Laman

Senin, 22 Juli 2013

KEDATANGAN ORANG-ORANG EROPA DI NUSANTARA




Belanda memang bukan bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Nusantara. Di penghujung abad ke-13 M, seorang pedagang dan pelancong dari Venesia, Italia, Marcopolo (1254—1324), menyempatkan diri singgah di Sumatera setelah mengunjungi Cina.[1] Dalam catatan perjalanannya, ia mengunjungi Ferlec (Perlak), Basman (Peusangan), Samara (Samudra), Dagroian (Pidie), Lambri (Lamuri), dan Fansur (Barus).

Dalam catatannya, Marcopolo mengaku terpesona dengan apa yang ia lihat di tempat-tempat itu, terutama fauna yang ada. Ia, misalnya, terpesona dengan seekor binatang—yang dalam catatannya disebut sebagai—unicorn.

“Binatang itu mempunyai rambut seperti kerbau. Kakinya seperti gajah. Mempunyai satu tanduk di tengah dahi yang sangat hitam dan tebal. Saya katakan, binatang itu tidak mengusik manusia maupun hewan lain dengan tanduknya, tapi hanya dengan lidah dan lututnya, karena lidahnya tajam dan berduri panjang. Sehingga saat binatang itu ingin menyakiti orang atau binatang, dia tinggal menginjaknya, menekannya dengan lututnya dan melukai dengan lidahnya.”

Tentu saja kita tidak dapat membayang unicorn seperti yang dimaksud, karena pada dasarnya unicorn adalah binatang fiktif. Akan tetapi, Laurence Bergreen yang meneliti hidup Marcopolo dan menulis biografinya menyimpulkan binatang yang dimaksud dalam catatan itu sebagai badak Asia: bercula satu dan waktu itu masih banyak didapati di Pulau Sumatera.

Kemudian, di bagian lain, Marcopolo mendeskripsikan monyet-monyet yang ia jumpai di Pasai. Dalam pengamatannya, monyet-monyet itu sangat mengganggu. Bertubuh sangat kecil, monyet-monyet itu “berwajah mirip manusia, serta bagian tubuh lain yang sangat menyerupai manusia.” Karena kemiripan inilah, dalam pengamatan Marcopolo, penduduk pribumi banyak menipu para pelancong untuk meraup untung yang tidak sedikit.

“Pemburu akan memburu monyet-monyet itu, merebusnya, menggunduli seluruh rambutnya dengan minyak tertentu, memasangkan rambut panjang di dagu dan cambang dan di dada, mengecatnya dengan warna tertentu agar terlihat seperti kulit manusia. Setelah kulit itu kering, lubang-lubang rambut itu tertutup dan mengerut (jadi) terlihat seperti tumbuh alami. Kaki dan tangan serta bagian tubuh lain yang tidak seperti anggota tubuh manusia mereka tarik, potong, dan bentuk dengan tangan agar serupa dengan manusia. Lalu mereka mengeringkannya, menaruhnya di cetakan kayu berisi garam dan mengoleskan saffron, kamper dan bahan-bahan lain agar tidak membusuk, dan dengan demikian serupa dengan manusia yang diawetkan. Lalu mereka menjualnya ke para pedagang yang membawa keliling dunia untuk mendapatkan untung karena percaya bahwa itu adalah manusia kerdil.”

Yang menarik adalah catatannya tentang praktek eutanasia primitif orang-orang setempat. Ia menyaksikan itu, ketika mengunjungi Dagroian atau Pidie.

“Beberapa pria mengetahui cara membunuh orang sakit agar bisa segera mati dan…mencekiknya dengan segera, membunuhnya sebelum waktunya. Saat orang itu telah mati, mereka memotong-motongnya dan memasaknya dengan ahli. Semua keluarga si mati itu datang dan mereka makan bersama dengan akrab dan memakan semua daging dan jeroannya setelah dimasak dan dipanggang.”

Kemudian,

“Mereka makan dan mengisap sumsum tulangnya dan tidak menyisakan lemak atau cairan apa pun sama sekali. Mereka melakukan ini karena tidak ingin menyisakan sedikit pun, sehingga tidak akan membusuk. Oleh karena mereka mengatakan jika ada cairan tersisa, akan mendatangkan cacing-cacing, dan cacing-cacing itu nanti akan mati kelaparan… Setelah mereka habis memakannya, mereka meletakkan tulang belulang dalam sebuah peti batu. Lalu mereka membawa dan menggantungkannya di gua-gua di gunung sehingga tidak ada binatang buas atau hal jahat dapat menyentuhnya.”

Beberapa dasawarsa setelah kunjungan Marcopolo ke Nusantara, Odoric da Podeonne singgah di Pulau Jawa. Dari persinggahan itu, ia kemudian membuat beberapa catatan tentang kebesaran Kerajaan Majapahit dan kekayaan istananya. Dari Jawa, ia kemudian berlayar menuju Campa yang terletak di pantai Vietnam sekarang.

Orang Portugis pertama yang sampai di Malaka adalah Diogo Lopes de Sequeira (1465–1530). Ia diutus Raja Portugal untuk menemukan Malaka sekaligus menjalin persahabatan dengan penguasa Malaka. De Sequeira juga diangkat sebagai wakil kerajaan Portugal untuk wilayah di sebelah timur India. Pada 1509, ia berhasil berlabuh di Malaka, tetapi gagal menjalankan tugas dari Raja Portugal. Kegagalan itu kemudian dibalas dengan penaklukan Malaka pada 1511 dipimpin oleh panglima angkatan laut Portugis terbesar waktu itu, Afonso de Albuquerque (yang juga dieja dengan Alfonso de Albuquerque dan Afonso d’Albuquerque).

Dari Malaka, orang-orang Portugis berusaha menaklukkan Kepulauan Maluku, sebuah nama yang sebenarnya berasal dari istilah para pedagang Arab untuk kepulauan itu: Jazirah Al-Muluk. Menghadapi banyak perlawanan dari penduduk setempat, Portugis berhasil menanam banyak pengaruh di Maluku, bahkan sampai hari ini.

Di tengah orang-orang Portugis yang datang ke Maluku itu, terdapat seorang Spanyol, Santo Francis Xavier (1506—1552), yang bersama Ignatius Loyola (1491—1556) pernah mendirikan Ordo Yesuit pada 1534. Pada rentang waktu 1546—1547, Xavier menyebarkan agama Kristen Katolik di tengah masyarakat Ambon, Ternate dan Morotai sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi usaha misionaris di sana.

Raja Spanyol sendiri berhasil mengirim pelaut-pelautnya ke wilayah Nusantara pada 1521. Di bawah kepemimpinan Ferdinand Magellan (1480—1521), seorang pelaut Portugis yang terikat kontrak dengan Kerajaan Spanyol, mereka baru berhasil sampai di Filipina, di sebelah utara Kepulauan Maluku yang jadi tujuan mereka, pada tanggal 16 Maret 1521. Setelah ke Malaka, ekspedisi milik Spanyol itu kembali ke Eropa dan tiba di Spanyol pada tanggal 6 September 1522.

Orang-orang Belanda baru tiba di Nusantara pada 1596. Dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1565—1599), ekspedisi pertama orang-orang Belanda yang terdiri dari 4 buah kapal dengan 249 awak kapal dan 64 pucuk meriam berangkat pada tanggal 2 April 1595 dan tiba di Banten pada Juni 1596. Banten waktu itu adalah sebuah pelabuhan lada terbesar di bagian barat Jawa. Mereka baru pulang ke Belanda pada 1597 dengan membawa banyak rempah-rempah, setelah membuat banyak keributan di banyak pelabuhan yang mereka singgahi ketika menyusuri pantai utara Jawa.

Meski demikian, orang-orang Belanda pertama itu belum berhasil mencapai Kepulauan Maluku yang waktu itu sudah dikenal sebagai Kepulauan Rempah. Orang Belanda pertama yang berhasil tiba di Maluku adalah Jacob van Neck (1564—1638). Ia berhasil berlabuh di Maluku pada Maret 1599. Berbeda dari orang-orang Portugis, Van Neck dan rombongannya diterima baik oleh penduduk setempat. Ia kemudian mengangkut banyak rempah-rempah dari sana ketika kembali ke Belanda pada tahun yang sama.

Sebelum Van Neck tiba di Maluku, berita tentang keberhasilan De Houtman mendorong perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda mengirim kapal-kapal mereka ke Nusantara. Pada 1598, misalnya, sebanyak 22 kapal dari lima perusahaan berlayar menuju Nusantara untuk mencari rempah-rempah. Hanya 14 kapal yang berhasil kembali ke Belanda.

Di antara mereka, terdapat De Houtman yang kembali mengadakan pelayaran ke Nusantara. Dalam pelayarannya kali ini, ikut serta juga John Davis (1550—1605) yang nyaris jadi orang Inggris pertama yang datang ke Nusantara. Mereka tiba di Teluk Aceh pada tanggal 24 Juni 1599. Beda dengan ekspedisi pertamanya, De Houtman terbunuh dalam salah satu konflik dengan penduduk pribumi. Enam tahun kemudian, Davis meninggal dunia di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, dibunuh oleh bajak laut Jepang.

Nasib De Houtman memang tidak sebaik nasib kakaknya, Frederick de Houtman (1571—1627). Ketika adiknya terbunuh, Frederick justru termasuk ke dalam tiga puluhan awak kapal yang ditawan oleh penguasa setempat dari September 1599 sampai 25 Agustus 1601. Selama penawanan itu, mereka sempat ditawari Islam, tetapi hanya lima orang awak kapal yang mau menerima Islam. Frederick tetap bersikeras memeluk Protestan sampai akhirnya ia dibebaskan pada tanggal 25 Agustus 1601 dan pulang kembali ke Belanda.

Dalam catatan sejarah, orang Inggris yang pertama datang ke Nusantara adalah Sir Francis Drake (1540—1596). Dalam sebuah ekspedisinya untuk mengelilingi dunia, Drake sempat singgah di Kepulauan Maluku dan membeli rempah-rempah di Ternate pada 1579. Ia baru tiba di Inggris kembali pada 1580. Untuk keberhasilannya itu, Ratu Inggris, Elizabeth I, melantik Drake sebagai seorang knight pada 1581.




[1] Selain Marcopolo, ada beberapa orang Italia yang juga sempat singgah di Nusantara. Sekitar 1348-1349 M, misalnya, Giovanni de Marignoli berlabuh di Pulau Jawa. Pada 1421, misalnya juga, Nicolo de Conti singgah di Pedir, Sumatra. Tidak lama kemudian, Ludivico di Varthema (1470—1517), Gerolamo da Santa Stefano (sekitar akhir abad ke-15 M), dan Giovanni da Empoli (1483—1517) singgah di Nusantara dalam rangkaian ekspedisi yang mereka lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar