Laman

Jumat, 26 Juli 2013

PENGUASA-PENGUASA EROPA DI NUSANTARA


Revolusi meledak di Perancis pada tanggal 14 Juli 1789 dan perubahan besar segera terjadi di Perancis. Raja digulingkan, lalu sistem bernegara diubah.  Sampai akhirnya, Napoleon Bonaparte (1769—1821) naik ke pucuk pimpinan sebagai seorang kaisar.

Perubahan yang terjadi, ternyata, berpengaruh sampai ke Nusantara. Dari Desember 1794 sampai Januari 1795, pasukan Napoleon menyerbu Belanda. Mereka berhasil merebut pemerintahan dan mendirikan sebuah pemerintahan baru yang biasa diistilahkan dalam buku-buku sejarah sebagai pemerintahan boneka Perancis. Tepat pada tanggal 31 Desember 1799, VOC atau Kompeni yang telah beroperasi hampir 200 tahun dibubarkan secara resmi.

Sebelum dibubarkan, Kompeni telah mengalami kebangkrutan. Mereka meninggalkan hutang sebesar 136, 7 juta gulden dan sejumlah aset penting yang terdiri dari kantor dagang, kapal-kapal, benteng-benteng, dan wilayah-wilayah jajahan. Dengan dikuasainya Belanda, praktis, wilayah-wilayah jajahan itu jatuh ke tangan pemerintahan baru.

Pada 1806, Napoleon mengangkat adiknya, Louis Napoleon (1778—1846) sebagai penguasa di Belanda. Dua tahun kemudian, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels (1762—1818) ke Batavia untuk menjabat sebagai gubernur jenderal, meneruskan kepemimpinan gubernur-gubernur jenderal sebelumnya yang diangkat sebagai kepanjangan tangan Perancis di Belanda.

Daendels dikenal sebagai salah seorang pemberontak Kerajaan Belanda dan bersimpati kepada Revolusi Perancis. Ia membenci bentuk-bentuk feodalisme, termasuk yang ada di Jawa. Tidak heran, jika ia bertindak keras terhadap penguasa-penguasa tradisional di Jawa dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kurang populis di mata mereka.

Pada zaman Kompeni, misalnya, wakil-wakil Kompeni yang disebut residen disamakan dengan penguasa-penguasa daerah terhadap raja-raja Jawa, sehingga para residen itu akan duduk di lantai dan menghaturkan salam hormatnya kepada raja. Oleh Daendels, wakil-wakilnya di Jawa disamakan dengan raja, sehingga mereka duduk sejajar dengan raja-raja Jawa dan berhak mendapatkan penghormatan yang sama pula dengan raja-raja Jawa itu (sama-sama dipayungi, boleh tidak membuka tutup kepala, tidak harus turun dari tunggangan jika berpapasan dengan raja, dan segala hal yang berbau seremonial lainnya). Karena itu, raja-raja dan bupati-bupati di Jawa menyimpan rasa tidak suka kepada Daendels.

Tugas utama Daendels dari pemerintahan Perancis adalah melindungi Jawa dari serbuan Inggris. Seperti yang umum diketahui, pada masa itu, karena tindakan Napoleon yang menginvasi sejumlah negeri di Eropa, muncul sikap bermusuhan terhadapnya, termasuk dari Inggris. Waktu itu, Inggris dikenal sebagai kerajaan kuat yang didukung oleh armada laut dan cadangan pasukan yang besar.

Untuk memudahkan tugas itu, misalnya, Daendels membuka akses ke pedalaman Jawa. Jalan yang sudah ada dari Anyer ke Batavia lalu ke Buitenzorg, ia teruskan dengan membangun jalan dari Buitenzorg ke Cisarua yang kemudian berhenti di Sumedang karena bebatuan cadas. Lewat bantuan Pangeran Kornel (1791—1828), bupati Sumedang waktu itu, pembangunan jalan itu bisa diteruskan sampai ke Karangsambung, Kebumen.

Dari sana, oleh Daendels, para bupati di Jawa diwajibkan membantu pembangunan jalan sampai ke Cirebon. Tujuannya, agar dari Cirebon, ada akses darat menuju Pekalongan. Waktu itu, di Pekalongan, memang sudah ada jalan darat menuju Surabaya; Daendels hanya melebarkan jalan Pekalongan-Surabaya itu. Ia kemudian menyambungnya dengan membuka jalan dari Surabaya menuju Panarukan, Jawa Timur.

Daendels hanya memerintah sampai Mei 1811. Kepemimpinan di Jawa kemudian diteruskan oleh Jan Willem Jansens (1762—1838), gubernur jenderal terakhir pemerintahan boneka Perancis. Pada tanggal 4 Agustus 1811, enam puluh kapal Inggris tiba di Batavia. Tanggal 26 Agustus, Batavia dan daerah-daerah sekitarnya jatuh ke Inggris.

Jansens mundur ke Semarang dan meminta bantuan dari kerajaan-kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta untuk menahan serbuan Inggris. Baru pada tanggal 18 September 1811, ia dan pasukannya menyerah kepada Inggris yang dengan itu berakhir pula kekuasaan pemerintahan boneka Perancis di Nusantara.

Tabel 1.
DAFTAR GUBERNUR JENDERAL
MASA PEMERINTAHAN BONEKA PERANCIS


Di bawah kecakapan pasukan Lord Minto (1751—1814), Inggris berhasil menguasai sebagian Nusantara. Lord Minto waktu itu menjabat sebagai Gubernur Inggris di India. Setelah menguasai Jawa, sebagai wakil Inggris, diangkatlah Thomas Stamford Raffles (1781—1826) sebagai seorang Letnan Gubernur Jawa. Berbeda dengan Belanda, Inggris tidak memakai istilah Gubernur Jenderal untuk pimpinan di Jawa. Raffles hanya memerintah sampai 1816.

Raffles hanya memerintah sampai 1816. Pada masa pemerintahannya, ia bertindak seperti Daendels yang sama-sama tidak menyukai feodalisme. Bedanya, titik tekan ketidaksukaan Raffles adalah pada sifat despotik yang dimiliki penguasa-penguasa tradisional Jawa, seperti raja-raja dan bupati-bupati.

Ketidaksukaan itu akhirnya berbuah kekerasan. Pada Juni 1812, sebanyak 1.200 prajurit berkebangsaan Eropa dan sepoy India merebut istana Raja Yogyakarta. Dibantu 800 prajurit Mangkunegara dari Surakarta, mereka kemudian merampok istana Yogyakarta. Perpustakaan dan arsip-arsip kerajaan dirampas mereka, sedangkan Raja Yogyakarta, Hamengkubuwono II, dipaksa turun dari tahtanya dan dibuang ke Penang, di Semenangjung Malaka.

Raffles berkuasa sampai Maret 1816. Selama periode yang singkat itu, ia—seperti Daendels—telah merusak tatanan kekuasaan tradisional di Jawa. Raffles kemudian diganti oleh John Fendall (1762—1825), seorang petugas yang diberi tugas menyerahkan kekuasaan atas Jawa dan wilayah-wilayah jajahan Kompeni lainnya kepada Belanda yang diwakili oleh Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen (1778—1848), wakil Kerajaan Belanda yang menjabat sebagai gubernur jenderal dari 1816 sampai 1826. Fendall bertugas dari tanggal 11 Maret 1816 sampai 15 Agustus 1816. Penyerahan kekuasaan ini menyusul Kongres Wina yang diadakan pada tanggal 1 September 1814 sampai 9 Juni 1815 dan kekalahan Napoleon di Wateloo pada tanggal 15 Juni 1815 yang menutup kekuasaannya di Eropa.

Tabel 2.
DAFTAR PENGUASA-PENGUASA MASA INTERREGNUM INGGRIS


Pemerintahan Van der Capellen itu meneruskan kembali periode kekuasaan Belanda di Nusantara. Bedanya, jika dari 1602 sampai 1799, kekuasaan yang dimaksud dipegang oleh Kompeni, sebuah perusahaan dagang dari Belanda yang melulu mencari keuntungan ekonomis, maka kali ini kekuasaan berada langsung di tangan Kerajaan Belanda. Baik Kompeni maupun Kerajaan Belanda, masing-masing menyebut wakil mereka di wilayah-wilayah jajahan dengan gubernur jenderal.

Selain itu, yang harus jadi perhatian dalam pembahasan kita sekarang, mulai periode kekuasaan Belanda kedua ini, wilayah-wilayah jajahan Belanda di Nusantara akan disebut sebagai Hindia Belanda. Istilah ini menjadi sebuah istilah yang dipakai Belanda untuk membedakan wilayah kekuasaan mereka itu dari India milik Inggris (baca: Hindia Inggris) dan terus bertahan Jepang datang menduduki Nusantara. Nama Indonesia pun ditetapkan berdasarkan wilayah-wilayah yang masuk ke dalam istilah Hindia Belanda.[2]
Tabel 3.
DAFTAR GUBERNUR JENDERAL VOC DI BATAVIA

Nama
Awal Jabatan
Akhir Jabatan
1.
2.
3.
4.
(diangkat)
(dikonfirmasikan)
(resmi)
5.
6.
(diangkat)
(resmi)
7.
8.
9.
10.
(Pejabat Sementara)
(resmi)
11.
(diangkat)
(resmi)
12.
13.
14.
15.
16.
(diangkat)
(resmi)
17.
18.
19.
20.
(Pejabat Sementara)
(resmi)
21.
(diangkat)
(resmi)
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
(Pejabat Sementara)
(resmi)
32.
(Pejabat Sementara)
(resmi)
33.
(diangkat)
(Diambil alih)
(resmi)




[1] Sementara menggantikan Pieter Gerardus van Overstraten yang meninggal dunia.
[2] Kiranya, kutipan berikut ini dapat sedikit menerangkan tentang pemakaian istilah Indonesia. Dalam Sejarah Salafi di Indonesia, ditulis, “Istilah Indonesia pertama kali disebut oleh George Samuel Windsor Earl. Waktu itu, 1850, ia mengejanya dengan Indu-nesian atau Kepulauan Indus. Oleh salah seorang muridnya, James Richardson Logan, sebutan itu lebih diperkenalkan secara luas lewat salah satu karya-tulisnya pada 1863. Berbeda dengan gurunya, sebutan Indu-nesian ditulis Logan dengan Indonesians. Secara konsisten, Logan menggunakan Indonesians dalam karya-karya tulisnya kemudian. Dari karya-karya tersebut, nama Indonesians mulai dikenal di tengah kalangan etnolog waktu itu. Salah seorang etnolog yang memomulerkan nama itu di tengah orang-orang Belanda adalah Adolf Bastian, salah seorang guru besar etnologi di Universitas Berlin. Bastian mulai menggunakan istilah Indonesien dalam karyanya yang terbit pada 1884, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel. Pemerintahan kolonial Belanda sendiri sampai saat itu masih menggunakan istilah Indische untuk wilayah yang dimaksud dan akan terus berlangsung sampai Tentara Jepang merebut kekuasaan mereka pada 1942. Akan tetapi menarik untuk kita cermati, baik Earl maupun Logan atau juga Bastian menggunakan istilah tersebut untuk sekumpulan pulau yang ada di wilayah Indonesia, Filipina, dan Malaysia sekarang. Jauh lebih luas dari sebatas wilayah NKRI sekarang. Hal ini pun sempat menjadi bahan perdebatan beberapa tahun ke belakang, sampai muncul pendapat bahwa nama yang sebenarnya sangat tepat untuk negara kita sekarang adalah Nusantara atau kepulauan yang berada di antara. Pada intinya, Indonesia mula-mula digunakan sebagai nama ilmiah dalam studi etnologi dan geografi untuk wilayah yang ada di negara kita, Filipina dan Malaysia sekarang ini. Pada masa pergerakan nasional dulu, sekitar 1912 – 1942, nama ilmiah yang dimaksud kemudian diambil dan dipakai kalangan aktivis pelajar dan mahasiswa untuk menamai negara merdeka yang mereka cita-citakan bersama pada waktu itu. Dari suatu istilah etnologi, Indonesia berubah menjadi satu nama bernuansa politis.”

[3] Diangkat sebagai pejabat sementara pengganti Antonio van Diemen yang meninggal dunia pada tanggal 19 April 1645.

[4] Diangkat menjadi pejabat sementara menggantikan Christoffel van Swol yang meninggal dunia pada tanggal 12 November 1718.

[5] Diangkat menjadi pejabat sementara menggantikan Jeremias van Riemsdijk yang meninggal dunia pada tanggal 3 Oktober 1777.

[6] Pada masa pemerintahannya terjadi peralihan kekuasaan dari VOC ke pemerintahan Kerajaan Belanda di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar