Di antara hal yang paling banyak diperdebatkan terkait Snouck Hurgronje adalah statusnya sebagai seorang muslim. Apakah Hurgronje masuk Islam
secara tulus atau hanya kamuflase untuk tujuan-tujuan tertentu? Para pemerhati
dan peneliti sejarah Islam di Indonesia, dulu dan sekarang atau muslim dan
non-muslim, telah berusaha menjawab pertanyaan itu dan sebagian mereka percaya
bahwa Hurgronje masuk Islam karena tuntutan profesi.
Peter Sjord van Koningsveld pernah secara khusus
meneliti catatan-catatan pribadi dan tulisan-tulisan Hurgronje di Mekkah.
Sebagian hasil penelitian itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan di bawah
judul Snouck Hurgronje en Islam: Acht artikelen over leven en werk van een
orientalist uit het koloniale tijdperk.
Terkait waktu dan cara masuk Islamnya Hurgronje, Van
Koningsveld menulis,
“Mengenai masuk Islamnya Snouck untuk sementara orang
dapat berbeda pendapat. Atas dasar keterangan-keterangan dari buku harian kecil
Snouck di Jeddah telah saya rekonstruksikan jalannya peristiwa itu yang paling
mungkin, bahwa masuk Islamnya berlangsung secara resmi melalui pengucapan
syahadat di hadapan qadli Jeddah dengan dihadiri dua orang saksi, pada tanggal
16 Januari 1885.”
Kemudian, terkait tujuan masuk Islamnya Hurgronje, Van
Koningsveld menegaskan bahwa
“Masuk Islamnya Snouck dilangsungkan dengan dasar
dasar ‘’pour besoin de la cause [demi sesuatu urusan], yakni untuk
mengunjungi Mekah. Perjalanannya bertujuan ganda: (1) menyelidiki jemaah haji
Hindia Belanda di negeri Arab, untuk maksud itu, secara tidak langsung
memperoleh tunjangan perjalanan dari Kementerian Urusan Jajahan; tak lama
setelah kedatangannya ia langsung menekuni masalah itu di Jeddah dengan
memotret kelompok-kelompok jemaah haji Hindia Belanda; selanjutnya ia membuat
banyak catatan di dalam buku hariannya berdasarkan wibawa Raden Abu Bakar
Djajadiningrat, seorang pelajar Sunda di Mekkah. (2) Di samping itu Snouck
terutama ingin mengikuti contoh pakar Islam Ignaz Goldziher yang menjadi murid
para syaikh Azhar di Kairo yang mempelajari Islam dari dalam. Snouck mengikuti
contoh Goldziher ini dengan cara yang sama, ingin diterima sebagai murid para
ulama Mekah.”
Apa yang disampaikan Van Koningsveld itu menarik.
Sekarang, perhatikan apa yang juga pernah ditulis Suminto, terkait masuk
Islamnya Hurgronje. Dalam Politik Islam Hindia Belanda, halaman 120,
Suminto mengatakan,
“Bagaimana Snouck Hurgronje bisa memasuki kota suci
yang pada hakekatnya tertutup bagi nonomuslim ini, jawabannya cukup sederhana.
Snouck pergi atas nama muslim dengan nama Abdul Gaffar. Di tengah kekaguman
atas prestasinya yang luar biasa, yakni berhasil memasuki kota suci yang tidak
mungkin dimasuki oleh rekan-rekannya dan berhasil mengungkapkan aneka data
berharga dalam perjalanan tersebut, timbullah kritik atas ketidak jujuran Snouck
Hurgronje. Sebagian besar data yang diperolehnya secara lisan, didapatkan dari
informan yang justeru percaya atas keislamannya. Secara ilmiah dia tidak
menjelaskan cara bagaimana, kapa dan dari siapa data tersebut diperoleh. Dengan
demikian ia ‘terhindar dari penilaian secara ilmiah’. Kenyataan ini ‘cukup
memadai [menodai?, pen.] karir ilmiahnya’. Memang pribadi Snouck Hurgronje
menampilkan dua gambar: sebagai ilmiawan dan sebagai politikus.”
Pada halaman 123-125, masih dalam buku yang sama,
Suminto menyatakan,
“[S]ampai kini masalah masuk Islamnya Snouck Hurgronje
ini tetap menjadi persoalan; bahkan majalah Universitas Leiden—pada tahun
1980—juga masih mempermasalahkan masuk Islam tidaknya Snouck Hurgronje. Van
Koningsveld, penulis artikel tentang ini dalam majalah tersebut memberikan
suatu penilaian, bahwa Snouck Hurgronje kurang jujur. Kepada orang Islam ia
bersikap seolah-olah muslim dan tidak membantah pembenaran mereka, sebaliknya
kepada orang Belanda sendiri dia tidak pernah menyatakan masuk Islam. Menurut
Gobee tidaklah jelas apakah Snouck Hurgronje masuk Islam atau tidak, tapi yang
jelas para ulama Arab mengambil kesimpulan bahwa dia masuk Islam. Uraian Gobee
ini didramatisir oleh Van Koningsveld, bahwa atas dasar pembicaraan tentang
pengetahuan Islam dengan Snouck Hurgronje, maka para ulama Makkah mengambil
suatu kesimpulan masuk Islamnya Snouck Hurgronje. ‘Sebenarnya Snouck Hurgronje
bukanlah muslim. Para ulama Makkah tertipu dan ini merupakan kesalahan mereka
sendiri.’ Pada hemat penulis [maksudnya, Suminto sendiri, pen.]
Snouck Hurgronje memang menyatakan diri muslim pada waktu itu, terlepas dari
alasan pura-pura atau tidak. Sebab betatapun tingginya pengetahuan Islam
seseorang, selama dia tidak melaksanakan rukun Islam, maka di mata orang Islam
ia bukanlah muslim. Dalam hal ini andaikata rukun Islam pertama—syahadat—tidak
diucapkan Snouck Hurgronje, sangatlah tidak mungkin dia begitu saja diakui
sebagai muslim. Apalagi semua orang tahu bahwa Snouck Hurgronje mengucapkan
kalimah syahadah, tapi besar kemungkinan bahwa ia juga menunaikan salat,
bahkan mungkin pula melaksanankan puasa; sebab terlalu sulit agaknya bagi Abdul
Gaffar untuk mempertahankan pengakuan Islamnya selama enam bulan tanpa
melakukan ibadah salat, karena tinggal di kota suci Makkah. Satu hal yang perlu
diingat adalah batasan tentang iman dalam agama Islam, yaitu ucapan lisan yang
dibenarkan hati dan dibuktikan oleh amal perbuatan sehari-hari. Andaikata
pengakuan Snouck Hurgronje ternyata kemudian hanya merupakan pengakuan tipu daya,
masalahnya bisa dikembalikan kepada kejujuran Snouck Hurgronje sendiri, dan
bukan kesalahan atau kebodohan orang lain yang mempercayainya. Setelah berada
di Indonesia pun dia berperilaku semacam syaikhul Islam, tapi setelah
kembali ke negeri Belanda ternyata dia menampilkan gambar yang berbeda antara
kulit dan isi. Memang tidak bisa diinkari, bahwa setelah memasuki lingkungan
Fakultas Teologi di Universitas Leiden, Snouck Hurgronje berada dalam pengaruh
para profesor rasionalis saat itu. Mereka tidak mau menerima hal-hal yang
dinilainya irasional dalam agama Kristen, seperti Trinitas dan kedudukan Yesus
sebagai anak Allah, sehingga tidak begitu jauh jaraknya dengan agama Islam.
Namun sikapnya yang pura-pura masuk Islam itu, betapapun sudah melebihi sifat
toleransi atau simpansi, bahkan lebih mendekati kecurangan dan ketidakjujuran.”
Lebih gamblang adalah pendapat W.F. Wertheim, penulis The
Indonesian Society in Transition. Dalam artikel berjudul “Snouck Hurgronje
en de Ethiek van Sociaalwetenschappelijk Onderzoek” yang dimuat dalam De
Gids, 5, Tahun 1981, ia menyatakan bahwa sikap pura-pura muslim bahkan
pura-pura sebagai teman dari bangsa yang akan diperanginya masih bisa dinilai
sebagai pegawai kolonial yang cakap. Akan tetapi, karena tindakan itulah, tulis
Wertheim, “gambaran umum sebagai ilmuwan pada awal karirnya, ternoda oleh
kenyataan ini.”
Untuk melengkapi keterangan dari Van Koningsveld dan
Suminto serta keterangan ringkas dari Wertheim, dalam acara bedah buku Dari
Buku Ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu P. Swantoro di Aula Pusat
Studi Bahasa Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran (Unpad), tahun
2002, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, Nina Herlina Lubis, menyatakan bahwa masuk
Islamnya Snouck Hurgronje adalah sebuah kepura-puraan belaka. Hurgronje
melakukan itu agar ia dapat masuk ke Mekkah dan diterima oleh ulama-ulama di
sana.
Pernyataan Lubis itu
sendiri muncul terkait sebuah uraian menarik yang dipaparkan Swantoro dalam
bukunya, tepat pada halaman 169-170. Di situ, Swantoro menulis,
“Snouck Hurgronje
memang menekuni studi bahasa Arab dan Islamologi, khususnya ilmu syariat. Ia
mengalami tinggal di Mekah selama limasetengah bulan pada 1885. Pengalaman ini
dibukukannya dalam bahasa Jerman, Mekka, terdiri dari dua jilid, yang membuatnya terkenal secara
internasional. Buku ini mengungkapkan idealnya dalam menekuni Islam secara
ilmiah: ‘Volledige beheersing van de schriftelijke bronnen, gepaard aan
omvattende kennis van de levende werkelijkheid.’ Menguasai sepenuhnya semua
sumber tertulisnya, disertai pengetahuan yang lengkap mengenai realitas yang
hidup. Jilid pertama Mekka berisi sejarah Mekah sampai 1887, yang
sebagian bersumberkan bahan-bahan Arab yang tidak dikenal, akan tetapi yang
didapat oleh penulisnya di Mekah. Jilid kedua melukiskan panjang-lebar dalam
tiga bab kehidupan kemasyarakatan dan rumahtangga, maupun kegiatan di bidang
ilmu pengetahuan. Bab keempat dikhususkan untuk menyoroti sikap-tindak
orang-orang Indonesia, yang merupakan kelompok besar dan yang selama satu tahun
penuh hidup di tengah-tengah hiruk-pikuk kosmopolitis Kota Suci.”
Setelah itu, Swantoro
mengemukakan pendapatnya.
“Bab IV itu dapat
dipandang sebagai ‘preludium’ atau pengantar bagi penelitiannya di
Hindia-Belanda. Ia ingin mengetahui bagaimana Mekah mempengaruhi kehidupan
rohaniah orang-orang Indonesia. Pengaruh itu tidak terutama secara langsung
dengan pertemuan yang terjadi pada musim Haji, akan tetapi secara tidak
langsung lewat koloni Jawa di Mekah. Sebelum memasuki Mekah, Snouck Hurgronje
telah menulis, ‘De Islam […]
is eene macht, die door een koloniale mogenheid als de onze met ernst
besturdeerd en met grote wijsheid behandeld moet worden.’ Islam […]
adalah suatu kekuatan yang harus dipelajari dengan sungguh-sungguh dan yang
harus diperlakukan dengan sangat bijaksana oleh kekuasaan kolonial seperti
halnya Belanda.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar