Jauh-jauh hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengabarkan kepada sejumlah sahabatnya tentang perpecahan yang akan melanda
umatnya. Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
‘anhum adalah beberapa orang di antara mereka yang sempat menyampaikan
kembali kabar Rasulullah itu.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
misalnya, bercerita,
"Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam membuat sebuah garis. Kemudian ia berkata,
هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ
'Ini
adalah jalan Allah.'
Setelah
itu, Rasulullah membuat garis-garis lain di sebelah kanan dan kiri
garis itu. Ia pun kembali berkata,
هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى
كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ
'Ini
semua adalah jalan-jalan lain. Di atas jalan-jalan yang
banyak itu akan ada setan yang mengajak untuk menempuhnya.'
Setelah
itu, Rasulullah membaca,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ
سَبِيلِهِ
'Dan
bahwa inilah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia dan jangan kalian mengikuti
jalan-jalan (yang lain). Sebab jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan Allah' (Q.S.
Al-An'am: 153)." [HR. Ahmad
dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani]
Jalan-jalan yang banyak itu disinggung dalam riwayat
sahih dari Abu Hurairah. Kata Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, “Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam pernah bersabda,
افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ
عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى
عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى
ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
‘Umat Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan. Umat Nasrani telah
terpecah menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku nanti menjadi 73
golongan’." [H.R. Abu Dawud nomor 4598 dan disahihkan oleh Syaikh
Muhammad Al-Albani]
Demikian pula dalam riwayat yang berasal
dari Abdullah
bin Amr bin Ash radhiyallahu 'anhuma. Di situ, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى
أُمَّتيِ مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيْلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ
حَتىَّ إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَّةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي
مَنْ يَصْنَع ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً
كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا
رَسُوْلَ الله قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
"Akan
terjadi pada umatku nanti apa yang pernah terjadi pada Bani Israil setapak demi
setapak. Sampai-sampai, jika salah seorang dari Bani Israil ada yang mencampuri
ibunya, maka di tengah umatku pasti ada yang akan menirunya. Sesungguhnya, Bani
Israil akan terpecah menjadi 72 golongan. Adapun umatku, mereka akan terpecah
menjadi 73 golongan, semuanya di Neraka kecuali satu golongan saja."
Para
sahabat Rasulullah bertanya,
"Siapa
golongan yang satu itu, Rasulullah?"
Rasulullah
menjawab,
"(Golongan
yang selamat itu adalah) apa yang aku dan para sahabatku ada di atasnya." [H.R.
At-Tirmidzi nomor 2641 dan Syaikh Muhammad Al-Albani berkata, "Hadits ini berderajat Hasan."]
Segala jalan dan golongan yang dimaksud itu,
ternyata, belum akan muncul sebelum Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ditikam
oleh Abu Lu’luah, seorang budak Majusi. Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu
‘anhuma—yang sering diberitahu Rasulullah secara khusus tentang berbagai
rahasia termasuk tentang kejadian-kejadian di masa depan—pernah
menyampaikannya, sebagaimana yang diriwayatkan kembali dalam Shahih
Al-Bukhari dengan nomor hadits 7096 dan Shahih Muslim dengan nomor
hadits 144 dan 231.
“Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Umar,” kata
Hudzaifah, “tiba-tiba ia radhiyallahu ‘anhu bertanya, 'Siapa di antara kalian yang
menghapal sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang fitnah?'.”
“Fitnah,” jawab Hudzaifah, “yang itu menimpa seseorang
di keluarga, harta, anak dan tetangganya bisa terhapuskan oleh shalat, sedekah, dan amar ma'ruf nahi mungkar.
'Bukan tentang itu yang aku maksudkan kepadamu,” balas Umar. “Akan tetapi tentang fitnah yang bergelombang-gelombang
seperti gelombang lautan’.”
“Fitnah yang seperti itu, wahai Amirul Mukminin, tidak akan menimpa dirimu, sebab ada pintu yang tertutup antara engkau dan fitnah itu.
“Apakah pintu itu,” tanya Umar, “akan didobrak atau dibuka nanti?”
“Didobrak, malah!”
“Kalau begitu, tidak akan ditutup lagi.”
“Betul,” jawab Hudzaifah.
Syaqiq bin Salamah yang tahu pembicaraan Umar
dengan Hudzaifah itu bertanya langsung kepada Hudzaifah, “Apakah Umar tahu pintu itu?”.
“Ya,” jawab Hudzaifah. “Seperti ia tahu bahwa sehabis siang pasti
akan ada malam.”
Syaqiq dan beberapa orang temannya segan untuk
bertanya lagi tentang pintu yang dimaksud. Akhirnya, mereka menyuruh Masruq bin Al-Ajda’ untuk bertanya tentang
siapa yang dimaksud pintu itu kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu.
Mereka kemudian mendapatkan jawaban. Kata
Hudzaifah waktu itu, “Umar.”
Kematian Umar radhiyallahu ‘anhu pada
tahun 12 H menjadi penanda akan munculnya perpecahan di tengah umat Muhammad
setelah itu. Akan tetapi, menjadi semacam gerbang untuk perpecahan yang akan
melanda terus-menerus adalah pembunuhan Khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu.
Utsman memegang kekhilafahan selama sebelas tahun sebelas bulan tujuh
belas hari atau yang sering dibilang selama dua belas tahun. Ia radhiyallahu
‘anhu dibaiat sebagai khalifah pada awal tahun 24 H, berdasarkan keputusan
Majelis Syura yang telah ditunjuk oleh Khalifah Umar sebelum wafat.
Mereka yang tergabung dalam majelis itu adalah Utsman bin ‘Affan, Ali
bin Abi Thalib, Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah,
dan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhum. Selama beberapa hari,
mereka dipimpin Abdurrahman untuk menentukan khalifah selanjutnya. Setelah
terpilih Utsman, disaksikan Abdurrahman yang duduk di atas mimbar Rasulullah, Ali radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang pertama kali berbaiat.
Selama pemerintahannya, usaha penaklukan-penaklukan terus dilakukan
Khalifah Utsman. Sampai tahun 33 H, dua tahun sebelum khalifah terbunuh, pasukan-pasukan khalifah terus bergerak lebih jauh ke dalam
wilayah Romawi di Syam, wilayah sebelah timur Persia, dan wilayah Afrika Utara. Salah satu
pasukan itu, bahkan, sempat pula masuk menyerbu ke ujung Semenanjung Iberia yang sekarang
dihuni oleh Spanyol dan Portugal.
Penaklukan sekaligus penyebaran Islam itu diiringi pula dengan
kemajuan di bidang agama. Pada masa pemerintahan Utman, usaha kodifikasi
Al-Qur’an yang telah dimulai Khalifah Abu Bakar menemui momentumnya ketika Utsman
berinisiatif menyalin, menyebarkan dan menyeragamkan tulisan-tulisan Al-Qur’an.
Dengan langkah itu, Khalifah Utsman telah membantu banyak kaum muslimin waktu
itu untuk membaca dan mempelajari Al-Qur’an seperti sekarang ini.
Meski demikian, seperti yang pernah dikabarkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ada orang-orang yang akan memaksa mengambil kekuasaan
dari Utsman. Dengan
pembunuhan itulah, Utsman—seperti yang dikatakan Rasulullah—akan mendapatkan
syahid.
Imam At-Tirmidzi pernah meriwayatkan sebuah hadits sahih dari Aisyah radhiyallahu
‘anha. Dalam hadits itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepada Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu,
يَا عُثْمَانُ إِنَّهُ لَعَلَّ اللهُ يُقَمِّصُكَ قَمِيْصًا فَإِن أَرَادُوكَ
عَلىَ خَلْعِهِ فَلاَ تَخْلَعْهُ لَهُمْ
“Wahai
Utsman, sungguh, mudah-mudahan Allah akan memakaikan kepadamu ‘gamis.’ Maka,
jika mereka hendak melepaskan ‘gamis’ itu darimu, janganlah kau lepaskan untuk
mereka.” [HR. At-Tirmidzi nomor ... dan disahihkan oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani]
Gamis itu adalah kiasan untuk kekuasaan. Rasulullah telah
memerintahkan Utsman untuk tidak menyerahkan kekuasaan yang ada padanya kelak
kepada orang-orang yang menginginkannya. Untuk usaha itu, jika mengakibatkan
Utsman kehilangan nyawa, maka diganjar syahid dan, memang, Rasulullah telah
jauh-jauh hari mengabarkan para sahabatnya bahwa Utsman adalah seorang syahid.
Jaminan itu disebutkan dalam sebuah riwayat sahih dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu. Ketika Abu Bakar, Umar dan Utsman sedang berada di atas
Gunung Uhud bersama Rasulullah, tiba-tiba pijakan mereka bergetar. Rasulullah
segera berkata,
اثْبِتْ أُحُد فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيْقٌ وَشَهِيْدَانِ
“Diam, Uhud. Yang ada di atasmu sekarang hanya nabi, seorang yang shiddiq,
dan dua orang yang syahid.” [HR. At-Tirmidzi nomor … dan disahihkan oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani]
Dapat dikatakan, di antara sebab yang paling
kentara pembunuhan Khalifah Utsman bin ‘Affan adalah kekurangpahaman atau bahkan
ketidaktahuan sejumlah orang yang baru masuk Islam tentang keutamaan para
sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum secara umum dan keutamaan
Khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu secara khusus. Ini adalah
sebab yang paling sering disebut oleh sejarawan-sejarawan muslim dari dulu,
seperti Ibnul ‘Arabi, Abu Ya’la Al-Fara’, Ibnu Katsir, dan Adz-Dzahabi rahimahumullah
jami’an.
Orang-orang yang merongrong kekuasaan Utsman
itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok saling
memengaruhi dalam usaha mereka untuk menjatuhkan kekuasaan Utsman.
Pertama adalah orang-orang yang baru masuk
Islam dari bekas wilayah Kerajaan Romawi dan Persia. Mereka banyak mendiami
daerah-daerah di Irak dan Iran sekarang. Semula, mereka adalah para pemeluk
Zoroastrianisme dan Yudaisme yang dipaksa masuk Islam.
Kedua adalah para pembaca Al-Qur’an yang ada
di sejumlah kota Islam. Sebagian besar mereka adalah orang-orang Arab yang
menjumpai beberapa sahabat Rasulullah dan mengenal Islam dari mereka. Orang-orang
kelompok kedua ini dikenal sebagai orang-orang yang gemar dan larut dalam
beribadah. Mereka baru masuk Islam pada masa pemerintahan tiga khalifah setelah
Rasulullah.
Ketiga adalah anggota-anggota kabilah Arab
yang baru masuk Islam pasca perang melawan orang-orang murtad pada masa
pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Anggota-anggota kabilah tersebut masuk
Islam dan segera bergabung dalam pasukan-pasukan khalifah untuk menaklukkan
daerah-daerah Romawi dan Persia.
Kelompok-kelompok itu mulai membuat ulah
sekitar tahun 33 H, dua tahun sebelum pembunuhan Utsman. Pergerakan mereka
pertama kali terlihat di kota Kufah, Irak. Waktu itu, mereka melakukan protes
di depan khalayak umum terhadap kebijakan-kebijakan Utsman dan gubernur di
tempat itu, Sa’id bin Al-‘Ash. Tindakan itu mereka lakukan semata-mata untuk amar
ma’ruf nahi mungkar.
Diusir ke wilayah Syam, mereka kemudian
menyebarkan protes mereka ke sejumlah kota-kota Islam yang lain. Bashrah
menjadi kota lain di luar Kufah yang terpengaruh. Dalam protes itu, selain
menggugat, mereka juga mencela sahabat-sahabat Rasulullah dari Suku Quraisy dan
melupakan hak-hak pemimpin kaum muslimin.
Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Kumail bin
Ziyad, Malik bin Harits atau dikenal dengan Asytar An-Nakha’i, Sha’sha’ah bin
Shauhan Al-Abdi, ‘Amr bin Al-Hamq Al-Khuza’i. Mereka adalah orang-orang Kufah,
sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir dan Abu Ya’la Al-Fara’.
Di Syam, mereka kembali diusir oleh gubernur
setempat, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma. Mereka kemudian
pergi ke daerah lain, sampai akhirnya kembali ke Kufah. Pada saat yang sama,
yakni tahun 33 H itu, Khalifah Utsman mengusir orang-orang Bashrah yang
terpengaruh ke Mesir.
Mesir pun bergolak. Semula, gubernur setempat,
Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu dapat mengawasi mereka. Akan tetapi,
selepas masa jabatannya, orang-orang usiran dari Bashrah itu mulai membuat
ulah. Bahkan, mereka mencoba mengadu-domba antara gubernur baru mereka dan Amr
bin Al-‘Ash.
Pada Rajab tahun 35 H, pengaruh dari orang-orang
Bashrah telah besar dan menggerakkan sekitar 600 orang Mesir untuk datang ke
Madinah. Menghadapi mereka, Utsman meminta Ali radhiyallahu ‘anhuma
untuk berbicara baik-baik dengan mereka di luar Madinah dan menyuruh mereka
kembali ke tempat asal mereka.
Dalam pembicaraan itu, Ali yang tahu letak
permasalahan sebenarnya membantah segala argumen mereka. Tidak sampai di situ,
Ali balik mengecam mereka dan maksud yang mendorong mereka datang ke Madinah.
Ada banyak
tuntutan yang diajukan rombongan itu kepada Ali. Ibnu Katsir, dalam Al-Bidayah
wa An-Nihayah, menyebutkan beberapa tuntutan yang dimaksud.
Kepada
Ali, mereka mengatakan, “Utsman telah melarang untuk menyembelih unta. Utsman
juga membakar mushaf, tidak meng-qashar shalat dalam safar. Utsman
menempatkan orang-orang yang masih muda sebagai gubernur dan mengistimewakan
Bani Umayyah di atas yang lain.”
Ali
kemudian menjawab,
“Utsman
melarang untuk menyembelih unta—yakni unta dari hasil zakat—karena menunggu
unta itu gemuk. Utsman membakar mushaf-mushaf itu agar hilang segala perbedaan
yang ada sekaligus menetapkan mushaf yang disepakati sesuai bacaan Rasulullah
ketika dibacakan Jibril. Utsman
juga tidak meng-qashar shalat (di Mina, Makkah) karena memiliki keluarga di
sana. Karena itu, Utsman menyempurnakan bilangan shalatnya.
Utsman
pun tidak mengangkat seorang gubernur yang berusia muda kecuali orang yang
lurus dan adil. Rasulullah sendiri pernah mengangkat ‘Ittab bin Usaid yang
masih berumur 20-an tahun sebagai gubernur Makkah. Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga pernah mengangkat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma yang
masih muda, sampai-sampai beberapa orang sahabat ada yang mengkritiknya. Adapun
kebijakan Utsman yang mengistimewakan Bani Umayyah, maka Rasulullah pun pernah
mengistimewakan orang-orang Quraisy (di atas yang lain.”
Dengan
jawaban Ali itu, dan juga jawaban langsung dari Utsman kepada beberapa utusan
rombongan, mereka akhirnya pulang ke negeri asal mereka. Mereka kembali tanpa
membawa hasil apa-apa.
Khalifah Utsman secara khusus memberikan
penjelasan kepada beberapa orang dari mereka. Setelah diterangkan secara
gamblang dan diruntuhkan segala keragu-raguan mereka, orang-orang dari Mesir
itu dimaafkan dan disuruh pulang ke Mesir.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama. Pada
bulan Syawal tahun yang sama, gelombang orang-orang protes datang kembali ke
Madinah. Kali ini, yang datang tidak hanya dari Mesir, tetapi juga dari Kufah
dan Bashrah. Ternyata, sepulang rombongan pertama dari Madinah, telah terjadi
korespondensi yang intens antara mereka.
Dalam surat-surat yang mereka kirimkan,
nama-nama sahabat Rasulullah mereka bawa-bawa. Ali, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, bahkan
Aisyah adalah nama-nama yang sering mereka catut untuk dibenturkan dengan
Utsman. Keadaan makin memanas tanpa terkendali.
Kedatangan yang kedua ini tidak lagi sekedar
membawa protes. Mereka telah juga membawa tuntutan untuk menggantikan
kepemimpinan kaum muslimin saat itu dengan pemimpin-pemimpin yang mereka
inginkan. Rombongan dari Mesir, misalnya, mereka ingin Utsman digantikan Ali
sebagai khalifah. Rombongan Bashrah ingin agar Thalhah yang menggantikannya.
Adapun rombongan Kufah, mereka menginginkan Zubair sebagai khalifah pengganti.
Para penduduk Madinah tidak mengizinkan mereka
masuk. Rombongan-rombongan hanya bisa bergerak lambat mendekati Madinah.
Mencoba mengirim utusan-utusan untuk menemui Ali, Thalhah dan Zubair, mereka
hanya mendapati kenyataan bahwa ketiga sahabat Rasulullah itu masing-masing menyemburkan
kemarahan besar dan balik mengusir utusan-utusan tersebut.
Setelah pura-pura pergi sehabis diusir oleh
Ali-Thalhah-Zubair, rombongan-rombongan itu tiba-tiba muncul di Madinah. Pada
awalnya, mereka hanya mengepung Madinah, namun setelah itu mereka mulai
merangsek mengepung rumah Khalifah Utsman.
Pengepungan itu berlangsung berhari-hari.
Puncak pengepungan terjadi ketika para pengepung itu tidak membiarkan Utsman
keluar dari rumahnya, bahkan untuk shalat berjamaah sekalipun.
Utsman sendiri tidak membela dirinya. Ia tidak
memerintahkan tentara-tentaranya menghalau para pengepung itu. Tidak pula ia
meminta bantuan kepada 700-an orang sahabat Rasulullah dari kalangan Muhajirin
dan Anshar yang ada di Madinah waktu itu. Sebaliknya, para sahabat Rasulullah
itu menawarkan bantuan kepada Utsman membela dan melindunginya sekaligus
mengusir para pengepung ke luar Madinah.
Utsman berusaha bersabar, seperti yang
dijanjikannya kepada Rasulullah dulu. “[A]ku telah berjanji kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,” kata Utsman, “akan bersabar dengan fitnah ini. Aku tidak mau
menjadi khalifah Rasulullah yang pertama kali menumpahkan dari di tengah
umatnya.” Utsman menolak tawaran-tawaran itu dengan jawabannya ini.
Karena sikap Utsman seperti itu, sejumlah
sahabat hanya dapat memerintahkan putra-putra mereka menjaga dan mengawal rumah
Utsman. Ali menyuruh Hasan dan Husen, sedangkan Zubair menyuruh Abdullah bin
Zubair radhiyallahu ‘anhum. Thalhah pun tidak ketinggalan, ia menyuruh
putra sulungnya, Muhammad As-Sajjad, untuk ikut mengawal. Adapun Abu Hurairah
dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, mereka berdua mengambil
inisiatif sendiri untuk datang ke rumah Utsman dan menjaganya dari para
pengepung.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama. Di
hari terbunuhnya, Utsman memerintahkan mereka untuk pulang masing-masing ke
rumah. Kepada para sahabat Rasulullah itu, Utsman berkata, “Aku bersumpah,
hendaklah mereka yang memiliki kewajiban menaatiku untuk menahan diri-diri
mereka dan kembali ke rumah masing-masing.”
Demikian pula kepada keluarganya. Kepada
budak-budaknya, Utsman berkata di hari itu, “Siapa saja yang menyarungkan
pedangnya, maka ia merdeka.” Malam sebelum terbunuhnya, Utsman bermimpi bertemu
Rasulullah dan diberitahu jika esoknya ia akan menyusul Rasulullah, Abu Bakar
dan Umar.
Utsman akhirnya terbunuh pada hari itu, Jum’at
tanggal 18 Dzul Hijjah tahun 35 H, dalam keadaan berpuasa dan sedang membaca
Al-Qur’an tanpa melawan sama sekali. Ia radhiyallahu ‘anhu terkepung di
rumah sendiri sejak awal bulan Dzul Qa’dah, sekitar dua bulan kurang. Akan
tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa pengepungan itu terjadi lebih dari 40
hari.
Kematian Utsman itu menggoncang Madinah. Penduduk
Madinah tidak menyangka, dan memang baru kali itu, di salah satu tanah suci
Islam pemimpin mereka dibunuh oleh rakyatnya sendiri yang mereka itu adalah
orang-orang Islam juga. Umar, kita tahu, dibunuh oleh seorang budak non muslim
yang tinggal di Madinah.
Wajar, jika para sahabat Rasulullah banyak yang
tidak memercayai terbunuhnya Utsman itu. Ali, misalnya, ketika mendengar
peristiwa itu, berkata, “Betul-betul telah hilang akalku ketika kudengar Utsman
terbunuh. Aku seolah-olah tidak memercayai diriku lagi.” Aisyah radhiyallahu
‘anha betul-betul merasakan pilu yang mendalam karena terbunuhnya Utsman
itu. Jika mengingat peristiwa pembunuhan itu, Aisyah menangis sampai-sampai
kerudungnya basah karena air tangisannya itu.[]
Artikel ini sebenarnya adalah bagian naskah Syiah di Indonesia: Sejarah, Jaringan, Pengaruh yang tidak jadi diikutsertakan. Sampai buku itu diterbitkan, naskah ini masih dalam bentuknya yang asli.
BalasHapussemua yang mebaca artikel di atas, harus waspada dan mewaspadai, jangan sampai itu terjadi di negeri kita tercinta indonesia.Waspadalah apa yang kita lihat di negeri ini. Sekalilagi maspadalah.
BalasHapus