Kapan Syiah masuk ke Indonesia
pertama kali, hanya Allah ta’ala yang tahu. Sampai hari ini, pembicaraan
tentang mula kali orang Syiah ada di Indonesia melulu berkubang pada
dugaan-dugaan belaka. Ada yang menduga Syiah datang pada abad ke-12 Masehi, ada
yang percaya bahwa orang-orang Syiah sudah datang ke Kepulauan Nusantara jauh
sebelum abad ke-12 itu. Ada yang meyakini ajaran Syiah dibawa oleh orang-orang
Persia, namun ada juga yang meyakini Syiah diperkenalkan oleh orang-orang Arab langsung.
Para pemeluk Syiah di Indonesia sekarang
banyak yang percaya, para pembawa Islam ke Indonesia ini adalah orang-orang
Syiah. Bukan para sufi. Bukan pula para pedagang yang bermazhab Syafi’i. Namun,
karena melakukan taqiyyah, orang-orang Syiah pertama yang dimaksud berpura-pura
menjalankan praktek-praktek Islam berdasarkan mazhab Syafi’i sampai akhirnya
mazhab Syafi’ilah yang dikenal dan dicatat sejarah sebagai mazhab tertua yang
berkembang di Indonesia.
Lebih jauh lagi, sebagian pemeluk
Syiah di negeri kita ini membuat klaim, penguasa muslim pertama di Nusantara
yang bernama Sultan Malik Ash-Shalih adalah penguasa Samudera Pasai pertama
yang memeluk Syiah. Seperti yang dicatat sejarah, Kesultanan Samudera Pasai
dikenal sebagai kesultanan tertua di Nusantara yang bermazhab Syafi’i.
Keyakinan itu, ternyata, didasarkan pada catatan perjananan Ibnu Batutah,
seorang pelancong dari Maroko, yang pernah singgah di Aceh pada tahun 1345-1346
M. Ia menulis,
“Sultan Jawa bernama Sultan
Malik Azh-Zhahir. Ia adalah sosok yang disegani dan dihormati.
Lebih dari itu, ia termasuk penganut Mazhab Syafi’i. Ia juga sangat mencintai
para fuqaha’ yang datang ke majelisnya untuk bertukar pendapat. Masyarakat
mengenalnya sebagai sosok yang senang berjihad dan berperang, namun juga rendah
hati. Ia datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at dengan berjalan kaki.
Para penduduk Jawa mayoritas bermazhab Syafi’iyyah. Mereka senang berjihad
bersama sultan, hingga mereka memenangkan peperangan melawan orang-orang kafir.
Bahkan, orang-orang kafir membayar jizyah kepada sultan sebagai bentuk
perdamaian.”
Apakah Ibnu Batutah dapat dipercaya?
Sepertinya, kita semua sudah tahu jawabannya.
Amat disayangkan, klaim orang-orang
Syiah itu diperkuat oleh pendapat dari kalangan para pemerhati sejarah Islam di
Indonesia. S.Q. Fatimi, A. Hasjmy, Wan Husein Azmi, Abu Bakar Aceh, dan Agus
Sunyoto adalah orang-orang yang pernah menulis bahwa Syiah telah ada pada
masa-masa pertama perkembangan Islam di Kepulauan Nusantara.
Keluar dari berbagai dugaan dan
klaim, gelombang penyebaran Syiah di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga.
Masing-masing menempati waktu, memiliki ciri khas penyebaran, dan mengonversi
orang-orang dengan tipikal tertentu.
Gelombang Pertama
Gelombang pertama terjadi sebelum
Revolusi Iran tahun 1979. Pada gelombang pertama ini, orang-orang Syiah—dai
atau bukan dai—terbilang sulit untuk diketahui. Terlebih lagi, mereka
menjalankan taqiyyah yang itu menjadi bagian penting agama mereka.
Karenanya, para pemeluk Syiah pada masa itu bersifat sangat tertutup dan
betul-betul menyembunyikan keyakinan Syiah mereka dari orang-orang sekitar.
Alih-alih berdakwah secara
terang-terangan, orang-orang Syiah tersebut lebih memilih mendakwahkan Syiah
kepada orang-orang terdekat mereka, seperti kepada anggota keluarga sendiri.
Lagi pula, yang terpenting bagi waktu itu adalah bagaimana mereka tetap eksis
sebagai seorang Syiah, meski dalam hati atau meski di tengah keluarga.
Jelas saja, karena laku taqiyyah
khas Syiah itu, mengira-ngira sedikit atau banyak orang yang memeluk
Syiah pada gelombang pertama ini menjadi sebuah kemustahilan. Kendati demikian,
salah seorang ulama Syiah asal Lebanon, Muhammad Jawad Mughniyyah, pernah
menyebutkan dalam bukunya yang terbit pada 1973, Al-Shi’a fi Al-Mizan,
bahwa para pemeluk Syiah di Indonesia pada waktu itu berjumlah satu juta orang.
Yang juga patut dicatat, sebelum
Revolusi Iran meletus pada 1979, sejumlah pemuda Indonesia sudah ada yang
berangkat dan belajar di Qum, Iran. Selain Najaf dan Karbala di Irak serta
Masyhad di Iran, Qum menjadi salah satu dari empat kota suci milik Syiah yang
banyak dikunjungi untuk keperluan ziarah dan belajar.
Di Qum, para pemuda yang dimaksud
memperdalam ajaran Syiah di hawzah-hawzah ilmiyah, semacam lembaga
pendidikan tradisional di kalangan Syiah yang dalam bahasa Indonesia dapat
dimaknakan sebagai pondok pesantren atau juga madrasah. Mereka
belajar di situ atas tanggungan ulama-ulama Syiah setempat yang mendapat biaya
untuk itu lewat uang zakat dan khumus.[1]
Di Indonesia sendiri, pada tanggal
21 Juni 1976, berdiri Yayasan Pesantren Islam Bangil atau sering disebut YAPI
Bangil. Lembaga ini didirikan oleh Husein Al-Habsyi (1921–1994) yang pernah
belajar kepada Abdul Qadir Balfaqih, Muhammad Rabah Hassuna, Alwi bin Thahir
Al-Haddad, dan Muhammad Muntasir Al-Kattani di Malaysia.
Pesantren YAPI Bangil pun kemudian
dikenal sebagai lembaga pendidikan Syiah tertua di Indonesia. Sudah sejak
Husein Al-Habsyi masih hidup, para santri di pesantren itu diajarkan secara
khusus akidah Syiah. Untuk mengimbangi pelajaran fikih berdasarkan Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mereka diberikan juga pelajaran tentang
fikih Syiah. Bisa dikatakan, santri-santri Pesantren YAPI Bangil yang kemudian
banyak berdakwah di berbagai tempat di Indonesia.
Gelombang Kedua
Gelombang kedua penyebaran Syiah di
Indonesia dimulai setelah Revolusi Iran meletus. Pada gelombang kali ini,
banyak orang yang menjadi Syiah karena didorong intelektualitas mereka. Konversi
menjadi Syiah pun banyak terjadi di tengah kalangan mahasiswa dan dosen.
Salah seorang staf Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) waktu itu, Nabhan Husain, pernah mengatakan bahwa
dakwah kampus yang sedang marak-maraknya pada 1970-an dan 1980-an mendorong
banyak mahasiswa tertarik mempelajari pemikiran-pemikiran Syiah.[2]
Mereka tertarik karena keberhasilan Revolusi Iran, kepemimpinan revolusioner
Khomeini, dan ideologi yang mendorong terjadinya revolusi itu. Selain itu, dan
inilah yang jadi poin penting, dibanding dengan ajaran Islam yang tidak dapat
dilepas dari wahyu, Syiah menawarkan cara berpikir yang rasional dan kritis.
Bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut,
Syiah adalah sebuah alternatif terhadap isme-isme yang berkembang dewasa itu.
Seperti diketahui bersama, dunia di 1970-an dan 1980-an menyaksikan persaingan
sengit antara liberalisme dan komunisme, antara Blok Barat yang dipimpin
Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet.
Segera setelah Revolusi Iran
diketahui keberhasilannya, tulisan-tulisan tentang Iran, pemikiran-pemikiran
intelektual Iran, dan ulama-ulama Syiah Iran membanjiri toko-toko buku di
Indonesia. Demikian pula dengan ulasan-ulasan tentang Revolusi Iran, Khomeini,
dan filsafat Syiah yang ditulis oleh orang-orang Indonesia.
Di Bandung, Haidar Bagir, Ali
Abdullah, dan Zainal Abidin yang baru lulus dari ITB mendirikan Penerbit Mizan
pada tanggal 7 Maret 1983. Pada kali pertama, penerbit ini menerbitkan 2000
sampai 3000 eksemplar buku Dialog Sunni-Syi’ah: Surat-Menyurat antara
As-Syaikh Al-Misyri Al-Maliki, Rektor Al-Azhar di Kairo Mesir dan As-Sayyid
Syarafuddin Al-Musawi Al-‘Amili Seorang Ulama Besar Syiah yang mengundang
banyak perhatian waktu itu.
Buku tersebut sejatinya adalah
terjemahan Al-Muraja’at yang disusun oleh Syarafuddin Al-Musawi
Al-‘Amili. Penerjemahnya adalah Ustadz Muhammad Al-Bagir Al-Habsyi, ayah Haidar
Bagir yang dikenal sebagai tokoh pembela Syiah. Muhammad Bagir kemudian banyak
menerjemahkan buku-buku untuk Mizan.
Mizan akhirnya banyak berperan
menerbitkan buku-buku tentang pemikiran tokoh-tokoh Syiah pada 1980-an dan
1990-an. Karenanya, masyarakat di Indonesia pun sempat menyebut Mizan sebagai
penerbit Syiah terkemuka di Indonesia, sebelum kemudian menganggapnya sama seperti
penerbit-penerbit buku umum lainnya sekarang ini.
Pada saat bersamaan, di Bandung,
Jalaluddin Rakhmat “tiba-tiba” tertarik kepada Syiah, setelah berdialog dan
berdiskusi dengan ulama-ulama Syiah dan Husein Al Habsyi. Dari yang semula
aktif berbicara tentang pemikiran Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub dan Sa’id Hawwa,
Jalaluddin Rakhmat kini mulai membicarakan akidah dan akhlak Syiah. Sudah bisa
ditebak, ia pun diidentifikasi sebagai dai Syiah di Bandung dan kemudian
dilarang berdakwah oleh MUI Kota Bandung pada 1985, menyusul keluarnya
rekomendasi dari MUI Pusat untuk mewaspadai Syiah di tengah masyarakat.
Tidak “jera” dengan larangan itu,
Jalaluddin Rakhmat bersama Haidar Bagir, Agus Effendy, Ahmad Tafsir, dan Ahmad
Muhajir mendirikan Yayasan Muthahhari pada tanggal 3 Oktober 1988. Di bawah
naungan yayasan itu, pada 1992, berdiri SMA Muthahhari yang oleh masyarakat
waktu itu disebut sebagai sekolah modern milik Syiah yang pertama di kota
kembang.
Tidak lama dari berdirinya Yayasan
Muthahhari, pada 1989, berdiri Pesantren Al-Hadi di Pekalongan Jawa Tengah.
Pesantren ini didirikan oleh Ahmad Baragbah dan Hasan Musawa. Mereka terdorong
oleh rasa prihatin mereka atas pandangan keliru yang berkembang di masyarakat
terhadap Syiah. Agar dapat meneruskan pendidikan ke jenjang lebih lanjut di
Qum, Iran, sistem pendidikan Pesantren Al-Hadi disesuaikan dengan sistem
pendidikan yang ada di hawzah-hawzah ilmiyah.
Gelombang Ketiga
Awal gelombang ketiga penyebaran
Syiah tidak dapat dipastikan waktu tepatnya. Meski demikian, gelombang ketiga
itu muncul ketika kebutuhan akan fikih Syiah makin mendesak. Hal ini dapat
diwajari, sebab merebaknya pemikiran-pemikiran Syiah di kalangan mahasiswa dan
di kota-kota besar di Indonesia tidak diimbangi oleh menyebarnya
tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentang fikih Syiah. Ketika muncul
serangan-serangan mendiskreditkan Syiah karena memiliki praktek-praktek ibadah
yang berbeda dengan Islam, mereka tidak siap menerimanya.
Pada saat bersamaan, alumni-alumni
Qum dari Indonesia mulai kembali ke tanah air dan mendakwahkan Syiah. Berbeda
dengan mahasiswa-mahasiswa yang tertarik dengan Syiah, alumni-alumni Qum ini
adalah tipikal orang-orang yang mempelajari sesuatu (dalam hal ini adalah
ajaran Syiah) sampai ke dasar-dasarnya. Mereka lebih paham akan fikih-fikih
Syiah dan yang paling penting: mereka lebih radikal dan frontal dalam
menghadapi serangan-serangan kepada mereka.
Gelombang ketiga terasa dengan
banyak dibukanya pengajian-pengajian Syiah di berbagai tempat. Selain
pengajian-pengajian, mereka juga mulai menerbitkan buku-buku Syiah yang “berbau”
fikih. Bukan hanya buku-buku yang berisi pemikiran dan filsafat tokoh-tokoh
Syiah. Orang-orang yang tertarik dengan Syiah pun tidak lagi datang dari
kalangan terbatas seperti mahasiwa dan lingkungan perguruan tinggi. Kali ini
mereka jauh lebih beragam yang, dalam kata-kata Jalaluddin Rakhmat, “tidak
begitu terpelajar.”
Kemunculan alumni-alumni Qum juga
diimbangi oleh berdirinya yayasan-yayasan Syiah di berbagai kota di Indonesia. Pada
1995, diketahui ada 40 yayasan Syiah yang telah berdiri di Indonesia dan 25 di
antaranya berada di Jakarta. Kemudian juga, sebuah jurnal di Jakarta pernah
mendata orang-orang yang memeluk Syiah di Indonesia pada 1995 itu. Hasilnya, yang
tentu saja masih bisa diperdebatkan, ada 20.000 orang yang menjalani ajaran
Syiah secara total.
Turunnya Soeharto dari jabatan
presiden Republik Indonesia pada Mei 1998 membawa dampak yang tidak sedikit di
tengah masyarakat. Jika pada masa pemerintahan Soeharto komunitas Syiah masih
diawasi dan dikontrol dengan baik, maka sepeninggalnya komunitas Syiah
berkembang pesat dan menanam pengaruh yang tidak bisa diabaikan. Bahkan, pada
masa pemerintahan Presiden Gus Dur berdiri untuk pertama kalinya secara resmi organisasi
massa (ormas) milik komunitas Syiah di Indonesia, Ikatan Ahlulbait Indonesia
(IJABI).
IJABI didirikan di Bandung pada
tanggal 1 Juli 2000. Sebagai ormas, IJABI terdaftar resmi lewat Surat
Keterangan No. 127 Tahun 2000/D1 Departemen Dalam Negeri Repbulik Indonesia,
Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Untuk menjabat Ketua Dewan Syura IJABI,
dipilih Jalaluddin Rakhmat. Setelah itu, Dr. Dimitri Mahayana dipilih sebagai
Ketua Dewan Tanfidziyah.
Sebagai sebuah ormas Syiah, IJABI ternyata
berkembang pesat di tengah masyarakat Indonesia. Sampai 2008 yang lalu, IJABI
mengaku telah memiliki anggota sekitar 2,5 juta orang di 84 cabang dan 145
sub-cabang IJABI yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia.
Meski terkadang muncul penolakan
dari sebagian masyarakat terhadap keberadaan mereka, IJABI mampu menangani semua
itu dengan baik. Sebaliknya, bersama Dewan Masjid Indonesia (DMI), IJABI
memrakarsai pendirian Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) pada tanggal 20
Mei dan tanggal 17 Juli 2011 di Bandung. MUHSIN dimaksudkan sebagai forum
dialog antara mereka dan orang-orang Islam, juga sebagai wadah bersama untuk
menggalakkan kegiatan-kegiatan sosial bersama antara komunitas Sunni dan
Syiah.
Ke dalam MUHSIN itu, juga bergabung
organisasi-organisasi non-Syiah, seperti PMII Cabang Kabupaten Bandung, Forum
Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, Forum Studi UIN Bandung,
Forum Kajian Damar Institut, Muslimat NU Jawa Barat, dan Forum Gus Dur Bandung.
Bahkan, yang ditunjuk sebagai Pimpinan Pengurus MUHSIN Pusat yang pertama
adalah Ketua Departemen Pemuda dan Remaja DMI Pusat, H. Daud Poliradja.
Perpecahan Komunitas Syiah di
Indonesia
Meski telah memiliki ormas seperti
itu, komunitas Syiah di Indonesia bukan tidak sepi dari perselisihan dan juga
perpecahan. Hal ini, di antaranya, terkait isu kepemimpinan Syiah di Indonesia
dan ini telah mencuat jauh-jauh hari sebelum adanya IJABI, tepatnya pada
pertengahan 1990-an.
Jalaluddin Rakhmat waktu itu
mengakui akan adanya hal tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari gap
antara generasi Syiah gelombang kedua dan generasi Syiah gelombang ketiga.
Dalam sebuah wawancara dengan jurnal Ulumul Qur’an, ia pernah
mengatakan,
“Belakangan Sy’iah gelombang ketiga
ini menganggap Syi’ah gelombang kedua itu sebagai bukan orang Syi’ah yang
sebenarnya. Jadi kalau saya dimasukkan ke dalam gelombang kedua, maka mereka
menganggap saya bukan Syi’ah. Dan di dalam wacana Syiah sendiri, internal
Syi’ah sekarang ini terjadi serangan yang cukup kuat terhadap Syi’ah
gelombang kedua itu. Boleh jadi karena mereka ingin menghadirkan dirinya sebagai
pemimpin Syi’ah baru di Indonesia. Boleh jadi juga karena mereka meyakini
asumsi-asumsi mereka bahwa orang seperti saya ini bukan Syi’ah, dengan definisi
yang berbeda itu.”
Setelah IJABI berdiri, sikap seperti
itu terus berkembang di Indonesia, terutama di kalangan pemeluk Syiah yang
mengaku keturunan ahlul bait Rasulullah. Sebagian mereka dan para
pendukung mereka merasa bahwa kepemimpinan Syiah di Indonesia harus dipegang
oleh ahlul bait. Karena itu, mereka dengan tegas menolak kepemimpinan
Jalaluddin Rakhmat yang jelas-jelas bukan ahlul bait. Di antara
mereka pun ada yang tidak mengakui kesyiahan—dan bahkan mengafirkan—Jalaluddin Rakhmat
dan orang-orang IJABI.
Wallahu ta’ala a’lam.[]
[1] Dalam
fikih Syiah Imamiyah/Itsna ‘Asyariyah, zakat mal dibedakan dari apa yang mereka
istilahkan dengan khumus. Khumus adalah pungutan di luar zakat mal
dalam bentuk (a) harta rampasan perang, (b) barang tambang—seperti emas, perak,
besi, kuningan, batu-batuan berharga, belerang, minyak bumi berikut segala
jenisnya—ketika telah mencapai nishabnya yang senilai 20 dinar atau 200
dirham, (c) harta karun yang ditemukan di dalam tanah serta tidak diketahui
siapa pemiliknya dan telah mencapai jumlah senilai 20 dinar atau 200 dirham,
(d) segala sesuatu yang didapatkan dari dalam laut dengan menyelam berupa
barang-barang berharga seperti mutiara dan memiliki nilai 1 dinar atau lebih,
(e) tanah yang dibeli oleh seorang kafir dzimmi dari seorang muslim, (f)
harta campuran antara yang halal dan yang haram tetapi tidak diketahui pasti
jumlah yang haramnya dan siapa pemiliknya, (g) kelebihan penghasilan—apa
saja—dalam satu tahun dari kebutuhan hidup di tahun itu di luar harta yang
berupa hadiah, mas kawin, sedekah, jatah khumus, dan warisan. Bagi
orang-orang Syiah, khumus dikhusukan untuk Allah, Rasulullah, dzawil
qurba, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil. Namun,
pada masa menghilangnya imam kedua belas Syiah Imamiyah, bagian yang khusus
untuk Allah, Rasulullah dan dzawil qurba diserahkan kepada ulama-ulama
Syiah yang menjadi rujukan (marja’) orang-orang Syiah umumnya. Selain
itu, bagian tersebut juga dapat diserahkan kepada wakil-wakil ulama-ulama yang
dimaksud atau orang-orang yang telah mereka rekomendasikan. Dalam keyakinan
Syiah Imamiyah, khumus itu tidak digunakan kecuali untuk hal-hal yang
diridhoi, disetujui, oleh imam kedua belas mereka. Sementara itu, bagian khumus
yang untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil sebelum
diserahkan kepada orang-orang yang berhak harus terlebih dahulu mendapatkan
izin dari ulama-ulama Syiah yang jadi rujukan. Di Indonesia sekarang ini, sudah
banyak berdiri lembaga-lembaga penyalur khumus dari para pemeluk Syiah.
Di antara lembaga-lembaga penyalur khumus itu adalah Yayasan Dana
Mustadhafin yang berdiri lewat Akte Notaris No. 24 Tahun 2008 (disahkan oleh
Menteri Kehakiman dan HAM RI lewat Surat Keputusan AHU-1990 AH.01.02 Tahun
2008) dan telah terdaftar di Dinas Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial
Departemen Sosial Provinsi Jakarta dengan nomor 08.03.74.04.1005-1310 B.
[2] Dakwah kampus yang sebenarnya digagas DDII sejak 1970-an itu sudah marak
di sejumlah kampus perguruan tinggi negeri, seperti Universitas Indonesia di
Jakarta, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Universitas Diponegoro di
Semarang, Universitas Sebelas Maret di Surakarta, Universitas Airlangga di
Surabaya, Universitas Brawijaya di Malang, Institut Teknologi Bandung, Institut
Pertanian Bogor, dan Universitas Andalas di Padang. Lewat dakwah kampus
tersebut, tidak sekedar lahir mahasiswa-mahasiswa yang tertarik kepada Syiah,
tetapi juga mahasiswa-mahasiswa yang tertarik kepada pemikiran Hasan Al-Banna,
Abul A’la Al-Mawdudi, Sayyid Quthub, dan Ikhwanul Muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar