Laman

Kamis, 25 Juli 2013

JEJAK LANGKAH SYIAH DI INDONESIA

(Majalah Asy-Syari’ah Vol. VIII, No. 92, 1434H/2013M)

Kapan Syiah masuk ke Indonesia pertama kali, hanya Allah ta’ala yang tahu. Sampai hari ini, pembicaraan tentang mula kali orang Syiah ada di Indonesia melulu berkubang pada dugaan-dugaan belaka. Ada yang menduga Syiah datang pada abad ke-12 Masehi, ada yang percaya bahwa orang-orang Syiah sudah datang ke Kepulauan Nusantara jauh sebelum abad ke-12 itu. Ada yang meyakini ajaran Syiah dibawa oleh orang-orang Persia, namun ada juga yang meyakini Syiah diperkenalkan oleh orang-orang Arab langsung.

Para pemeluk Syiah di Indonesia sekarang banyak yang percaya, para pembawa Islam ke Indonesia ini adalah orang-orang Syiah. Bukan para sufi. Bukan pula para pedagang yang bermazhab Syafi’i. Namun, karena melakukan taqiyyah, orang-orang Syiah pertama yang dimaksud berpura-pura menjalankan praktek-praktek Islam berdasarkan mazhab Syafi’i sampai akhirnya mazhab Syafi’ilah yang dikenal dan dicatat sejarah sebagai mazhab tertua yang berkembang di Indonesia.

Lebih jauh lagi, sebagian pemeluk Syiah di negeri kita ini membuat klaim, penguasa muslim pertama di Nusantara yang bernama Sultan Malik Ash-Shalih adalah penguasa Samudera Pasai pertama yang memeluk Syiah. Seperti yang dicatat sejarah, Kesultanan Samudera Pasai dikenal sebagai kesultanan tertua di Nusantara yang bermazhab Syafi’i. Keyakinan itu, ternyata, didasarkan pada catatan perjananan Ibnu Batutah, seorang pelancong dari Maroko, yang pernah singgah di Aceh pada tahun 1345-1346 M. Ia menulis,

“Sultan Jawa bernama Sultan Malik Azh-Zhahir. Ia adalah sosok yang disegani dan dihormati. Lebih dari itu, ia termasuk penganut Mazhab Syafi’i. Ia juga sangat mencintai para fuqaha’ yang datang ke majelisnya untuk bertukar pendapat. Masyarakat mengenalnya sebagai sosok yang senang berjihad dan berperang, namun juga rendah hati. Ia datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at dengan berjalan kaki. Para penduduk Jawa mayoritas bermazhab Syafi’iyyah. Mereka senang berjihad bersama sultan, hingga mereka memenangkan peperangan melawan orang-orang kafir. Bahkan, orang-orang kafir membayar jizyah kepada sultan sebagai bentuk perdamaian.”

Apakah Ibnu Batutah dapat dipercaya? Sepertinya, kita semua sudah tahu jawabannya.

Amat disayangkan, klaim orang-orang Syiah itu diperkuat oleh pendapat dari kalangan para pemerhati sejarah Islam di Indonesia. S.Q. Fatimi, A. Hasjmy, Wan Husein Azmi, Abu Bakar Aceh, dan Agus Sunyoto adalah orang-orang yang pernah menulis bahwa Syiah telah ada pada masa-masa pertama perkembangan Islam di Kepulauan Nusantara.

Keluar dari berbagai dugaan dan klaim, gelombang penyebaran Syiah di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga. Masing-masing menempati waktu, memiliki ciri khas penyebaran, dan mengonversi orang-orang dengan tipikal tertentu.

Gelombang Pertama
Gelombang pertama terjadi sebelum Revolusi Iran tahun 1979. Pada gelombang pertama ini, orang-orang Syiah—dai atau bukan dai—terbilang sulit untuk diketahui. Terlebih lagi, mereka menjalankan taqiyyah yang itu menjadi bagian penting agama mereka. Karenanya, para pemeluk Syiah pada masa itu bersifat sangat tertutup dan betul-betul menyembunyikan keyakinan Syiah mereka dari orang-orang sekitar.

Alih-alih berdakwah secara terang-terangan, orang-orang Syiah tersebut lebih memilih mendakwahkan Syiah kepada orang-orang terdekat mereka, seperti kepada anggota keluarga sendiri. Lagi pula, yang terpenting bagi waktu itu adalah bagaimana mereka tetap eksis sebagai seorang Syiah, meski dalam hati atau meski di tengah keluarga.

Jelas saja, karena laku taqiyyah khas Syiah itu, mengira-ngira sedikit atau banyak orang yang memeluk Syiah pada gelombang pertama ini menjadi sebuah kemustahilan. Kendati demikian, salah seorang ulama Syiah asal Lebanon, Muhammad Jawad Mughniyyah, pernah menyebutkan dalam bukunya yang terbit pada 1973, Al-Shi’a fi Al-Mizan, bahwa para pemeluk Syiah di Indonesia pada waktu itu berjumlah satu juta orang.

Yang juga patut dicatat, sebelum Revolusi Iran meletus pada 1979, sejumlah pemuda Indonesia sudah ada yang berangkat dan belajar di Qum, Iran. Selain Najaf dan Karbala di Irak serta Masyhad di Iran, Qum menjadi salah satu dari empat kota suci milik Syiah yang banyak dikunjungi untuk keperluan ziarah dan belajar.

Di Qum, para pemuda yang dimaksud memperdalam ajaran Syiah di hawzah-hawzah ilmiyah, semacam lembaga pendidikan tradisional di kalangan Syiah yang dalam bahasa Indonesia dapat dimaknakan sebagai pondok pesantren atau juga madrasah. Mereka belajar di situ atas tanggungan ulama-ulama Syiah setempat yang mendapat biaya untuk itu lewat uang zakat dan khumus.[1]

Di Indonesia sendiri, pada tanggal 21 Juni 1976, berdiri Yayasan Pesantren Islam Bangil atau sering disebut YAPI Bangil. Lembaga ini didirikan oleh Husein Al-Habsyi (1921–1994) yang pernah belajar kepada Abdul Qadir Balfaqih, Muhammad Rabah Hassuna, Alwi bin Thahir Al-Haddad, dan Muhammad Muntasir Al-Kattani di Malaysia.

Pesantren YAPI Bangil pun kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan Syiah tertua di Indonesia. Sudah sejak Husein Al-Habsyi masih hidup, para santri di pesantren itu diajarkan secara khusus akidah Syiah. Untuk mengimbangi pelajaran fikih berdasarkan Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka diberikan juga pelajaran tentang fikih Syiah. Bisa dikatakan, santri-santri Pesantren YAPI Bangil yang kemudian banyak berdakwah di berbagai tempat di Indonesia.

Gelombang Kedua
Gelombang kedua penyebaran Syiah di Indonesia dimulai setelah Revolusi Iran meletus. Pada gelombang kali ini, banyak orang yang menjadi Syiah karena didorong intelektualitas mereka. Konversi menjadi Syiah pun banyak terjadi di tengah kalangan mahasiswa dan dosen.

Salah seorang staf Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) waktu itu, Nabhan Husain, pernah mengatakan bahwa dakwah kampus yang sedang marak-maraknya pada 1970-an dan 1980-an mendorong banyak mahasiswa tertarik mempelajari pemikiran-pemikiran Syiah.[2] Mereka tertarik karena keberhasilan Revolusi Iran, kepemimpinan revolusioner Khomeini, dan ideologi yang mendorong terjadinya revolusi itu. Selain itu, dan inilah yang jadi poin penting, dibanding dengan ajaran Islam yang tidak dapat dilepas dari wahyu, Syiah menawarkan cara berpikir yang rasional dan kritis.

Bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut, Syiah adalah sebuah alternatif terhadap isme-isme yang berkembang dewasa itu. Seperti diketahui bersama, dunia di 1970-an dan 1980-an menyaksikan persaingan sengit antara liberalisme dan komunisme, antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet.

Segera setelah Revolusi Iran diketahui keberhasilannya, tulisan-tulisan tentang Iran, pemikiran-pemikiran intelektual Iran, dan ulama-ulama Syiah Iran membanjiri toko-toko buku di Indonesia. Demikian pula dengan ulasan-ulasan tentang Revolusi Iran, Khomeini, dan filsafat Syiah yang ditulis oleh orang-orang Indonesia.

Di Bandung, Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin yang baru lulus dari ITB mendirikan Penerbit Mizan pada tanggal 7 Maret 1983. Pada kali pertama, penerbit ini menerbitkan 2000 sampai 3000 eksemplar buku Dialog Sunni-Syi’ah: Surat-Menyurat antara As-Syaikh Al-Misyri Al-Maliki, Rektor Al-Azhar di Kairo Mesir dan As-Sayyid Syarafuddin Al-Musawi Al-‘Amili Seorang Ulama Besar Syiah yang mengundang banyak perhatian waktu itu.

Buku tersebut sejatinya adalah terjemahan Al-Muraja’at yang disusun oleh Syarafuddin Al-Musawi Al-‘Amili. Penerjemahnya adalah Ustadz Muhammad Al-Bagir Al-Habsyi, ayah Haidar Bagir yang dikenal sebagai tokoh pembela Syiah. Muhammad Bagir kemudian banyak menerjemahkan buku-buku untuk Mizan.

Mizan akhirnya banyak berperan menerbitkan buku-buku tentang pemikiran tokoh-tokoh Syiah pada 1980-an dan 1990-an. Karenanya, masyarakat di Indonesia pun sempat menyebut Mizan sebagai penerbit Syiah terkemuka di Indonesia, sebelum kemudian menganggapnya sama seperti penerbit-penerbit buku umum lainnya sekarang ini.

Pada saat bersamaan, di Bandung, Jalaluddin Rakhmat “tiba-tiba” tertarik kepada Syiah, setelah berdialog dan berdiskusi dengan ulama-ulama Syiah dan Husein Al Habsyi. Dari yang semula aktif berbicara tentang pemikiran Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub dan Sa’id Hawwa, Jalaluddin Rakhmat kini mulai membicarakan akidah dan akhlak Syiah. Sudah bisa ditebak, ia pun diidentifikasi sebagai dai Syiah di Bandung dan kemudian dilarang berdakwah oleh MUI Kota Bandung pada 1985, menyusul keluarnya rekomendasi dari MUI Pusat untuk mewaspadai Syiah di tengah masyarakat.

Tidak “jera” dengan larangan itu, Jalaluddin Rakhmat bersama Haidar Bagir, Agus Effendy, Ahmad Tafsir, dan Ahmad Muhajir mendirikan Yayasan Muthahhari pada tanggal 3 Oktober 1988. Di bawah naungan yayasan itu, pada 1992, berdiri SMA Muthahhari yang oleh masyarakat waktu itu disebut sebagai sekolah modern milik Syiah yang pertama di kota kembang.

Tidak lama dari berdirinya Yayasan Muthahhari, pada 1989, berdiri Pesantren Al-Hadi di Pekalongan Jawa Tengah. Pesantren ini didirikan oleh Ahmad Baragbah dan Hasan Musawa. Mereka terdorong oleh rasa prihatin mereka atas pandangan keliru yang berkembang di masyarakat terhadap Syiah. Agar dapat meneruskan pendidikan ke jenjang lebih lanjut di Qum, Iran, sistem pendidikan Pesantren Al-Hadi disesuaikan dengan sistem pendidikan yang ada di hawzah-hawzah ilmiyah.

Gelombang Ketiga
Awal gelombang ketiga penyebaran Syiah tidak dapat dipastikan waktu tepatnya. Meski demikian, gelombang ketiga itu muncul ketika kebutuhan akan fikih Syiah makin mendesak. Hal ini dapat diwajari, sebab merebaknya pemikiran-pemikiran Syiah di kalangan mahasiswa dan di kota-kota besar di Indonesia tidak diimbangi oleh menyebarnya tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentang fikih Syiah. Ketika muncul serangan-serangan mendiskreditkan Syiah karena memiliki praktek-praktek ibadah yang berbeda dengan Islam, mereka tidak siap menerimanya.

Pada saat bersamaan, alumni-alumni Qum dari Indonesia mulai kembali ke tanah air dan mendakwahkan Syiah. Berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa yang tertarik dengan Syiah, alumni-alumni Qum ini adalah tipikal orang-orang yang mempelajari sesuatu (dalam hal ini adalah ajaran Syiah) sampai ke dasar-dasarnya. Mereka lebih paham akan fikih-fikih Syiah dan yang paling penting: mereka lebih radikal dan frontal dalam menghadapi serangan-serangan kepada mereka.

Gelombang ketiga terasa dengan banyak dibukanya pengajian-pengajian Syiah di berbagai tempat. Selain pengajian-pengajian, mereka juga mulai menerbitkan buku-buku Syiah yang “berbau” fikih. Bukan hanya buku-buku yang berisi pemikiran dan filsafat tokoh-tokoh Syiah. Orang-orang yang tertarik dengan Syiah pun tidak lagi datang dari kalangan terbatas seperti mahasiwa dan lingkungan perguruan tinggi. Kali ini mereka jauh lebih beragam yang, dalam kata-kata Jalaluddin Rakhmat, “tidak begitu terpelajar.”

Kemunculan alumni-alumni Qum juga diimbangi oleh berdirinya yayasan-yayasan Syiah di berbagai kota di Indonesia. Pada 1995, diketahui ada 40 yayasan Syiah yang telah berdiri di Indonesia dan 25 di antaranya berada di Jakarta. Kemudian juga, sebuah jurnal di Jakarta pernah mendata orang-orang yang memeluk Syiah di Indonesia pada 1995 itu. Hasilnya, yang tentu saja masih bisa diperdebatkan, ada 20.000 orang yang menjalani ajaran Syiah secara total.

Turunnya Soeharto dari jabatan presiden Republik Indonesia pada Mei 1998 membawa dampak yang tidak sedikit di tengah masyarakat. Jika pada masa pemerintahan Soeharto komunitas Syiah masih diawasi dan dikontrol dengan baik, maka sepeninggalnya komunitas Syiah berkembang pesat dan menanam pengaruh yang tidak bisa diabaikan. Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur berdiri untuk pertama kalinya secara resmi organisasi massa (ormas) milik komunitas Syiah di Indonesia, Ikatan Ahlulbait Indonesia (IJABI).

IJABI didirikan di Bandung pada tanggal 1 Juli 2000. Sebagai ormas, IJABI terdaftar resmi lewat Surat Keterangan No. 127 Tahun 2000/D1 Departemen Dalam Negeri Repbulik Indonesia, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat.  Untuk menjabat Ketua Dewan Syura IJABI, dipilih Jalaluddin Rakhmat. Setelah itu, Dr. Dimitri Mahayana dipilih sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah.

Sebagai sebuah ormas Syiah, IJABI ternyata berkembang pesat di tengah masyarakat Indonesia. Sampai 2008 yang lalu, IJABI mengaku telah memiliki anggota sekitar 2,5 juta orang di 84 cabang dan 145 sub-cabang IJABI yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia.

Meski terkadang muncul penolakan dari sebagian masyarakat terhadap keberadaan mereka, IJABI mampu menangani semua itu dengan baik. Sebaliknya, bersama Dewan Masjid Indonesia (DMI), IJABI memrakarsai pendirian Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) pada tanggal 20 Mei dan tanggal 17 Juli 2011 di Bandung. MUHSIN dimaksudkan sebagai forum dialog antara mereka dan orang-orang Islam, juga sebagai wadah bersama untuk menggalakkan kegiatan-kegiatan sosial bersama antara komunitas Sunni dan Syiah.

Ke dalam MUHSIN itu, juga bergabung organisasi-organisasi non-Syiah, seperti PMII Cabang Kabupaten Bandung, Forum Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, Forum Studi UIN Bandung, Forum Kajian Damar Institut, Muslimat NU Jawa Barat, dan Forum Gus Dur Bandung. Bahkan, yang ditunjuk sebagai Pimpinan Pengurus MUHSIN Pusat yang pertama adalah Ketua Departemen Pemuda dan Remaja DMI Pusat, H. Daud Poliradja.

Perpecahan Komunitas Syiah di Indonesia
Meski telah memiliki ormas seperti itu, komunitas Syiah di Indonesia bukan tidak sepi dari perselisihan dan juga perpecahan. Hal ini, di antaranya, terkait isu kepemimpinan Syiah di Indonesia dan ini telah mencuat jauh-jauh hari sebelum adanya IJABI, tepatnya pada pertengahan 1990-an.

Jalaluddin Rakhmat waktu itu mengakui akan adanya hal tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari gap antara generasi Syiah gelombang kedua dan generasi Syiah gelombang ketiga. Dalam sebuah wawancara dengan jurnal Ulumul Qur’an, ia pernah mengatakan,

“Belakangan Sy’iah gelombang ketiga ini menganggap Syi’ah gelombang kedua itu sebagai bukan orang Syi’ah yang sebenarnya. Jadi kalau saya dimasukkan ke dalam gelombang kedua, maka mereka menganggap saya bukan Syi’ah. Dan di dalam wacana Syiah sendiri, internal Syi’ah sekarang ini terjadi serangan yang cukup kuat terhadap Syi’ah gelombang kedua itu. Boleh jadi karena mereka ingin menghadirkan dirinya sebagai pemimpin Syi’ah baru di Indonesia. Boleh jadi juga karena mereka meyakini asumsi-asumsi mereka bahwa orang seperti saya ini bukan Syi’ah, dengan definisi yang berbeda itu.”

Setelah IJABI berdiri, sikap seperti itu terus berkembang di Indonesia, terutama di kalangan pemeluk Syiah yang mengaku keturunan ahlul bait Rasulullah. Sebagian mereka dan para pendukung mereka merasa bahwa kepemimpinan Syiah di Indonesia harus dipegang oleh ahlul bait. Karena itu, mereka dengan tegas menolak kepemimpinan Jalaluddin Rakhmat yang jelas-jelas bukan ahlul bait. Di antara mereka pun ada yang tidak mengakui kesyiahan—dan bahkan mengafirkan—Jalaluddin Rakhmat dan orang-orang IJABI.

Wallahu ta’ala a’lam.[]





[1] Dalam fikih Syiah Imamiyah/Itsna ‘Asyariyah, zakat mal dibedakan dari apa yang mereka istilahkan dengan khumus. Khumus adalah pungutan di luar zakat mal dalam bentuk (a) harta rampasan perang, (b) barang tambang—seperti emas, perak, besi, kuningan, batu-batuan berharga, belerang, minyak bumi berikut segala jenisnya—ketika telah mencapai nishabnya yang senilai 20 dinar atau 200 dirham, (c) harta karun yang ditemukan di dalam tanah serta tidak diketahui siapa pemiliknya dan telah mencapai jumlah senilai 20 dinar atau 200 dirham, (d) segala sesuatu yang didapatkan dari dalam laut dengan menyelam berupa barang-barang berharga seperti mutiara dan memiliki nilai 1 dinar atau lebih, (e) tanah yang dibeli oleh seorang kafir dzimmi dari seorang muslim, (f) harta campuran antara yang halal dan yang haram tetapi tidak diketahui pasti jumlah yang haramnya dan siapa pemiliknya, (g) kelebihan penghasilan—apa saja—dalam satu tahun dari kebutuhan hidup di tahun itu di luar harta yang berupa hadiah, mas kawin, sedekah, jatah khumus, dan warisan. Bagi orang-orang Syiah, khumus dikhusukan untuk Allah, Rasulullah, dzawil qurba, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Namun, pada masa menghilangnya imam kedua belas Syiah Imamiyah, bagian yang khusus untuk Allah, Rasulullah dan dzawil qurba diserahkan kepada ulama-ulama Syiah yang menjadi rujukan (marja’) orang-orang Syiah umumnya. Selain itu, bagian tersebut juga dapat diserahkan kepada wakil-wakil ulama-ulama yang dimaksud atau orang-orang yang telah mereka rekomendasikan. Dalam keyakinan Syiah Imamiyah, khumus itu tidak digunakan kecuali untuk hal-hal yang diridhoi, disetujui, oleh imam kedua belas mereka. Sementara itu, bagian khumus yang untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil sebelum diserahkan kepada orang-orang yang berhak harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari ulama-ulama Syiah yang jadi rujukan. Di Indonesia sekarang ini, sudah banyak berdiri lembaga-lembaga penyalur khumus dari para pemeluk Syiah. Di antara lembaga-lembaga penyalur khumus itu adalah Yayasan Dana Mustadhafin yang berdiri lewat Akte Notaris No. 24 Tahun 2008 (disahkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI lewat Surat Keputusan AHU-1990 AH.01.02 Tahun 2008) dan telah terdaftar di Dinas Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial Provinsi Jakarta dengan nomor 08.03.74.04.1005-1310 B.

[2] Dakwah kampus yang sebenarnya digagas DDII sejak 1970-an itu sudah marak di sejumlah kampus perguruan tinggi negeri, seperti Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Universitas Diponegoro di Semarang, Universitas Sebelas Maret di Surakarta, Universitas Airlangga di Surabaya, Universitas Brawijaya di Malang, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Andalas di Padang. Lewat dakwah kampus tersebut, tidak sekedar lahir mahasiswa-mahasiswa yang tertarik kepada Syiah, tetapi juga mahasiswa-mahasiswa yang tertarik kepada pemikiran Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Mawdudi, Sayyid Quthub, dan Ikhwanul Muslimin.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar