Dalam Minhaj As-Sunnah, tentang
kemunculan perselisihan tersebut, Ibnu Taimiyah menulis,
“Tersebar rumor di tengah rakyat Syam akan
Ali z
yang menerima pembunuhan Utsman itu. Rumor seperti ini tersebar di sana karena empat sebab. (1) Tidak adanya qishash terhadap para pembunuh Utsman, (2) meletusnya Perang Jamal,
(3) kepergian Ali dari Madinah sekaligus kepindahan Ali ke Kufah tempat
komplotan pembunuh Utsman berada, (4) orang-orang yang membunuh Utsman
bergabung ke dalam pasukan Ali z.
Empat alasan itulah yang membuat rakyat
Syam mencurigai Ali memiliki saham dalam pembunuhan Utsman. Padahal, tidak sama
sekali. Sebaliknya, Ali justru melaknat para pembunuh Utsman itu.”
Sebenarnya, ada lebih dari satu orang yang
masuk dan melakukan kekerasan fisik terhadap Utsman sampai terbunuh. Ibnu
Asakir dan Ibnu Katsir menyebutkan nama-nama mereka di dalam karya
masing-masing berdasarkan riwayat-riwayat yang sahih.
Orang pertama
adalah laki-laki yang dijuluki Al-Mawt Al-Aswad, kematian yang hitam. Ia
adalah orang yang mencekik Utsman sampai pingsan. Mengira Utsman sudah
tak-bernyawa, Al-Mawt Al-Aswad keluar.
Orang kedua adalah
Kinanah bin Bisyr. Setelah Utsman siuman, Kinanah memukul rusuk dan kepala
Utsman dengan tiang besi sampai jatuh tersungkur.
Orang ketiga
adalah Sudan bin Humran Al-Muradi. Ialah yang
membuat jari-jari istri Utsman, Nailah, terputus ketika hendak melindungi
suaminya. Ketika tidak terhalang lagi, Sudan segera menikam Utsman sampai
terbunuh. Belum sempat beranjak pergi, Sudan dibunuh oleh salah seorang pelayan
Utsman.
Orang keempat
adalah ‘Amr bin Hamq. Melihat Utsman telah ditikam, ‘Amr segera menduduki dada Utsman. Dengan penuh
kebencian, ‘Amr menikam Utsman yang sudah tidak bernyawa lagi itu. “Tiga tikaman,”
kata ‘Amr, “kuberikan karena Allah. Enam tikaman lagi kuberikan karena dendam yang menyesakkan
dadaku.”
Khalifah Khayyath, dalam kitab Tarikh
miliknya, menambahkan orang kelima, Jabalah. Ia berasal dari rombongan yang
datang dari Mesir. Orang inilah yang diyakini oleh banyak orang sebagai
pembunuh Utsman sebenarnya.
Antara keluarnya Al-Mawt Al-Aswad dan
masuknya Kinanah bin Bisyr, sempat masuk
Muhammad bin Abi Bakar, putra Abu Bakar Ash-Shiddiq dari istrinya yang bernama
Asma’ binti Umais. Muhammad segera memegang jenggot Utsman, tetapi melihat
keadaan Utsman waktu itu ia urung melanjutkan apa yang akan dilakukannya.
Muhammad kemudian menyesal lalu pergi keluar.
Ia yang bergabung dengan rombongan orang-orang dari Mesir sempat berusaha
menahan dan menyadarkan teman-temannya. Meski demikian, amarah massa sudah tidak
terbendung lagi. Usaha Muhammad berlalu sia-sia.
Adapun Perang Jamal, ini adalah contoh paling
baik tentang kesalahpahaman yang berdarah-darah. Ketika massa di tingkat bawah
tidak terkendali lagi, para pemimpin—meski dikenal memiliki keilmuan menjulang
tak tertandingi sekalipun—tidak akan sanggup menenangkan mereka kecuali jika
Allah mengizinkan.
Bermula dari bertemunya sejumlah sahabat
Rasulullah di Makkah awal tahun 36 H. Thalhah dan Zubair waktu itu bertemu dengan rombongan
Aisyah yang baru selesai menunaikan ibadah haji. Hadir juga di sana Ya’la bin
Muniyah dan Abdullah bin ‘Amir.
Mereka sepakat untuk pergi ke Bashrah untuk
mencari para pembunuh Utsman. Mereka mengira dengan kuat, dari Madinah para
pembunuh pergi ke Kufah atau Bashrah dan berdiam di sana.
Tiba di Bashrah, mereka didatangi Utsman bin
Hunaif, gubernur setempat yang diangkat oleh Ali. Utsman bin Hunaif menahan
mereka sampai Ali tiba di sana.
Belum lagi Ali datang, tiba-tiba Jabalah
datang menyerbu dengan membawa pasukan yang berjumlah sekitar 700 orang
bersenjata. Mereka yang datang ini dapat dikalahkan. Waktu itu, selain membawa
para pendukung dari Makkah, Thalhah, Zubair dan Aisyah juga dibantu oleh penduduk-penduduk
Bashrah.
Kabar yang sampai kepada Ali, Utsman bin
Hunaif telah berperang melawan rombongan sahabat-sahabat Rasulullah itu. Ali
segera menyiapkan 10.000 orang untuk datang ke Bashrah menemui mereka. Pasukan
sejumlah itu dikenal dalam sejarah sebagai pasukan Kufah.
Masing-masing pihak kemudian mengirimkan
utusan untuk bertemu dan berusaha mendudukkan persoalan. Pihak Ali diwakili
oleh Al-Miqdad bin Al-Aswad dan Al-Qa’qa bin ‘Amr yang berunding dengan Thalhah
dan Zubair.
Mereka pun sepakat untuk mengadakan qishash
terhadap para pembunuh Utsman. Selain itu, masing-masing pihak sepakat pula
untuk menahan diri tidak saling menyerang. Satu-satunya yang tersisa
dari pembicaraan adalah masalah waktu pelaksanaan.
Akan tetapi, kesepakatan itu rusak ketika
tiba-tiba sebuah pasukan yang diorganisasi oleh oknum-oknum pembunuh Utsman
menyerang tempat bermalam rombongan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Serangan ini
dilakukan sebelum masuk waktu fajar. Para penyerang melakukan penyerangan atas
inisiatif sendiri, tanpa sepengetahuan Ali. Mereka segera melarikan diri
setelah berhasil menewaskan sejumlah orang.
Thalhah mengira, serangan itu atas perintah
Ali. Karena itu, menganggap pihak Ali telah merusak kesepakatan mereka, Thalhah dan Zubair menyiapkan
serangan balik. Paginya, mereka menyerang Ali dan pasukannya.
Ali dan pasukannya tidak mengira akan serangan
itu. Balik menganggap pasukan Thalhah dan Zubair telah merusak kesepakatan,
pasukan Ali kemudian meladeni mereka.
Saling serang pun terjadi. Lewat tengah hari,
apa yang terjadi di antara mereka itu berubah
menjadi sebuah perang besar. Sayangnya, baik Ali maupun Thalhah dan Zubair,
masing-masing tidak dapat menahan lagi pasukan mereka. Dari kedua belah pihak,
korban-korban telah berjatuhan.
Di tengah kecamuk perang, Aisyah sempat
mengutus Ka’ab bin Sur untuk menghentikan perang. Berbekal sebuah mushaf yang
diangkatnya, Ka’ab mencoba menarik perhatian kedua belah pihak meminta—dengan
nama Allah—untuk berhenti menumpahkan darah. Usaha itu gagal. Ka’ab tewas dihujani
anak-anak panah.
Thalhah termasuk orang-orang yang pertama
terbunuh pada perang itu. Sebatang anak panah tak-bertuan melayang mengenainya
dan menjadi sebab terbunuhnya. Ali sangat berduka ketika melihat jenazah
Thalhah setelah perang usai.
Berbeda dengan Thalhah, Zubair berpaling dari
perang. Ada banyak riwayat yang menerangkan alasan di balik berpalingnya
Zubair. Riwayat yang paling masyhur adalah yang bercerita bahwa
Zubair pergi dari perang itu setelah mengingat kembali sebuah sabda Rasulullah
yang didengarnya dan didengar Ali pula, “Sungguh, engkau akan memerangi Ali, sedangkan engkau
sebagai pihak yang zalim.”
Salah satu perawi hadits ini diperbincangkan
oleh para pakar hadits dari dulu sampai sekarang.
Belum jauh berpaling dari medan perang, Zubair
dibunuh oleh salah satu anggota pasukan Ali. Pembunuh itu bernama ‘Amr bin Jurmuz.
Ketika dikabari perihal kematian Zubair itu, Ali segera berkata kepada ‘Amr,
“Kabari orang yang membunuh putra Shafiyyah itu dengan Neraka.” Shafiyyah yang
dimaksud adalah ibu Zubair.
Adapun Aisyah, unta yang ditungganginya
tumbang setelah ditebas oleh seseorang. Sekedup Aisyah terjatuh dan orang-orang
yang ada di sekitarnya menjauh sekaligus menghentikan perang. Telah banyak orang
yang terbunuh di sekitar unta itu karena membela keselamatan Aisyah.
Dengan unta yang tumbang itu, Perang Jamal
usai. Kedua pasukan menghentikan serangan. Ali secara langsung memerintahkan orang-orangnya
untuk mengamankan sekedup yang berisi Aisyah itu. Hari sudah menjelang sore.
Muhammad bin Abi Bakar yang bergabung dengan
pasukan Ali diperintah untuk mendampingi Aisyah. Malam itu mereka masuk ke
Bashrah dan bermalam di sana.
Ali bermalam di Bashrah selama tiga hari. Ia radhiyallahu ‘anhu
memimpin shalat jenazah bagi mereka yang terbunuh dalam perang sehari itu. Harta-harta yang
telah dirampas pasukan dikembalikan. Sebaliknya, orang-orang yang lari dari
perang dibiarkannya dan tidak dikejar.
Selama di Bashrah, Aisyah diperlakukan dengan
baik oleh Ali dan pasukannya. Bahkan, ia akan menghukum siapa saja dari pasukannya yang kedapatan mencela Aisyah.
Ali kemudian memulangkan Aisyah dan
rombongannya ke Makkah untuk kemudian kembali ke Madinah. Rombongan itu dilepas oleh
Ali sendiri, seperti ketika melepas seorang ibu pergi. Bahkan, Ali langsung
mengiringi mereka sampai beberapa mil dan mengucapkan selamat jalan, radhiyallahu ‘anhum.
Sebelum berangkat pulang, Aisyah mendoakan Ali
dan pasukannya. Kepada orang-orang yang hadir di sana, Aisyah berwasiat, “Wahai
anak-anakku, jangan kalian saling mencaci-maki. Demi Allah, sungguh, apa yang
terjadi antara aku dan Ali adalah masalah yang biasa terjadi antara seorang wanita
dengan saudara-saudara iparnya. Walaupun aku pernah mencelanya, sungguh, Ali
adalah hamba yang terpilih.”
Mendengar wasiat Aisyah itu, Ali menyambung,
“Beliau benar. Demi Allah, tidak ada
masalah antara kami berdua kecuali seperti yang telah disebutkan itu. Sungguh, beliau adalah
istri nabi kalian radhiyallahu ‘anha
di dunia dan di akhirat”.[]
Sejarah ini sungguh rumit, butuh kecermatan,..
BalasHapusTerutama pihak pembuat perang (pasukan dari mesir red.) Itu sebenarnya siaapa..? Apakah hanya orang yg tak suka dngan sahabat ustman dng nepotismenya.. Atau punya agenda lain didalamnya..
sekiran pasukan dari Mesir itulah pencetus syiah, pasukan Abdullah Ibn Saba'
BalasHapusSetelah banyak membaca riwayat perang jamal, saya jadi sedih...jika saya salah dalam memahami semoga allah mengampuni saya, dan semoga para sahabat yg gugur di anugerahi syahid, dan semoga mereka para yg bertikai ketika itu di ampuni allah. Sebab mereka melakukan perang itu semata-mata sebagai bentuk kecintaan mereka terhadap allah dan rasulnya. Amin.
BalasHapusDari cerita diatas, dimana peran Dari Abdullah bin Saba
BalasHapus