Laman

Selasa, 30 Juli 2013

SNOUCK HURGRONJE MUSLIM?

Di antara hal yang paling banyak diperdebatkan terkait Snouck Hurgronje adalah statusnya sebagai seorang muslim. Apakah Hurgronje masuk Islam secara tulus atau hanya kamuflase untuk tujuan-tujuan tertentu? Para pemerhati dan peneliti sejarah Islam di Indonesia, dulu dan sekarang atau muslim dan non-muslim, telah berusaha menjawab pertanyaan itu dan sebagian mereka percaya bahwa Hurgronje masuk Islam karena tuntutan profesi.

Peter Sjord van Koningsveld pernah secara khusus meneliti catatan-catatan pribadi dan tulisan-tulisan Hurgronje di Mekkah. Sebagian hasil penelitian itu kemudian dikumpulkan dan diterbitkan di bawah judul Snouck Hurgronje en Islam: Acht artikelen over leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk.

Terkait waktu dan cara masuk Islamnya Hurgronje, Van Koningsveld menulis,

“Mengenai masuk Islamnya Snouck untuk sementara orang dapat berbeda pendapat. Atas dasar keterangan-keterangan dari buku harian kecil Snouck di Jeddah telah saya rekonstruksikan jalannya peristiwa itu yang paling mungkin, bahwa masuk Islamnya berlangsung secara resmi melalui pengucapan syahadat di hadapan qadli Jeddah dengan dihadiri dua orang saksi, pada tanggal 16 Januari 1885.”

Kemudian, terkait tujuan masuk Islamnya Hurgronje, Van Koningsveld menegaskan bahwa

“Masuk Islamnya Snouck dilangsungkan dengan dasar dasar ‘’pour besoin de la cause [demi sesuatu urusan], yakni untuk mengunjungi Mekah. Perjalanannya bertujuan ganda: (1) menyelidiki jemaah haji Hindia Belanda di negeri Arab, untuk maksud itu, secara tidak langsung memperoleh tunjangan perjalanan dari Kementerian Urusan Jajahan; tak lama setelah kedatangannya ia langsung menekuni masalah itu di Jeddah dengan memotret kelompok-kelompok jemaah haji Hindia Belanda; selanjutnya ia membuat banyak catatan di dalam buku hariannya berdasarkan wibawa Raden Abu Bakar Djajadiningrat, seorang pelajar Sunda di Mekkah. (2) Di samping itu Snouck terutama ingin mengikuti contoh pakar Islam Ignaz Goldziher yang menjadi murid para syaikh Azhar di Kairo yang mempelajari Islam dari dalam. Snouck mengikuti contoh Goldziher ini dengan cara yang sama, ingin diterima sebagai murid para ulama Mekah.”

Apa yang disampaikan Van Koningsveld itu menarik. Sekarang, perhatikan apa yang juga pernah ditulis Suminto, terkait masuk Islamnya Hurgronje. Dalam Politik Islam Hindia Belanda, halaman 120, Suminto mengatakan,

“Bagaimana Snouck Hurgronje bisa memasuki kota suci yang pada hakekatnya tertutup bagi nonomuslim ini, jawabannya cukup sederhana. Snouck pergi atas nama muslim dengan nama Abdul Gaffar. Di tengah kekaguman atas prestasinya yang luar biasa, yakni berhasil memasuki kota suci yang tidak mungkin dimasuki oleh rekan-rekannya dan berhasil mengungkapkan aneka data berharga dalam perjalanan tersebut, timbullah kritik atas ketidak jujuran Snouck Hurgronje. Sebagian besar data yang diperolehnya secara lisan, didapatkan dari informan yang justeru percaya atas keislamannya. Secara ilmiah dia tidak menjelaskan cara bagaimana, kapa dan dari siapa data tersebut diperoleh. Dengan demikian ia ‘terhindar dari penilaian secara ilmiah’. Kenyataan ini ‘cukup memadai [menodai?, pen.] karir ilmiahnya’. Memang pribadi Snouck Hurgronje menampilkan dua gambar: sebagai ilmiawan dan sebagai politikus.”

Pada halaman 123-125, masih dalam buku yang sama, Suminto menyatakan,

“[S]ampai kini masalah masuk Islamnya Snouck Hurgronje ini tetap menjadi persoalan; bahkan majalah Universitas Leiden—pada tahun 1980—juga masih mempermasalahkan masuk Islam tidaknya Snouck Hurgronje. Van Koningsveld, penulis artikel tentang ini dalam majalah tersebut memberikan suatu penilaian, bahwa Snouck Hurgronje kurang jujur. Kepada orang Islam ia bersikap seolah-olah muslim dan tidak membantah pembenaran mereka, sebaliknya kepada orang Belanda sendiri dia tidak pernah menyatakan masuk Islam. Menurut Gobee tidaklah jelas apakah Snouck Hurgronje masuk Islam atau tidak, tapi yang jelas para ulama Arab mengambil kesimpulan bahwa dia masuk Islam. Uraian Gobee ini didramatisir oleh Van Koningsveld, bahwa atas dasar pembicaraan tentang pengetahuan Islam dengan Snouck Hurgronje, maka para ulama Makkah mengambil suatu kesimpulan masuk Islamnya Snouck Hurgronje. ‘Sebenarnya Snouck Hurgronje bukanlah muslim. Para ulama Makkah tertipu dan ini merupakan kesalahan mereka sendiri.’ Pada hemat penulis [maksudnya, Suminto sendiri, pen.] Snouck Hurgronje memang menyatakan diri muslim pada waktu itu, terlepas dari alasan pura-pura atau tidak. Sebab betatapun tingginya pengetahuan Islam seseorang, selama dia tidak melaksanakan rukun Islam, maka di mata orang Islam ia bukanlah muslim. Dalam hal ini andaikata rukun Islam pertama—syahadat—tidak diucapkan Snouck Hurgronje, sangatlah tidak mungkin dia begitu saja diakui sebagai muslim. Apalagi semua orang tahu bahwa Snouck Hurgronje mengucapkan kalimah syahadah, tapi besar kemungkinan bahwa ia juga menunaikan salat, bahkan mungkin pula melaksanankan puasa; sebab terlalu sulit agaknya bagi Abdul Gaffar untuk mempertahankan pengakuan Islamnya selama enam bulan tanpa melakukan ibadah salat, karena tinggal di kota suci Makkah. Satu hal yang perlu diingat adalah batasan tentang iman dalam agama Islam, yaitu ucapan lisan yang dibenarkan hati dan dibuktikan oleh amal perbuatan sehari-hari. Andaikata pengakuan Snouck Hurgronje ternyata kemudian hanya merupakan pengakuan tipu daya, masalahnya bisa dikembalikan kepada kejujuran Snouck Hurgronje sendiri, dan bukan kesalahan atau kebodohan orang lain yang mempercayainya. Setelah berada di Indonesia pun dia berperilaku semacam syaikhul Islam, tapi setelah kembali ke negeri Belanda ternyata dia menampilkan gambar yang berbeda antara kulit dan isi. Memang tidak bisa diinkari, bahwa setelah memasuki lingkungan Fakultas Teologi di Universitas Leiden, Snouck Hurgronje berada dalam pengaruh para profesor rasionalis saat itu. Mereka tidak mau menerima hal-hal yang dinilainya irasional dalam agama Kristen, seperti Trinitas dan kedudukan Yesus sebagai anak Allah, sehingga tidak begitu jauh jaraknya dengan agama Islam. Namun sikapnya yang pura-pura masuk Islam itu, betapapun sudah melebihi sifat toleransi atau simpansi, bahkan lebih mendekati kecurangan dan ketidakjujuran.

Lebih gamblang adalah pendapat W.F. Wertheim, penulis The Indonesian Society in Transition. Dalam artikel berjudul “Snouck Hurgronje en de Ethiek van Sociaalwetenschappelijk Onderzoek” yang dimuat dalam De Gids, 5, Tahun 1981, ia menyatakan bahwa sikap pura-pura muslim bahkan pura-pura sebagai teman dari bangsa yang akan diperanginya masih bisa dinilai sebagai pegawai kolonial yang cakap. Akan tetapi, karena tindakan itulah, tulis Wertheim, “gambaran umum sebagai ilmuwan pada awal karirnya, ternoda oleh kenyataan ini.”

Untuk melengkapi keterangan dari Van Koningsveld dan Suminto serta keterangan ringkas dari Wertheim, dalam acara bedah buku Dari Buku Ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu P. Swantoro di Aula Pusat Studi Bahasa Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran (Unpad), tahun 2002, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, Nina Herlina Lubis, menyatakan bahwa masuk Islamnya Snouck Hurgronje adalah sebuah kepura-puraan belaka. Hurgronje melakukan itu agar ia dapat masuk ke Mekkah dan diterima oleh ulama-ulama di sana.

Pernyataan Lubis itu sendiri muncul terkait sebuah uraian menarik yang dipaparkan Swantoro dalam bukunya, tepat pada halaman 169-170. Di situ, Swantoro menulis,

“Snouck Hurgronje memang menekuni studi bahasa Arab dan Islamologi, khususnya ilmu syariat. Ia mengalami tinggal di Mekah selama limasetengah bulan pada 1885. Pengalaman ini dibukukannya dalam bahasa Jerman, Mekka, terdiri dari dua jilid, yang membuatnya terkenal secara internasional. Buku ini mengungkapkan idealnya dalam menekuni Islam secara ilmiah: ‘Volledige beheersing van de schriftelijke bronnen, gepaard aan omvattende kennis van de levende werkelijkheid.’ Menguasai sepenuhnya semua sumber tertulisnya, disertai pengetahuan yang lengkap mengenai realitas yang hidup. Jilid pertama Mekka berisi sejarah Mekah sampai 1887, yang sebagian bersumberkan bahan-bahan Arab yang tidak dikenal, akan tetapi yang didapat oleh penulisnya di Mekah. Jilid kedua melukiskan panjang-lebar dalam tiga bab kehidupan kemasyarakatan dan rumahtangga, maupun kegiatan di bidang ilmu pengetahuan. Bab keempat dikhususkan untuk menyoroti sikap-tindak orang-orang Indonesia, yang merupakan kelompok besar dan yang selama satu tahun penuh hidup di tengah-tengah hiruk-pikuk kosmopolitis Kota Suci.

Setelah itu, Swantoro mengemukakan pendapatnya.


“Bab IV itu dapat dipandang sebagai ‘preludium’ atau pengantar bagi penelitiannya di Hindia-Belanda. Ia ingin mengetahui bagaimana Mekah mempengaruhi kehidupan rohaniah orang-orang Indonesia. Pengaruh itu tidak terutama secara langsung dengan pertemuan yang terjadi pada musim Haji, akan tetapi secara tidak langsung lewat koloni Jawa di Mekah. Sebelum memasuki Mekah, Snouck Hurgronje telah menulis, ‘De Islam […] is eene macht, die door een koloniale mogenheid als de onze met ernst besturdeerd en met grote wijsheid behandeld moet worden.’ Islam […] adalah suatu kekuatan yang harus dipelajari dengan sungguh-sungguh dan yang harus diperlakukan dengan sangat bijaksana oleh kekuasaan kolonial seperti halnya Belanda.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar