Laman

Rabu, 30 Oktober 2013

AHLI-AHLI FIKIH PERTAMA DALAM PERADABAN ISLAM

Berikut ini adalah daftar nama ahli-ahli fikih sejak abad pertama sampai abad keempat Hijriah. Nama-nama yang ada berasal dari salah satu karya Imam An-Nasa’i yang berjudul Tasmiyah Fuqaha’ Al-Amshar, Daftar Nama Ahli-Ahli Fikih di Berbagai Kota.

Di antara nama-nama yang ada, terdapat sejumlah nama yang berulang. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat proses belajar mereka tidak terbatas oleh tempat dan waktu. Waktu itu, seorang penuntut ilmu melakukan perjalanan untuk menemui guru-guru yang ada di berbagai tempat.

Karena itu, tidak tertutup kemungkinan ia pun akan belajar pada dua atau tiga orang guru dan dikenal oleh masyarakat sebagai murid terkemuka tiga guru tersebut. Dalam daftar, misalnya, kita dapat lihat bahwa Abdullah bin Mubarak tercatat sebagai murid terkemuka dari Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza’i dan Ayyub As-Sahtiyani.

Hal menarik lainnya, kita dapat melihat juga sebuah fakta penting bahwa ahli-ahli fikih dalam Islam itu ternyata tidak sebatas Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad. Sebagaimana dalam daftar yang dibuat Imam Nasa’i, imam-imam fikih pada abad-abad pertama Islam banyak. Keberadaan mereka terentang dari Mesir sampai Tanah Khurasan.

Hanya saja, dari sekian banyak ahli fikih yang ada, hanya Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad yang paling dikenal dalam sejarah. Metode-metode fikih mereka dipelajari, diambil, dan kadang ditetapkan sebagai mazhab resmi pada negara-negara muslim yang ada, dulu dan sekarang. Kitab-kitab fikih mereka terus dikaji sampai sekarang.

Keadaan seperti itu banyak disebabkan oleh adanya pengikut-pengikut mereka yang membakukan metode fikih masing-masing dalam sejumlah karya tulis. Karya-karya yang dimaksud kemudian disalin ulang oleh banyak orang untuk akhirnya dibaca dan dikaji di banyak negeri. Artinya, metode mereka terabadikan oleh tulisan-tulisan para pengikut mereka.

Fikih Abu Hanifah, misalnya, banyak diketahui orang lewat karya-karya Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi. Fikih Imam Malik banyak diketahui dan dipelajari orang di berbagai negeri lewat karya-karya Ibnu Abdil Bar. Fikih Syafi’i banyak diketahui orang-orang waktu itu lewat karya-karya Al-Baihaqi dan An-Nawawi. Fikih Ahmad bin Hanbal banyak diketahui lewat karya-karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi. Dari situlah kemudian masyarakat luas mengenal adanya Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hanbali.

Di banyak negeri muncul orang-orang yang bermazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Masing-masing para pengikut ada pula yang akhirnya menuliskan kembali fikih-fikih imam mazhab mereka dalam karya yang lebih tipis atau lebih ringkas atau lebih sederhana agar dapat dipahami oleh generasi penuntut ilmu yang muncul di kemudian hari.

Tidak hanya berupa sebuah uraian, di antara karya tersebut ada yang berupa untaian-untaian sajak agar mudah dihafalkan. Sebaliknya, dari karya-karya para pengikut mazhab tersebut, kemudian muncul pula sejumlah penulis yang membuat komentar-komentar dari karya-karya ringkas itu atau sajak-sajak yang berisi dasar-dasar fikih suatu mazhab.


DAFTAR NAMA AHLI-AHLI FIKIH SAMPAI ABAD KE-4 HIJRIAH

I. DARI PENDUDUK MADINAH

Dari Kalangan Sahabat Rasulullah
Umar bin Al-Khaththab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq

Dari Kalangan Tabi’in
Sa’id bin Al-Musayyib, Urwah bin Zubair bin Awwam, Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, Sulaiman bin Yasar, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Abu Bakar bin Abdirrahman bin Al-Harits bin Hisyam, Ali bin Al-Husein, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, Salim bin Abdillah bin Umar, Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Al-Husein Al-Baqir, Umar bin Abdil Aziz

Dari Kalangan setelah Tabi’in
Abdullah bi Yazid bin Hurmuz, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Abu Zinad Abdullah bin Dzakwan, Yahya bin Sa’id Al-Anshari

Dari Kalangan setelah Mereka
Malik bin Anas dan Abdul Aziz bin Abi Salamah Al-Majisyun

Murid Imam Malik dari Penduduk Madinah
Abdul Malik bin Abdil Aziz Al-Majisyun

Murid Imam Malik dari Penduduk Mesir
Abdurrahman bin Al-Qasim dan Asyhab bin Abdil Aziz


II. DARI PENDUDUK MEKKAH
Dari Kalangan Sahabat Rasulullah
Abdullah bin Abbas

Murid-Murid Abdullah bin Abbas
‘Atha’ bin Abi Rabah, Thawus bin Kaisan, Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, Jabir bin Zaid, Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah

Setelah Mereka
Amr bin Dinar

Setelah Amr bin Dinar
Ibnu Juraij dan Sufyan bin ‘Uyainah

Setelah Ibnu Juraij dan Sufyan bin ‘Uyainah
Muslim bin Khalid Az-Zanji dan Sa’id bin Salim Al-Qaddah

Setelah Muslim bin Khalid Az-Zanji dan Sa’id bin Salim Al-Qaddah
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i

Murid-Murid Imam Asy-Syafi’i
Abu Ibrahim bin Yahya Al-Muzani, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi, Abul Walid Musa bin Abil Jarud, Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi


III. AHLI-AHLI FIKIH DARI PENDUDUK KUFAH

Dari Kalangan Sahabat Rasulullah
Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud

Dari Kalangan Tabi’in
Alqamah bin Qais, Al-Aswad bin Yazid, Amr bin Syarahbil Abu Maysarah, Abidah bin Amr As-Salmani, Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi, Masruq bin Al-Ajda’, Abdullah bin Utbah

Setelah Mereka
Amir bin Syarahil dan Ibrahim An-Nakha’i

Setelah Mereka Berdua
Al-Hakam bin Utaibah Al-Kindi, Hammad bin Abi Sulaiman, Mansur bin Al-Mu’tamir, Al-Mughirah bin Al-Miqsam

Setelah Mereka
Abdullah bin Syubrumah, Abdurrahman bin Abi Laila, Abu Hanifah

Setelah Mereka
Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri dan Al-Hasan bin Shalih bin Hayy

Murid-Murid Abu Hanifah
Zufr bin Al-Hudzail, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim, ‘Afiyah bin Yazid, Asad bin Amr

Murid-Murid Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri
Abdullah bin Al-Mubarak, Waki’ bin Al-Jarrah, Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al-Fazari, Abdurrahman bin Mahdi, Adh-Dhahhaq bin Muzahim

Murid-Murid Al-Hasan bin Hayy
Humaid bin Abdirrahman Ar-Ruasi dan Yahya bin Adam


IV. AHLI-AHLI FIKIH DARI PENDUDUK BASHRAH

Dari Kalangan Sahabat Rasulullah
Abu Musa Al-Asy’ari dan Imran bin Hushain

Dari Kalangan Tabi’in
Humaid bin Abdirrahman Al-Himyari dan Mutharrif bin Abdillah bin Asy-Syikhkhir

Setelah Mereka
Al-Hasan bin Abil Hasan Al-Bashari, Muhammad bin Sirin, Jabir bin Zaid (telah disebutkan dalam daftar murid-murid Abdullah bin Abbas), Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al-Jarami

Setelah Mereka
Ayyub bin Kaisan As-Sahtiyani, Yunus bin ‘Ubaid, Utsman bin Muslim Al-Buti

Setelah Mereka
Ubaidullah bin Al-Hasan Al-Qadhi, Hammad bin Zaid, Bisyr bin Al-Mufadhdhal

Setelah Mereka
Mu’adz bin Mu’adz Al-Anbari dan Muhammad bin Abdillah Al-Anshari

Setelah Mereka Berdua
Hilal bin Yahya Ar-Ra’yi


V. AHLI-AHLI FIKIH DARI PENDUDUK SYAM

Dari Kalangan Sahabat Rasulullah
Mu’adz bin Jabal dan Abu Darda’ Uwaimir bin Zaid

Setelah Mereka
Makhul

Setelah Makhul
Sulaiman bin Musa, Abdurrahman bin Amr Al-Auza’i, Sa’id bin Abdil Aziz


VI. AHLI-AHLI FIKIH DARI PENDUDUK MESIR
Amr bin Al-Harits dan Laits bin Sa’ad

Setelah Mereka
Abdurrahman bin Al-Qasim dan Asyhab bin Abdil Aziz (dua orang ini telah disebutkan dalam daftar murid-murid  Imam Malik bin Anas)

Setelah Mereka
Al-Harits bin Miskin dan Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakam

VII. AHLI-AHLI FIKIH DARI PENDUDUK KHURASAN
Adh-Dhahhak bin Muzahim (telah disebutkan dalam daftar murid-murid Sufyan Ats-Tsauri), An-Nadhr bin Muhammad Al-Marwazi, Ibrahim bin Maymun Ash-Shaigh, Abdullah bin Al-Mubarak (telah disebutkan dalam daftar murid-murid Ats-Tsauri)

Setelah Mereka
Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Yahya bin Aktsam

Murid-Murid Al-Auza’i yang Paling Kuat Hafalannya
Abdullah bin Al-Mubarak dan Al-Walid bin Mazid

Murid-Murid Ayyub As-Sahtiyani yang Paling Kuat Hafalannya
Hammad bin Salamah, Abdul Warits bin Sa’id Al-Anbari, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdurrahman bin Mahdi, Abdullah bin Al-Mubarak, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi

Murid-Murid Sa’id bin Abi Arubah yang Paling Kuat Hafalannya

Yazid bin Zurai’, Sarrar bin Mujasysyir, Mush’ab bin Mahan.[RN]

Selasa, 22 Oktober 2013

TURKI USMANI DI MATA SALAFI

Kakek-moyang bangsa Turki berasal dari Turkistan, di sebelah timur sungai Oxus. Mereka kemudian mengembara ke barat kekuasaan kaum muslimin, berpindah dan menetap di wilayah Turki sekarang. Mereka pernah menjadi pengawal kekuasaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah dari ancaman-ancaman yang diberikan oleh kelompok-kelompok Syiah dan Khawarij. 

Karena bukan dari Quraisy, di mata kaum muslimin waktu itu, Turki Usmani tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai kekhalifahan. Meski demikian, sebagaimana ditulis Philip K. Hitti dalam History of the Arabs, agar dapat diakui sebagai suatu kekhalifahan dalam lembaran sejarah Islam pihak Turki Usmani mengadakan semacam upaya timbang-terima legitimasi dengan seseorang keturunan Dinasti Abbasiyah yang lemah. Diharapkan, publik sejarah kelak dapat melihat bahwa itulah peristiwa yang membuat Turki Usmani menjadi pewaris kekhalifahan Islam.

Karena alasan itulah, komunitas Salafi percaya bahwa Turki Usmani bukan suatu kekhalifahan tetapi hanya keamiran biasa. Pandangan ini jelas berbeda dari pandangan kalangan pergerakan Islam, seperti kelompok Hizbut Tahrir, yang tetap yakin bahwa Turki Usmani adalah sebuah kekhalifahan Islam seperti halnya Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, sehingga hari pembubaran Turki Usmani diperingati sebagai hari hilangnya kekhalifahan Islam.

Perpecahan Masa Dinasti Abbasiyah
Sebelum mundur lalu tenggelam, sudah muncul bibit-bibit perpecahan di dalam tubuh kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Dapat dikatakan, perpecahan itu mengendap banyak disebabkan oleh kekecewaan terhadap kebijakan pemerintahan. 

Di antara kelompok-kelompok yang kecewa dan membangun pemerintahan setengah merdeka di barat wilayah Dinasti Abbasiyah adalah Dinasti Umayyah di Spanyol, Dinasti Idrisiyah dan Dinasti Aglabiyah di timur Afrika, Dinasti Thulun dan Dinasti Hamdaniyah di Mesir dan sebagian Syam. Di timur wilayah Dinasti Abbasiyah, bergantian berdiri kelompok-kelompok yang ingin mendikte khalifah di Bagdad. Di antara mereka adalah Dinasti Thahiriyah, Dinasti Saffariyah, Dinasti Samaniyah, Dinasti Ghaznawi, dan Dinasti Seljuk yang menjadi cikal-bakal Turki Usmani. Semua kelompok itu memakai gelar amir dan masih mengakui khalifah Dinasti Abbasiyah.

Syiah adalah kelompok yang sangat ingin berpisah dari Dinasti Abbasiyah. Selain didorong oleh akidah yang dianut, Syiah juga didorong oleh kekecewaan masa lalu terhadap Dinasti Abbasiyah. Terlebih lagi khalifah Dinasti Abbasiyah yang pertama, khalifah As-Saffah menyingkirkan kelompok Syiah setelah bersama-sama berhasil menggulingkan pemerintahan Dinasti Umayyah.

Akidah Syiah menjadi suatu kekuatan memberontak bagi beberapa kelompok yang ada. Sebagai misal, Dinasti Idrisiyah, Dinasti Hamdaniyah, dan Dinasti Samaniyah adalah kelompok-kelompok yang berakidah Syiah dan berhasil mendirikan kekuatan politik yang setengah merdeka dari Dinasti Abbasiyah. 

Akan tetapi, dalam sejarah Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fatimiyah dan Dinasti Buwaihi tercatat sebagai kekuatan-kekuatan politik Syiah yang paling brutal dalam merongrong kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Jika Dinasti Fatimiyah terang-terangan mengaku sebagai kekhalifahan dan memisahkan diri dari Dinasti Abbasiyah, maka Dinasti Buwaihi menggunakan kekuatan mereka untuk mengatur-atur khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah.

Dinasti Abbasiyah memang memasuki kehancuran setelah Dinasti Buwaihi memegang kekuasaan atas khalifah. Mereka mengatur para khalifah sekehendak hati, termasuk menyingkirkan khalifah yang tidak disukai. Khalifah Dinasti Abbasiyah baru terlepas dari Dinasti Buwaihi setelah Dinasti Seljuk yang Sunni merebut Bagdad pada tahun 1056. Dinasti Seljuk berkuasa hanya sampai tahun 1194. 

Khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah setelah itu kembali menjadi permainan orang-orang Syiah sampai muncul serbuan orang-orang Mongol. Bagdad jatuh ke tangan orang-orang Mongol pada tahun 1258. Sejak saat itu, Dinasti Abbasiyah hanya menjadi nama tanpa kekuasaan sama sekali yang melegitimasi suatu kekuatan politik, baik di timur ataupun di barat wilayah kaum muslimin kecuali pemerintahan Islam di Andalusia.

Politik Turki Usmani
Sebenarnya, kejayaan Islam mulai muncul kembali ketika Turki Usmani berdiri dan berkembang menjadi suatu kekuatan politik di tengah-tengah kaum muslimin. Dengan komitmen membela Islam dari ancaman Kristen Eropa, Turki Usmani perlahan-lahan meluaskan pengaruhnya ke luar dan dalam negeri. Kekuasaan Turki Usmani berlangsung sejak tahun 1280 sampai Tahun 1923. Selama periode yang panjang ini, Turki Usmani mesti bersaing dengan dua kekuatan dominan di bagian timur yang juga mengatasnamakan Islam. Mereka adalah Kesultanan Mogul di India dan Kesultanan Safawiyah di Iran.

Dengan identitas keturkian yang mereka miliki, Turki Usmani berusaha meneruskan upaya jihad melawan kekaisaran Romawi yang sedang mengalami kemunduran. Puncak dari usaha itu adalah ketika Konstantinopel berhasil direbut pada tahun 1453 di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad II. Ibukota Turki Usmani pun pindah ke Konstantinopel. Penaklukan itu dicatat sebagai puncak pencapaian kaum muslimin dalam bidang militer.

Kejayaan Turki Usmani diteruskan oleh beberapa sultan berikutnya. Salah satu di antara mereka adalah Sulaiman Al-Qanuni. Di bawah kepemimpinannya, Turki Usmani mewakili nama Islam di dunia. Sampai saat itu juga, Turki Usmani mewakili komunitas Islam Sunni berhadapan dengan kekuasaan Syiah di wilayah Safawilyah. Wilayah taklukan Turki Usmani pun membentang hingga mencapai wilayah-wilayah Eropa Timur dan Rusia. Konstantinopel meneruskan tradisi sebagai pusat peradaban maju dunia.

Kemunduran Turki Usmani
Turki Usmani mulai mundur ketika muncul konflik-konflik dalam negeri. Intrik-intrik untuk merebut kekuasaan atau merebut pengaruh atas kekuasaan sultan yang memerintah adalah dua faktor besar yang dapat memunculkan konflik dalam negeri. Selain itu, wibawa penguasa Turki Usmani yang mulai merosot akibat dekadensi moral turut memengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Akibat lebih jauh, muncul pula kekecewaan-kekecewaan di antara rakyat Turki Usmani.

Daerah-daerah yang baru ditaklukkan, seperti daerah-daerah di Balkan, Eropa, menyimpan ketidakpuasan terhadap Turki Usmani. Bagi mereka, Turki Usmani tidak lebih dari penjajah yang hanya mengeruk kekayaan lewat pajak-pajak atas mereka. Di sisi lain, mereka pun menolak untuk masuk Islam. Usaha Vlad Drakula atau Vlad Tepez atau Vlad si Penyula adalah contoh baik tentang betapa gigih orang-orang Balkan menentang kekuasaan Turki Usmani.

Dan usaha mereka lambat laun menunjukkan hasil. Satu per satu daerah-daerah di Eropa itu melepaskan diri. Kekuatan militer Turki Usmani yang melemah juga turut menjadi sebab keberhasilan mereka dalam melepaskan diri.

Puncak dari itu semua adalah ketika muncul ketidakpercayaan pada kaum muslimin terhadap pemerintah Turki Usmani. Suara-suara ketidakpercayaan menghendaki agar kekuasaan atas kaum muslimin diberikan kepada orang-orang Quraisy Arab, sebab kekhalifahan hanya sah di tangan mereka. Di lain pihak, muncul pula kelompok-kelompok kaum muslimin yang justru tidak percaya pada sistem pemerintahan Islam itu sendiri. Mereka menghendaki perubahan segera.

Ketertinggalan negeri-negeri Islam dari Barat ikut memengaruhi suara-suara ketidakpercayaan itu. Turki Usmani waktu itu, di mata kaum muslimin yang kagum terhadap negara-negara Eropa yang maju, sudah tertinggal jauh. Bagi mereka, Turki Usmani mesti belajar kepada negara-negara Eropa tersebut agar dapat kembali meraih posisi terdepan dalam peradaban dunia.

Semua itu berakhir ketika pandangan bahwa agama mesti dipisahkan dari negara diterima banyak orang, sebagaimana negara-negara di Eropa banyak yang telah melakukan hal itu. Didorong oleh gagasan tersebut lewat perdebatan-perdebatan sengit banyak kalangan, Turki Usmani berhasil dibubarkan pada tahun 1923 dan digantikan dengan satu Republik Turki yang sekuler.

Pamungkas Kata
Bagi kelompok Salafi, Turki Usmani adalah kekuatan yang pernah membawa harum nama Islam di pentas dunia. Penaklukan Konstantinopel tahun 1453 adalah puncak dari semua itu. Meski demikian, Turki Usmani tetaplah satu keamiran, satu kesultanan dan bukan kekhalifahan. 

Kelompok Salafi masih tetap memegang teguh prinsip yang telah Nabi Muhammad gariskan beberapa abad silam: khalifah di tangan Quraisy. Bahkan, orang-orang Arab yang bukan Quraisy pun, seperti orang-orang Anshar di Madinah, tetap tidak bisa menjadi kekuatan kekhalifahan atas negeri-negeri kaum muslimin. Agaknya, pada titik prinsip inilah, kelompok Salafi kembali banyak dikatakan orang sebagai kelompok muslim literalis.[]

Selasa, 08 Oktober 2013

BIOGRAFI MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB

Muhammad bin Abdil Wahhab lahir di ''Uyainah, Nejed, pada tahun 1115 H (1703 M). Ia adalah salah satu anak laki-laki Abdul Wahhab bin Sulaiman. Nasab mereka adalah Muhammad bin Abdil Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf bin Umar At-Tamimi. Karena itu, mereka semua dikenal sebagai alu Musyarraf (dinasti atau keluarga keturunan Musyarrof).

Adalah sesuatu yang galib terjadi pada saat itu, bila Sulaiman bin Ali, kakek Muhammad bin Abdil Wahhab, mendorong anak-anaknya untuk mempelajari dan mendalami Islam secara serius. Selain Abdul Wahhab, ada adiknya, Ibrohim, yang mengikuti jejak ayah mereka berdua. Oleh karena itu, dalam lingkaran keluarga terdekatnya, Muhammad bin Abdil Wahhab telah mengenal secara akrab gaya hidup kaum terpelajar (scholarship) pada saat itu. Kakek, ayah dan pamannya adalah agen-agen langsung kehidupan seperti itu.

Talaqqi
Dapat dipahami bila kemudian Muhammad menghabiskan masa kanak-kanak tidak sebagaimana kelaziman anak-anak sebayanya pada saat itu. Sejak usia dini, ayahnya telah menyibukkannya dengan hafalan-hafalan Al-Qur'an ketimbang menghabiskan waktu bermain-main seperti anak-anak yang lain. 

Dalam mempelajari agama, menghafal Al-Qur'an adalah salah satu tahapan yang mesti dilalui oleh seorang pelajar sebelum ia membaca dan mempelajari masalah-masalah agama yang lain. Hal ini sudah jamak.Belum genap memasuki usia yang kesepuluh tahun, Muhammad telah menghafal Al-Qur'an. 

Pencapaian itu kemudian diteruskan oleh ayahnya dengan pelajaran-pelajaran yang lain. Kepada ayahnya, untuk pertama kali, Muhammad mulai mengambil pelajaran-pelajaran dalam bidang tafsir, hadits, fiqih dan mengenal perkataan-perkataan para ulama.

Mengambil pelajaran, ilmu agama, langsung kepada seorang guru sudah menjadi kebiasaan yang berumur ribuan tahun pada saat itu. Dengan cara membacakan langsung kepada guru, atau yang diistilahkan dengan Al-'Ardh, atau dengan dibacakan kepadanya, seorang murid berhadapan dan berkenalan langsung dengan kepribadian dan kapasitas ilmu gurunya.

Tradisi tersebut ada dan terus ada atas dasar bahwa ilmu agama yang diwarisi tersebut harus memiliki sandaran jelas dan bersambung, berantai, menuju masa silam, ke pribadi Sang Nabi, Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththallib Al-Hasyimi Al-Qurasyi, beberapa abad yang lampau. "Kalau saja tidak ada rantai (seperti) ini," kata Abdullah bin Mubarok suatu hari, "niscaya siapa pun akan bicara semaunya tentang agama ini."

Tradisi yang dimaksud dikenal dengan sebutan talaqqi. Inilah yang dilakukan oleh Muhammad.

Selain kepada ayahnya, pada saat itu, Muhammad juga mengambil beberapa pelajaran dari pamannya, Ibrahim bin Sulaiman. Didukung oleh keadaan lingkungan sekitarnya dan kecerdasan berikut ketekunan yang dimilikinya, Muhammad menyita perhatian yang lebih dari orangtuanya.

Pernah suatu hari ayahnya mengirim surat kepada saudara-saudara yang lain, bercerita tentang Muhammad. "Sungguh," tulisnya, "aku banyak mendapatkan faidah dari anakku ini."

Kebanggaan seorang ayah dan keadaan yang sebenarnya pada diri anaknya, adalah masuk akal bila Abdul Wahhab kemudian menunjuk Muhammad sebagai imam shalat orang-orang setempat pada waktu itu. Juga dalam usia yang terlalu dini bagi kita sekarang, ayahnya menikahkannya.

Rihlah
Beberapa waktu setelah penikahannya, Muhammad menghadap ayahnya, meminta izin untuk mengadakan perjalanan haji yang pertama ke Mekkah. Meski masih berusia remaja, ayahnya tidak menghalangi niat baik ini. Muhammad berangkat ke Mekkah.

Ritual haji, bagi sebagian orang, bukan sekedar rukun Islam yang kelima. Lebih dari itu, haji adalah sebuah perjalanan rindu dari seorang pencinta menuju yang dicinta. Seperti keberpulangan segala sesuatu menuju asal segala sesuatu, dengan kesadaran bahwa dunia ini adalah fana.

Bagi Muhammad pada waktu itu, haji ini adalah persentuhannya yang pertama dengan jagad makro dunia Islam. Ia melihat dengan mata-kepalanya sendiri ragam keberislaman banyak orang.

Ia melihat majelis-majelis tempat berkumpul banyak orang mengkaji Islam di Mekkah, demikian pula ketika berdiam di Madinah selama hampir dua bulan. Ada kemungkinan, bahkan, ketika di Madinah inilah, ia mulai mengenal Syaikh Abdullah bin Saif, salah seorang gurunya kelak di tanah Hijaz ini.

Kebanyakan orang-orang yang disaksikan Muhammad di Mekkah dan Madinah pada waktu itu, mereka semua, berada dalam salah satu rangkaian rihlah mereka untuk mempelajari ilmu agama.

Rihlah diartikan sebagai perjalanan ke luar daerah. Rihlah, apabila dikaitkan dengan ilmu agama, maka dapat berarti suatu perjalanan keluar daerah untuk mencari guru dan melakukan talaqqi kepadanya. 

Ar-rihlah fi tholabil ilmi adalah ungkapan umum yang semakna untuk upaya mencari ilmu agama. Karena kedudukan ilmu agama yang sangat penting, rihlah dipandang sebagai suatu bentuk ibadah tersendiri yang tidak kalah penting dengan ibadah-ibadah yang lain. 

Seseorang yang telah menghabiskan waktunya untuk rihlah biasanya akan dimuliakan oleh masyarakat tempat ia berdiam. Ia akan dihomati, bahkan disegani oleh banyak pihak, termasuk oleh para penguasa negeri-negeri Islam. Hasil dari rihlah inilah kemudian yang disampaikan dalam majelis-majelis talaqqi.

Mazhab Hanbali
Setelah ritual hajinya berakhir, dan hampir dua bulan berada di Madinah, Muhammad memulai kembali pelajaran-pelajarannya di 'Uyainah. Masa ini dapat dikatakan sebagai fase kedua belajarnya.

Tidak seperti fase pertama, sebelum perjalanan haji, pada fase kedua ini, pelajaran yang diambil Muhammad jauh lebih intensif. Kepada ayahnya, ia memperdalam pelajaran-pelajaran di bidang tafsir, hadits, ushul dan tauhid. Ia juga memperdalam fiqih mazhab Hanbali.

Khusus dalam bidang fiqih, sepanjang sejarah Islam, telah muncul banyak mazhab-mazhab fiqih. Laitsi, Awza'i, Hanafi, Maliki, Sufyani, Dzahiri, Syafi'i, dan Hanbali adalah beberapa contoh mazhab fiqih yang pernah muncul dalam sejarah. 

Akan tetapi, dari semua mazhab fiqih tersebut, hanya empat mazhab yang dikenal luas sampai hari ini. Bahkan, pada umumnya orang-orang cenderung untuk menafikkan mazhab-mazhab lain di luar keempat mazhab tersebut. Keempat mazhab yang dimaksud adalah mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. 

Keempat mazhab ini muncul sebagai hasil dari hubungan guru-murid yang ada. Mereka, para guru yang dimaksud, menyampaikan pengetahuan-pengetahuan kepada murid-murid mereka masing-masing. 

Termasuk yang disampaikan di dalam majelis-majelis guru mereka adalah prinsip-prinsip pokok dalam mengambil suatu keputusan hukum dari permasalahan-permasalahan fiqih yang ada. Di kemudian hari, murid-murid tersebut menyebarluaskan bentuk-bentuk pengetahuan dari guru-guru mereka melalui majelis-majelis talaqqi, yang kemudian menarik banyak pengikut di berbagai belahan negara-negara Islam.

Prinsip-prinsip dalam mengambil keputusan hukum inilah kemudian dikenal dengan sebutan mazhab, yang pada titik waktu tertentu—bahkan—suatu mazhab dapat menarik banyak pengikut, lalu mereka jadikan sebagai mazhab fiqih negara tempat mereka hidup.

Mazhab Hanbali pun seperti itu. Mazhab fiqih ini banyak diperkenalkan sekaligus disebarluaskan oleh para pengikut imam mazhab ini, Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani (164 - 241 H). 

Di antara mereka, yang melalui karyanya banyak kalangan mengenal Ahmad bin Hanbal beserta mazhab fiqihnya, adalah Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi. Karya terkenalnya adalah Al-Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani. 

Buku tersebut memuat banyak kutipan pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal dalam berbagai masalah fiqih. Banyak pihak yang merujuk karya ini untuk melihat pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal. 

Dari karya ini kemudian meluas pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal dalam masalah fiqih ke berbagai tempat. Mereka yang kemudian bermazhab Hanbali dikenal dengan sebutan Al-Hanabilah.

Dalam memutuskan hukum suatu masalah, Ahmad bin Hanbal membangun keputusan-keputusannya di atas lima pokok utama. Dari kelima pokok inilah, murid-murid dan para pengikut mereka terbedakan dari pengikut-pengikut mazhab-mazhab fiqih yang lain. 

Kelima pokok yang dimaksud adalah (1) Al-Qur'an dan hadits-hadits shohih Nabi Muhammad; (2) segala sesuatu yang diputuskan (difatwakan) sahabat Nabi Muhammad; (3) pendapat sahabat Nabi Muhammad yang paling dekat dengan Al-Qur'an dan hadits-hadits shohih ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tersebut; (4) hadits-hadits yang berderajat dhoif dan mursal (selama berderajat tidak tertolak dan mungkar) ketika tidak ada dalil-dalil Al-Qur'an dan hadits serta pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi Muhammad yang dapat dipakai untuk memutuskan tentang suatu masalah; dan terpaksa dengan (5) kias (qiyas) ketika tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur'an, hadits shohih, perkataan para sahabat atau pendapat dari mereka dan riwayat-riwayat yang berderajat dhoif dan mursal.

Sebagai ilustrasi, apabila muncul suatu persoalan lalu ditemukan ayat atau hadits yang menjelaskan masalah yang dimaksud, maka masalah  itu diputuskan sesuai ayat atau hadits tersebut dan tidak berpindah kepada segala sesuatu yang menyelisihi ayat atau hadits tersebut.

Demikian pula, apabila ditemukan satu keputusan dari seorang sahabat atau lebih dalam suatu masalah yang tidak ada satu pun sahabat-sahabat lain yang menyelisihinya, maka masalah tersebut diputuskan seperti itu pula. Dalam hal ini, biasanya Ahmad bin Hanbal tidak mengatakan bahwa ini adalah hasil ijma', tetapi dengan ungkapan "Tidak kuketahui sesuatu yang lain semisal ini."

Sebaliknya, apabila terdapat perbedaan pendapat di antara sahabat Nabi Muhammad dalam suatu masalah, maka Ahmad bin Hanbal memilih pendapat yang paling dekat dengan Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi Muhammad. Ia tidak keluar dari penafsiran (pemahaman) para sahabat. 

Apabila ternyata tidak ada satu pun pendapat mereka yang sesuai atau mendekati Al-Qur'an dan hadits-hadits, maka Ahmad bin Hanbal menyampaikan pendapat-pendapat tersebut tanpa menetapkan yang benar di antara semua itu.

Apabila muncul suatu persoalan dan ternyata tidak ditemukan satu pun dari dalil-dalil Al-Qur'an dan hadits serta pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi Muhammad yang dapat dipakai untuk memutuskan tentang suatu masalah, maka akan diambil hadits-hadits yang berderajat dhoif dan mursal untuk memutuskannya selama hadits-hadits tersebut bukan hadits-hadits yang tertolak atau mungkar. 

Terakhir, apabila untuk suatu persoalan tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur'an, hadits shohih, perkataan para sahabat atau satu pun pendapat dari mereka, riwayat-riwayat hadits yang dhoif dan mursal, maka terpaksa akan digunakan kias untuk memutuskan persoalan tersebut. 

Tauhid dan Syirik
Selain mengambil pelajaran-pelajaran tersebut, Muhammad juga sering menyalin dan menelaah karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Karya-karya kedua orang ini turut mempengaruhi tulisan-tulisannya nanti.

Baik Ibnu Taimiyah (661–728 H) atau pun Ibnul Qayyim (691–751 H), masing-masing banyak menulis tentang masalah-masalah tauhid. Bagi mereka berdua, tauhid yang murni dan jauh dari segala pembatal-pembatal tauhid lebih penting dari segala permasalahan yang ada. Tauhid yang benar justru akan memperbaiki segala macam ibadah seorang hamba.

Hal inilah yang bertolakbelakang dengan segala sesuatu yang disaksikan Muhammad di sekitarnya. Kenyataan tersebut ternyata baru disadarinya pada fase kedua ini.

Nejed pada waktu itu banyak dipenuhi dengan praktek-praktek kesyirikan.

Banyak kubah dibangun di atas kuburan-kuburan, menjadi tempat peribadatan. Di Jubailah (Wadi Hanifah), satu kuburan yang diyakini sebagai kuburan Zaid bin Khaththab dijadikan tempat ibadah; banyak orang mencari berkah dengan cara mengusap-usap kubah kuburan tersebut. Sebagian lagi bernazar di sisi kuburan. Demikian pula di Dir'iyyah, banyak kuburan yang diyakini sebagai kuburan-kuburan sahabat Nabi Muhammad diberi kubah dan dijadikan tempat-tempat ibadah.

Selain itu, pohon-pohon tua yang dianggap keramat diibadahi dan diambil berkah. Banyak wanita-wanita mandul mendatangi pohon-pohon tersebut. Mereka mengusap-usap pohon-pohon itu seraya meminta anak.

Praktek-praktek sihir pun ikut merebak di mana-mana. Semua ini terjadi justru ketika di Nejed masih terdapat orang-orang yang tahu tentang bahaya praktek-praktek tersebut. Akan tetapi, sedikit dari mereka yang mampu menghadapi semua ini.

Keadaan tersebut, sebenarnya, bukan menjadi kekhususan Nejed saja pada waktu itu. Badri Yatim, ketika menggambarkan keadaan Islam pada abad ke-18 M, sempat menyinggung tentang praktek-praktek yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Hijaz.

Tentang praktek sihir, misalnya, para penguasa Mekkah ternyata menggunakan tukang sihir dalam menjalankan atau merebut kekuasaan. Demikian pula dengan kewalian, banyak orang yang mempercayai bahwa darwis-darwis Sufi adalah para wali. Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang mempercayai bahwa imam Mahdi bisa muncul ke tengah mereka dalam wujud orang gila untuk menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan sosial mereka.

Dalam masalah perayaan-perayaan, pada waktu itu, dikenal berbagai macam hari raya selain hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Di Mekkah saja, dikenal hari raya maulid Nabi, maulid Fatimah, maulid Khadijah, maulid Aminah, maulid Ali, Isro' Mi'raj, nishfu Sya'ban, hari raya Asyura', juga peringatan hari keenam dan hari Rabu terakhir bulan Shofar. Adapun di Madinah, banyak orang yang berkumpul dan berziarah secara khusus ke kuburan Hamzah bin Abdil Muththalib, paman Nabi Muhammad, juga kuburan-kuburan para syuhada' Perang Uhud. Semua perayaan ini dilakukan di kuburan-kuburan orang yang dimaksud.

Hijaz I
Keadaan masyarakat seperti itulah yang turut menggugah kesadaran Muhammad; semua yang ada jelas bertentangan dengan segala sesuatu yang dibaca dan dipelajarinya. Ia mesti melakukan sesuatu untuk mereka.

Pada tahun 1135 H, Muhammad memulai rangkaian rihlahnya. Waktu itu, ia berumur 20 tahun. Tempat pertama yang ditujunya adalah dua tanah suci, Mekkah dan Madinah. Sejak perjalanan haji yang pertama, telah terpatri di benak Muhammad bahwa kedua tempat suci inilah yang menjadi tujuan pertama dalam rangkaian rihlahnya nanti.

Tempat yang ditujunya pertama kali adalah Mekkah. Dari sana, Muhammad pergi ke Madinah. Hampir sebagian besar sumber-sumber yang ada tidak memberi keterangan tentang guru-guru yang didatanginya di Mekkah. 

Akan tetapi, di Mekkah ini Muhammad bertemu dan berguru kepada Syaikh Abdullah bin Salim Al-Bashari. Orang inilah yang tercatat sebagai guru Muhammad yang ketiga setelah ayah dan pamannya. Dibanding dengan murid-murid yang lain, Muhammad adalah murid Syaikh Abdullah bin Salim Al-Bashari yang paling akhir meninggal dunia.

Berbeda dengan Mekkah, banyak keterangan yang bisa didapatkan tentang guru Muhammad ketika rihlah ke Madinah. Di kota inilah, ia banyak menghabiskan waktu rihlahnya di tanah Hijaz.

Di antara guru-gurunya di Madinah yang sempat didatanginya pada kesempatan rihlah pertama ini adalah Syaikh Abdullah bin Saif dan Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi. Kedua syaikh ini dikenal sebagai ulama terpandang pada waktu itu.

Kepada Syaikh Abdullah bin Saif, Muhammad banyak mengambil pelajaran penting dan mendapatkan rekomendasi darinya untuk mengajarkan beberapa pelajaran. Antara keduanya terjadi hubungan guru-murid yang akrab.

Masing-masing memiliki perhatian yang sama dalam masalah tauhid. Ketika melihat keadaan masyarakat Hijaz dan Nejed yang banyak terjatuh ke dalam praktek-praktek kesyirikan, gurunya memberikan perhatian dan dorongan yang lebih kepada Muhammad.

"Pernah suatu hari aku berada di dekat guruku itu," cerita Muhammad. "Ia pun bertanya kepadaku, 'Maukah kuperlihatkan kepadamu senjata ampuh untuk mengubah masyarakat?'. Kujawab, tentu. Aku pun dibawa masuk ke suatu ruangan oleh guruku itu. 'Inilah senjata kita untuk mengubah masyarakat,' ujarnya sembari menunjuk ke buku-buku yang ada dalam ruangan itu."

Adalah Syaikh Abdullah bin Saif inilah yang menghubungkannya dengan guru selanjutnya, Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi. Masih berada di Madinah, Muhammad kemudian meneruskan pelajarannya ke Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi.

Gurunya yang baru ini adalah juga seorang yang membenci dan mengingkari berbagai praktek kesyirikan dan kebid'ahan. Madinah, sebagaimana tempat-tempat yang lain saat itu, tidak lepas dari praktek-praktek tersebut. Ia juga membenci sikap fanatik terhadap mazhab-mazhab fiqih tertentu dan sikap abai terhadap hadits-hadits shohih yang ada.

Sebagaimana kepada guru sebelumnya, Muhammad banyak mengambil manfaat dari Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi. Gurunya ini pula yang banyak memberi pengaruh terhadapnya.

Irak
Setelah menyelesaikan pelajaran-pelajarannya di Madinah, Muhammad kembali pulang ke 'Uyainah. Di negerinya ini, ia menetap selama satu tahun, sebelum meneruskan kembali rangkaian rihlahnya. Ia kemudian pergi ke Basrah, Irak.

Basrah, kota lama di Irak, sudah terkenal sebagai tempat para pelajar bertalaqqi; Basroh menjadi salah satu tujuan rihlah para pelajar tersebut. Termasuk Muhammad, sebelum meneruskan rihlah menuju negeri Syam.

Di Basrah, Muhammad belajar kepada Syaikh Muhammad Al-Majmu'i, seorang ulama yang berdiam di kampung Majmu'ah. Selama di Basroh ini, ia mengambil pelajaran nahwu (tata bahasa Arab) dan fiqih. Ia pun banyak menulis hadits. Khusus pelajaran bahasa, terutama ilmu nahwu, ia betul-betul mematangkan pelajaran tersebut.

Berbeda dengan rihlahnya ke tanah Hijaz, selama rihlahnya ke Basrah, ia tidak sekedar mengambil pelajaran pada ulama setempat. Lebih dari itu, ia juga mulai berdakwah ke penduduk di sana. Ia mengajak untuk memurnikan tauhid, melarang praktek-praktek kesyirikan dan kebid'ahan serta mengajak untuk meniti jejak orang-orang saleh yang telah dulu (salafus shalih).

Upaya dakwah seperti dilakukannya itu ternyata mendatangkan reaksi yang negatif dari penduduk setempat. Mereka mendebat, menghina dan menolak semua argumentasi yang dikemukakannya.

Penolakan mereka terus berlanjut. Adakalanya penolakan tersebut sekedar berupa argumentasi-argumentasi bersifat bantahan, namun adakalanya berupa gangguan-gangguan fisik.

Pernah terjadi dalam suatu pertemuan, seorang laki-laki membantah Muhammad sembari memberikan alasan di balik praktek berdoa kepada orang-orang saleh dan para wali yang telah meninggal dunia. Orang tersebut mengatakan bahwa praktek tersebut boleh dan justru diperintahkan oleh Allah dan rasulNya. 

Muhammad pun membantahnya dan menerangkan akan kesalahannya."Kalau yang dia katakan itu benar," balas laki-laki itu kemudian dengan marah, "sungguh orang-orang yang ada sekarang ini celaka semua."

Puncak dari penolakan mereka adalah pengusiran. Muhammad mereka usir dari Basrah. Pengusiran ini menandai akhir rihlahnya di kota itu.

Ahsa'
Semula, setelah Basrah, rangkaian rihlahnya akan diteruskan menuju negeri Syam. Dengan pengusiran ini, rencana tersebut terganggu. Di tengah perjalanan dari Basroh, setelah pengusiran itu, hanya dengan berjalan kaki sendiri dan rasa haus yang menyertainya, Muhammad hampir menemui ajalnya.

Ia beruntung pada waktu itu. Ia sempat ditolong oleh seseorang yang bernama Abu Humaidan. Olehnya, Muhammad diberi minum dan kemudian dibawanya menuju kota Zubair.

Ada banyak perbedaan pendapat tentang rihlah Muhammad ke kota Basrah. Akan tetapi, rihlah ke kota ini berlangsung lebih dari satu kali. Muhammad menempuh jalan Nejed-Basrah berkali-kali sampai kemudian diusir dan berdiam beberapa waktu di Zubair.

Dari Zubair, Muhammad pergi ke Ahsa'. Meski tidak selama di Basrah, di Ahsa' ini, Muhammad sempat belajar ke Syaikh Abdullah bin Fairus Al-Kafif. Dari syaikhnya ini, Muhammad dapat menyalin karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang selama ini belum didapatkannya. 

Selain kepadanya, Muhammad sempat juga berdiskusi dengan Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Latif Asy-Syafi'i Al-Ahsai dan Syaikh Muhammad bin Afaliq tentang masalah-masalah tauhid dan aqidah.

Sebagaimana Basrah, rihlah ke Ahsa' ini terjadi berulang kali. Ia menempuh jarak Nejed-Ahsa', sebagaimana Nejed-Basrah.

Hijaz II
Setelah selesai pelajarannya di Ahsa', ia pun kembali ke negerinya. Ia menyusun rencana untuk melanjutkan rangkaian rihlahnya menuju tanah Hijaz kembali. Dari sana, ia berkeinginan menuju Syam.

Untuk kali ketiga, ia melakukan perjalanan ke tanah Hijaz. Dimulai dengan menunaikan ibadah haji, Muhammad kemudian menetap di Mekkah. Dari sana, ia pergi ke Madinah.

Selama di dua tanah suci tersebut, Muhammad mengambil pelajaran pada beberapa syaikh. Mereka adalah Syaikh Ismail bin Muhammad Al-Ajluni, Syaikh Ali Effendi bin Shodiq Ad-Daghistani, Syaikh Abdul Karim Ad-Daghistani, Syaikh Muhammad Al-Burhani dan Syaikh Utsman Ad-Dayyar Bakri.

Khusus Syaikh Ali Effendi bin Shodiq Ad-Daghistani, ia dikenal sebagai guru Muhammad yang berasal dari Syam. Usianya sepuluh tahun lebih muda dari Muhammad. Meski demikian, guru Muhammad ini dikenal sebagai "syaikh para syaikh" di Syam. Saudara sepupunya, Syaikh Abdul Karim Ad-Daghistani, adalah juga guru Muhammad ketika berada di Madinah.

Dari Madinah, Muhammad bermaksud melanjutkan rihlahnya menuju Syam. Akan tetapi, niat itu tidak dapat dilaksanakan. Ia tidak memiliki bekal yang cukup untuk sampai ke Syam.

Berdasarkan keterangan beberapa sumber, ketidakcukupan bekal itu disebabkan oleh musibah yang menimpa Muhammad. Beberapa orang menyerangnya di tengah perjalanan dan mengambil bekal yang ada padanya.

Huraimala'
Kegagalannya melanjutkan rihlah ke negeri Syam, memaksa Muhammad pulang kembali ke Nejed dan memulai dakwahnya di sana. Karena itu, rangkaian rihlahnya di luar Nejed hanya meliputi tiga tempat, Hijaz-Basrah-Ahsa'.

Muhammad belum pernah melakukan rihlah ke tempat-tempat lain di Irak selain Basrah. Ia pun belum pernah sekali pun mengadakan perjalanan rihlah ke negeri Persia. Demikian pula dengan negeri Syam, ia belum pernah ke sana, meski pernah memiliki guru yang berasal dari Syam.

Kepulangannya kali ini menuju Huroimala'. Bukan kembali ke 'Uyainah seperti biasa, sebab ayahnya telah dicopot dari jabatannya sebagai hakim di 'Uyainah oleh penguasa 'Uyainah yang baru.

Tidak ada kepastian tentang tahun kepulangannya ke Huroimala'. Dengan kehati-hatian, Abdullah bin Sholih Al-Utsaimin sendiri lebih memilih untuk mengatakan bahwa kepulangan Muhammad ke Huraimala' terjadi antara tahun 1144 H dan 1149 H.

Kepulangannya ke Huraimala' membuatnya berkumpul kembali dengan orangtuanya, terkhusus dengan ayahnya, Abdul Wahhab. Di Huroimala' ini, Muhammad tetap menghadiri majelis-majelis talaqqi ayahnya, mengambil pelajaran seperti dulu.

Selain mengambil pelajaran, waktu yang dihabiskan Muhammad di Huraimala' digunakan juga untuk berdakwah, sebagaimana yang dilakukannya ketika berada di Basrah. Ia mengajak masyarakat setempat untuk bertauhid dengan benar dan menjelaskan kepada mereka tentang bahaya perbuatan syirik.

Hal ini, baginya, sangat penting. Sampai saat itu, keadaan di Nejed, termasuk di Huraimala', masih tidak berubah, sebagaimana yang disaksikannya beberapa tahun yang lewat, sebelum ia memulai rangkaian rihlahnya.

Dalam menyikapi keadaan yang terjadi di sekitar mereka, terjadi perbedaan  pandangan tentang cara-cara berdakwah (uslub ad-da'wah) antara Muhammad dan ayahnya. Akan tetapi, perbedaan yang terjadi di antara mereka tidak berlarut-larut. Sebelum meninggal dunia pada tahun 1153 H, ayahnya menarik kembali semua pandangannya yang bertentangan dengan cara berdakwah Muhammad.

'Uyainah
Sampai menjelang dua tahun setelah ayahnya meninggal dunia, Muhammad tetap melakukan dakwah di Huraimala'. Meski keadaan di sana kurang mendukung, kabar tentangnya yang mengajak manusia agar bertauhid dengan benar menyebar ke daerah-daerah sekitar. Termasuk pula di antaranya 'Uyainah.

Sebenarnya, di Huraimala' sendiri, dakwah tersebut diterima oleh beberapa pihak. Mereka menghadiri pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Muhammad dan mengambil nasehat-nasehat yang diberikannya.

Di tahun 1154 H, Muhammad pindah ke 'Uyainah. Selain sebagai tempat kelahirannya, 'Uyainah dipimpin oleh orang yang menerima dakwahnya. Orang itu bernama Utsman bin Mu'ammar.

Sebagai penguasa 'Uyainah, Ustman bin Mu'ammar menyambutnya dengan penuh kehormatan. Tidak berhenti sampai di situ, Utsman bin Mu'ammar memerintahkan para pengikutnya untuk juga menerima Muhammad dan dakwah yang diserukannya. Hubungan antara mereka pun dipererat dengan pernikahan antara Muhammad dan Jauharah binti Abdillah bin Mu'ammar, salah satu keluarga dekat Utsman bin Mu'ammar.

Di 'Uyainah ini pula, Muhammad kemudian diminta menjadi hakim setempat. Dengan bantuan dari Utsman bin Mu'ammar, ia menghilangkan berbagai sarana-sarana kesyirikan seperti pohon-pohon yang dikeramatkan, kuburan-kuburan yang dijadikan tempat ibadah dan kubah-kubah  di atas kuburan.

Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Utsman bin Mu'ammar pula, ditegakkan aturan tentang kewajiban sholat lima waktu secara berjamaah di 'Uyainah. Para da'i dikirim ke berbagai tempat di 'Uyainah untuk mengajak manusia agar bertauhid dan menjauhi syirik.

Sebagai satu hal yang tidak boleh dilupakan di sini adalah kisah tentang perajaman wanita. Dari berbagai rujukan-rujukan yang ada, sudah terkenal kisah tentang wanita yang datang kepada Muhammad mengajukan diri bersalah, karena telah berzina, dan karena itu meminta untuk ditegakkan hukuman atasnya. Muhammad pun, setelah memeriksa kebenaran pengakuan wanita itu, menegakkan hukuman tersebut.

Akan tetapi, keadaan seperti itu tidak berlangsung lama. Setelah mendapat tekanan dari penguasa yang ada di Ahsa', Utsman bin Mu'ammar terpaksa meminta Muhammad pergi dari 'Uyainah.

Dir'iyyah
Sesuatu yang amat disayangkan adalah tekanan penguasa di Ahsa' kepada Utsman bin Mu'ammar. Uyainah pada waktu itu masuk ke dalam kekuasaan Ahsa'. Sebagai pusat pemerintahan, Ahsa' memiliki wewenang politik, sosial dan ekonomi terhadap daerah-daerah kekuasaan.

Utsman bin Mu'ammar mendapat bantuan keuangan dari Ahsa' setiap tahun. Dengan ancaman untuk memutuskan bantuan tersebut, penguasa di Ahsa' memerintahkan Utsman bin Mu'ammar agar membunuh Muhammad.

Motif di balik perintah tersebut, sebagaimana dikatakan berbagai rujukan yang ada, adalah keterancaman politis yang dirasakan oleh penguasa Ahsa'. Dakwah Muhammad dianggap mengancam kekuasaannya.

Utsman bin Mu'ammar, bagaimana pun, tetap menghormati Muhammad. Ia memberitahukan perintah tersebut kepada Muhammad. Dengan berat hati, ia meminta Muhammad pergi dari 'Uyainah ketimbang membunuhnya.

Muhammad pun pergi dari Uyainah. Ia berjalan menuju Dir'iyyah. Di sana, tinggal seorang muridnya yang bernama Ahmad bin Suwailim.

Muhammad tiba di Dir'iyyah pada waktu Ashar. Ia pertama kali singgah di rumah Abdurrohman bin Suwailim Al-Uraini. Dari sana, Muhammad pindah ke rumah Ahmad bin Suwailim.

Dir'iyyah waktu itu dipimpin oleh Muhammad bin Su'ud. Ia berasal dari Dinasti Su'ud. Dinasti ini berasal dari kabilah 'Anazah. Dinasti ini adalah  dinasti penguasa Dir'iyyah. Peletak pondasi kekuasaan mereka adalah kakek Muhammad bin Su'ud.

Kabar tentang kedatangan Muhammad ke rumah Ahmad bin Suwailim didengar oleh Muhammad bin Su'ud. Setelah bertemu langsung dan berbicara dengannya, Muhammad bin Su'ud membuat kesepakatan dengan Muhammad untuk saling membantu dan tidak saling mengkhianati yang lain.

Kesepakatan itu terjadi pada tahun 1157 H. Sejak saat itu, Muhammad melanjutkan dakwahnya dari Dir'iyyah. Penduduk Dir'iyyah sendiri telah mengetahui dakwah ini sebelum kepindahan Muhammad. 

Sebagian mereka, bahkan, telah menerima dakwah. Mereka menghilangkan sarana-sarana kesyirikan di sekitar mereka, seperti pohon-pohon keramat. Mereka juga meninggalkan praktek berdoa kepada orang-orang sholih yang telah meninggal dunia. 

Di tingkat atas, selain dukungan dan bantuan dari Muhammad bin Su'ud sebagai penguasa, Muhammad juga mendapat dukungan dan bantuan dari saudara-saudara Muhammad bin Su'ud. Yang terkenal di antara mereka adalah Musyari bin Su'ud, Tsunayan bin Su'ud dan Farahan bin Su'ud.

Dakwah yang dilakukan Muhammad di Dir'iyyah ini berlangsung dalam beberapa bentuk. Antara satu bentuk dengan bentuk yang lain saling terkait.

Lisan
Dakwah yang dijalankannya, pertama, berbentuk penyampaian pelajaran-pelajaran agama secara langsung. Dalam majelis-majelis talaqqi seperti ini, biasanya hadir murid-muridnya, baik yang berasal dari Dir'iyyah maupun yang berasal dari luar Dir'iyyah. Mereka mendengarkan dan mencatat pelajaran-pelajaran tersebut.

Mereka yang datang dari luar Dir'iyyah terdiri dari berbagai kelompok. 

Di antara mereka, sebagai contoh menarik di sini, ada yang datang ke majelis-majelis Muhammad secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan penguasa di tempat mereka masing-masing. Mereka itu semisal orang-orang dari kelompok Utsman bin Mu'ammar yang datang secara sembunyi-sembunyi, menghindari pengawasan penguasa Ahsa'.

Utsman bin Mua'mmar, setelah beberapa waktu, sengaja datang ke Dir'iyyah menemui Muhammad. Setelah meminta uzur dan menyesal atas keputusannya yang telah lewat, ia memohon agar Muhammad kembali ke 'Uyainah. 

Akan tetapi, kesepakatan yang telah dibuat dengan penguasa Dir'iyyah membuat Muhammad tidak bisa mengabulkan permohonan itu kecuali atas izin Muhammad bin Su'ud langsung. Muhammad tidak ingin mengkhianati kesepakatan.

Demikian pula dengan Muhammad bin Su'ud, ketika mendengar permohonan itu dari Utsman bin Mu'ammar langsung, ia tidak mengabulkannya. Ia tidak ingin Muhammad pergi dari Dir'iyyah.

Di antara mereka yang mendatangi majelis-majelis Muhammad, ada yang secara khusus pindah ke Dir'iyyah untuk tujuan itu. Sebagian dari mereka tetap tinggal di Dir'iyyah, sebagian lain pulang kembali. Sebagian mereka ada yang khusus datang untuk menghadiri majelis-majelis tersebut pada waktu siang dan baru bekerja mencari nafkah pada waktu malam. Sebagian yang lain ada yang pindah ke Dir'iyyah, meninggalkan pekerjaan di tempat lama sambil berusaha mendapatkan pekerjaan baru di Dir'iyyah, namun tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali di tempat yang baru ini.

Tulisan
Kedua, dakwah dilakukan juga dalam bentuk penyebaran tulisan, baik berbentuk surat-surat pribadi yang berisi ajakan untuk beraqidah dengan aqidah benar, kitab-kitab pelajaran, atau pun makalah-makalah ringkas tentang suatu masalah tertentu. 

Perlu diketahui, sudah sejak berdakwah di Huroimala', Muhammad sudah mulai membuat tulisan sebagai salah satu sarana dalam berdakwah. Aktifitas ini ia jalankan, termasuk pula ketika sudah berdiam di Dir'iyyah.

Ada banyak tulisannya yang masih utuh sampai sekarang. Baik berbentuk tulisan langsung ataupun hasil ringkasan atas karya-karya ulama sebelumnya, semua karya tersebut sudah diterbitkan. Bahkan, sebagian besar sudah diterjemahkan pula dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia oleh berbagai macam penerbit yang ada saat ini.

Di antara tulisan-tulisannya yang dimaksud adalah Kitab At-Tauhid alladzi Huwa Haqqullah 'alal 'Abid, Ushul Ats-Tsalatsah wa Adillatuha, Kasyfu Asy-Syubuhat, Ushul Iman, Al-Qawa'idu Al-Arba', Dalailut Tauhid: 50 Sualan wa Jawaban fil Aqidah, Tafsir Al-Fatihah, Masailul Jahiliyyah, Sittah Al-Ushul 'Azhimah, Al-Wajibat, Al-Kabair, Aqidah Muhammad bin Abdil Wahhab, Risalatun fir Raddi 'ala Ar-Rafidhah, dan Muhkhtashar Zadul Ma'ad.

Selain judul-judul tersebut, masih terdapat tulisan-tulisan lain yang sebagian di antara judul-judul ini belum diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa di luar bahasa Arab. Di antara yang dapat disebutkan di  sini adalah Fadhlul Islam, Nawaqidhul Islam, Adabul Masyyi ila Ash-Shalah, Syuruth Ash-Shalah wa Arkanuha wa Wajibatuha, Ahkam Ath-Thaharah, Tafsir Asy-Syahadah, Arba' Qawa'id Taduru 'alaiha Al-Ahkam, Sittatu Mawadhi' minas Sirah,  Mukhtashar Sirah Ar-Rasul, Ahaditsul Fitan, Mufid Al-Mustafid fi Kufri Tarik At-Tauhid, Majmu' Al-Hadits 'ala Abwabul Fiqh, Mukhtashar Fathul Bari, Mukhtashar Asy-Syarhul Kabir, Mukhtashar Ash-Shawa'iq, Mukhtashar Al-Iman, Fadhailul Qur'an, Mukhtashar Shahih Al-Bukhari, Mukhtashar Al-Inshaf, Mukhtashar Al-'Aql wan Naql, dan Mukhtashar Al-Minhaj.

Dengan karya yang demikian banyak itu, adalah wajar bila ternyata didapati pula karya-karya yang sejatinya bukan termasuk tulisan-tulisannya tetapi dianggap oleh sebagian orang sebagai tulisan-tulisannya.

Sebagai contoh di sini adalah Ahkamu Tamanni Al-Maut, Nashihatul Muslimin bi Ahaditsi Khatamil Mursalin, Awtsaqu 'Ural Iman, beberapa tulisan pendek dalam Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyah tentang tauhid dan syirik, juga surat-surat pribadi kepada beberapa orang pada waktu itu. Semua tulisan ini dianggap karya Muhammad ketika berdakwah di Dir'iyyah.

Jihad
Dakwah yang dijalankan di Dir'iyyah sejak tahun 1157 H, sebagaimana yang telah lewat, berlangsung dengan lisan dan tulisan. Lewat lisan, disampaikan berbagai pelajaran dan nasehat. Lewat tulisan, dikirim makalah-makalah dan surat-surat pribadi ke orang-orang tertentu berisi ajakan untuk bertauhid dan ajakan untuk menjauhi syirik sekaligus menjelaskan alasan utama di balik ajakan-ajakan tersebut. Sampai kemudian masuk tahun 1159 H.

Bermula dari gangguan-gangguan yang didapati oleh orang-orang yang menerima dakwah tauhid di Riyadh dari penguasa setempat saat itu, Diham bin Dawwas. Kenyataan ini diiringi dengan upaya-upayanya menghina Islam dan sunnah Rosulullah.

Motif di balik tindakan-tindakannya itu adalah ketidaksenangannya terhadap dakwah yang diserukan oleh Muhammad. Karena itu, sasaran ketidaksenangannya adalah mereka yang menerima dan mengikuti dakwah tersebut.

Ketidaksenangannya itu kemudian diimbangi oleh kesewenang-wenangannya kepada orang-orang di bawahnya. Sebagai contoh mudah di sini, ia pernah memotong paha seseorang tanpa alasan logis di balik tindakannya itu. Ia pun, bahkan, pernah memotong lidah seseorang, ketika sedang minum kopi di pagi hari, hanya karena memanjatkan doa kepada Allah.

Sejauh ini, Muhammad beserta penguasa Dir'iyyah tetap hanya memberikan nasehat kepadanya untuk menghentikan semua tindakan tersebut. Proses nasehat ini berlangsung terus-menerus.

Kepada orang-orang yang menerima dakwahnya dan mendapatkan gangguan karena itu, Muhammad mengajak mereka untuk selalu bersabar. Ketika ingin menjalankan agama, baginya, seseorang mesti mempelajari agama tersebut dengan benar agar dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Akan tetapi, adalah satu hal penting bahwa ketika seseorang menjalankan ibadah sehari-hari tersebut berdasarkan apa yang telah dipelajarinya, kemudian mendakwahkan hal itu kepada orang lain, ia akan mendapat gangguan-gangguan dari orang lain.

Gangguan-gangguan ini adalah satu hal yang mesti. Karena itu, terhadap gangguan-gangguan yang ada, seseorang harus bersabar. Surat Al-'Ashr dalam Al-Qur'an adalah landasan dalil bagi setiap orang yang belajar, beramal dan berdakwah untuk senantiasa bersabar menjalankan dan menanggung segala resiko yang muncul.

Setelah menyadari bahwa proses nasehat kepada Diham bin Dawwas tidak banyak bermanfaat, sedangkan permusuhannya terhadap orang-orang yang menerima tauhid dan menjalankan agama di Riyadh makin bertambah, maka Muhammad terpaksa memberikan izin kepada Muhammad bin Su'ud dan para pengikutnya untuk membela dan menolong orang-orang yang berada di Riyadh itu dengan kekuatan dan senjata.

Izin itu menandai suatu masa baru. Dengan senjata, setelah proses persuasi tidak mendatangkan hasil yang diharapkan, mereka mulai membela diri sekaligus memerangi segala macam permusuhan dari luar yang diberikan kepada dakwah dan para pengikut dakwah Muhammad.

Menurut Abdullah bin Sholih Al-Utsaimin, bentuk dakwah dengan jihad ini berlangsung selama tiga periode. Semua periode ini merentang sejak tahun 1159 H sampai masuk abad ke-13 H.

Periode pertama berlangsung sejak Muhammad mengizinkan mereka membela diri dengan senjata sampai menjelang tahun 1172 H. Dalam periode ini, kekuatan yang ada dipimpin oleh Muhammad bin Su'ud langsung.

Periode kedua berlangsung sejak tahun 1172 H sampai tahun 1187 H. Pada periode ini, tepat pada akhir bulan Robi'ul Awwal tahun 1179 H, Muhammad bin Su'ud meninggal dunia. Kepemimpinan saat itu kemudian digantikan oleh anaknya, Abdul Aziz bin Muhammad. Periode ini diakhiri dengan penaklukan Riyadh pada tahun 1187 H, setelah dikepung oleh Abdul Aziz bin Muhammad.

Periode ketiga berlangsung sejak Riyadh ditaklukkan pada tahun 1187 H sampai masuk abad ke-13 H, ketika Nejed berhasil disatukan di bawah kepemimpinan Dinasti Su'ud. Pada waktu itu, kekuasaan telah mencapai wilayah di luar Nejed.

Meski demikian, pada setiap periode jihad, dakwah dengan lisan dan tulisan tetap dijalankan oleh Muhammad, baik di Dir'iyyah atau pun di daerah-daerah Nejed yang lain. Hal ini, mengingat bahwa reaksi negatif terhadap dakwahnya terus bermunculan, baik dari dalam Nejed atau pun dari luar Nejed.

Pesan Dakwah
Sembari mengirimkan surat-surat ke ulama di beberapa tempat, Muhammad senantiasa mengingatkan ke segala pihak bahwa dakwah yang diserukannya kepada khalayak dan praktek ibadah yang diajarkannya kepada murid-muridnya bukan sesuatu yang berada di luar Islam.

"Kami," tulisnya suatu hari, "tidak menyelisihi praktek-praktek ibadah dalam syari'at Islam, baik itu shalat, zakat, shaum, haji atau praktek-praktek ibadah lainnya." Karena itu, "Kami cuma para pengikut, bukan gerombolan pengada-ada ajaran baru dalam syari'at."

Inti dakwah Muhammad adalah tauhid. Ia mendakwahkan bahwa tauhid sangat penting. Ini tertulis dalam berbagai tulisan-tulisan yang ditinggalkannya.

Meski mendahulukan tauhid dalam berdakwah serta menolak syirik—dan ini sesuatu yang berlainan dengan keumuman dakwah-dakwah pada hari itu, aqidah—keyakinan—yang dimilikinya tidak berbeda dengan keyakinan-keyakinan para imam mazhab yang empat, para sahabat dan pengikut-pengikut mereka, para khalifah yang empat dan juga Rasulullah sendiri, sebagaimana yang sering ditulis Muhammad di dalam karya-karya dan surat-suratnya ke sejumlah orang di berbagai tempat.

Ketika suatu hari penduduk daerah Qasim, Nejed, bertanya tentang keyakinannya, Muhammad pun menulis,

"Kupersaksikan kepada Allah, kepada siapa pun yang hadir dari kalangan malaikat dan kepada kalian semua bahwa aku meyakini segala sesuatu yang diyakini oleh firqah an-najiyah, ahlus sunnah wal jama'ah, baik itu menyangkut iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada segenap kitab-kitab Allah, iman kepada para rasul, iman akan hari Kiamat dan iman akan keberadaan takdir, ketentuan Allah, yang baik maupun yang buruk."

Firqah an-najiyah, orang-orang ahlus sunnah wal jama'ah, yang dimaksudnya adalah mereka yang meneruskan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Jalan mereka adalah jalan pertengahan yang berfokus pada diri Rasulullah itu sendiri, sebagai sang utusan Allah di muka bumi.

"Jalan, keyakinan, mereka berada di pertengahan antara Qodariyah dan Jabbariyah dalam masalah takdir. Mereka juga berada di antara orang-orang Murjiah dan Khawarij dalam masalah ancaman dan sanksi yang diberikan Allah."

Termasuk keimanan kepada Allah adalah beriman terhadap segala sesuatu yang telah disifatkan oleh Allah dan Rasulullah diri Allah, tanpa melakukan tahrif (pengubahan lafaz atau makna ayat) atau bahkan ta'til (penolakan sebagian atau keseluruhan ayat). Menurut keyakinannya, Allah tidak serupa dengan apa pun, meskipun Dia maha mendengar lagi maha melihat.

"Karena itu, aku tidak menafikkan segala yang telah Allah sifatkan tentang diriNya. Aku juga tidak menyelewengkan makna sifat-sifat tersebut dari arti sebenarnya. Aku tidak mengadakan penyimpangan dalam nama-nama Allah. Tidak pula kuserupakan Allah dengan makhlukNya—dengan sifat-sifat makhlukNya, karena tidak ada yang menyamai dan menandingiNya. Allah tidak bisa dikiaskan dengan makhluk-makhlukNya."

Demikian pula dalam masalah keimanan dan keberagamaan, "Mereka, firqah an-najiyah," seperti tulis Muhammad, "berada di antara keyakinan kaum Khawarij dan Mu'tazilah." Dalam masalah keimanan, sebagaimana yang diketahui, Khawarij dan Mu'tazilah betul-betul menafikkan keimanan orang-orang yang melakukan dosa besar dan mengafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Karena itu, "Aku," kata Muhammad, "tidak mengafirkan seorang pun dari kaum muslimin karena ia telah melakukan dosa dan tidak pula menganggap orang itu keluar dari Islam."

Yang paling penting untuk disebutkan di sini adalah sikapnya terhadap Nabi Muhammad, sebagai sang utusan Allah. 

"Aku beriman bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul. Aku pun meyakini bahwa keimanan seseorang tidak akan sah tanpa mengimani risalah yang dibawa olehnya dan bersaksi akan kenabiannya."

Selain itu, tidak sebagaimana orang-orang Khawarij dan Syi'ah Rafidhah, Muhammad meyakini bahwa para sahabat Rasulullah adalah manusia-manusia terbaik setelah Rasulullah di umat ini. Akan tetapi, 

"Yang paling utama di antara mereka adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, lalu Umar Al-Faruq, Utsman sang pemilik dua cahaya dan Ali Al-Murtadha. Setelah itu [yang paling utama] adalah mereka yang termasuk sepuluh sahabat utama, para veteran Perang Badar, sahabat-sahabat yang mengikuti Baiat Ar-Ridwan, baru kemudian sahabat-sahabat yang lain selain mereka."

Salah satu masalah penting yang diperhatikan oleh Muhammad adalah wali-wali Allah dan kelebihan-kelebihan (karamah) yang Allah berikan kepada mereka. Ia menetapkan keberadaan itu semua.

Akan tetapi, mereka, para wali yang dimaksud, kata Muhammad, tidak memiliki segala sesuatu yang menjadi hak-hak Allah; mereka tidak berhak untuk mengaku hak-hak Allah. Termasuk pula ke dalam hal ini adalah syafaat.

Rasulullah adalah orang pertama yang akan memberikan syafaat kepada umat Islam pada hari Kiamat nanti. Akan tetapi, meski itu Rasulullah sendiri, syafaat tersebut tidak akan dapat diberikan kecuali memenuhi syarat-syarat yang telah Allah tetapkan.

Allah telah menetapkan bahwa orang yang memberikan syafaat dan orang yang akan diberi syafaat, masing-masing, harus mendapatkan izin dan ridha dari Allah. "Dan Allah tidak akan meridhoi kecuali dengan tauhid," tulis Muhammad, "juga tidak akan memberikan izin kecuali kepada mereka yang bertauhid."

Ini, tulisnya, sebagaimana yang telah Allah gariskan dalam Al-Qur'an.

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
Mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah (Q.S. Al-Anbiya': 28).

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izinNya (Q.S Al-Baqoroh: 255).

وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً إِلَّا مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَن يَشَاءُ وَيَرْضَى
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya) (Q.S. An-Najm: 26).

Akan tetapi, syafaat yang dimaksud di sini adalah syafaat ketika hari Kiamat nanti. Adapun di dunia ini, orang yang masih hidup dan hadir serta memiliki kemampuan untuk melakukan permintaan kita, dapat dimintai pertolongan, dimintakan doa dan diminta untuk menjadi perantara antara kita dengan Allah dalam rangka mendapatkan manfaat dan mencegah bala. Bukan orang-orang yang telah mati; mereka semua tidak dapat memberikan apa pun kepada orang yang masih hidup.

Dalam masalah pemerintahan, sempat pula disinggungnya. 

"Bagiku, ketaatan dan ketundukan kepada penguasa kaum muslimin, baik itu penguasa yang baik atau pun penguasa yang buruk, adalah wajib selama mereka tidak memerintahkan kita agar bermaksiat kepada Allah. Haram untuk memberontak kepada mereka, kepada para penguasa kita."

Karena itu, memberontak kepada penguasa kaum muslimin, menurut Muhammad, adalah haram. Ia tidak memerintahakan murid-muridnya untuk memberontak terhadap penguasa mereka, sekali pun penguasa tersebut berkelakuan jahat. Untuk perlakuan semena-mena dari penguasa yang seperti ini, Muhammad hanya memerintahkan mereka agar bersabar.

Sulaiman bin Abdil Wahhab
Inti dakwahnya adalah tauhid, sebagaimana yang diserukan para nabi dari yang pertama sampai yang terakhir. Akan tetapi, ia pun menyadari bahwa dakwah yang diserukannya akan menuai banyak permusuhan dari segala pihak yang tidak menyukainya, termasuk dari saudaranya sendiri, Sulaiman bin Abdil Wahhab.

Saudara Muhammad, sebagaimana dirinya, dididik ayahnya sejak kecil. Bersama Muhammad, ia mengambil pelajaran-pelajaran agama dari ayahnya, bertalaqqi sebagaimana ayahnya yang pernah bertalaqqi bersama pamannya kepada Sulaiman bin Ali, kakeknya.

Akan tetapi, sejak kepulangan Muhammad ke Huraimala', Sulaiman tidak menyukai apa yang didakwahkan oleh saudaranya itu. Keadaan ini terus berlangsung, sampai Muhammad pindah ke 'Uyainah dan Dir'iyyah.

Ketidaksukaan itu dituangkannya ke dalam berbagai tulisan. Ash-Shawa'iqu Al-Ilahiyah fir Raddi 'alal Wahhabiyah, demikian salah satu judul tulisannya, dijadikan semacam buku pegangan oleh orang-orang yang tidak menyukai dakwah Muhammad pada saat itu. Tulisan ini termasuk tulisan Sulaiman yang berisi tuduhan-tuduhan dusta dalam rangka menolak dakwah Muhammad.

Atas sikap Sulaiman seperti itu, Muhammad hanya menulis bantahan-bantahan terhadap tulisan-tulisan tersebut. Sampai kemudian masuk tahun 1190 H, saudaranya itu datang ke Dir'iyyah menemui Muhammad, menyatakan tobat kepada Allah dan menerima dakwahnya.

Abdul Aziz bin Muhammad
Muhammad masih melanjutkan dakwahnya dari Dir'iyyah, meskipun Muhammad bin Su'ud telah meninggal dunia. Di bawah kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad, Muhammad menyaksikan bagaimana dakwahnya berkembang dan menyebar ke daerah-daerah di Nejed.

Abdul Aziz bin Muhammad sendiri adalah salah seorang murid langsung Muhammad. Mereka sudah saling mengenal sejak Muhammad masih berdiam di 'Uyainah.

Pernah satu kali Abdul Aziz bin Muhammad meminta Muhammad agar menuliskan untuknya satu tulisan penting tentang tafsir surat Al-Fatihah. Muhammad pun menuliskannya, meskipun Abdul Aziz bin Muhammad pada waktu itu baru saja baligh.

Ia pun, ketika Muhammad sudah berada di Dir'iyyah, pernah memintanya secara khusus agar membuat sebuah tulisan tentang urgensi dari mengetahui Allah, Rosulullah dan Islam beserta dalil-dalil tentang itu semua. Muhammad pun menulis Tsalatsah Al-Ushul wa Adillatuha.

Seperti ihwal Muhammad yang mengirim surat-surat pribadi ke orang-orang tertentu dalam rangka berdakwah, Abdul Aziz bin Muhammad sempat mengirim tulisan-tulisan Muhammad ke berbagai tokoh yang dikenalnya. Pernah suatu hari, ia mengirim tulisan Muhammad yang berjudul Kitab At-Tauhid alladzi Haqqullah 'alal 'Abid kepada seorang menteri di Bagdad.

Syawwal 1206 H
Yang patut dicatat adalah bahwa kepemimpinan Dir'iyyah pada saat itu tetap berwibawa, meski berada di bawah kekuasaan Abdul Aziz bin Muhammad. Baginya pribadi, hakikat kepemimpinan Dir'iyyah tetap berada di pundak Muhammad.

Keadaan seperti ini terus berlangsung ketika memasuki abad ke-13 H. Tepat pada tahun 1206 H, Muhammad meninggal dunia.

Bermula dari sakit yang diderita olehnya, sekitar bulan Syawwal tahun 1206 H. Sakit itu dirasakannya sampai akhir bulan. Pada hari Senin, masih di akhir bulan itu, Muhammad meninggal dunia dalam usia 92 tahun, di Dir'iyyah. Ia meninggal dunia tanpa meninggalkan harta sedikit pun.[]

Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab Hanbali

Islam datang ke muka bumi dengan Nabi Muhammad sebagai rujukan utamanya. Ia seorang penyampai berita-berita yang datang dari langit melalui perantaraan malaikat Jibril. Melalui Nabi Muhammad semua masalah yang diadukan kepadanya dijawab dan melaluinya pula segala kabar yang tidak sanggup dicari oleh manusia sekitarnya disampaikan. Kedudukannya di tengah masyarakat Islam pada saat itu tidak ubah seperti kedudukan seorang guru di tengah murid-muridnya. Mereka, murid-murid yang dimaksud, dikenal sebagai sahabat-sahabat Nabi Muhammad dari kaum Muhajirin dan Anshor serta sahabat-sahabat yang lainnya. Proses belajar mereka berlangsung dengan teori dan praktek, baik di dalam ruangan tertentu seperti di dalam masjid atau pun di luar ruangan seperti di tengah perjalanan dan di tanah lapang, baik dalam yang sudah rutin atau pun dadakan. Dalam semua keadaan, transfer ajaran Islam dapat berlangsung. Karena itu, adalah mungkin untuk mengatakan bahwa ajaran-ajaran Islam berkembang pada awalnya melalui tradisi hubungan guru-murid.

Keadaan seperti ini ternyata terus berlanjut sejak Nabi Muhammad wafat. Murid-muridnya, baik sahabat-sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshor dan juga di sahabat-sahabat lain luar mereka, inilah yang menjadi agen-agen penyebar ajaran Islam. Mereka semua mewariskan Islam kepada murid-murid mereka untuk kemudian disebarkan ke masyarakat secara luas melalui cara yang serupa. Biasanya, dalam hubungan guru-murid yang lebih intens tercipta ikatan batin yang akrab, sehingga adakalanya seorang murid tidak dikenal dan/atau disebut dengan istilah "murid", tetapi dikenal dengan sebutan "sahabat" untuk menunjukkan jarak yang dekat antara guru dan murid. Misalkan seorang guru yang bernama Abu Hanifah, maka murid-muridnya dikenal dengan sebutan para sahabat Abu Hanifah atau ashhab Abi Hanifah; bagi sesama murid penyebutan yang kerap dipakai ketika membicarakan rekan seguru adalah "ashabuna". Penamaan seperti yang terakhir ini lebih mengesankan pertemanan yang akrab ketimbang hubungan yang bersifat akademis. Biasanya, sekumpulan murid lebih memilih pendapat gurunya daripada pendapat orang lain dan hal ini dapat diwajari. Bentuk hubungan guru-murid seperti ini dikenal dengan istilah talaqqi.

Dari hubungan-hubungan talaqqi inilah orisinalitas pendapat sang guru dalam pelbagai masalah diketahui banyak orang. Para murid adalah agen-agen orisinalitas yang dimaksud. Khalayak luas mengenal ucapan-ucapan guru yang ada tersebut dari para murid ini. Selain itu, dalam hubungan-hubungan yang seperti ini, transfer yang terjadi bukan sekedar transfer pengetahuan dari guru ke murid, tetapi juga bentuk-bentuk etika yang ada pada guru. Sering kali pula terjadi seorang murid tanpa sengaja menyerap sifat-sifat pembawaan gurunya, seperti gaya bicara dan tertawa, gaya berjalan, sikap-sikap pribadi ketika menghadapi masalah, bahkan terkadang juga pilihan-pilihan kata ketika berbicara dan menulis sebuah makalah ilmiah. Adalah sesuatu yang wajar bila yang terjadi kemudian kecenderungan-kecenderungan untuk mengedepankan guru-guru yang memiliki etika yang baik selain pengetahuan yang mumpuni dan adalah sesuatu hal yang wajar pula bila muncul kecenderungan-kecenderungan untuk merasa berat mendatangi guru yang tidak memiliki etika yang baik meskipun memiliki kadar pengetahuan yang baik.

Khusus dalam bidang fiqih, sepanjang sejarah Islam, telah muncul banyak mazhab-mazhab fiqih. Al-Laitsiyah, Al-Awza'iyah, Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, As-Sufyaniyah, Adz-Dzohiriyah, Asy-Syafi'iyah, dan Al-Hanbaliyah adalah beberapa contoh mazhab fiqih yang pernah muncul dalam sejarah. Akan tetapi, dari semua mazhab yang ada ini, hanya empat mazhab yang dikenal luas sampai hari ini, bahkan pada umumnya masyarakat cenderung untuk menafikkan mazhab-mazhab lain di luar keempat mazhab tersebut. Keempat mazhab yang dimaksud adalah mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah, dan Al-Hanbaliyah. 

Keempat mazhab ini muncul sebagai hasil dari hubungan guru-murid yang ada. Mereka, para guru yang dimaksud, menyampaikan pengetahuan-pengetahuan kepada murid-murid mereka masing-masing. Termasuk yang disampaikan di dalam majelis-majelis guru mereka adalah prinsip-prinsip pokok dalam mengambil suatu keputusan hukum dari permasalahan-permasalahan fiqih yang ada. Di kemudian hari, murid-murid yang ada menyebarluaskan bentuk-bentuk pengetahuan dari guru-guru mereka tersebut melalui majelis-majelis talaqqi mereka, yang kemudian menarik banyak pengikut di pelbagai belahan negara-negara Islam. Prinsip-prinsip dalam mengambil keputusan hukum inilah kemudian dikenal dengan sebutan mazhab yang pada titik waktu tertentu, bahkan, suatu mazhab dapat menarik banyak pengikut yang kemudian mereka jadikan sebagai mazhab negara tempat mereka hidup.

Mazhab Hanbali pun seperti itu. Mazhab fiqih ini banyak diperkenalkan sekaligus disebarluaskan oleh para pengikut imam mazhab ini, Ahmad bin Hanbal. Di antara mereka, yang melalui karyanya banyak kalangan mengenal Ahmad bin Hanbal beserta mazhab fiqihnya, adalah Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi. Karya terkenalnya adalah Al-Mughni fi fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani (Pencukup dalam Fiqih Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani). Buku ini memuat banyak nukilan pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal dalam pelbagai masalah fiqih. Banyak pihak yang merujuk karya ini untuk melihat pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal. Dari karya inilah kemudian meluas pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal dalam masalah fiqih ke pelbagai tempat. Mereka yang kemudian bermazhab Hanbali dikenal dengan sebutan Al-Hanabilah, sedangkan salah satu negara yang bermazhab Hanbali sekarang ini adalah Kerajaan Arab Saudi.

Ahmad bin Hanbal dan Al-Mihnah
Ahmad bin Hanbal lahir pada tahun 164 H atau 778 M. Ia memiliki nama lengkap Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Adz-Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi. Ujung nasabnya kembali kepada Adnan, salah seorang moyang bangsa Arab yang juga menurunkan orang-orang Quraisy. Meskipun dilahirkan di Baghdad, Irak, kedua orangtuanya berasal dari Marw, satu wilayah di Khurasan. Mereka kemudian pindah ke Baghdad. Kepindahan tersebut terjadi ketika ibunya sedang mengandung Ahmad bin Hanbal. Tiga tahun setelah kelahirannya, ayahnya, Muhammad bin Hanbal, wafat. Sejak saat itu, Ahmad bin Hanbal dibesarkan oleh ibunya.

Baghdad pada saat itu adalah ibukota kekhalifahan Abbasiyah. Beberapa ahli sejarah dan bahasa berbeda pendapat tentang makna "Baghdad." Tentang orang yang pertama kali menamakan kota ini dengan Baghdad belum diketahui pasti. Akan tetapi, sesuatu yang diterima luas di kalangan ahli sejarah adalah nama lain Baghdad, Madinatus Salam (kota keselamatan). Khalifah Al-Mansur, pendiri kota Baghdad, menamakan kota ini dengan Madinatus Salam. Didirikan dengan biaya sekitar 4.883.000 dirham dengan mengerahkan ribuan pekerja, Baghdad dimaksudkan oleh Al-Mansur sebagai ibukota khilafah Abbasiyah yang baru. Kota Hasyimi sebagai ibukota pemerintahan Abbasiyah sebelum Al-Mansur dirasa kurang memadai secara politis dan militer. Selain itu, keadaan di tempat Baghdad dibangun lebih mendatangkan kenyamanan ketimbang kota Hasyimi. Setelah bertahun-tahun dikerjakan, pada tahun 146 H, pembangunan Baghdad rampung. Hasilnya adalah sebuah kota besar yang berbentuk bundar, dikelilingi parit, dan dengan pusat kota adalah istana khalifah. Sulit untuk menemukan kota yang dapat menandingi Baghdad pada saat itu. Kemegahan Konstatinopel, ibukota kekaisaran Bizantium (Romawi Timur), kalah dibandingkan Baghdad. Satu-satunya tempat yang dapat menandingi Baghdad adalah kota Kordova di Spanyol pada masa keamiran Bani Umayyah. Konon, keindahan dua kota Islam ini pada saat itu hanya dapat ditandingi oleh ibukota kekaisaran Cina.

Pada waktu Ahmad bin Hanbal lahir, khalifah Abbasiyah yang memerintah pada waktu itu adalah khalifah Harun Ar-Rosyid. Nama lengkapnya adalah Abu Ja'far Harun bin Musa bin Abdullah. Julukannya adalah Ar-Rosyid. Kakeknya adalah Al-Mansur, pendiri kota Baghdad. Masa pemerintahan Ar-Rosyid adalah masa-masa keemasan khilafah Abbasiyah, yang terakui dalam sejarah Islam dan Barat sekaligus.

Baghdad pada waktu itu menjadi saksi tentang kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Harun Ar-Rasyid. Di bidang agama, urusan sehari-hari dipegang langsung oleh qodhi al-akbar Abu Yusuf, seorang murid Abu Hanifah yang terkenal. Di bidang politik dan militer, pemerintahan Ar-Rosyid dikenal sebagai pemerintahan yang kuat dan disegani oleh kerajaan-kerajaan besar di Eropa. Kisah-kisah seputar hubungan diplomatik antara kholifah Ar-Rosyid dengan Raja Charle Magne dan Ratu Irene merupakan bukti tentang itu. Pemerintahannya berlangsung stabil, sehingga pada masa ini pencapaian-pencapaian baru dalam pelbagai bidang muncul untuk kemudian diwariskan kepada khalifah-khalifah penerusnya. Apabila khalifah Al-Mansur dikenal sebagai peletak dan pendiri pemerintahan Abbasiyah yang sebenarnya, maka khalifah Ar-Rosyid dikenal sebagai simbol kemajuan Abbasiyah yang terus diingat di dalam sejarah Islam dan Barat.

Pada masa dan ruang seperti itulah, Ahmad bin Hanbal dibesarkan oleh ibunya. Meski demikian, ibunya tetap mendorongnya untuk mempelajari Islam pada tokoh-tokoh yang terkenal keilmuannya pada saat itu.

Pertama kali ia mendengarkan uraian ilmu secara talaqqi pada majelis Abu Yusuf. Ia yang bernama Ya'qub bin Ibrohim adalah wakil khalifah Ar-Rosyid dalam urusan agama pada saat itu di kota Baghdad. Jabatannya sebagai qodhi al-akbar, hakim agung, khilafah Abbasiyah. Akan tetapi, dalam sejarah Islam, ialah yang pertama kali dijuluki dengan qodhil qudhot, penghulu para hakim. Majelis-majelisnya dikenal sebagai majelis ro'yu. Sebagaimana yang telah dikenal luas, Abu Hanifah sebagai guru Abu Yusuf dikenal sebagai imam dalam mazhab ro'yu, mazhab yang lebih banyak mengedepankan logika dalam menafsirkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits. Semua itu kemudian diwariskan kepada murid-muridnya  

Di majelis Abu Yusuf, Ahmad bin Hanbal sempat mendengarkan uraian-uraian logikanya. Akan tetapi itu, tidak berlangsung lama. Ia kemudian berpaling ke majelis-majelis tahdits, majelis-majelis talaqqi yang di dalamnya disampaikan hadits-hadits nabi tanpa uraian logika untuk menafsirkannya. Pada masa itu, di wilayah kekuasaan khilafah Abbasiyah banyak terdapat majelis-majelis tahdits, seperti di Kufah, Basroh, daerah Yaman, Mesir, daerah-daerah di Khurasan seperti di Marw, dan juga di Baghdad sendiri. Orang-orang yang mendalami hadits lewat majelis-majelis seperti ini dikenal dengan sebutan ahlul hadits atau muhadditsun. 

Proses kepindahan Ahmad bin Hanbal dari majelis ro'yu ke majelis tahdits terjadi ketika ia berumur 15 tahun. Majelis tahdits yang pertama kali ia hadiri adalah majelis Husyaim bin Basyir Al-Washiti. Guru hadits pertamanya ini adalah seorang muhaddits terkenal. Kepadanya, Malik bin Anas—imam mazhab Maliki, sempat mencari hadits. Demikian pula dengan Asy-Syafi'i—imam mazhab Syafi'i—sempat mencari dan mendengarkan darinya. Dalam beberapa karyanya, seperti Al-'Ilal wa Ma'rifah ar-Rijal, Ahmad bin Hanbal beberapa kali mencantumkan hadits-hadits yang ia dapatkan dari Husyaim bin Basyir. Setelah gurunya wafat, Ahmad bin Hanbal pergi untuk memulai rihlahnya ke kota Kufah.

Untuk mendapatkan satu hadits, bukan perkara yang gampang pada masa Ahmad bin Hanbal hidup—dan ini bukan rahasia umum di kalangan ahlul hadits. Untuk mendapatkan hadits, seseorang harus bertalaqqi kepada muhaddits yang memiliki perbendaharaan hadits, baik dalam bentuk hafalan atau pun dalam bentuk tulisan. Proses talaqqi yang seperti itu tidak mungkin dilakukan tanpa mendatanginya. Karena tingkat kebehargaan hadits di sisi umat Islam yang demikian tinggi, sering kali seorang muhaddits didatangi oleh para pencari hadits—seperti Ahmad bin Hanbal—dan karena nilai hadits yang demikian tinggi itu pula sering kali seseorang harus menyampingkan segala ego dan perasaan gengsinya demi mendapatkan satu hadits pada seseorang yang—misalnya—berdiam di tempat terpencil dan juga berumur lebih muda darinya. Hal seperti ini termasuk yang pernah dicontohkan para sahabat Nabi Muhammad, ketika mereka berusaha mencari tahu keabsahan hadits-hadits Nabi yang mereka dapatkan. Agar tercapai semua itu, seseorang butuh untuk melakukan rihlah, sehingga adakalanya prestise seorang muhaddits dinilai berdasarkan perbendaharaan hadits yang didapatkannya dan muhaddits yang didatanginya.

Rihlah diartikan sebagai perjalanan. Rihlah apabila dikaitkan dengan upaya mencari hadits, maka dapat berarti suatu perjalanan untuk mendapatkan, dan terkadang juga mengumpulkan, hadits dari muhaddits di tempat lain. Ar-rihlah fi tholabil ilmi adalah ungkapan umum yang semakna untuk upaya mencari ilmu agama. Karena kedudukan ilmu agama yang sangat penting, rihlah dipandang sebagai suatu bentuk ibadah tersendiri yang tidak kalah penting dari ibadah-ibadah yang lain. Seseorang yang telah menghabiskan waktunya untuk rihlah biasanya akan dimuliakan oleh masyarakat tempat ia berdiam. Mereka dihomati, bahkan disegani oleh banyak pihak, termasuk oleh para penguasa negeri-negeri Islam. Hasil dari rihlah inilah kemudian yang disampaikan dalam majelis-majelis talaqqi.

Dari Kufah, ia kemudian melanjutkan rihlahnya ke pelbagai negeri Islam saat itu. Di negeri-negeri tersebut, ia pernah mengunjungi dan mendengarkan hadits dari Abdullah bin Mubarok, Abu Mu'awiyah Muhammad bin Khozim, Sufyan bin Sa'id Ats-Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, Mu'tamir bin Sulaiman, Abu Bakar bin 'Iyasy, 'Abidah bin Humaid Al-Hadzdza', Muhammad bin Ja'far Ghundar, Ismail bin 'Ulayyah, Hafsh bin Ghiyats, Waki' bin Jarroh, Abdurrohman bin Mahdi, Muhammad bin Basysyar Bundar, Abdurrozzaq, dan Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i—imam mazhab Syafi'i. Mereka semua adalah sekedar contoh muhadditsun terkenal yang pernah dikunjungi oleh Ahmad bin Hanbal dalam rihlah-rihlahnya. Ada banyak muhaddits dalam daftar muhaddits yang pernah dikunjunginya. Dari masing-masing muhaddits, ia bisa mendapatkan beberapa hadits. Paling sedikit hadits yang didapatkannya, yakni satu hadits, adalah dari Yahya bin Sulaim. Meski demikian, di kalangan para muhadditsun, semua muhaddits yang pernah dikunjungi Ahmad bin Hanbal tersebut tetap dianggap dan disebut sebagai gurunya—walaupun hanya dapat memberikan satu hadits atau dalam waktu yang begitu singkat.

Talaqqi¬, muhaddits, rihlah—semua ini adalah poros kehidupan Ahmad bin Hanbal. Sebagian besar umurnya, bahkan lebih, dihabiskannya dalam poros-poros tersebut. Bukti itu semua adalah fakta bahwa ia baru melangsungkan pernikahannya pada waktu berumur 40 tahun dengan seorang wanita Arab, sedangkan hal seperti ini bukan suatu hal yang lazim di kalangan masyarakat pada waktu itu. Dari pernikahan ini, ia mendapatkan anak laki-laki yang dinamai dengan Sholih. Setelah kematian istrinya ini, ia kembali melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita yang kemudian melahirkan anak laki-laki yang dinamai dengan Abdullah. Meski demikian, selama rihlahnya tersebut, Ahmad bin Hanbal sempat pula menunaikan haji sebanyak lima kali: tiga kali dengan berjalan kaki, dua kali dengan menaiki kendaraan.

Hasil dari semua usahanya ini dapat disaksikan dari kedudukannya di kalangan ahlul hadits. Banyak orang yang datang menemuinya hanya untuk menghadiri majelis-majelis tahditsnya. Sebagian dari mereka terdiri dari orang-orang yang ingin mendapatkan hadits, sebagian lain adalah orang-orang yang ingin mempelajari etika seorang pencari hadits. Orang-orang yang mengunjunginya juga datang untuk menanyakan pelbagai persoalan dalam Islam, seperti masalah aqidah, fiqih, hadits, dan juga etika seorang muslim, sehingga kedudukannya pada waktu itu dipandang bukan lagi semata seorang pencari hadits, tetapi sebagai salah satu rujukan penting di Baghdad yang patut untuk dikunjungi; ia telah dianggap sebagai seorang muhaddits yang memiliki perbendaharaan hadits. Di antara sekian banyak orang yang menghadiri majelis-majelis tahditsnya itu adalah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, pemilik Shohih Al-Bukhori—salah satu antologi hadits-hadits Nabi Muhammad yang paling otoritatif di kalangan umat Islam. 

Selain itu, hasil rihlah Ahmad bin Hanbal tersebut dapat dilihat dari karyanya yang lebih dikenal dengan nama Al-Musnad. Karya ini adalah sebuah antologi hadits-hadits Nabi Muhammad yang disusun berdasarkan urutan nama para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut. Di dalam karya ini, terdapat sekitar 30.000 hadits yang disusun berdasarkan klasifikasi sahabat-sahabat nabi. Klasifikasi tersebut dimulai dari hadits-hadits sepuluh sahabat yang telah direkomendasi oleh Nabi Muhammad untuk masuk surga, sahabat-sahabat senior di luar sepuluh sahabat tersebut, sahabat-sahabat yang tergolong ahlu bait nabi, sisa sahabat-sahabat senior, juga sahabat-sahabat yang berdiam di Makkah-Madinah-Syam-Kufah, sisa sahabat-sahabat Anshor, sampai kemudian ditutup dengan hadits-hadits dari para sahabat nabi yang berasal dari kabilah-kabilah di luar Makkah dan Madinah. 

Karyanya ini tergolong karya besar. Dari ketiga anaknya, Hanbal, Sholih, dan Abdullah, karya ini disampaikan ke para muhaddits yang ada pada saat itu. Setelah masa mereka, ternyata banyak muhaddits yang memberikan perhatian yang lebih kepada karya ini. Di antara mereka ada yang sengaja khusus mencari hadits-hadits palsu saja, sebagai bentuk pemisahan antara hadits-hadits yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, seperti yang dilakukan oleh Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu'at. Ada yang melengkapi hadits-hadits di dalamnya, seperti yang dilakukan oleh anaknya, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Zawaid Musnad Ahmad bin Hanbal. Tercatat juga yang khusus menulis satu makalah ilmiah sebagai pembelaan terhadap Al-Musnad ini, seperti Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Al-Qoulul Musaddad fi Adz-Dzabbi 'an Al-Musnad. Bahkan ada yang meneliti derajat masing-masing hadits di dalamnya (derajat shohih, dhoif, maudhu') seperti yang dilakukan oleh Ahmad Syakir dalam sembilan jilid besar. 

Salah satu yang tidak patut untuk dilupakan ketika membicarakan kehidupan Ahmad bin Hanbal adalah peristiwa al-mihnah, sebab peristiwa ini merupakan satu tonggak penting dalam kehidupannya yang membuat namanya terukir dalam sejarah. Dalam beberapa tulisan sejarah, peristiwa ini lebih dikenal sebagai ayyamul mihnah yang bila diartikan kata per kata adalah hari-hari ujian. Dikatakan ujian, karena pada hari-hari itu setiap orang diuji sikap keberagamaannya dengan pertanyaan "Al-Qur'an makhluk (ciptaan Allah) atau bukan?" yang diajukan oleh kholifah Abbasiyah dan orang-orang khusus yang ditunjuknya. Seseorang dikatakan memiliki Islam yang baik bila menjawab bahwa Al-Qur'an itu ciptaan Allah dan dianggap tidak benar Islamnya bila mengatakan bahwa Al-Qur'an itu bukan ciptaan Allah. Keyakinan bahwa Al-Qur'an itu ciptaan Allah dijadikan sebagai ideologi pemerintahan, sehingga siapa pun yang berseberangan dengan ideologi tersebut berhak untuk dihukum oleh pemerintah. Karena bentuk ujian seperti ini tidak jauh berbeda dengan proses inkuisisi yang diadakan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella di Spanyol pada abad ke-15 M kepada rakyat mereka pada waktu itu, maka tidak juga disalahkan bila al-mihnah diartikan juga sebagai inkuisisi.

Kholifah Abbasiyah yang pertama kali mengadakan bentuk inkuisisi seperti ini adalah kholifah Al-Makmun. Ia adalah Abu Ja'far Abdullah bin Harun Ar-Rosyid. Oleh ayahnya, Harun Ar-Rosyid, ia diberi julukan Al-Makmun. Mulai memegang jabatan kholifah Abbasiyah pada tahun 198 H. Jabatan ini dipegangnya selama dua puluh tahun lima bulan. Ia sudah menghadiri majelis-majelis tahdits sejak usia belia. Ia pernah mendengar hadits dari Husyaim bin Basyir, Abu Mu'awiyah Adh-Dhorir, Ismail bin 'Ulayyah, dan beberapa muhaddits yang lainnya. Ia pun menyampaikan hadits-hadits kepada orang-orang di sekelilingnya dan juga rakyatnya ketika menyampaikan orasi penting. Tercatat beberapa tokoh penting yang sempat mendapatkan hadits darinya, seperti Qodhi Abu Yusuf, Yahya bin Aktsam seorang qodhi di wilayah Washiti, Al-Fadhl bin Al-Makmun—anaknya, dan beberapa tokoh lainnya. 

Selain hadits, sejak belianya, ia juga mempelajari beberapa cabang ilmu agama, seperti ilmu bahasa, ilmu waris, dan ilmu fiqih. Di luar ilmu-ilmu agama, ia ikut mempelajari syair-syair Arab, ilmu filsafat, ilmu perbintangan, dan matematika. Akan tetapi, dari semua ilmu tersebut, ia banyak terpengaruh dengan ilmu filsafat yang membuatnya dekat dengan orang-orang yang memiliki aqidah mu'tazilah, seperti Bisyr bin Ghiyats Al-Marisi, seorang tokoh Mu'tazilah terkenal saat itu. Di luar aqidah mu'tazilah, ia juga memiliki kecenderungan terhadap aqidah Syi'ah, sehingga corak pemerintahan pada masanya banyak diwarnai oleh pengaruh-pengaruh dari kedua aqidah itu. Termasuk juga kebijakan tentang inkuisisi tersebut.

Inkuisisi yang dimaksud bermula pada tahun 218 H. lewat selembar surat edaran kepada wakilnya di Baghdad, Ishaq bin Ibrohim. Isi surat tersebut adalah perintah untuk mengumpulkan sejumlah qodhi, muhaddits, dan imam masjid-masjid di Baghdad agar kemudian menguji mereka tentang kemakhlukan (keterciptaan) Al-Qur'an. Apakah Al-Qur'an ini ciptaan Allah atau bukan? Pada prakteknya, surat tersebut dibacakan ke hadapan publik di Baghdad. Setelah itu, barulah Ishaq bin Ibrohim mengumpulkan tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk oleh Al-Makmun. Mereka yang dimaksud adalah Muhammad bin Sa'ad—sekretaris Al-Waqidi, ahli sejarah Islam terkenal, Abu Muslim Al-Mustamli, Yazid bin Harun, Yahya bin Ma'in, Zuhair bin Harb, Ismail bin Mas'ud, dan Ahmad bin Ad-Dauroqi. Ke hadapan mereka semua, oleh Ishaq bin Ibrohim, diajukan pertanyaan dari Al-Makmun tentang keterciptaan Al-Qur'an. Dengan segala keterpaksaan mereka semua menjawab bahwa Al-Qur'an itu ciptaan Allah. Atas perintah Al-Makmun juga, jawaban mereka itu diumumkan ke khalayak luas. 

Tercatat lebih dari empat kali Ishaq bin Ibrohim memanggil para qodhi, muhaddits, dan imam masjid untuk menguji mereka pada waktu itu. Kebanyakan mereka menjawab bahwa Al-Qur'an adalah ciptaan Allah dengan terpaksa seperti tokoh-tokoh yang dipanggil pertama kali. Motif keterpaksaan mereka beragam. Ada di antara mereka yang terpaksa menjawab seperti itu agar jabatannya di pemerintahan tetap bertahan. Ada pula atas dasar imbalan dari pemerintah atau atas dasar ancaman sanksi fisik yang bakal ditimpakan kepada mereka. Akan tetapi, di antara mereka terdapat beberapa tokoh yang menjawab bahwa Al-Qur'an bukan ciptaan Allah. Mereka adalah Al-Hasan bin Hammad Sajadah, Ubaidullah bin Umar Al-Qowariri, Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Nuh Al-Jundaisapuri. Mereka semua dipanggil bersama tokoh-tokoh yang lain, seperti Qutaibah bin Said, Abu Hayyan Az-Ziyadi, Ali bin Abi Muqotil, Sa'dawaih Al-Washiti, Ali bin Al-Ja'ad, Ishaq bin Abi Isroil, Abu Nasr At-Tammar, Abu Syuja', dan beberapa tokoh yang lain. Dari sejumlah itu, hanya empat orang yang bertahan dengan jawaban bahwa Al-Qur'an bukan ciptaan Allah, sebagaimana yang telah disebutkan. Dalam keadaan terantai kaki-kaki mereka dan diawasi penuh, hanya tersisa dua orang yang tetap bertahan dengan jawaban masing-masing. Mereka adalah Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh. Mereka berdua bertahan dengan keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah, salah satu sifat dari sifat-sifat Allah, dan bukan ciptaan Allah.

Mereka berdua belum mendapat sanksi nyata dari Al-Makmun secara langsung. Sampai kemudian terdengar kabar tentang kematian Al-Makmun ketika berada di Torsus, suatu tempat di wilayah Romawi, pada tahun itu juga. Urusan ini kemudian dilanjutkan pada pemerintahan dua kholifah setelah itu, Al-Mu'tashim dan Al-Watsiq. Pada masa-masa mereka berdualah, hukuman fisik bagi yang menolak keyakinan bahwa Al-Qur'an itu ciptaan Allah dikenakan secara luas, mulai dari hukuman penjara, cambuk, sampai dengan hukuman mati. Semua itu dimulai dengan menyebarkan surat-surat edaran agar semua rakyat mengakui keyakinan tersebut sekaligus memerintahkan para guru dan pengajar agar mengajari murid-murid mereka seperti itu.

Ahmad bin Hanbal termasuk yang dihukum penjara dan dicambuk. Biasanya, ia dipanggil menghadap kholifah dalam keadaan terbelenggu. Setelah diuji untuk kesekian kali, dan masih juga dalam jawaban yang sama seperti pertama kali, ia dihina dan dicambuk di hadapan kholifah dan para mentrinya. Setelah itu, ia dipulangkan ke penjaranya. Hukuman tersebut dilaksanakan berkali-kali, selama pemerintahan kholifah Al-Mu'tashim dan Al-Watsiq. Bukti hukuman tersebut dapat dilihat dari bekas-bekas cambukan yang ada pada punggungnya, sebagaimana yang diceritakan oleh salah seorang anaknya di kemudian hari. Keadaan baru berubah pada masa pemerintahan kholifah Al-Mutawakkil. Pergantian kholifah dari Al-Watsiq kepada Al-Mutawakkil sekaligus menandai berakhirnya masa inkuisisi, setelah menelan korban yang demikian banyak.

"Sungguh," puji Ali bin Al-Madini, "Allah telah memuliakan Islam ini lewat Abu Bakar pada ayyamur riddah dan lewat Ahmad bin Hanbal pada ayyamul mihnah." Pujian ini datang dari seorang muhaddits, rekan Ahmad bin Hanbal, sebagai tanda bahwa sikap bertahan Ahmad bin Hanbal dengan keyakinan Al-Qur'an adalah kalam Allah, sifat Allah, dan bukan makhluk, adalah penting pada waktu itu. Hal ini pun diakui sendiri oleh sejarawan Barat yang menulis tentang masalah Al-Mihnah ini. Seperti Phillip K. Hitti, dalam History of the Arabs, menulis bahwa

"Konservatisme Ibn Hanbal merupakan benteng ortodoksi di Baghdad terhadap berbagai bentuk inovasi kalangan Mu'tazilah. Meskipun telah menjadi korban inkuisisi (mihnah), dan pernah diikat dengan rantai pada masa Al-Ma'mun, serta dihina, dan dipenjara oleh Al-Mu'tashim, Ibn Hanbal tetap teguh pada pendiriannya, dan tidak mengakui berbagai bentuk modifikasi terhadap keyakinan tradisional."

Lebih jauh lagi, dalam nada pujian, ia menganggap bahwa Ahmad bin Hanbal adalah sosok yang paling penting "yang keberanian dan kegigihannya memperjuangkan pemikiran ortodoks-konservatif menghiasi lembar-lembar sejarah dengan indah."

Sikap bertahan yang diperlihatkan oleh Ahmad bin Hanbal juga menjadi benteng pertahanan terakhir di mata para muhaddits saat itu. "Banyak orang," kata Yahya bin Ma'in setelah masa inkuisisi berlalu, "menginginkan agar kami bersikap seperti Ahmad bin Hanbal. Demi Allah, tidak akan sanggup kami sepertinya dan tidak akan sanggup kami menanggung seperti apa yang ditanggungnya." Yahya bin Ma'in, sebagaimana yang telah lewat, termasuk salah seorang tokoh muhaddits yang ikut diuji pada hari-hari inkuisisi itu dan ia tidak bisa bertahan seperti Ahmad bin Hanbal. Karena itulah, ia melanjutkan, "Saya menjadikan Ahmad (bin Hanbal) sebagai dalih antara saya dan Allah. Dan siapa pula yang sanggup menanggung beban seperti Ahmad bin Hanbal?!". Ishaq bin Rohawaih juga berkata serupa, "Ahmad adalah hujjah antara Allah dan hamba-hambaNya di bumi ini." Bahkan, "Kedudukan Ahmad bin Hanbal di tengah umat (Islam) seperti kedudukan nabi", puji Qutaibah bin Said yang turut merasakan inkuisisi pada waktu itu.

Pada tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal wafat. Ia wafat setelah ditimpa sakit berhari-hari. Ribuan manusia memadati proses pemakaman Ahmad bin Hanbal.

Pokok-Pokok Mazhab Hanbali
Sebagaimana yang telah lalu, Ahmad bin Hanbal adalah seorang muhaddits yang telah melakukan rihlah ke pelbagai tempat untuk mendapatkan hadits-hadits. Semua muhaddits yang pernah didatanginya—yang ia mendapatkan hadits-hadits dari mereka—setidaknya dapat dikatakan guru baginya, termasuk Asy-Syafi'i dan Sufyan Ats-Tsauri. Akan tetapi, kedua orang ini, tidak menjadikan Ahmad bin Hanbal sebagai seorang Syafi'iyyah (pengikut mazhab Asy-Syafi'i), bukan pula Ats-Tsauriyyah (pengikut mazhab Sufyan Ats-Tsauri). Ia, dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya, memiliki cara tersendiri dalam mengambil keputusan-keputusan hukum dalam permasalahan fiqih.

Dalam memutuskan hukum suatu masalah, Ahmad bin Hanbal membangun keputusan-keputusannya di atas lima pokok utama. Dari kelima pokok inilah, murid-murid dan para pengikut mereka terbedakan dari pengikut-pengikut mazhab-mazhab fiqih yang lain. 

Kelima pokok yang dimaksud adalah (1) Al-Qur'an dan hadits-hadits shohih Nabi Muhammad; (2) segala sesuatu yang diputuskan (difatwakan) sahabat Nabi Muhammad; (3) pendapat sahabat Nabi Muhammad yang paling dekat dengan Al-Qur'an dan hadits-hadits shohih ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tersebut; (4) hadits-hadits yang berderajat dhoif dan mursal (selama berderajat tidak tertolak dan mungkar) ketika tidak ada dalil-dalil Al-Qur'an dan hadits serta pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi Muhammad yang dapat dipakai untuk memutuskan tentang suatu masalah; dan terpaksa dengan (5) kias (qiyas) ketika tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur'an, hadits shohih, perkataan para sahabat atau pendapat dari mereka dan riwayat-riwayat yang berderajat dhoif dan mursal.

Sebagai ilustrasi, apabila muncul suatu persoalan lalu ditemukan ayat atau hadits yang menjelaskan masalah yang dimaksud, maka masalah  itu diputuskan sesuai ayat atau hadits tersebut dan tidak berpindah kepada segala sesuatu yang menyelisihi ayat atau hadits tersebut.
Demikian pula, apabila ditemukan satu keputusan dari seorang sahabat atau lebih dalam suatu masalah yang tidak ada satu pun sahabat-sahabat lain yang menyelisihinya, maka masalah tersebut diputuskan seperti itu pula. Dalam hal ini, biasanya Ahmad bin Hanbal tidak mengatakan bahwa ini adalah hasil ijma', tetapi dengan ungkapan "Tidak kuketahui sesuatu yang lain semisal ini."

Sebaliknya, apabila terdapat perbedaan pendapat di antara sahabat Nabi Muhammad dalam suatu masalah, maka Ahmad bin Hanbal memilih pendapat yang paling dekat dengan Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi Muhammad. Ia tidak keluar dari penafsiran (pemahaman) para sahabat. 

Apabila ternyata tidak ada satu pun pendapat mereka yang sesuai atau mendekati Al-Qur'an dan hadits-hadits, maka Ahmad bin Hanbal menyampaikan pendapat-pendapat tersebut tanpa menetapkan yang benar di antara semua itu.

Apabila muncul suatu persoalan dan ternyata tidak ditemukan satu pun dari dalil-dalil Al-Qur'an dan hadits serta pendapat-pendapat dari para sahabat Nabi Muhammad yang dapat dipakai untuk memutuskan tentang suatu masalah, maka akan diambil hadits-hadits yang berderajat dhoif dan mursal untuk memutuskannya selama hadits-hadits tersebut bukan hadits-hadits yang tertolak atau mungkar. Akan tetapi, pemakaian hadits-hadits dhoif dan mursal ini banyak dibicarakan oleh para ulama hadits. Ada yang membolehkan, selama dipakai untuk berdalil dalam masalah tarhib (motivasi jiwa), targhib (intimidasi jiwa) dan bukan masalah hukum. Ada pula yang melarang tanpa terkecuali. Dari dua pendapat tersebut yang lebih kuat dan diterima banyak ulama hadits adalah pendapat kedua, sehingga pokok keempat mazhab Hanbali ini dikritik oleh banyak ulama.

Terakhir, apabila untuk suatu persoalan tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur'an, hadits shohih, perkataan para sahabat atau satu pun pendapat dari mereka, riwayat-riwayat hadits yang dhoif dan mursal, maka terpaksa akan digunakan kias untuk memutuskan persoalan tersebut.

Kelima pokok inilah yang menjadi dasar bagi Ahmad bin Hanbal dalam memutuskan suatu masalah. Pokok-pokok tersebut adalah urutan-urutan dalam mengambil kesimpulan. Kelimanya digunakan secara urut dalam memutuskan perlbagai masalah fiqih dan inilah yang diajarkannya kepada murid-murid yang datang dan menghadiri selalu majelis-majelis talaqqinya. Para muridnya ini menyebarkan ajarannya melalui majelis-majelis talaqqi yang mereka buka di pelbagai tempat. Dari majelis-majelis tersebut, muncul banyak pengikut yang mempraktekkan prinsip-prinsip dalam mengambil keputusan yang diajarkan Ahmad bin Hanbal. Sebagian di antara mereka ada yang menulis risalah-risalah fiqih dan di dalamnya diaplikasikan prinsip-prinsip tersebut. Sebagian yang lain bahkan menukil juga keputusan-keputusan hukum fiqih dari Ahmad bin Hanbal langsung.

Akan tetapi, yang menjadi catatan penting adalah kepengikutan murid-murid Ahmad bin Hanbal. Dalam usahanya menyebarkan ilmu yang ada padanya, ia sangat menekankan pentingnya dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi Muhammad yang shohih. Semua dalil yang ada tersebut dipahaminya berdasarkan pemahaman para sahabat Nabi Muhammad yang tersampaikan melalui riwayat-riwayat yang ada. Bukti dari ini semua adalah karyanya yang berjudul Ushulus Sunnah.

(Bagi yang ingin mendalami lebih lanjut tentang tema artikel ini dapat merujuk ke Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyar A'lam An-Nubala': Juz  XIII, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, 1993; Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan, Min A'lamil Mujaddidin:Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Ahmad bin Taimiyah, Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab, Dar Alam Al-Kutub, Riyadh,  2002/1423; Ismail bin Katsir Ad-Dimasyqi. Al-Bidayah wa An-Nihayah: Juz 10. Al-Manshurah: Maktabah Al-Iman. Tth; Jalaluddin As-Suyuthi. Tarikh Khulafa': Sejarah Para Penguasa Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2001)