Laman

Selasa, 22 Oktober 2013

TURKI USMANI DI MATA SALAFI

Kakek-moyang bangsa Turki berasal dari Turkistan, di sebelah timur sungai Oxus. Mereka kemudian mengembara ke barat kekuasaan kaum muslimin, berpindah dan menetap di wilayah Turki sekarang. Mereka pernah menjadi pengawal kekuasaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah dari ancaman-ancaman yang diberikan oleh kelompok-kelompok Syiah dan Khawarij. 

Karena bukan dari Quraisy, di mata kaum muslimin waktu itu, Turki Usmani tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai kekhalifahan. Meski demikian, sebagaimana ditulis Philip K. Hitti dalam History of the Arabs, agar dapat diakui sebagai suatu kekhalifahan dalam lembaran sejarah Islam pihak Turki Usmani mengadakan semacam upaya timbang-terima legitimasi dengan seseorang keturunan Dinasti Abbasiyah yang lemah. Diharapkan, publik sejarah kelak dapat melihat bahwa itulah peristiwa yang membuat Turki Usmani menjadi pewaris kekhalifahan Islam.

Karena alasan itulah, komunitas Salafi percaya bahwa Turki Usmani bukan suatu kekhalifahan tetapi hanya keamiran biasa. Pandangan ini jelas berbeda dari pandangan kalangan pergerakan Islam, seperti kelompok Hizbut Tahrir, yang tetap yakin bahwa Turki Usmani adalah sebuah kekhalifahan Islam seperti halnya Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, sehingga hari pembubaran Turki Usmani diperingati sebagai hari hilangnya kekhalifahan Islam.

Perpecahan Masa Dinasti Abbasiyah
Sebelum mundur lalu tenggelam, sudah muncul bibit-bibit perpecahan di dalam tubuh kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Dapat dikatakan, perpecahan itu mengendap banyak disebabkan oleh kekecewaan terhadap kebijakan pemerintahan. 

Di antara kelompok-kelompok yang kecewa dan membangun pemerintahan setengah merdeka di barat wilayah Dinasti Abbasiyah adalah Dinasti Umayyah di Spanyol, Dinasti Idrisiyah dan Dinasti Aglabiyah di timur Afrika, Dinasti Thulun dan Dinasti Hamdaniyah di Mesir dan sebagian Syam. Di timur wilayah Dinasti Abbasiyah, bergantian berdiri kelompok-kelompok yang ingin mendikte khalifah di Bagdad. Di antara mereka adalah Dinasti Thahiriyah, Dinasti Saffariyah, Dinasti Samaniyah, Dinasti Ghaznawi, dan Dinasti Seljuk yang menjadi cikal-bakal Turki Usmani. Semua kelompok itu memakai gelar amir dan masih mengakui khalifah Dinasti Abbasiyah.

Syiah adalah kelompok yang sangat ingin berpisah dari Dinasti Abbasiyah. Selain didorong oleh akidah yang dianut, Syiah juga didorong oleh kekecewaan masa lalu terhadap Dinasti Abbasiyah. Terlebih lagi khalifah Dinasti Abbasiyah yang pertama, khalifah As-Saffah menyingkirkan kelompok Syiah setelah bersama-sama berhasil menggulingkan pemerintahan Dinasti Umayyah.

Akidah Syiah menjadi suatu kekuatan memberontak bagi beberapa kelompok yang ada. Sebagai misal, Dinasti Idrisiyah, Dinasti Hamdaniyah, dan Dinasti Samaniyah adalah kelompok-kelompok yang berakidah Syiah dan berhasil mendirikan kekuatan politik yang setengah merdeka dari Dinasti Abbasiyah. 

Akan tetapi, dalam sejarah Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fatimiyah dan Dinasti Buwaihi tercatat sebagai kekuatan-kekuatan politik Syiah yang paling brutal dalam merongrong kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Jika Dinasti Fatimiyah terang-terangan mengaku sebagai kekhalifahan dan memisahkan diri dari Dinasti Abbasiyah, maka Dinasti Buwaihi menggunakan kekuatan mereka untuk mengatur-atur khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah.

Dinasti Abbasiyah memang memasuki kehancuran setelah Dinasti Buwaihi memegang kekuasaan atas khalifah. Mereka mengatur para khalifah sekehendak hati, termasuk menyingkirkan khalifah yang tidak disukai. Khalifah Dinasti Abbasiyah baru terlepas dari Dinasti Buwaihi setelah Dinasti Seljuk yang Sunni merebut Bagdad pada tahun 1056. Dinasti Seljuk berkuasa hanya sampai tahun 1194. 

Khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah setelah itu kembali menjadi permainan orang-orang Syiah sampai muncul serbuan orang-orang Mongol. Bagdad jatuh ke tangan orang-orang Mongol pada tahun 1258. Sejak saat itu, Dinasti Abbasiyah hanya menjadi nama tanpa kekuasaan sama sekali yang melegitimasi suatu kekuatan politik, baik di timur ataupun di barat wilayah kaum muslimin kecuali pemerintahan Islam di Andalusia.

Politik Turki Usmani
Sebenarnya, kejayaan Islam mulai muncul kembali ketika Turki Usmani berdiri dan berkembang menjadi suatu kekuatan politik di tengah-tengah kaum muslimin. Dengan komitmen membela Islam dari ancaman Kristen Eropa, Turki Usmani perlahan-lahan meluaskan pengaruhnya ke luar dan dalam negeri. Kekuasaan Turki Usmani berlangsung sejak tahun 1280 sampai Tahun 1923. Selama periode yang panjang ini, Turki Usmani mesti bersaing dengan dua kekuatan dominan di bagian timur yang juga mengatasnamakan Islam. Mereka adalah Kesultanan Mogul di India dan Kesultanan Safawiyah di Iran.

Dengan identitas keturkian yang mereka miliki, Turki Usmani berusaha meneruskan upaya jihad melawan kekaisaran Romawi yang sedang mengalami kemunduran. Puncak dari usaha itu adalah ketika Konstantinopel berhasil direbut pada tahun 1453 di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad II. Ibukota Turki Usmani pun pindah ke Konstantinopel. Penaklukan itu dicatat sebagai puncak pencapaian kaum muslimin dalam bidang militer.

Kejayaan Turki Usmani diteruskan oleh beberapa sultan berikutnya. Salah satu di antara mereka adalah Sulaiman Al-Qanuni. Di bawah kepemimpinannya, Turki Usmani mewakili nama Islam di dunia. Sampai saat itu juga, Turki Usmani mewakili komunitas Islam Sunni berhadapan dengan kekuasaan Syiah di wilayah Safawilyah. Wilayah taklukan Turki Usmani pun membentang hingga mencapai wilayah-wilayah Eropa Timur dan Rusia. Konstantinopel meneruskan tradisi sebagai pusat peradaban maju dunia.

Kemunduran Turki Usmani
Turki Usmani mulai mundur ketika muncul konflik-konflik dalam negeri. Intrik-intrik untuk merebut kekuasaan atau merebut pengaruh atas kekuasaan sultan yang memerintah adalah dua faktor besar yang dapat memunculkan konflik dalam negeri. Selain itu, wibawa penguasa Turki Usmani yang mulai merosot akibat dekadensi moral turut memengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Akibat lebih jauh, muncul pula kekecewaan-kekecewaan di antara rakyat Turki Usmani.

Daerah-daerah yang baru ditaklukkan, seperti daerah-daerah di Balkan, Eropa, menyimpan ketidakpuasan terhadap Turki Usmani. Bagi mereka, Turki Usmani tidak lebih dari penjajah yang hanya mengeruk kekayaan lewat pajak-pajak atas mereka. Di sisi lain, mereka pun menolak untuk masuk Islam. Usaha Vlad Drakula atau Vlad Tepez atau Vlad si Penyula adalah contoh baik tentang betapa gigih orang-orang Balkan menentang kekuasaan Turki Usmani.

Dan usaha mereka lambat laun menunjukkan hasil. Satu per satu daerah-daerah di Eropa itu melepaskan diri. Kekuatan militer Turki Usmani yang melemah juga turut menjadi sebab keberhasilan mereka dalam melepaskan diri.

Puncak dari itu semua adalah ketika muncul ketidakpercayaan pada kaum muslimin terhadap pemerintah Turki Usmani. Suara-suara ketidakpercayaan menghendaki agar kekuasaan atas kaum muslimin diberikan kepada orang-orang Quraisy Arab, sebab kekhalifahan hanya sah di tangan mereka. Di lain pihak, muncul pula kelompok-kelompok kaum muslimin yang justru tidak percaya pada sistem pemerintahan Islam itu sendiri. Mereka menghendaki perubahan segera.

Ketertinggalan negeri-negeri Islam dari Barat ikut memengaruhi suara-suara ketidakpercayaan itu. Turki Usmani waktu itu, di mata kaum muslimin yang kagum terhadap negara-negara Eropa yang maju, sudah tertinggal jauh. Bagi mereka, Turki Usmani mesti belajar kepada negara-negara Eropa tersebut agar dapat kembali meraih posisi terdepan dalam peradaban dunia.

Semua itu berakhir ketika pandangan bahwa agama mesti dipisahkan dari negara diterima banyak orang, sebagaimana negara-negara di Eropa banyak yang telah melakukan hal itu. Didorong oleh gagasan tersebut lewat perdebatan-perdebatan sengit banyak kalangan, Turki Usmani berhasil dibubarkan pada tahun 1923 dan digantikan dengan satu Republik Turki yang sekuler.

Pamungkas Kata
Bagi kelompok Salafi, Turki Usmani adalah kekuatan yang pernah membawa harum nama Islam di pentas dunia. Penaklukan Konstantinopel tahun 1453 adalah puncak dari semua itu. Meski demikian, Turki Usmani tetaplah satu keamiran, satu kesultanan dan bukan kekhalifahan. 

Kelompok Salafi masih tetap memegang teguh prinsip yang telah Nabi Muhammad gariskan beberapa abad silam: khalifah di tangan Quraisy. Bahkan, orang-orang Arab yang bukan Quraisy pun, seperti orang-orang Anshar di Madinah, tetap tidak bisa menjadi kekuatan kekhalifahan atas negeri-negeri kaum muslimin. Agaknya, pada titik prinsip inilah, kelompok Salafi kembali banyak dikatakan orang sebagai kelompok muslim literalis.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar