Revolusi meledak di
Perancis pada tanggal 14 Juli 1789 dan perubahan besar segera terjadi di
Perancis. Raja digulingkan, lalu sistem bernegara diubah. Sampai akhirnya, Napoleon Bonaparte
(1769—1821) naik ke pucuk pimpinan sebagai seorang kaisar.
Perubahan yang
terjadi, ternyata, berpengaruh sampai ke Nusantara. Dari Desember 1794 sampai
Januari 1795, pasukan Napoleon menyerbu Belanda. Mereka berhasil merebut
pemerintahan dan mendirikan sebuah pemerintahan baru yang biasa diistilahkan
dalam buku-buku sejarah sebagai pemerintahan boneka Perancis. Tepat pada
tanggal 31 Desember 1799, VOC atau Kompeni yang telah beroperasi hampir 200
tahun dibubarkan secara resmi.
Sebelum dibubarkan,
Kompeni telah mengalami kebangkrutan. Mereka meninggalkan hutang sebesar 136, 7
juta gulden dan sejumlah aset penting yang terdiri dari kantor dagang,
kapal-kapal, benteng-benteng, dan wilayah-wilayah jajahan. Dengan dikuasainya
Belanda, praktis, wilayah-wilayah jajahan itu jatuh ke tangan pemerintahan
baru.
Pada 1806, Napoleon
mengangkat adiknya, Louis Napoleon (1778—1846) sebagai penguasa di Belanda. Dua
tahun kemudian, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels (1762—1818) ke
Batavia untuk menjabat sebagai gubernur jenderal, meneruskan kepemimpinan
gubernur-gubernur jenderal sebelumnya yang diangkat sebagai kepanjangan tangan
Perancis di Belanda.
Daendels dikenal
sebagai salah seorang pemberontak Kerajaan Belanda dan bersimpati kepada
Revolusi Perancis. Ia membenci bentuk-bentuk feodalisme, termasuk yang ada di
Jawa. Tidak heran, jika ia bertindak keras terhadap penguasa-penguasa
tradisional di Jawa dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kurang populis di
mata mereka.
Pada zaman Kompeni,
misalnya, wakil-wakil Kompeni yang disebut residen disamakan dengan
penguasa-penguasa daerah terhadap raja-raja Jawa, sehingga para residen itu
akan duduk di lantai dan menghaturkan salam hormatnya kepada raja. Oleh
Daendels, wakil-wakilnya di Jawa disamakan dengan raja, sehingga mereka duduk sejajar
dengan raja-raja Jawa dan berhak mendapatkan penghormatan yang sama pula dengan
raja-raja Jawa itu (sama-sama dipayungi, boleh tidak membuka tutup kepala,
tidak harus turun dari tunggangan jika berpapasan dengan raja, dan segala hal
yang berbau seremonial lainnya). Karena itu, raja-raja dan bupati-bupati di
Jawa menyimpan rasa tidak suka kepada Daendels.
Tugas utama Daendels
dari pemerintahan Perancis adalah melindungi Jawa dari serbuan Inggris. Seperti
yang umum diketahui, pada masa itu, karena tindakan Napoleon yang menginvasi
sejumlah negeri di Eropa, muncul sikap bermusuhan terhadapnya, termasuk dari
Inggris. Waktu itu, Inggris dikenal sebagai kerajaan kuat yang didukung oleh
armada laut dan cadangan pasukan yang besar.
Untuk memudahkan tugas
itu, misalnya, Daendels membuka akses ke pedalaman Jawa. Jalan yang sudah ada
dari Anyer ke Batavia lalu ke Buitenzorg, ia teruskan dengan membangun jalan
dari Buitenzorg ke Cisarua yang kemudian berhenti di Sumedang karena bebatuan
cadas. Lewat bantuan Pangeran Kornel (1791—1828), bupati Sumedang waktu itu,
pembangunan jalan itu bisa diteruskan sampai ke Karangsambung, Kebumen.
Dari sana, oleh
Daendels, para bupati di Jawa diwajibkan membantu pembangunan jalan sampai ke
Cirebon. Tujuannya, agar dari Cirebon, ada akses darat menuju Pekalongan. Waktu
itu, di Pekalongan, memang sudah ada jalan darat menuju Surabaya; Daendels
hanya melebarkan jalan Pekalongan-Surabaya itu. Ia kemudian menyambungnya
dengan membuka jalan dari Surabaya menuju Panarukan, Jawa Timur.
Daendels hanya
memerintah sampai Mei 1811. Kepemimpinan di Jawa kemudian diteruskan oleh Jan
Willem Jansens (1762—1838), gubernur jenderal terakhir pemerintahan boneka
Perancis. Pada tanggal 4 Agustus 1811, enam puluh kapal Inggris tiba di
Batavia. Tanggal 26 Agustus, Batavia dan daerah-daerah sekitarnya jatuh ke
Inggris.
Jansens mundur ke
Semarang dan meminta bantuan dari kerajaan-kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta
untuk menahan serbuan Inggris. Baru pada tanggal 18 September 1811, ia dan
pasukannya menyerah kepada Inggris yang dengan itu berakhir pula kekuasaan
pemerintahan boneka Perancis di Nusantara.
Tabel 1.
DAFTAR GUBERNUR JENDERAL
MASA PEMERINTAHAN BONEKA PERANCIS
No
|
Nama
|
Awal Jabatan
|
Akhir Jabatan
|
1
|
|||
2
|
(resmi)
|
||
3
|
|||
4
|
|||
5
|
(diangkat)
(resmi)
|
Di bawah kecakapan
pasukan Lord Minto (1751—1814), Inggris berhasil menguasai sebagian Nusantara.
Lord Minto waktu itu menjabat sebagai Gubernur Inggris di India. Setelah
menguasai Jawa, sebagai wakil Inggris, diangkatlah Thomas Stamford Raffles
(1781—1826) sebagai seorang Letnan Gubernur Jawa. Berbeda dengan Belanda,
Inggris tidak memakai istilah Gubernur Jenderal untuk pimpinan di Jawa. Raffles
hanya memerintah sampai 1816.
Raffles hanya
memerintah sampai 1816. Pada masa pemerintahannya, ia bertindak seperti
Daendels yang sama-sama tidak menyukai feodalisme. Bedanya, titik tekan
ketidaksukaan Raffles adalah pada sifat despotik yang dimiliki
penguasa-penguasa tradisional Jawa, seperti raja-raja dan bupati-bupati.
Ketidaksukaan itu
akhirnya berbuah kekerasan. Pada Juni 1812, sebanyak 1.200 prajurit
berkebangsaan Eropa dan sepoy India merebut istana Raja Yogyakarta. Dibantu 800
prajurit Mangkunegara dari Surakarta, mereka kemudian merampok istana
Yogyakarta. Perpustakaan dan arsip-arsip kerajaan dirampas mereka, sedangkan
Raja Yogyakarta, Hamengkubuwono II, dipaksa turun dari tahtanya dan dibuang ke
Penang, di Semenangjung Malaka.
Raffles berkuasa
sampai Maret 1816. Selama periode yang singkat itu, ia—seperti Daendels—telah
merusak tatanan kekuasaan tradisional di Jawa. Raffles kemudian diganti oleh
John Fendall (1762—1825), seorang petugas yang diberi tugas menyerahkan
kekuasaan atas Jawa dan wilayah-wilayah jajahan Kompeni lainnya kepada Belanda
yang diwakili oleh Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen
(1778—1848), wakil Kerajaan Belanda yang menjabat sebagai gubernur jenderal
dari 1816 sampai 1826. Fendall bertugas dari tanggal 11 Maret 1816 sampai 15
Agustus 1816. Penyerahan kekuasaan ini menyusul Kongres Wina yang diadakan pada
tanggal 1 September 1814 sampai 9 Juni 1815 dan kekalahan Napoleon di Wateloo
pada tanggal 15 Juni 1815 yang menutup kekuasaannya di Eropa.
Tabel 2.
DAFTAR
PENGUASA-PENGUASA MASA INTERREGNUM INGGRIS
No
|
Nama
|
Awal
Jabatan
|
Akhir
Jabatan
|
1
|
|||
2
|
|||
3
|
Pemerintahan Van der
Capellen itu meneruskan kembali periode kekuasaan Belanda di Nusantara.
Bedanya, jika dari 1602 sampai 1799, kekuasaan yang dimaksud dipegang oleh
Kompeni, sebuah perusahaan dagang dari Belanda yang melulu mencari keuntungan
ekonomis, maka kali ini kekuasaan berada langsung di tangan Kerajaan Belanda.
Baik Kompeni maupun Kerajaan Belanda, masing-masing menyebut wakil mereka di
wilayah-wilayah jajahan dengan gubernur jenderal.
Selain itu, yang harus
jadi perhatian dalam pembahasan kita sekarang, mulai periode kekuasaan Belanda
kedua ini, wilayah-wilayah jajahan Belanda di Nusantara akan disebut sebagai
Hindia Belanda. Istilah ini menjadi sebuah istilah yang dipakai Belanda untuk
membedakan wilayah kekuasaan mereka itu dari India milik Inggris (baca: Hindia
Inggris) dan terus bertahan Jepang datang menduduki Nusantara. Nama Indonesia
pun ditetapkan berdasarkan wilayah-wilayah yang masuk ke dalam istilah Hindia
Belanda.[2]
Tabel 3.
DAFTAR GUBERNUR JENDERAL VOC DI BATAVIA
Nama
|
Awal Jabatan
|
Akhir Jabatan
|
|
1.
|
|||
2.
|
|||
3.
|
|||
4.
|
(diangkat)
(dikonfirmasikan)
(resmi)
|
||
5.
|
|||
6.
|
(diangkat)
(resmi)
|
||
7.
|
|||
8.
|
|||
9.
|
|||
10.
|
(Pejabat Sementara)
(resmi)
|
||
11.
|
(diangkat)
(resmi)
|
||
12.
|
|||
13.
|
|||
14.
|
|||
15.
|
|||
16.
|
(diangkat)
(resmi)
|
||
17.
|
|||
18.
|
|||
19.
|
|||
20.
|
(Pejabat Sementara)
(resmi)
|
||
21.
|
(diangkat)
(resmi)
|
||
22.
|
|||
23.
|
|||
24.
|
|||
25.
|
|||
26.
|
|||
27.
|
|||
28.
|
|||
29.
|
|||
30.
|
|||
31.
|
(Pejabat Sementara)
(resmi)
|
||
32.
|
(Pejabat
Sementara)
(resmi)
|
||
33.
|
(diangkat)
(Diambil alih)
(resmi)
|
[2] Kiranya, kutipan berikut ini dapat sedikit menerangkan tentang pemakaian
istilah Indonesia. Dalam Sejarah Salafi di Indonesia, ditulis, “Istilah Indonesia pertama
kali disebut oleh George Samuel Windsor Earl. Waktu itu, 1850, ia mengejanya
dengan Indu-nesian atau Kepulauan Indus. Oleh salah seorang muridnya,
James Richardson Logan, sebutan itu lebih diperkenalkan secara luas lewat salah
satu karya-tulisnya pada 1863. Berbeda dengan gurunya, sebutan Indu-nesian
ditulis Logan dengan Indonesians. Secara konsisten, Logan menggunakan
Indonesians dalam karya-karya tulisnya kemudian. Dari karya-karya tersebut,
nama Indonesians mulai dikenal di tengah kalangan etnolog waktu itu.
Salah seorang etnolog yang memomulerkan nama itu di tengah orang-orang Belanda
adalah Adolf Bastian, salah seorang guru besar etnologi di Universitas Berlin.
Bastian mulai menggunakan istilah Indonesien dalam karyanya yang terbit
pada 1884, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel.
Pemerintahan kolonial Belanda sendiri sampai saat itu masih menggunakan istilah
Indische untuk wilayah yang dimaksud dan akan terus berlangsung sampai Tentara
Jepang merebut kekuasaan mereka pada 1942. Akan tetapi menarik untuk
kita cermati, baik Earl maupun Logan atau juga Bastian menggunakan istilah
tersebut untuk sekumpulan pulau yang ada di wilayah Indonesia, Filipina, dan
Malaysia sekarang. Jauh lebih luas dari sebatas wilayah NKRI sekarang. Hal ini
pun sempat menjadi bahan perdebatan beberapa tahun ke belakang, sampai muncul
pendapat bahwa nama yang sebenarnya sangat tepat untuk negara kita sekarang
adalah Nusantara atau kepulauan yang berada di antara. Pada intinya, Indonesia
mula-mula digunakan sebagai nama ilmiah dalam studi etnologi dan geografi untuk
wilayah yang ada di negara kita, Filipina dan Malaysia sekarang ini. Pada masa
pergerakan nasional dulu, sekitar 1912 – 1942, nama ilmiah yang dimaksud
kemudian diambil dan dipakai kalangan aktivis pelajar dan mahasiswa untuk
menamai negara merdeka yang mereka cita-citakan bersama pada waktu itu. Dari suatu istilah etnologi, Indonesia
berubah menjadi satu nama bernuansa politis.”
[3] Diangkat sebagai pejabat
sementara pengganti Antonio van Diemen yang meninggal dunia pada tanggal 19
April 1645.
[4] Diangkat menjadi pejabat
sementara menggantikan Christoffel van Swol yang meninggal dunia
pada tanggal 12 November 1718.
[5] Diangkat menjadi pejabat
sementara menggantikan Jeremias van Riemsdijk yang meninggal
dunia pada tanggal 3 Oktober 1777.
[6] Pada masa pemerintahannya terjadi
peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintahan Kerajaan Belanda di bawah
kekuasaan Napoleon Bonaparte.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar