Belanda kembali
berkuasa, dengan pusat pemerintahan di Batavia. Seperti Kompeni, periode kali
ini dimulai dengan kebutaan mereka terhadap Islam di Hindia Belanda. Semula,
Belanda tidak berani mencampuri urusan yang terkait Islam secara langsung. Hal
ini dapat dimaklumi, mengingat mereka masih kekurangan pengetahuan terhadap
Islam itu sendiri.
Aqib Suminto yang secara khusus meneliti tentang sikap Belanda terhadap Islam
di Hindia Belanda pun pernah mengatakan dalam
Politik Islam Hindia Belanda,
“Sikap Belanda dalam
masalah ini ‘dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan
yang berlebihan.’ Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan timbulnya
pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Sementara di pihak lain Belanda sangat
optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua
persoalan. Dalam hal ini Islam sangat ditakuti, karena dianggap mirip dengan
Katolik. Hubungan antara umat Islam di kepulauan ini—terutama para
ulamanya—dengan Khalifah Turki, semula dianggap sama dengan hubungan antara
umat Katolik dengan Paus di Roma. Tetapi waktu itu Pemerintah Hindia Belanda
belum berani mencampuri masalah Islam, dan belum mempunyai kebijaksanaan yang
jelas mengenai masalah ini. Di samping karena belum memiliki pengetahuan Islam
dan bahasa Arab, pada waktu itu pemerintah Belanda juga belum mengetahui sistem
sosial Islam.”
Yang juga mesti
diketahui, undang-undang yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda waktu itu
memberikan ruang yang cukup bebas bagi siapa saja di Hindia Belanda untuk
menjalankan keyakinannya. Dalam Regeerings Reglement atau peraturan
pemerintah ayat 119, misalnya, dikatakan bahwa “Setiap warga negara bebas
menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan
anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum agama.”
Sayangnya, aturan
seperti itu tidak selalu dijalankan. Buktinya, terkait masalah haji, pemerintah
kolonial tetap tidak bisa tidak mencampuri urusannya, karena para haji sampai
masuk abad ke-20 dicurigai sebagai pembawa sikap fanatik terhadap agama dan
pendorong terjadinya pemberontakan di tengah umat Islam.
Dari situlah kemudian,
sebagai misal yang lain, pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan baru pada
1859 yang memberi wewenang kepada gubernur jenderal untuk mencampuri masalah
agama di Hindia Belanda, jika dipandang perlu demi kepentingan ketertiban dan
keamanan masyarakat. Dalam peraturan yang baru itu juga, seorang gubernur
jenderal melalui bawahannya diharuskan untuk mengawasi setiap tindakan yang
dilakukan oleh pemuka-pemuka agama Islam di tengah masyarakat.
Setelah datang Christiaan
Snouck Hurgronje (1857—1936) atau Abdul Ghaffar ke Hindia Belanda, pemerintah
Hindia Belanda dapat memahami—dan juga sekaligus menguasai—umat Islam di Hindia
Belanda dengan lebih baik. Bahkan, Harry J. Benda, salah seorang pengkaji sejarah
Islam di Indonesia pada zaman kolonial, berani menyebut Hurgronje sebagai
“arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris”, terutama di Hindia
Belanda.
Hurgronje lahir di
Tholen, Ousterhout, Belanda, pada tanggal 8 Februari 1857. Ayahnya adalah
seorang pendeta berdarah Yahudi yang bernama J.J. Snouck Hurgronje. Ibunya bernama Anna Maria
Visser, putri Pendeta Christian de Visser. Sejatinya, hubungan ayah dan ibu
Hurgronje adalah hubungan gelap. Karena hubungan itulah, ayah Hurgronje dipecat
dari Gereja Reformasi Belanda
yang ada di Tholen pada tanggal 3 Mei 1849. Mereka baru menikah secara resmi di
Terheijden pada tanggal 31 Januari 1855.
Waktu itu, mereka sudah memiliki dua orang anak.
Hurgronje sendiri adalah anak kedua mereka yang lahir setelah pernikahan itu.
Sejak kecil, Hurgronje
telah diarahkan orangtuanya untuk menaruh perhatian terhadap teologi. Tidak
heran, setamat dari sekolah menengahnya di Breda, Belanda, Hurgronje mengambil
kuliah di Fakultas Teologi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1875. Ia
kemudian pindah kuliah ke Fakultas Sastra jurusan Arab, masih di universitas
yang sama.
Pada tanggal 24
November 1880, ia akhirnya lulus dari pendidikannya dengan yudisium cum
laude. Ia pun berhak dengan titel doktor untuk bidang Sastra Semit. Disertasinya
berjudul “Het Mekkaanshe Feest” yang berisi pembahasan tentang ibadah haji di
Mekkah. Dalam disertasi itu, ia menyimpulkan bahwa ibadah haji yang memiliki
kedudukan penting bagi umat Islam adalah sebuah ritual peninggalan paganisme
bangsa Arab.
Setelah itu, Hurgronje
memulai karirnya sebagai dosen pada Pendidikan Khusus Calon Pegawai di Hindia
Belanda di Universitas Leiden. Ia diserahi tugas untuk menyiapkan calon-calon
pegawai kolonial Belanda yang akan dikirim ke Hindia Belanda. Pada masa-masa inilah,
ia mengenal sejumlah orientalis terkenal, seperti Carl Bezold (1859—1922).
Sebelum itu, Hurgronje juga sempat mengikuti kuliah-kuliah Theodore Noldeke
(1836—1930), seorang orientalis terkemuka berkebangsaan Jerman.
Agustus 1884,
Hurgronje berangkat menuju Jazirah Arab. Tentang alasan yang mendorongnya
melakukan itu, ada yang berpendapat bahwa perjalanannya ke Arab ini
terinspirasi oleh pertemuannya yang mengesankan dengan Carlo Landberg
(1848—1924) dan Amin Al-Madani pada Konfrensi Orientalis Internasional tahun
1883. Landberg adalah seorang orientalis dari Swedia, sedangkan Al-Madani
seorang penulis dan pedagang kitab-kitab Arab.
Di samping itu,
Hurgronje berangkat ke Jazirah Arab, sebenarnya, untuk menghindari kebekuan
intelektual yang sedang terjadi di tengah lingkungan akademisnya. Tidak seperti
abad ke-17, di Leiden perhatian terhadap kajian hukum Islam waktu itu sedang
mengalami kemunduran dan Hurgronje tidak menginginkan hal itu. Ada juga
berpendapat bahwa sebab yang mendorongnya adalah keinginannya Hurgronje pribadi
untuk memperdalam pengetahuan praktisnya terhadap bahasa Arab.
Terlepas dari semua
pendapat itu, selama lima bulan pertama di Jazirah Arab, Hurgronje tinggal di
Jeddah bersama Konsul Belanda, J. Kruyt. Darinya, Hurgronje mendapat bantuan
uang dan kemudahan-kemudahan lainnya.
Dari Jeddah, ia
kemudian bertolak ke Mekkah dan tiba di sana pada tanggal 22 Februari 1885.
Untuk memudahkan urusannya, ia menyatakan diri masuk Islam dan mengganti
namanya menjadi Abdul Ghaffar. Dengan statusnya yang baru ini, ia dapat bertemu
dengan sejumlah syaikh tarekat, pengajar-pengajar di Masjidil Haram, dan
berbagai macam orang, terutama yang berasal dari Sumatera dan Jawa.
Di Mekkah, Hurgronje
tinggal selama tujuh bulan, mengumpulkan data baru terkait Islam dan para
pemeluknya serta mengamati dari dekat kehidupan di pusat Islam. Apa yang ia
dapatkan itu kelak ia susun menjadi sebuah karya baru yang berjudul
Mekka.
Ia baru pergi dari
Mekkah pada Agustus 1885. Terkait kepergian Hurgronje dari Mekkah itu,
Abdurrahman Badawi yang menuliskan profil Hurgronje dalam Mawsu’ah
Al-Mustasyriqin mengatakan,
“Namun akhirnya, pada
bulan Agustus, Snouck dipaksa keluar dari Mekkah oleh Konsul Perancis. Dia
pulang dengan empat ekor unta yang membawa barang-barang yang dikumpulkan
selama mukim di sana. Yang disesalkan adalah perintah untuk meninggalkan Mekkah
itu bertepatan dengan awal musim haji. Padahal disertasi yang pernah ditulisnya
berkaitan dengan musim haji, meskipun hanya berdasarkan pada sumber-sumber literatur,
manuskrip-manuskrip, dan pengalaman-pengalaman orang yang sudah berziarah ke
sana. Bukan atas dasar pengalamannya sendiri.”
Keterangan yang mirip
bisa kita dapati pada apa yang pernah ditulis Suminto. Dalam bukunya yang
terkenal itu, Suminto menulis,
“Andaikata bukan
karena ‘hasutan’ dari wakil Konsul Perancis, tentulah ia belum akan mengakhiri
kunjungannya di kota suci ini. Kunjungan ini sengaja dilakukannya di luar musim
haji, sehingga leluasa menggunakan waktu sehari-hari untuk membicarakan masalah
Islam dengan para ulama di sana. Ia juga bermaksud melihat koleksi buku dan
naskah yang ada di sana, sekaligus meneliti situasu kondisi ‘warga negara
Belanda’ yang ada di kota ini. Ternyata di sinilah terletak ‘jantung kehidupan
Islam’ di Hindia Belanda, dan dari sini pula urat nadi selalu memompakan darah
segar yang tak terhitung berapa jumlahnya ke seluruh penduduk muslim di Hindia
Belanda.”
Hurgronje kembali ke
Leiden. Ia meneruskan aktivitas mengajarnya seperti biasa, namun itu sebentar
saja. Pada 1887, muncul keinginannya untuk mengadakan penelitian di Hindia
Belanda selama dua tahun. Keinginannya ini, ternyata, mendapat dukungan dari
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga kebudayaan
yang didirikan oleh Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1710—1780) di Batavia
pada tanggal 24 April 1778.
Rencananya, dalam penelitian itu, Hurgronje akan mengumpulkan data tentang
lembaga Islam di Hindia Belanda.
Pada tanggal 9
Februari 1888, Hurgronje mengajukan permohonan resminya kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda. Direktur Pendidikan, Agama dan Perindustrian mendukung
keinginan Hurgronje itu dan menyetujui pemberian tunjangan kepada Hurgronje sebesar
f. 1150 (baca: 1150 florin) yang akan dibayar penuh setibanya di Batavia.
Pemerintah Belanda, lewat Menteri Jajahan, akhirnya menyatakan persetujuannya
atas permohonan Hurgronje itu dan meminta kepada Gubernur Jenderal Hindia
Belanda untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk Hurgronje nanti.
Tepat tanggal 11 Mei
1889, Hurgronje tiba di Batavia. Lima hari berikutnya, keluar keputusan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengangkat Hurgronje sebagai peneliti di
Hindia Belanda selama dua tahun yang untuk itu akan mendapat gaji sebesar f.700
per bulannya. Keputusan itu kemudian diperkuat dengan keputusan Raja Belanda
nomor 25 tertanggal 22 Juli 1889.
Hurgronje memang
berbakat mengambil kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Seperti pemuka-pemuka
Islam di Mekkah, dengan cepat Hurgronje merebut kepercayaan orang-orang Islam
di Batavia. Lebih dari itu, ia dapat berteman akrab dengan mereka dan dapat
meneliti masalah Islam di Jawa—dan kemudian Aceh—dengan lebih baik.
Tentu saja, hal itu
menjadi sesuatu yang mengesankan bagi Direktur Pendidikan, Agama dan
Perindustrian. Kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, sang direktur
menceritakan kekagumannya. Dalam sepucuk suratnya kepada gubernur jenderal, ia
mengatakan, “Melalui pergaulan singkat, saya memeroleh kesan bahwa ia memiliki
pribadi yang tenang. Tidak tergesa-gesa. Dalam penelitiannya di Arab pun ia
berbuat seperti itu.”
Sesuai kesepakatan,
Hurgronje berada di Batavia hanya selama dua tahun. Akan tetapi, kinerjanya
yang baik dan potensinya yang luar biasa bagi kepentingan pemerintah Hindia
Belanda mendorong pemerintah mengangkatnya sebagai Penasehat Urusan
Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam pada tanggal 15 Maret 1891.
Dalam kedudukannya
yang baru itu, pada tanggal 9 Juli 1889, Hurgronje berangkat ke Aceh. Sejak
tanggal 16 Juli 1891, ia menetap di Kutaraja atau Banda Aceh sekarang dan
mengamati dari dekat kehidupan penduduk setempat hampir satu tahun lamanya.
Pekerjaannya di Aceh itu membuatnya dapat memahami karakter sosial masyarakat
Aceh dan kelak menjadi bekal buatnya untuk memberikan nasehat-nasehat penting
terkait Islam di Hindia Belanda.
Hurgronje pulang ke
Batavia pada tanggal 4 Februari 1892. Hasil pengamatannya di Aceh ia susun
menjadi apa yang bakal dikenal sebagai Atjeh Verslag (Laporan Aceh).
Sebagian besar laporan itu kemudian ia terbitkan menjadi dua jilid buku berjudul
De Atjehers. Dalam bahasa Belanda, jilid pertama buku itu terbit pada 1893,
sedangkan jilid kedua pada 1894. Dua belas tahun kemudian, De Atjehers
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Selesai dengan karya
itu, tidak membuatnya lepas dari Aceh. Sepanjang 1898—1903, ia sering pergi ke
Aceh, membantu Jenderal Joannes Benedictus van Heutz (1851—1924) menaklukkan
Aceh. Seperti disinggung pada bagian yang lalu, Perang Aceh telah meletus sejak
1873. Selama itu pula, masyarakat Aceh telah membuat kewalahan pemerintah
Hindia Belanda. Aceh akhirnya takluk pada 1903.
Karir Hurgronje
sendiri telah menanjak tinggi, ketika pada tanggal 11 Januari 1899 diangkat
sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab. Ia memegang jabatan itu sampai 1906.
Ia kemudian pulang ke Belanda dan menerima pengangkatan dirinya menjadi guru
besar di Universitas Leiden tepat pada tanggal 23 Januari 1907.
Dalam jabatannya sebagai guru besar itu, ia diangkat pula sebagai Penasehat
Menteri Jajahan sampai akhir hidupnya, 16 Juni 1936.
Semasa menjabat
sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab, Hurgronje memiliki kedudukan yang
demikian strategis dalam memengaruhi kebijakan pemerintah Hindia Belanda
terhadap umat Islam di Hindia Belanda, apalagi dengan keberhasilan penaklukan
Aceh itu yang tidak sedikit berdasarkan nasehat-nasehatnya kepada Van Heutz dan
memang sejumlah pandangan Hurgronje menjadi dasar kebijakan pemerintah Hindia
Belanda, bahkan sampai jauh setelah Hurgronje selesai bertugas.
Secara umum,
saran-saran yang diberikan Hurgronje kepada pemerintah Hindia Belanda dibangun
di atas tiga prinsip utama. Dalam karya Alwi Shihab, Membendung Arus:
Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia,
ketiga prinsip itu diuraikan secara gamblang.
“
Pertama, dalam
semua masalah ritual keagamaan, atau aspek
‘ibadah dari Islam, rakyat
Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya. Logika di balik kebijakan ini
adalah membiarkan munculnya keyakinan dalam pikiran banyak orang bahwa
pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur dalam masalah keimanan mereka.
Ini merupakan wilayah yang peka bagi kaum Muslim karena hal itu menyentuh
nilai-nilai keagamaan mereka yang paling dalam. Dengan berbuat demikian,
pemerintah akan berhasil merebut hati banyak kaum Muslim, menjinakkan mereka
dan—sejalan dengan itu—akan mengurangi, jika tidak menghilangkan sama sekali,
pengaruh perlawanan ‘kaum Muslim fanatik’ terhadap pemerintah kolonial. […].
Prinsip
kedua adalah bahwa, sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial
Islam, atau aspek
mu’amalat dalam Islam, seperti perkawinan, warisan,
wakaf, dan hubungan-hubungan sosial lain, pemerintah harus berupaya
mempertahankan dan menghormati keberadaannya. Meskipun demikian, pemerintah
harus berusaha menarik sebanyak mungkin perhatian orang-orang Indonesia
terhadap berbagai keuntungan yang dapat diraih dari kebudayaan Barat. Hal itu
dilakukan dengan harapan agar mereka bersedia menggantikan lembaga-lembaga
sosial Islam di atas dengan lembaga-lembaga sosial Barat. Diharapkan bahwa
perlahan-lahan, sembari berasosiasi dengan orang-orang Belanda, orang-orang
Indonesia akan menyadari keterbelakangan lembaga-lembaga sosial Islam milik
mereka dan menuntut digantikannya lembaga-lembaga itu dengan lembaga-lembaga
sosial model Barat. Dan akhirnya, hubungan yang lebih erat antara penguasa
Belanda dan rakyat Hindia Belanda akan berkembang dengan sendirinya. Prinsip
yang
ketiga, dan paling penting, adalah bahwa dalam masalah-masalah
politik, pemerintah dinasihatkan untuk tidak menoleransi kegiatan apa pun yang
dilakukan oleh kaum Muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme
atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah
kolonial Belanda. Pemerintah harus melakukan kontrol ketat terhadap penyebaran
gagasan apa pun yang dapat membangkitkan semangat kaum Muslim di Indonesia
untuk menentang pemerintah kolonial. Pemangkasan gagasan-gagasan seperti ini
akan memencilkan pengaruh aspek-aspek Islam yang bersifat politis, yang menjadi
ancaman terbesar terhadap pemerintahan kolonial Belanda."
Hurgronje sendiri juga
sempat menyatakan bahwa ketakutan pemerintah kolonial selama ini terhadap Islam
dan pemeluknya di Hindia Belanda adalah sesuatu yang berlebih-lebihan. Islam
tidak mengenal jenjang kependetaan atau kepastoran, tepatnya, seperti yang
dikenal dalam Kristen. Kyai-kyai tidak bisa dipukul rata sebagai orang-orang
yang fanatik. Kemudian, para penghulu, dalam strata kepegawaian pribumi, adalah
para bawahan pemerintah pribumi (seperti bupati) dan bukan atasan-atasan
mereka.
Orang-orang yang pergi
ke Mekkah, menurut Hurgronje, tidak harus selalu diartikan akan menjadi
segerombolan orang yang berjiwa fanatik dan jahat. Pengalamannya di Mekkah
membuat Hurgronje berkesimpulan bahwa sebagian besar muslim yang datang berhaji
ke Mekkah bukanlah muslim fanatik yang ingin memajukan Islam dengan segala
cara. Sebaliknya, kata Hurgronje, “Banyak di antara mereka yang kembali [ke
Hindia Belanda, pen.] dalam keadaa sama bodohnya dengan ketika mereka
berangkat [ke Mekkah, pen.].”
Ketimbang menguatirkan
kyai-kyai lokal yang tekun beribadah, Hurgronje menyarankan agar pemerintah
kolonial lebih memerhatikan pemeluk-pemeluk Islam yang pergi ke Mekkah untuk
belajar dan berdiam di sana bertahun-tahun lamanya sampai tumbuh dalam
diri-diri mereka rasa persatuan dan kesatuan dengan seluruh umat Islam di dunia
ini berdasarkan identitas keislaman yang sama-sama mereka hayati. Terlebih
lagi, kepada para pemeluk Islam yang mendakwahkan perang suci (baca: jihad
fi sabilillah) kepada pemerintah kafir.
Khusus gerakan-gerakan
tarekat yang tumbuh subur di Hindia Belanda, setelah mengadakan penelitian di
Jawa, Hurgronje mengeluarkan dua rekomendasi. Pertama, penguasa harus
menghambat gerakan anti tarekat, baik itu dari kalangan pejabat pemerintah
ataupun dari kalangan rakyat biasa. Seperti yang telah umum diketahui, di
Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-19, mulai muncul kecenderungan di tengah
umat Islam yang tidak menyetujui adanya tarekat-tarekat Sufi. Meski demikian,
dan ini rekomendasinya yang kedua, pihak penguasa harus mengadakan pengawasan
yang ketat terhadap segala aktivitas tarekat-tarekat yang ada.
Bagaimana pun,
tarekat, menurut Hurgronje, memiliki kedudukan yang sangat kuat di Kepulauan
Nusantara, sehingga tidak mungkin dihapuskan atau dilarang hanya dengan surat
keputusan pemerintah. Dalam salah satu nasehatnya kepada pemerintah kolonial,
Hurgronje pernah menasehati pemerintah untuk tidak melarang aktivitas Tarekat
Syattariyah di Yogyakarta yang waktu itu sempat disorot oleh pemerintah
setempat terkait rencana mengasingkan Kyai Krapyak menyusul sebuah insiden
pembunuhan pegawai pemerintahan di Sidoarjo pada Mei 1904. Lagi pula, dalam
pandangan Hurgronje, Tarekat Syattariyah pada dasarnya tidak memiliki
kecenderungan politik, sehingga kurang berbahaya. Bahkan, Hurgronje sempat
mengatakan, “Uit een politiek oogpunt steekt daarin niets bedenkelijks: voor
humane en verdraagzame bergrippen laat die mystiek zelfs veel meer plaats dan
de orthodoxe Islam” yang dalam bahasa kita berarti “Dari segi politik, tasawuf
dan tarekat yang bersifat wihdatul wujud bukan sesuatu yang berbahaya,
justru mereka itu lebih terbuka untuk pemikiran yang humanis dan toleran
ketimbang Islam yang sempurna.”
Khusus kepada para
pembaca karya-karyanya dan orang-orang atau pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk
meneliti Islam dan para pemeluknya, Hurgronje mengemukakan pandangannya tentang
cara memahami pemeluk-pemeluk Islam dalam pengantarnya di jilid pertama De
Atjehers. Menurutnya, mereka yang memang betul-betul ingin menyelami faktor
Islam dalam kehidupan suatu bangsa atau masyarakat hendaklah mengetahui juga
permainan anak-anak bangsa itu, kesenangan orang-orang dewasa di situ,
seluk-beluk pengaturan desa atau daerah mereka, dan karya-karya sastrawi
mereka, sebab semua itu memiliki segi-segi yang sama penting dengan (1)
kitab-kitab yang digunakan oleh mereka dalam pengajaran agama mereka, (2)
tarekat-tarekat Sufi yang berkembang di tengah-tengah mereka dan (3) kedudukan
pemuka-pemuka agama mereka.
Jangan mengira sudah
cukup dengan mengetahui ajaran agama suatu masyarakat, tegas Hurgronje, sebab
dalam kehidupan masyarakat, unsur-unsur agama dan non-agama saling terkait dan
tidak bisa dipisahkan. Selain melihat Islam, lihatlah juga para pemeluk Islam
itu sebagai individu dan sebagai anggota suatu masyarakat, sebagai makhluk
sosial. Lihat, bagaimana ajaran agama mereka dipraktekkan dalam kehidupan
nyata.
Karena pandangannya
yang seperti itu, Hurgronje akhirnya mengamati adat-adat setempat yang berlaku
di masyarakat objek pengamatannya dan membuatnya ditabalkan sebagai salah
seorang penemu hukum adat. Bahkan, ialah pula yang dikenal sebagai orang
pertama yang menggunakan istilah hukum adat untuk unsur-unsur adat yang
mempunyai akibat hukum.[]
Sebuah
versi yang agak berbeda dikemukakan oleh Yusuf Mpd dalam salah satu postingannya
di www.kompasiana.com. Di situ, ia
menulis, “Selama tujuh bulan, Hurgronje tinggal di
Makkah. Meski terbilang singkat, dia mengamati, mencatat, dan mempelajari
kehidupan masyarakat lokal. ‘Waktu itu, Makkah memiliki salah satu pasar budak
terbesar di dunia, dan Hurgronje kagum dengan perlakukan manusiawi yang
diberikan kepada budak karena budak-budak itu diperlakukan sebagai anggota
keluarga.’ Hurgronje juga mengamati kehidupan wanita di Makkah. Persoalan
status sosial, rasa mode, dan kebebasan yang diberikan kepada kalangan wanita
ini dibandingkannya dengan wanita di kota-kota di Timur lainnya. Minatnya yang
begitu besar terhadap Makkah membuat curiga pemerintah negara Eropa yang lain.
Setelah itu terungkap bahwa Hurgronje adalah seorang mata-mata, penipu,
sekaligus sebagai sedikit dari kalangan orientalis kala itu. Tak lama usai
menikahi wanita Ethiopia, dia dideportasi dari Arab Saudi atas permintaan
pemerintah Prancis yang menuduhnya telah mencuri batu Taima. Akibatnya,
Hurgronje harus segera meninggalkan Makkah. Dengan tergesa- gesa , dia
mengumpulkan catatan dan foto-foto yang diperolehnya selama tinggal di Makkah.
Namun peralatan kamera ditinggalnya dan dititipkan kepada temannya yang seorang
mahasiswa fotografi, Al-Sayyid Abd Al-Ghaffar. Hurgronje kemudian balik ke
Belanda dan mulai menulis berbagai artikel mengenai Makkah. Dia tetap menjalin
kontak dengan temannya, Al-Sayyid untuk bertukar informasi dan mendapatkan
foto-foto terbaru mengenai Makkah, termasuk foto-foto mengenai jamaah haji. Sekembalinya di tanah kelahirannya, tak diketahui
kabar selanjutnya, apakah dia masih memegang agama Islamnya, atau kembali ke
agama asalnya. Namun, banyak karya yang dibuatnya mengenai Islam dan budaya
Makkah. Mungkin karena itu pula, hubungan dia dengan petinggi Arab Saudi bisa
terjalin baik. Sebagai pertanda eratnya hubungan itu, Pangeran Saud dari
Kerajaan Saudi sampai tiga kali mengunjungi Belanda selama kurun waktu
1926-1935.”