Laman

Jumat, 19 Juli 2013

Sebagian Isi Pidato Hamka Ketika Diangkat Menjadi Ketua Pertama MUI

“Izinkanlah dengan terharu saya menyambut penghargaan itu dan mengembalikannya kepada yang berhak menerimanya. Memang kita akui ulama-ulama itu telah berjasa baik di masa revolusi maupun sebelumnya. Bahkan lama sebelumnya, ketika Sultan Ageng Tirtayasa di pertengahan abad tujuh belas berperang dengan Belanda, yang mengadu domba baginda dengan putranya, Haji Syekh Yusuf Tajul Khalwaty dari Makassar telah mendampingi beliau mempertahankan kemerdekaan Banten sampai ketika Sultan Ageng telah dapat dikalahkan, Tuan Syekh dibuang pada mulanya ke pulau Ceylon (Sri Lanka). Kaisar Aurangzeb berkirim surat kepada kompeni Belanda mengingatkan supaya ulama itu diperlakukan dengan baik. Kemudian beliau dipindahkan ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan) dan berpuluh tahun setelah beliau wafat, tulang belulang beliau telah dikembalikan ke tanah asalnya Makassar, atas permintaan raja Gowa. Di zaman itu pula seorang budak belian dari Bali bernama si Untung, menjadi budak di rumah seorang pegawai tinggi kompeni di Betawi, jatuh cinta kepada seorang nona Belanda, putri dari tuan yang memperbudaknya itu, lalu dengan sembunyi-sembunyi ia pergi berguru ilmu guna-guna kepada seorang kiai di salah satu kampung. Tetapi yang diajarkan kiai tersebut bukanlah guna-guna supaya perempuan jatuh cinta kepadanya dengan jalan buruk, melainkan dikenalkan kepadanya siapa Allah, siapa Muhammad. Apa perbedaan syirik dan tauhid, hingga sejak mendapatkan pelajaran dari kiai itu, Kiai Embun namanya, si Untung tiba-tiba berubah. Dari seorang yang merasa dirinya hanya seorang budak belian Belanda, berubah menjadi seorang yang insaf bahwa Tuhannya yang sebenarnya ialah Allah, bukan manusia. Bahwa ia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan yang merdeka, dan tidak ada satu dinding pun yang dapat menghambat di antara seorang hamba Allah dengan Allah: LA ILAHA ILLALLAH! Akhirnya si Untung budak belian, hamba sahaya, suruh-suruhan dalam rumah seorang kompeni Belanda, berubah menjadi seorang pahlawan yang tahu akan harga diri, yang mencintai tanah airnya, yang benci akan penjajahan orang kafir atas tanah Jawa ini. Si Untung keluar dari dalam gedung indah tuan besar, sesudah anak tuan besar ia nikahi dengan cara Islam, dan Kiai Embun sendiri menjadi Penghulu yang menikahkannya. Ia keluar buat mengembara dengan pedang di tangan, jadi pahlawan, bergelar Surapati sesampai di Cirebon, termashur namanya dalam sejarah sebagai musuh kompeni nomer satu, diakui raja Mataram sebagai seorang Pangeran yang berdiri sendiri do Pasuruan Jawa Timur dengan gelar Pangeran Wiroguno. Empat kilometer sebelum masuk kota Pasuruan, tuan-tuan akan bertemu sebuah desa yang bernama Kraton, di sanalah si Untung bekas budak, Surapati pahlawan, Pangeran Wiroguno mendirikan istana. Perubahan Surapati adalah karena bimbingan dan suntikan tauhid dari Kiai Embun. Sedang Kiai Embun sendiri adalah seorang Panglima Pangeran Wiroguno yang mencapai sahidnya dalam suatu peperangan besar dengan Belanda. Di samping kesanggupan memakai surban dan jubah Tuan Guru, Kiai Embun pun adalah seorang pahlawan di samping muridnya Surapati atau Pangeran Wiroguno. Demikianlah berturut-turut ulama menjadi Mujahid Pembela Kemerdekaan. Kita dapati Kiai Tapa di Banten, di samping Pangeran Diponegoro kita dapati Kiai Maja, yang dibuang dan dikubur di Tondano. Terdapat beberapa sejarah pemberontakan. Kaum kiai memberontak melawan Belanda di bawah pimpinan Kiai Wasith di Banten yang terkenal dengan ‘Perlawanan Cilegon’. Kiai Harits dibuang ke Bukittinggi. Di kota Bukittinggi ada jalan raya bernama jalan Syekh Banten sejak zaman Belanda. Karena di jalan itu beliau tinggal di kala hidupnya. Kiai Arsyad Sagir ke Menado, Arsyad Kabir ke Gorontalo dan kawan-kawannya yang lain ke tempat lain pula bersarak di pulau-pulau bagian Timur. Perang Paderi dipimpin oleh kaum ulama belaka. Terkenal dengan sebutan Harimau nan Delapan, semuanya delapan orang adalah Tuanku, di samping Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Nan Renceh sahid di bukit Marapalam, Tuanku Tambusai dapat menyelamatkan diri ke tanah Melayu (Malaysia sekarang), Tuanku Nan Cerdik dibuang ke Betawi. Di Aceh pun demikian pula. Setelah Belanda memerangi kerajaan Aceh yang merdeka, berpuluh tahun lamanya berperang, yang dilanjutkan dengan gerilya. Akhirnya Sultan tertawan, Panglima Polim menyerah. Tengku Umar mencapai sahid, peperangan dilanjutkan oleh Tengku Cik di Tiro Muhammad Amin, seorang ulama besar didikan Masjidil Haram sampai bertahun-tahun kemudian, sampai beliau mencapai sahidnya pula. Setelah datang abad ke-20, perlawanan di Kamang tahun 1908 dipimpin oleh Tuan Haji Abdul Manan yang mencapai sahidnya di medan pertempuran. Kawannya Abdul Wahid Kari Mudo dibuang ke Makassar (Ujung Pandang) dan meninggal di Jakarta 1955. Pergerakan kebangsaan berdasarkan Islam di Minangkabau, Persatuan Muslimin Indonesia, alias Permi, semua pendirinya adalah kaum santri. Beberapa orang pemimpinnya dibuang ke Digul. Pernah berkumpul di Digul itu berpuluh kiai dari Minang, dari Aceh dan dari Banten. Kiai Khatib Banten, bekas anggota Dewan Nasional, adalah satu di antara mereka. Mukhtar Luthfi mati ditembak Belanda di rumahnya sendiri di Makassar ketika pemberontakan Andi Aziz, agustus 1950. Berpuluh ulama besar turut menanamkan benih kesadaran Nasional ini. Kita menemui Haji Samanhudi, Haji Omar Said Tjokroaminoto, Kiai Haji Ahmad Dahlan, Kiai Hasjim Asj’ari dan putranya A. Wachid Hasjim, K. Khaliq Hasjim, Kiai H.A. Wahab Hasbullah, Haji Fakhruddin, Kiai Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Kiai Faqih Usman, dan di Sumatera Barat kita temui Dr. Haji Abdul Karim Amrullah yang mati dalam pembuangannya, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Daud Rasyidi (ayah Datuk Palimo Kayo) paman dari H. Mukhtar Luthfi, Dr. Syekh Abdullah Ahmad, Haji Jalaluddin Tayib, Syekh Sulaiman Rasuli dan lain-lain. Di Sumatera Timur tercatatlah pertama kali nama Asy Syahid fisabilillah Asy-Syekh Isma’il Abdul Wahhab yang mati dihukum tembak dalam penjara Tanjung Balai, Asahan. Di belakan beliau mengiringlah ulama-ulama pelopor kemerdekaan yang menggerakkan umat berjuang ke medan jihad, yang sekarang telah mendahului kita, sebagai Haji Abdur Rahman Haitami, Haji Abdulhalim Hasan. Angkatan-angkatan muda yang naik sekarang di Sumatra Timur, kebanyakan adalah murid-murid dari beliau itu. Di samping beliau-beliau itu, kita dapati lagi beberapa ulama yang lain yang mati sahid dibunuh Belanda, atau dibunuh Jepang, atau dibunuh komunis. Kita teringat Kiai Idris Mustofa di Singaparna serta beberapa orang kawannya, Tengku Abdul Jalil dan beberapa orang kawan dan muridnya yang dibunuh Jepang di Aceh karena ke-dzoliman. Kita teringat Kiai Abdullah Syatibi mubalig Purwokerto, Kiai Ghalim di Pring Sewu Lampung, Kiai Hasbullah Yasin di Amuntai, semuanya korban keganasan Belanda. Kita teringat Kiai Sediowiyadi korban Komunis di Madiun, kita teringat….kita teringat.

Di antara mereka telah ada yang sudah sampai waktunya, dan di antaranya menunggu giliran, namun mereka sekali-kali tidak berubah haluan. (Al Qur’an)

Banyak lagi masalah lain, sebagai sembilan orang anak kiai-kiai di Kauman Yogyakarta yang sekubur semuanya seketika diberondong ketika Yogya diduduki. Saya sebutkan nama-nama itu, ada yang saya kenang dan ada yang tuan kenang. Mereka itu tidak teringat hendak minta upah dan minta dibayar, karena jasa apabilah sudah dihargai jatuh harganya:

Kami tidaklah minta upah buat ini, dan tidak ingin mengharapkan ucapan terima kasih. Karena kami takut dari Tuhan kami pada hari yang penuh kemurkaan dan kegelisahan. (Al Qur’an)

Mereka itulah yang punya hak pujian, bukanlah kita, wahai saudara-saudaraku. Sebab itu janganlah kita berbangga menerima pujian-pujian yang diberikan kepada ulama oleh Presiden, oleh menteri-menteri dengan setulus hati mereka itu. Apabila kita ini jika dibandingkan dengan mereka:

Itulah kaum yang telah lama berlalu, mereka akan mendapat ganjaran mulai dari sebab apa yang mereka kerjakan, dan kamu tidaklah akan ditanyai tentang apa yang telah mereka kerjakan. (Al Qur’an)


Kita ini hanya semata-mata penerus, saudara-saudara: dan jalan buat meneruskan itu masih terbuka dengan lebar. Dengan ajakan yang disampaikan oleh pemerintah Republik Indonesia kepada kita ini, agar turut berpartisipasi dalam pembangunan, agar memberikan nasihat kepada pemerintah diminta atau tidak diminta, agar memperteguh ketahanan nasional dari segi kerohanian, terbukalah bagi kita yang datang di belakang ini jalan buat meneruskan amal usaha dan jihad ulama yang telah terdahulu yang berhak mendapat puji-pujian itu, sehingga sejarah ulama yang dulu itu tidak terputus di zaman kita saja.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar