Laman

Selasa, 30 Juli 2013

CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE (1857—1936)


Belanda kembali berkuasa, dengan pusat pemerintahan di Batavia. Seperti Kompeni, periode kali ini dimulai dengan kebutaan mereka terhadap Islam di Hindia Belanda. Semula, Belanda tidak berani mencampuri urusan yang terkait Islam secara langsung. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat mereka masih kekurangan pengetahuan terhadap Islam itu sendiri.[1] Aqib Suminto yang secara khusus meneliti tentang sikap Belanda terhadap Islam di Hindia Belanda pun pernah mengatakan dalam Politik Islam Hindia Belanda,

“Sikap Belanda dalam masalah ini ‘dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan.’ Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Sementara di pihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan. Dalam hal ini Islam sangat ditakuti, karena dianggap mirip dengan Katolik. Hubungan antara umat Islam di kepulauan ini—terutama para ulamanya—dengan Khalifah Turki, semula dianggap sama dengan hubungan antara umat Katolik dengan Paus di Roma. Tetapi waktu itu Pemerintah Hindia Belanda belum berani mencampuri masalah Islam, dan belum mempunyai kebijaksanaan yang jelas mengenai masalah ini. Di samping karena belum memiliki pengetahuan Islam dan bahasa Arab, pada waktu itu pemerintah Belanda juga belum mengetahui sistem sosial Islam.”

Yang juga mesti diketahui, undang-undang yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda waktu itu memberikan ruang yang cukup bebas bagi siapa saja di Hindia Belanda untuk menjalankan keyakinannya. Dalam Regeerings Reglement atau peraturan pemerintah ayat 119, misalnya, dikatakan bahwa “Setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum agama.”

Sayangnya, aturan seperti itu tidak selalu dijalankan. Buktinya, terkait masalah haji, pemerintah kolonial tetap tidak bisa tidak mencampuri urusannya, karena para haji sampai masuk abad ke-20 dicurigai sebagai pembawa sikap fanatik terhadap agama dan pendorong terjadinya pemberontakan di tengah umat Islam.

Dari situlah kemudian, sebagai misal yang lain, pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan baru pada 1859 yang memberi wewenang kepada gubernur jenderal untuk mencampuri masalah agama di Hindia Belanda, jika dipandang perlu demi kepentingan ketertiban dan keamanan masyarakat. Dalam peraturan yang baru itu juga, seorang gubernur jenderal melalui bawahannya diharuskan untuk mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh pemuka-pemuka agama Islam di tengah masyarakat.

Setelah datang Christiaan Snouck Hurgronje (1857—1936) atau Abdul Ghaffar ke Hindia Belanda, pemerintah Hindia Belanda dapat memahami—dan juga sekaligus menguasai—umat Islam di Hindia Belanda dengan lebih baik. Bahkan, Harry J. Benda, salah seorang pengkaji sejarah Islam di Indonesia pada zaman kolonial, berani menyebut Hurgronje sebagai “arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris”, terutama di Hindia Belanda.

Hurgronje lahir di Tholen, Ousterhout, Belanda, pada tanggal 8 Februari 1857. Ayahnya adalah seorang pendeta berdarah Yahudi yang bernama J.J. Snouck Hurgronje. Ibunya bernama Anna Maria Visser, putri Pendeta Christian de Visser. Sejatinya, hubungan ayah dan ibu Hurgronje adalah hubungan gelap. Karena hubungan itulah, ayah Hurgronje dipecat dari Gereja Reformasi Belanda[2] yang ada di Tholen pada tanggal 3 Mei 1849. Mereka baru menikah secara resmi di Terheijden pada tanggal 31 Januari 1855.[3] Waktu itu, mereka sudah memiliki dua orang anak.[4] Hurgronje sendiri adalah anak kedua mereka yang lahir setelah pernikahan itu.

Sejak kecil, Hurgronje telah diarahkan orangtuanya untuk menaruh perhatian terhadap teologi. Tidak heran, setamat dari sekolah menengahnya di Breda, Belanda, Hurgronje mengambil kuliah di Fakultas Teologi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1875. Ia kemudian pindah kuliah ke Fakultas Sastra jurusan Arab, masih di universitas yang sama.

Pada tanggal 24 November 1880, ia akhirnya lulus dari pendidikannya dengan yudisium cum laude. Ia pun berhak dengan titel doktor untuk bidang Sastra Semit. Disertasinya berjudul “Het Mekkaanshe Feest” yang berisi pembahasan tentang ibadah haji di Mekkah. Dalam disertasi itu, ia menyimpulkan bahwa ibadah haji yang memiliki kedudukan penting bagi umat Islam adalah sebuah ritual peninggalan paganisme bangsa Arab.

Setelah itu, Hurgronje memulai karirnya sebagai dosen pada Pendidikan Khusus Calon Pegawai di Hindia Belanda di Universitas Leiden. Ia diserahi tugas untuk menyiapkan calon-calon pegawai kolonial Belanda yang akan dikirim ke Hindia Belanda. Pada masa-masa inilah, ia mengenal sejumlah orientalis terkenal, seperti Carl Bezold (1859—1922). Sebelum itu, Hurgronje juga sempat mengikuti kuliah-kuliah Theodore Noldeke (1836—1930), seorang orientalis terkemuka berkebangsaan Jerman.

Agustus 1884, Hurgronje berangkat menuju Jazirah Arab. Tentang alasan yang mendorongnya melakukan itu, ada yang berpendapat bahwa perjalanannya ke Arab ini terinspirasi oleh pertemuannya yang mengesankan dengan Carlo Landberg (1848—1924) dan Amin Al-Madani pada Konfrensi Orientalis Internasional tahun 1883. Landberg adalah seorang orientalis dari Swedia, sedangkan Al-Madani seorang penulis dan pedagang kitab-kitab Arab.

Di samping itu, Hurgronje berangkat ke Jazirah Arab, sebenarnya, untuk menghindari kebekuan intelektual yang sedang terjadi di tengah lingkungan akademisnya. Tidak seperti abad ke-17, di Leiden perhatian terhadap kajian hukum Islam waktu itu sedang mengalami kemunduran dan Hurgronje tidak menginginkan hal itu. Ada juga berpendapat bahwa sebab yang mendorongnya adalah keinginannya Hurgronje pribadi untuk memperdalam pengetahuan praktisnya terhadap bahasa Arab.

Terlepas dari semua pendapat itu, selama lima bulan pertama di Jazirah Arab, Hurgronje tinggal di Jeddah bersama Konsul Belanda, J. Kruyt. Darinya, Hurgronje mendapat bantuan uang dan kemudahan-kemudahan lainnya.

Dari Jeddah, ia kemudian bertolak ke Mekkah dan tiba di sana pada tanggal 22 Februari 1885. Untuk memudahkan urusannya, ia menyatakan diri masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar. Dengan statusnya yang baru ini, ia dapat bertemu dengan sejumlah syaikh tarekat, pengajar-pengajar di Masjidil Haram, dan berbagai macam orang, terutama yang berasal dari Sumatera dan Jawa.

Di Mekkah, Hurgronje tinggal selama tujuh bulan, mengumpulkan data baru terkait Islam dan para pemeluknya serta mengamati dari dekat kehidupan di pusat Islam. Apa yang ia dapatkan itu kelak ia susun menjadi sebuah karya baru yang berjudul Mekka.[5]

Ia baru pergi dari Mekkah pada Agustus 1885. Terkait kepergian Hurgronje dari Mekkah itu, Abdurrahman Badawi yang menuliskan profil Hurgronje dalam Mawsu’ah Al-Mustasyriqin mengatakan,

“Namun akhirnya, pada bulan Agustus, Snouck dipaksa keluar dari Mekkah oleh Konsul Perancis. Dia pulang dengan empat ekor unta yang membawa barang-barang yang dikumpulkan selama mukim di sana. Yang disesalkan adalah perintah untuk meninggalkan Mekkah itu bertepatan dengan awal musim haji. Padahal disertasi yang pernah ditulisnya berkaitan dengan musim haji, meskipun hanya berdasarkan pada sumber-sumber literatur, manuskrip-manuskrip, dan pengalaman-pengalaman orang yang sudah berziarah ke sana. Bukan atas dasar pengalamannya sendiri.”

Keterangan yang mirip bisa kita dapati pada apa yang pernah ditulis Suminto. Dalam bukunya yang terkenal itu, Suminto menulis,

“Andaikata bukan karena ‘hasutan’ dari wakil Konsul Perancis, tentulah ia belum akan mengakhiri kunjungannya di kota suci ini. Kunjungan ini sengaja dilakukannya di luar musim haji, sehingga leluasa menggunakan waktu sehari-hari untuk membicarakan masalah Islam dengan para ulama di sana. Ia juga bermaksud melihat koleksi buku dan naskah yang ada di sana, sekaligus meneliti situasu kondisi ‘warga negara Belanda’ yang ada di kota ini. Ternyata di sinilah terletak ‘jantung kehidupan Islam’ di Hindia Belanda, dan dari sini pula urat nadi selalu memompakan darah segar yang tak terhitung berapa jumlahnya ke seluruh penduduk muslim di Hindia Belanda.”

Hurgronje kembali ke Leiden. Ia meneruskan aktivitas mengajarnya seperti biasa, namun itu sebentar saja. Pada 1887, muncul keinginannya untuk mengadakan penelitian di Hindia Belanda selama dua tahun. Keinginannya ini, ternyata, mendapat dukungan dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga kebudayaan yang didirikan oleh Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1710—1780) di Batavia pada tanggal 24 April 1778.[6] Rencananya, dalam penelitian itu, Hurgronje akan mengumpulkan data tentang lembaga Islam di Hindia Belanda.

Pada tanggal 9 Februari 1888, Hurgronje mengajukan permohonan resminya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Direktur Pendidikan, Agama dan Perindustrian mendukung keinginan Hurgronje itu dan menyetujui pemberian tunjangan kepada Hurgronje sebesar f. 1150 (baca: 1150 florin) yang akan dibayar penuh setibanya di Batavia. Pemerintah Belanda, lewat Menteri Jajahan, akhirnya menyatakan persetujuannya atas permohonan Hurgronje itu dan meminta kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk Hurgronje nanti.

Tepat tanggal 11 Mei 1889, Hurgronje tiba di Batavia. Lima hari berikutnya, keluar keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengangkat Hurgronje sebagai peneliti di Hindia Belanda selama dua tahun yang untuk itu akan mendapat gaji sebesar f.700 per bulannya. Keputusan itu kemudian diperkuat dengan keputusan Raja Belanda nomor 25 tertanggal 22 Juli 1889.

Hurgronje memang berbakat mengambil kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Seperti pemuka-pemuka Islam di Mekkah, dengan cepat Hurgronje merebut kepercayaan orang-orang Islam di Batavia. Lebih dari itu, ia dapat berteman akrab dengan mereka dan dapat meneliti masalah Islam di Jawa—dan kemudian Aceh—dengan lebih baik.

Tentu saja, hal itu menjadi sesuatu yang mengesankan bagi Direktur Pendidikan, Agama dan Perindustrian. Kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, sang direktur menceritakan kekagumannya. Dalam sepucuk suratnya kepada gubernur jenderal, ia mengatakan, “Melalui pergaulan singkat, saya memeroleh kesan bahwa ia memiliki pribadi yang tenang. Tidak tergesa-gesa. Dalam penelitiannya di Arab pun ia berbuat seperti itu.”

Sesuai kesepakatan, Hurgronje berada di Batavia hanya selama dua tahun. Akan tetapi, kinerjanya yang baik dan potensinya yang luar biasa bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda mendorong pemerintah mengangkatnya sebagai Penasehat Urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam pada tanggal 15 Maret 1891.

Dalam kedudukannya yang baru itu, pada tanggal 9 Juli 1889, Hurgronje berangkat ke Aceh. Sejak tanggal 16 Juli 1891, ia menetap di Kutaraja atau Banda Aceh sekarang dan mengamati dari dekat kehidupan penduduk setempat hampir satu tahun lamanya. Pekerjaannya di Aceh itu membuatnya dapat memahami karakter sosial masyarakat Aceh dan kelak menjadi bekal buatnya untuk memberikan nasehat-nasehat penting terkait Islam di Hindia Belanda.

Hurgronje pulang ke Batavia pada tanggal 4 Februari 1892. Hasil pengamatannya di Aceh ia susun menjadi apa yang bakal dikenal sebagai Atjeh Verslag (Laporan Aceh). Sebagian besar laporan itu kemudian ia terbitkan menjadi dua jilid buku berjudul De Atjehers. Dalam bahasa Belanda, jilid pertama buku itu terbit pada 1893, sedangkan jilid kedua pada 1894. Dua belas tahun kemudian, De Atjehers diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Selesai dengan karya itu, tidak membuatnya lepas dari Aceh. Sepanjang 1898—1903, ia sering pergi ke Aceh, membantu Jenderal Joannes Benedictus van Heutz (1851—1924) menaklukkan Aceh. Seperti disinggung pada bagian yang lalu, Perang Aceh telah meletus sejak 1873. Selama itu pula, masyarakat Aceh telah membuat kewalahan pemerintah Hindia Belanda. Aceh akhirnya takluk pada 1903.

Karir Hurgronje sendiri telah menanjak tinggi, ketika pada tanggal 11 Januari 1899 diangkat sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab. Ia memegang jabatan itu sampai 1906. Ia kemudian pulang ke Belanda dan menerima pengangkatan dirinya menjadi guru besar di Universitas Leiden tepat pada tanggal 23 Januari 1907.[7] Dalam jabatannya sebagai guru besar itu, ia diangkat pula sebagai Penasehat Menteri Jajahan sampai akhir hidupnya, 16 Juni 1936.

Semasa menjabat sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab, Hurgronje memiliki kedudukan yang demikian strategis dalam memengaruhi kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap umat Islam di Hindia Belanda, apalagi dengan keberhasilan penaklukan Aceh itu yang tidak sedikit berdasarkan nasehat-nasehatnya kepada Van Heutz dan memang sejumlah pandangan Hurgronje menjadi dasar kebijakan pemerintah Hindia Belanda, bahkan sampai jauh setelah Hurgronje selesai bertugas.

Secara umum, saran-saran yang diberikan Hurgronje kepada pemerintah Hindia Belanda dibangun di atas tiga prinsip utama. Dalam karya Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, ketiga prinsip itu diuraikan secara gamblang.

Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan, atau aspek ‘ibadah dari Islam, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya. Logika di balik kebijakan ini adalah membiarkan munculnya keyakinan dalam pikiran banyak orang bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur dalam masalah keimanan mereka. Ini merupakan wilayah yang peka bagi kaum Muslim karena hal itu menyentuh nilai-nilai keagamaan mereka yang paling dalam. Dengan berbuat demikian, pemerintah akan berhasil merebut hati banyak kaum Muslim, menjinakkan mereka dan—sejalan dengan itu—akan mengurangi, jika tidak menghilangkan sama sekali, pengaruh perlawanan ‘kaum Muslim fanatik’ terhadap pemerintah kolonial. […]. Prinsip kedua adalah bahwa, sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam, atau aspek mu’amalat dalam Islam, seperti perkawinan, warisan, wakaf, dan hubungan-hubungan sosial lain, pemerintah harus berupaya mempertahankan dan menghormati keberadaannya. Meskipun demikian, pemerintah harus berusaha menarik sebanyak mungkin perhatian orang-orang Indonesia terhadap berbagai keuntungan yang dapat diraih dari kebudayaan Barat. Hal itu dilakukan dengan harapan agar mereka bersedia menggantikan lembaga-lembaga sosial Islam di atas dengan lembaga-lembaga sosial Barat. Diharapkan bahwa perlahan-lahan, sembari berasosiasi dengan orang-orang Belanda, orang-orang Indonesia akan menyadari keterbelakangan lembaga-lembaga sosial Islam milik mereka dan menuntut digantikannya lembaga-lembaga itu dengan lembaga-lembaga sosial model Barat. Dan akhirnya, hubungan yang lebih erat antara penguasa Belanda dan rakyat Hindia Belanda akan berkembang dengan sendirinya. Prinsip yang ketiga, dan paling penting, adalah bahwa dalam masalah-masalah politik, pemerintah dinasihatkan untuk tidak menoleransi kegiatan apa pun yang dilakukan oleh kaum Muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme[8] atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah harus melakukan kontrol ketat terhadap penyebaran gagasan apa pun yang dapat membangkitkan semangat kaum Muslim di Indonesia untuk menentang pemerintah kolonial. Pemangkasan gagasan-gagasan seperti ini akan memencilkan pengaruh aspek-aspek Islam yang bersifat politis, yang menjadi ancaman terbesar terhadap pemerintahan kolonial Belanda."

Hurgronje sendiri juga sempat menyatakan bahwa ketakutan pemerintah kolonial selama ini terhadap Islam dan pemeluknya di Hindia Belanda adalah sesuatu yang berlebih-lebihan. Islam tidak mengenal jenjang kependetaan atau kepastoran, tepatnya, seperti yang dikenal dalam Kristen. Kyai-kyai tidak bisa dipukul rata sebagai orang-orang yang fanatik. Kemudian, para penghulu, dalam strata kepegawaian pribumi, adalah para bawahan pemerintah pribumi (seperti bupati) dan bukan atasan-atasan mereka.

Orang-orang yang pergi ke Mekkah, menurut Hurgronje, tidak harus selalu diartikan akan menjadi segerombolan orang yang berjiwa fanatik dan jahat. Pengalamannya di Mekkah membuat Hurgronje berkesimpulan bahwa sebagian besar muslim yang datang berhaji ke Mekkah bukanlah muslim fanatik yang ingin memajukan Islam dengan segala cara. Sebaliknya, kata Hurgronje, “Banyak di antara mereka yang kembali [ke Hindia Belanda, pen.] dalam keadaa sama bodohnya dengan ketika mereka berangkat [ke Mekkah, pen.].”

Ketimbang menguatirkan kyai-kyai lokal yang tekun beribadah, Hurgronje menyarankan agar pemerintah kolonial lebih memerhatikan pemeluk-pemeluk Islam yang pergi ke Mekkah untuk belajar dan berdiam di sana bertahun-tahun lamanya sampai tumbuh dalam diri-diri mereka rasa persatuan dan kesatuan dengan seluruh umat Islam di dunia ini berdasarkan identitas keislaman yang sama-sama mereka hayati. Terlebih lagi, kepada para pemeluk Islam yang mendakwahkan perang suci (baca: jihad fi sabilillah) kepada pemerintah kafir.

Khusus gerakan-gerakan tarekat yang tumbuh subur di Hindia Belanda, setelah mengadakan penelitian di Jawa, Hurgronje mengeluarkan dua rekomendasi. Pertama, penguasa harus menghambat gerakan anti tarekat, baik itu dari kalangan pejabat pemerintah ataupun dari kalangan rakyat biasa. Seperti yang telah umum diketahui, di Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-19, mulai muncul kecenderungan di tengah umat Islam yang tidak menyetujui adanya tarekat-tarekat Sufi. Meski demikian, dan ini rekomendasinya yang kedua, pihak penguasa harus mengadakan pengawasan yang ketat terhadap segala aktivitas tarekat-tarekat yang ada.

Bagaimana pun, tarekat, menurut Hurgronje, memiliki kedudukan yang sangat kuat di Kepulauan Nusantara, sehingga tidak mungkin dihapuskan atau dilarang hanya dengan surat keputusan pemerintah. Dalam salah satu nasehatnya kepada pemerintah kolonial, Hurgronje pernah menasehati pemerintah untuk tidak melarang aktivitas Tarekat Syattariyah di Yogyakarta yang waktu itu sempat disorot oleh pemerintah setempat terkait rencana mengasingkan Kyai Krapyak menyusul sebuah insiden pembunuhan pegawai pemerintahan di Sidoarjo pada Mei 1904. Lagi pula, dalam pandangan Hurgronje, Tarekat Syattariyah pada dasarnya tidak memiliki kecenderungan politik, sehingga kurang berbahaya. Bahkan, Hurgronje sempat mengatakan, “Uit een politiek oogpunt steekt daarin niets bedenkelijks: voor humane en verdraagzame bergrippen laat die mystiek zelfs veel meer plaats dan de orthodoxe Islam” yang dalam bahasa kita berarti “Dari segi politik, tasawuf dan tarekat yang bersifat wihdatul wujud bukan sesuatu yang berbahaya, justru mereka itu lebih terbuka untuk pemikiran yang humanis dan toleran ketimbang Islam yang sempurna.”

Khusus kepada para pembaca karya-karyanya dan orang-orang atau pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk meneliti Islam dan para pemeluknya, Hurgronje mengemukakan pandangannya tentang cara memahami pemeluk-pemeluk Islam dalam pengantarnya di jilid pertama De Atjehers. Menurutnya, mereka yang memang betul-betul ingin menyelami faktor Islam dalam kehidupan suatu bangsa atau masyarakat hendaklah mengetahui juga permainan anak-anak bangsa itu, kesenangan orang-orang dewasa di situ, seluk-beluk pengaturan desa atau daerah mereka, dan karya-karya sastrawi mereka, sebab semua itu memiliki segi-segi yang sama penting dengan (1) kitab-kitab yang digunakan oleh mereka dalam pengajaran agama mereka, (2) tarekat-tarekat Sufi yang berkembang di tengah-tengah mereka dan (3) kedudukan pemuka-pemuka agama mereka.

Jangan mengira sudah cukup dengan mengetahui ajaran agama suatu masyarakat, tegas Hurgronje, sebab dalam kehidupan masyarakat, unsur-unsur agama dan non-agama saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Selain melihat Islam, lihatlah juga para pemeluk Islam itu sebagai individu dan sebagai anggota suatu masyarakat, sebagai makhluk sosial. Lihat, bagaimana ajaran agama mereka dipraktekkan dalam kehidupan nyata.

Karena pandangannya yang seperti itu, Hurgronje akhirnya mengamati adat-adat setempat yang berlaku di masyarakat objek pengamatannya dan membuatnya ditabalkan sebagai salah seorang penemu hukum adat. Bahkan, ialah pula yang dikenal sebagai orang pertama yang menggunakan istilah hukum adat untuk unsur-unsur adat yang mempunyai akibat hukum.[]




[1] Pada masa-masa seperti inilah, meletus perlawanan-perlawanan besar dari umat Islam terhadap pemerintah Hindia Belanda. Beberapa yang patut disebut adalah Perang Padri (1821—1827) dan Perang Diponegoro (1825—1830). Juga bisa disebut di sini Perang Aceh yang meletus sejak 1873. Ketika menangani Perang Aceh inilah, pemerintah Hindia Belanda mulai memahami karakter sosial pemeluk-pemeluk Islam di Hindia Belanda.
[2] Gereja Reformasi Belanda adalah salah satu kelompok denominasi (baca: mazhab) Kristen Protestan. Gereja Reformasi Belanda (Nederlandse Hervormde Kerk [NHK]) adalah salah satu yang banyak memengaruhi gereja Protestan di Jawa khususnya dan di Indonesia umumnya.
[3] Tidak berapa lama dari pernikahan mereka, ayah Hurgronye berusaha memulihkan kedudukannya di Gereja Reformasi Belanda. Pada tanggal 13 Agustus 1856, permohonan itu dikabulkan oleh pihak Gereja Reformasi Belanda. Dalam salah satu arsip, pengabulan diiringi dengan harapan dari gereja. “Dengan berdoa dari hati yang tulus karena sadar akan kesalahannya serta melalui perayaan Jamuan Kudus,” demikian arsip itu ditulis, “semoga hatinya yang telah putus asa dapat asa dapat dihibur sehingga mendorong semangatnya. Selain itu diharapkan agar ia menemukan rangsangan baru hingga tetap setia kepada itikad-itikad baik dan ikrar-ikrar kudus. Dengan dilengkapi perilaku yang baik, semua itu setidak-tidaknya dapat menghapus noda dahulu.”
[4] Dua kakak kandung Hurgronje yang lahir dari hubungan gelap orangtuanya itu bernama Anna Maria dan Jacqueline Julie. Karena lahir tanpa ikatan pernikahan, keduanya memakai nama ibunya, De Visser, pada nama-nama mereka (Anna Maria de Visser dan Jacqueline Julia de Visser). Jika Anna lahir pada tanggal 24 Mei 1849, maka Julie lahir pada tanggal 4 Desember 1850. Sebulan setelah pernikahan orangtua Hurgronje, lahir lagi seorang anak perempuan mereka pada tanggal 19 Februari 1855. Kakak perempuan ketiga Hurgronje ini diberi nama Christina Anna Catherina.
[5] Sebuah versi yang agak berbeda dikemukakan oleh Yusuf Mpd dalam salah satu postingannya di www.kompasiana.com. Di situ, ia menulis, “Selama tujuh bulan, Hurgronje tinggal di Makkah. Meski terbilang singkat, dia mengamati, mencatat, dan mempelajari kehidupan masyarakat lokal. ‘Waktu itu, Makkah memiliki salah satu pasar budak terbesar di dunia, dan Hurgronje kagum dengan perlakukan manusiawi yang diberikan kepada budak karena budak-budak itu diperlakukan sebagai anggota keluarga.’ Hurgronje juga mengamati kehidupan wanita di Makkah. Persoalan status sosial, rasa mode, dan kebebasan yang diberikan kepada kalangan wanita ini dibandingkannya dengan wanita di kota-kota di Timur lainnya. Minatnya yang begitu besar terhadap Makkah membuat curiga pemerintah negara Eropa yang lain. Setelah itu terungkap bahwa Hurgronje adalah seorang mata-mata, penipu, sekaligus sebagai sedikit dari kalangan orientalis kala itu. Tak lama usai menikahi wanita Ethiopia, dia dideportasi dari Arab Saudi atas permintaan pemerintah Prancis yang menuduhnya telah mencuri batu Taima. Akibatnya, Hurgronje harus segera meninggalkan Makkah. Dengan tergesa- gesa , dia mengumpulkan catatan dan foto-foto yang diperolehnya selama tinggal di Makkah. Namun peralatan kamera ditinggalnya dan dititipkan kepada temannya yang seorang mahasiswa fotografi, Al-Sayyid Abd Al-Ghaffar. Hurgronje kemudian balik ke Belanda dan mulai menulis berbagai artikel mengenai Makkah. Dia tetap menjalin kontak dengan temannya, Al-Sayyid untuk bertukar informasi dan mendapatkan foto-foto terbaru mengenai Makkah, termasuk foto-foto mengenai jamaah haji. Sekembalinya di tanah kelahirannya, tak diketahui kabar selanjutnya, apakah dia masih memegang agama Islamnya, atau kembali ke agama asalnya. Namun, banyak karya yang dibuatnya mengenai Islam dan budaya Makkah. Mungkin karena itu pula, hubungan dia dengan petinggi Arab Saudi bisa terjalin baik. Sebagai pertanda eratnya hubungan itu, Pangeran Saud dari Kerajaan Saudi sampai tiga kali mengunjungi Belanda selama kurun waktu 1926-1935.
[6] Secara hafiah, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen berarti Masyarakat Ilmu Pengetahuan dan Kesenian Batavia. Pada 1910, lembaga itu mulai dikenal khalayak lewat sebutan Koninglijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Museum Gajah dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia adalah dua contoh warisan lembaga itu kepada bangsa Indonesia.
[7] Dalam kedudukannya sebagai guru besar inilah Hurgronje menjadi promotor orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasinya di Universitas Leiden pada 1913, Hoesein Djajadiningrat. Disertasi yang dimaksud berjudul De Critische Beschouwing van de Sadjarah Bantam, Tinjauan Kritis atas Sedjarah Banten.
[8] Tentang pengertian Pan Islamisme, Suminto pernah menulis, “Pengertian Pan Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah. Secara modern dapat diartikan bahwa kepemimpinan khalifah tersebut hanya meliputi bidang agama. Pada masa Usmani Muda [sebuah masa ketika intelektual-intelektual Turki Utsmani menentang kekuasaan milik sultan yang berlangsung pada 1865—1878, pen.], Turki berusaha menggunakan Pan Islam untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah kerajaan Usmani. Usaha ini cepat menarik perhatian Asia Afrika yang pada waktu itu hampir seluruhnya sedang dijajah oleh Barat. Ide Pan Islam ini akan memanfaatkan kemajuan Barat dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, Pan Islam sekedar berusaha untuk menyatukan seluruh umat Islam dalam satu ikatan setia kawan, atau menghidupkan rasa ukhuwah Islamiyah di kalangan dunia Islam. Meskipun demikian, Pan Islam dalam pengertian ini tetap dianggap berbahaya oleh negara-negara penjajah, karena bisa membangkitkan perlawanan bangsa-bangsa Islam yang dikuasainya. Umat Islam di suatu tempat—berkat adanya Pan Islam—akan bisa merasakan penderitaan saudaranya di tempat lain. Padahal sampai akhir Perang Dunia Pertama, sebagian besar umat Islam di permukaan bumi ini berada dalam cengkeraman penjajahan asing.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar