Belanda memang bukan
bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Nusantara. Di penghujung abad ke-13 M,
seorang pedagang dan pelancong dari Venesia, Italia, Marcopolo (1254—1324),
menyempatkan diri singgah di Sumatera setelah mengunjungi Cina.[1]
Dalam catatan perjalanannya, ia mengunjungi Ferlec (Perlak), Basman (Peusangan),
Samara (Samudra), Dagroian (Pidie), Lambri (Lamuri), dan Fansur (Barus).
Dalam catatannya, Marcopolo mengaku terpesona dengan apa yang ia lihat
di tempat-tempat itu, terutama fauna yang ada. Ia, misalnya, terpesona dengan seekor
binatang—yang dalam catatannya disebut sebagai—unicorn.
“Binatang itu mempunyai rambut seperti kerbau. Kakinya
seperti gajah. Mempunyai satu tanduk di tengah dahi yang sangat hitam dan tebal.
Saya katakan, binatang itu tidak mengusik manusia maupun hewan lain dengan
tanduknya, tapi hanya dengan lidah dan lututnya, karena lidahnya tajam dan
berduri panjang. Sehingga saat binatang itu ingin menyakiti orang atau
binatang, dia tinggal menginjaknya, menekannya dengan lututnya dan melukai
dengan lidahnya.”
Tentu saja kita tidak dapat membayang unicorn seperti yang dimaksud,
karena pada dasarnya unicorn adalah binatang fiktif. Akan tetapi, Laurence
Bergreen yang meneliti hidup Marcopolo dan menulis biografinya menyimpulkan
binatang yang dimaksud dalam catatan itu sebagai badak Asia: bercula satu dan
waktu itu masih banyak didapati di Pulau Sumatera.
Kemudian, di bagian lain, Marcopolo mendeskripsikan monyet-monyet yang
ia jumpai di Pasai. Dalam pengamatannya, monyet-monyet itu sangat mengganggu.
Bertubuh sangat kecil, monyet-monyet itu “berwajah mirip manusia, serta bagian
tubuh lain yang sangat menyerupai manusia.” Karena kemiripan inilah, dalam
pengamatan Marcopolo, penduduk pribumi banyak menipu para pelancong untuk
meraup untung yang tidak sedikit.
“Pemburu akan memburu monyet-monyet itu, merebusnya,
menggunduli seluruh rambutnya dengan minyak tertentu, memasangkan rambut
panjang di dagu dan cambang dan di dada, mengecatnya dengan warna tertentu agar
terlihat seperti kulit manusia. Setelah kulit itu kering, lubang-lubang rambut
itu tertutup dan mengerut (jadi) terlihat seperti tumbuh alami. Kaki dan tangan
serta bagian tubuh lain yang tidak seperti anggota tubuh manusia mereka tarik,
potong, dan bentuk dengan tangan agar serupa dengan manusia. Lalu mereka
mengeringkannya, menaruhnya di cetakan kayu berisi garam dan mengoleskan
saffron, kamper dan bahan-bahan lain agar tidak membusuk, dan dengan demikian
serupa dengan manusia yang diawetkan. Lalu mereka menjualnya ke para pedagang
yang membawa keliling dunia untuk mendapatkan untung karena percaya bahwa itu
adalah manusia kerdil.”
Yang menarik adalah catatannya tentang praktek eutanasia primitif
orang-orang setempat. Ia menyaksikan itu, ketika mengunjungi Dagroian atau
Pidie.
“Beberapa pria mengetahui cara membunuh orang sakit
agar bisa segera mati dan…mencekiknya dengan segera, membunuhnya sebelum
waktunya. Saat orang itu telah mati, mereka memotong-motongnya dan memasaknya
dengan ahli. Semua keluarga si mati itu datang dan mereka makan bersama dengan
akrab dan memakan semua daging dan jeroannya setelah dimasak dan dipanggang.”
Kemudian,
“Mereka makan dan mengisap sumsum tulangnya dan tidak
menyisakan lemak atau cairan apa pun sama sekali. Mereka melakukan ini karena
tidak ingin menyisakan sedikit pun, sehingga tidak akan membusuk. Oleh karena
mereka mengatakan jika ada cairan tersisa, akan mendatangkan cacing-cacing, dan
cacing-cacing itu nanti akan mati kelaparan… Setelah mereka habis memakannya,
mereka meletakkan tulang belulang dalam sebuah peti batu. Lalu mereka membawa
dan menggantungkannya di gua-gua di gunung sehingga tidak ada binatang buas
atau hal jahat dapat menyentuhnya.”
Beberapa dasawarsa setelah kunjungan Marcopolo ke Nusantara, Odoric da
Podeonne singgah di Pulau Jawa. Dari persinggahan itu, ia kemudian membuat
beberapa catatan tentang kebesaran Kerajaan Majapahit dan kekayaan istananya. Dari
Jawa, ia kemudian berlayar menuju Campa yang terletak di pantai Vietnam
sekarang.
Orang Portugis pertama yang sampai di Malaka adalah Diogo Lopes de
Sequeira (1465–1530). Ia diutus Raja Portugal untuk menemukan
Malaka sekaligus menjalin persahabatan dengan penguasa Malaka. De Sequeira juga
diangkat sebagai wakil kerajaan Portugal untuk wilayah di sebelah timur India. Pada
1509, ia berhasil berlabuh di Malaka, tetapi gagal menjalankan tugas dari Raja
Portugal. Kegagalan itu kemudian dibalas dengan penaklukan Malaka pada 1511
dipimpin oleh panglima angkatan laut Portugis terbesar waktu itu, Afonso de
Albuquerque (yang juga dieja dengan Alfonso de Albuquerque dan Afonso d’Albuquerque).
Dari Malaka, orang-orang Portugis berusaha menaklukkan Kepulauan Maluku,
sebuah nama yang sebenarnya berasal dari istilah para pedagang Arab untuk
kepulauan itu: Jazirah Al-Muluk. Menghadapi banyak perlawanan dari
penduduk setempat, Portugis berhasil menanam banyak pengaruh di Maluku, bahkan
sampai hari ini.
Di tengah orang-orang Portugis yang datang ke Maluku itu, terdapat
seorang Spanyol, Santo Francis Xavier (1506—1552), yang bersama Ignatius Loyola
(1491—1556) pernah mendirikan Ordo Yesuit pada 1534. Pada rentang waktu 1546—1547,
Xavier menyebarkan agama Kristen Katolik di tengah masyarakat Ambon, Ternate
dan Morotai sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi usaha misionaris di sana.
Raja Spanyol sendiri berhasil mengirim pelaut-pelautnya ke wilayah
Nusantara pada 1521. Di bawah kepemimpinan Ferdinand Magellan (1480—1521),
seorang pelaut Portugis yang terikat kontrak dengan Kerajaan Spanyol, mereka baru
berhasil sampai di Filipina, di sebelah utara Kepulauan Maluku yang jadi tujuan
mereka, pada tanggal 16 Maret 1521. Setelah ke Malaka, ekspedisi milik Spanyol
itu kembali ke Eropa dan tiba di Spanyol pada tanggal 6 September 1522.
Orang-orang Belanda baru tiba di Nusantara pada 1596. Dipimpin oleh
Cornelis de Houtman (1565—1599), ekspedisi pertama orang-orang Belanda yang
terdiri dari 4 buah kapal dengan 249 awak kapal dan 64 pucuk meriam berangkat pada
tanggal 2 April 1595 dan tiba di Banten pada Juni 1596. Banten waktu itu adalah
sebuah pelabuhan lada terbesar di bagian barat Jawa. Mereka baru pulang ke
Belanda pada 1597 dengan membawa banyak rempah-rempah, setelah membuat banyak
keributan di banyak pelabuhan yang mereka singgahi ketika menyusuri pantai
utara Jawa.
Meski demikian, orang-orang Belanda pertama itu belum berhasil mencapai
Kepulauan Maluku yang waktu itu sudah dikenal sebagai Kepulauan Rempah. Orang Belanda
pertama yang berhasil tiba di Maluku adalah Jacob van Neck (1564—1638). Ia berhasil
berlabuh di Maluku pada Maret 1599. Berbeda dari orang-orang Portugis, Van Neck
dan rombongannya diterima baik oleh penduduk setempat. Ia kemudian mengangkut
banyak rempah-rempah dari sana ketika kembali ke Belanda pada tahun yang sama.
Sebelum Van Neck tiba di Maluku, berita tentang keberhasilan De Houtman
mendorong perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda mengirim kapal-kapal mereka
ke Nusantara. Pada 1598, misalnya, sebanyak 22 kapal dari lima perusahaan
berlayar menuju Nusantara untuk mencari rempah-rempah. Hanya 14 kapal yang berhasil
kembali ke Belanda.
Di antara mereka, terdapat De Houtman yang kembali mengadakan pelayaran
ke Nusantara. Dalam pelayarannya kali ini, ikut serta juga John Davis (1550—1605)
yang nyaris jadi orang Inggris pertama yang datang ke Nusantara. Mereka tiba di
Teluk Aceh pada tanggal 24 Juni 1599. Beda dengan ekspedisi pertamanya, De
Houtman terbunuh dalam salah satu konflik dengan penduduk pribumi. Enam tahun
kemudian, Davis meninggal dunia di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, dibunuh oleh
bajak laut Jepang.
Nasib De Houtman memang tidak sebaik nasib kakaknya, Frederick de
Houtman (1571—1627). Ketika adiknya terbunuh, Frederick justru termasuk ke
dalam tiga puluhan awak kapal yang ditawan oleh penguasa setempat dari September
1599 sampai 25 Agustus 1601. Selama penawanan itu, mereka sempat ditawari
Islam, tetapi hanya lima orang awak kapal yang mau menerima Islam. Frederick
tetap bersikeras memeluk Protestan sampai akhirnya ia dibebaskan pada tanggal
25 Agustus 1601 dan pulang kembali ke Belanda.
Dalam catatan sejarah, orang Inggris yang pertama datang ke Nusantara
adalah Sir Francis Drake (1540—1596). Dalam sebuah ekspedisinya untuk
mengelilingi dunia, Drake sempat singgah di Kepulauan Maluku dan membeli
rempah-rempah di Ternate pada 1579. Ia baru tiba di Inggris kembali pada 1580. Untuk
keberhasilannya itu, Ratu Inggris, Elizabeth I, melantik Drake sebagai seorang knight
pada 1581.
[1] Selain Marcopolo, ada
beberapa orang Italia yang juga sempat singgah di Nusantara. Sekitar 1348-1349
M, misalnya, Giovanni de Marignoli berlabuh di Pulau Jawa. Pada 1421, misalnya
juga, Nicolo de Conti singgah di Pedir, Sumatra. Tidak lama kemudian, Ludivico
di Varthema (1470—1517), Gerolamo da Santa Stefano (sekitar akhir abad ke-15
M), dan Giovanni da Empoli (1483—1517) singgah di Nusantara dalam rangkaian
ekspedisi yang mereka lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar