai bagian penting dari ajaran Islam. Lewat kebijakan-kebijakan Nizhamul Mulk, Al-Ghazali berhasil menempatkan Asy’ariyah sebagai benteng pijakan    mayoritas kaum muslimin menghadapi pengaruh Syi’ah di wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah yang sudah carut-marut waktu itu.

Lain lagi peran yang dijalankan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Dikenal sebagai pahlawan Perang Salib sepanjang masa, Al-Ayyubi menetapkan Asy’ariyyah sebagai mainstream Islam di wilayah kekuasaannya, Mesir. Ia meyakini, apa yang ditetapkannya itu sebagai akidah ahlus sunnah wal jama’ah.

Dengan keadaan seperti itu, Asy’ariyah akhirnya menjadi keyakinan mayoritas kaum muslimin. Mereka memandang Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jama’ah dan ahlus sunnah wal jama’ah adalah Asy’ariyyah. Menyebut keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah, tidak pelak, orang-orang akan mengasosiasikannya kepada keyakinan Asy’ariyyah. Ahlus sunnah wal jama’ah pun bergeser makna.

Pada abad ke-8 Hijriah, Ibnu Taimiyah berusaha menjadi salah seorang yang berusaha mengungkap salah kaprah tersebut. Mengenalkan kembali metode untuk memahami Al-Qur’an dan hadits dengan pemahaman para salaf ash-shalih seperti yang pernah dijalani Imam Ahmad dan ahlul hadits lainnya, Ibnu Taimiyah justru mendapatkan berbagai cemooh dan fitnah  yang juga sekaligus mengantarkannya ke penjara dan meninggal-dunia di sana.

Akan tetapi, usaha itu tidak sia-sia. Muhammad Khalil Harras, seorang doktor yang pernah tidak suka kepada Ibnu Taimiyah, menegaskan dalam kitab Ibnu Taimiyah As-Salafi bahwa salah satu jasa Ibnu Taimiyah yang paling penting dalam sejarah adalah meluruskan salah kaprah banyak orang terhadap makna ahlus sunnah wal jama’ah.

Amat disayangkan, jika para pembela Asy’ariyah waktu itu menyempitkan apa yang diungkap Ibnu Taimiyah tersebut sebagai akidah Mazhab Hanbali dalam masalah sifat dan nama Allah. Mereka menganggap penjelasan Ibnu Taimiyah sebagai sebuah pengertian untuk ahlus sunnah wal jama’ah yang datangdari kalangan Mazhab Hanbali. Mereka percaya, itu adalah apa yang pernah diyakini ahlul hadits dulu.

Tampil dengan rumusan seperti itu hanya akan mengundang olok-olok, dikatakan sebagai seorang Hanbali, dan memang sudah sejak zaman Ibnu Taimiyah hidup tidak ada yang menyelisihi Asy’ariyah kecuali orang-orang dari Mazhab Hanbali. “Pada hari ini tidak ada satu mazhab pun  yang menyelisihi keyakinan Asy’ariyyah itu kecuali Mazhab Hanbali, para pengikut Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal,” kata Taqiyuddin         Al-Maqrizi di salah satu hari  di tahun 845 H, sekitar empat abad berlalu dari kematian Al-Asy’ari.

sudah sejak 25 tahun lalu, di Indonesia, telah muncul usaha-usaha konstruktif untuk mengembalikan makna ahlus sunnah wal jama’ah ke makna sebenarnya. Amat disayangkan, berbagai  usaha itu belum mampu mengubah persepsi orang-orang kebanyakan tentang ahlus sunnah wal jama’ah. Selalu saja, ahlus sunnah wal jama’ah diartikan sebagai Asy’ariyah dalam berakidah, Mazhab Syafi’i dalam beribadah, dan tasawwuf Al-Ghazali dalam bepekerti. Selalu saja dikata bahwa ahlus sunnah wal jama’ah adalah NU.

Orang-orang yang menyadari adanya bias sejarah dalam makna ahlus sunnah wal jama’ah masih belum putus asa, meski mereka sendiri akhirnya dikatakan sebagai Wahabi. Mereka tahu, usaha yang mereka lakukan itu tidak mudah, apalagi jika bias yang dimaksud telah berlangsung ratusan tahun.

Sekarang ini, sudah ada kurang lebih 30.000 orang yang menyadari bahwa ahlus sunnah wal jama’ah bukan seperti apa yang dikenal di tengah masyarakat. Meski belum ada apa-apanya dibanding jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 210 juta, kesadaran baru itu sudah cukup menggembirakan. Ya, setidaknya, kesadaran itu tidak membuat mereka bernasib seperti Ibnu Taimiyah yang dipenjara dan meninggal dunia di sana hanya karena meyakini bahwa ahlus sunnah wal jama’ah bukan Asy’ariyah, anti terhadap tasawwuf apapun variannya, dan beribadah sesuai dalil-dalil sahih yang ada.

Dalam keadaan seperti, mereka—pertama-tama—bersyukur kepada Allah ta’ala atas segala limpahan hidayah dan taufikNya, sehingga dapat beragama dengan agama yang benar, Islam yang ahlus sunnah wal jama’ah, Islam yang rahmatan lil ‘alamin.  Setelah itu, mereka mendoakan para ulama dari kalangan sahabat sampai ulama yang masih hidup pada zaman ini, karena lewat perantaraan merekalah mereka tahu apa dan bagaimana semestinya ahlus sunnah wal jama’ah itu.

Mereka juga tidak lupa mendoakan Ibnu Taimiyah yang telah memberikan pencerahan dan sumber inspirasi lewat karya-karyanya, terutama Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah, yang telah bicara banyak tentang prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jama’ah. Dari situlah, sebagian mereka jadi tahu bahwa Asy’ariyah bukan ahlus sunnah wal jama’ah, apapun yang dikatakan orang-orang. Dari situ pula, mereka tahu, NU hanyalah sebuah ormas besar yang mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah di Indonesia dan memiliki pengaruh dalam setiap fase sejarah modern Indonesia.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar