“Izinkanlah dengan
terharu saya menyambut penghargaan itu dan mengembalikannya kepada yang berhak
menerimanya. Memang kita akui ulama-ulama itu telah berjasa baik di masa
revolusi maupun sebelumnya. Bahkan lama sebelumnya, ketika Sultan Ageng
Tirtayasa di pertengahan abad tujuh belas berperang dengan Belanda, yang
mengadu domba baginda dengan putranya, Haji Syekh Yusuf Tajul Khalwaty dari
Makassar telah mendampingi beliau mempertahankan kemerdekaan Banten sampai
ketika Sultan Ageng telah dapat dikalahkan, Tuan Syekh dibuang pada mulanya ke
pulau Ceylon (Sri Lanka). Kaisar Aurangzeb berkirim surat kepada kompeni
Belanda mengingatkan supaya ulama itu diperlakukan dengan baik. Kemudian beliau
dipindahkan ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan) dan berpuluh tahun setelah
beliau wafat, tulang belulang beliau telah dikembalikan ke tanah asalnya
Makassar, atas permintaan raja Gowa. Di zaman itu pula seorang budak belian
dari Bali bernama si Untung, menjadi budak di rumah seorang pegawai tinggi
kompeni di Betawi, jatuh cinta kepada seorang nona Belanda, putri dari tuan
yang memperbudaknya itu, lalu dengan sembunyi-sembunyi ia pergi berguru ilmu
guna-guna kepada seorang kiai di salah satu kampung. Tetapi yang diajarkan kiai
tersebut bukanlah guna-guna supaya perempuan jatuh cinta kepadanya dengan jalan
buruk, melainkan dikenalkan kepadanya siapa Allah, siapa Muhammad. Apa perbedaan
syirik dan tauhid, hingga sejak mendapatkan pelajaran dari kiai itu, Kiai Embun
namanya, si Untung tiba-tiba berubah. Dari seorang yang merasa dirinya hanya
seorang budak belian Belanda, berubah menjadi seorang yang insaf bahwa Tuhannya
yang sebenarnya ialah Allah, bukan manusia. Bahwa ia dilahirkan ke dunia ini
dalam keadaan yang merdeka, dan tidak ada satu dinding pun yang dapat menghambat
di antara seorang hamba Allah dengan Allah: LA ILAHA ILLALLAH! Akhirnya si
Untung budak belian, hamba sahaya, suruh-suruhan dalam rumah seorang kompeni
Belanda, berubah menjadi seorang pahlawan yang tahu akan harga diri, yang
mencintai tanah airnya, yang benci akan penjajahan orang kafir atas tanah Jawa
ini. Si Untung keluar dari dalam gedung indah tuan besar, sesudah anak tuan
besar ia nikahi dengan cara Islam, dan Kiai Embun sendiri menjadi Penghulu yang
menikahkannya. Ia keluar buat mengembara dengan pedang di tangan, jadi
pahlawan, bergelar Surapati sesampai di Cirebon, termashur namanya dalam
sejarah sebagai musuh kompeni nomer satu, diakui raja Mataram sebagai seorang Pangeran
yang berdiri sendiri do Pasuruan Jawa Timur dengan gelar Pangeran Wiroguno. Empat
kilometer sebelum masuk kota Pasuruan, tuan-tuan akan bertemu sebuah desa yang
bernama Kraton, di sanalah si Untung bekas budak, Surapati pahlawan, Pangeran
Wiroguno mendirikan istana. Perubahan Surapati adalah karena bimbingan dan
suntikan tauhid dari Kiai Embun. Sedang Kiai Embun sendiri adalah seorang
Panglima Pangeran Wiroguno yang mencapai sahidnya dalam suatu peperangan besar
dengan Belanda. Di samping kesanggupan memakai surban dan jubah Tuan Guru, Kiai
Embun pun adalah seorang pahlawan di samping muridnya Surapati atau Pangeran
Wiroguno. Demikianlah berturut-turut ulama menjadi Mujahid Pembela Kemerdekaan.
Kita dapati Kiai Tapa di Banten, di samping Pangeran Diponegoro kita dapati
Kiai Maja, yang dibuang dan dikubur di Tondano. Terdapat beberapa sejarah
pemberontakan. Kaum kiai memberontak melawan Belanda di bawah pimpinan Kiai
Wasith di Banten yang terkenal dengan ‘Perlawanan Cilegon’. Kiai Harits dibuang
ke Bukittinggi. Di kota Bukittinggi ada jalan raya bernama jalan Syekh Banten
sejak zaman Belanda. Karena di jalan itu beliau tinggal di kala hidupnya. Kiai Arsyad
Sagir ke Menado, Arsyad Kabir ke Gorontalo dan kawan-kawannya yang lain ke
tempat lain pula bersarak di pulau-pulau bagian Timur. Perang Paderi dipimpin
oleh kaum ulama belaka. Terkenal dengan sebutan Harimau nan Delapan,
semuanya delapan orang adalah Tuanku, di samping Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Nan
Renceh sahid di bukit Marapalam, Tuanku Tambusai dapat menyelamatkan diri ke
tanah Melayu (Malaysia sekarang), Tuanku Nan Cerdik dibuang ke Betawi. Di Aceh
pun demikian pula. Setelah Belanda memerangi kerajaan Aceh yang merdeka,
berpuluh tahun lamanya berperang, yang dilanjutkan dengan gerilya. Akhirnya Sultan
tertawan, Panglima Polim menyerah. Tengku Umar mencapai sahid, peperangan dilanjutkan
oleh Tengku Cik di Tiro Muhammad Amin, seorang ulama besar didikan Masjidil
Haram sampai bertahun-tahun kemudian, sampai beliau mencapai sahidnya pula. Setelah
datang abad ke-20, perlawanan di Kamang tahun 1908 dipimpin oleh Tuan Haji
Abdul Manan yang mencapai sahidnya di medan pertempuran. Kawannya Abdul Wahid
Kari Mudo dibuang ke Makassar (Ujung Pandang) dan meninggal di Jakarta 1955. Pergerakan
kebangsaan berdasarkan Islam di Minangkabau, Persatuan Muslimin Indonesia,
alias Permi, semua pendirinya adalah kaum santri. Beberapa orang pemimpinnya
dibuang ke Digul. Pernah berkumpul di Digul itu berpuluh kiai dari Minang, dari
Aceh dan dari Banten. Kiai Khatib Banten, bekas anggota Dewan Nasional, adalah
satu di antara mereka. Mukhtar Luthfi mati ditembak Belanda di rumahnya sendiri
di Makassar ketika pemberontakan Andi Aziz, agustus 1950. Berpuluh ulama besar
turut menanamkan benih kesadaran Nasional ini. Kita menemui Haji Samanhudi,
Haji Omar Said Tjokroaminoto, Kiai Haji Ahmad Dahlan, Kiai Hasjim Asj’ari dan
putranya A. Wachid Hasjim, K. Khaliq Hasjim, Kiai H.A. Wahab Hasbullah, Haji Fakhruddin,
Kiai Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Kiai Faqih Usman, dan di Sumatera Barat
kita temui Dr. Haji Abdul Karim Amrullah yang mati dalam pembuangannya, Syekh
Muhammad Jamil Jambek, Haji Daud Rasyidi (ayah Datuk Palimo Kayo) paman dari H.
Mukhtar Luthfi, Dr. Syekh Abdullah Ahmad, Haji Jalaluddin Tayib, Syekh Sulaiman
Rasuli dan lain-lain. Di Sumatera Timur tercatatlah pertama kali nama Asy
Syahid fisabilillah Asy-Syekh Isma’il Abdul Wahhab yang mati dihukum tembak
dalam penjara Tanjung Balai, Asahan. Di belakan beliau mengiringlah ulama-ulama
pelopor kemerdekaan yang menggerakkan umat berjuang ke medan jihad, yang
sekarang telah mendahului kita, sebagai Haji Abdur Rahman Haitami, Haji
Abdulhalim Hasan. Angkatan-angkatan muda yang naik sekarang di Sumatra Timur,
kebanyakan adalah murid-murid dari beliau itu. Di samping beliau-beliau itu,
kita dapati lagi beberapa ulama yang lain yang mati sahid dibunuh Belanda, atau
dibunuh Jepang, atau dibunuh komunis. Kita teringat Kiai Idris Mustofa di
Singaparna serta beberapa orang kawannya, Tengku Abdul Jalil dan beberapa orang
kawan dan muridnya yang dibunuh Jepang di Aceh karena ke-dzoliman. Kita teringat
Kiai Abdullah Syatibi mubalig Purwokerto, Kiai Ghalim di Pring Sewu Lampung,
Kiai Hasbullah Yasin di Amuntai, semuanya korban keganasan Belanda. Kita teringat
Kiai Sediowiyadi korban Komunis di Madiun, kita teringat….kita teringat.
Di antara mereka
telah ada yang sudah sampai waktunya, dan di antaranya menunggu giliran, namun
mereka sekali-kali tidak berubah haluan. (Al Qur’an)
Banyak lagi masalah
lain, sebagai sembilan orang anak kiai-kiai di Kauman Yogyakarta yang sekubur
semuanya seketika diberondong ketika Yogya diduduki. Saya sebutkan nama-nama
itu, ada yang saya kenang dan ada yang tuan kenang. Mereka itu tidak teringat hendak
minta upah dan minta dibayar, karena jasa apabilah sudah dihargai jatuh
harganya:
Kami tidaklah minta
upah buat ini, dan tidak ingin mengharapkan ucapan terima kasih. Karena kami
takut dari Tuhan kami pada hari yang penuh kemurkaan dan kegelisahan. (Al Qur’an)
Mereka itulah yang
punya hak pujian, bukanlah kita, wahai saudara-saudaraku. Sebab itu janganlah
kita berbangga menerima pujian-pujian yang diberikan kepada ulama oleh
Presiden, oleh menteri-menteri dengan setulus hati mereka itu. Apabila kita ini
jika dibandingkan dengan mereka:
Itulah kaum yang
telah lama berlalu, mereka akan mendapat ganjaran mulai dari sebab apa yang
mereka kerjakan, dan kamu tidaklah akan ditanyai tentang apa yang telah mereka
kerjakan. (Al Qur’an)
Kita ini hanya
semata-mata penerus, saudara-saudara: dan jalan buat meneruskan itu masih
terbuka dengan lebar. Dengan ajakan yang disampaikan oleh pemerintah Republik
Indonesia kepada kita ini, agar turut berpartisipasi dalam pembangunan, agar
memberikan nasihat kepada pemerintah diminta atau tidak diminta, agar
memperteguh ketahanan nasional dari segi kerohanian, terbukalah bagi kita yang
datang di belakang ini jalan buat meneruskan amal usaha dan jihad ulama yang
telah terdahulu yang berhak mendapat puji-pujian itu, sehingga sejarah ulama
yang dulu itu tidak terputus di zaman kita saja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar