PENGERTIAN SECARA
BAHASA
Semula, kata syi’ah
(dengan s kecil) memiliki arti pendukung atau pengikut.
Prinsipnya, seperti disebutkan Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab,
dikatakan syi’ah jika ada orang-orang yang sama-sama bersepakat di atas
satu hal; mereka satu pendapat, satu pemikiran, dan tidak saling bertentangan.
Masing-masing mereka saling membantu dan membela.
Bentuk plural kata syi’ah adalah syiya’. Jika
diterjemahkan ke dalam bahasa kita, syiya’ lebih pas diartikan berkelompok-kelompok
atau bergolong-golongan. Dalam bentuk seperti ini, menurut Al-Azhari
masih dalam Lisanul Arab, masing-masing kelompok itu tidak akur satu
sama lain. Mereka memiliki pandangan masing-masing yang karena itu, sering
kali, menampik kelompok lain.
Dalam Al-Qur’an, ada beberapa tempat yang menunjuk kepada makna terakhir
itu. Ayat ke-65 dan ke-159 Surat Al-An’am, ayat ke-32 Surat Ar-Rum, dan ayat
ke-4 Surat Al-Qashash, kita dapat lihat, adalah tempat-tempat yang Allah ta’ala
menggunakan kata syiya’ untuk melukiskan sebab dan ihwal perpecahan pada
umat manusia. Dengan kata lain, syiya’ digunakan dalam maknanya yang
negatif.
Syiya’ juga dapat diartikan sebagai umat-umat dalam ayat ke-10 Surat
Al-Hijr ketimbang golongan-golongan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Demikian
pula dalam ayat ke-69 Surat Maryam. Ibnu Katsir kembali membahasakannya sebagai
umat.
Syi’ah, bentuk singular
dari syiya’, muncul lagi dalam ayat ke-15 Surat Al-Qashash dan ayat
ke-83 Surat Ash-Shaffat. Jika diindonesiakan, ayat ke-15 Surat Al-Qashash itu
berbunyi,
“Dan
Musa masuk ke kota ketika penduduknya sedang lengah. Ia pun mendapati di kota itu dua
orang laki-laki yang sedang berkelahi. Salah seorang mereka adalah golongannya (Bani Israil), sedangkan yang
seorang lagi
dari golongan musuhnya
(golongan
Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan musuhnya. Musa lalu memukulnya dan matilah
ia. Musa berkata, ‘Ini adalah perbuatan setan. Sungguh, setan itu adalah musuh yang sesat lagi nyata’.” (QS. Al-Qashash:
15)
Sementara ayat ke-83
Surat Ash-Shaffat, berbunyi, “Dan sejatinya, Ibrahim itu benar-benar termasuk golongannya” (QS.
Ash-Shaffat: 83). Maksud golongannya dalam
ayat terakhir ini adalah golongan Nabi Nuh ‘alaihi as-salam, sebab
ayat-ayat sebelum itu berbicara tentang kisah Nabi Nuh ‘alaihi as-salam
dan umatnya.
Sebagai catatan,
jika Ibnu Katsir mengartikan min syi’atihi sebagai di atas jalan dan
agama Nuh alaihis salam, maka Ibnu Ash-Shamad Al-Andalusi—dalam Mukhtashar
Tafsir Ath-Thabari—lebih memilih untuk mengartikan min syi’atihi itu
sebagai termasuk para pengikut Nuh ‘alaihi as-salam. Dengan demikian, kita bisa bandingkan, kedua
arti itu tidak bertolak-belakang.
SYIAH PERTAMA DAN
SYIAH BELAKANGAN
Dalam Asy-Syi’ah wa
At-Tasyyayu’, Dr. Ihsan Ilahi Zhahir menulis, istilah syi’ah dipakai
pertama kali dalam sejarah Islam dengan arti sebenarnya, pendukung atau pengikut.
Tepatnya, pemakaian istilah itu banyak terkait dengan peristiwa politik pasca
terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Waktu itu, sebagian besar kaum muslimin yang ada terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama, mereka yang mendukung kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi
Thalib yang dibaiat oleh kaum muslimin untuk menggantikan kepemimpinan Utsman
bin Affan. Kedua, mereka yang menuntut adanya qishash atas pembunuhan
Utsman bin Affan dan karena itu belum mau berbaiat terhadap kepemimpinan Ali
bin Abi Thalib.
Pada akhirnya, kelompok pertama dikenal sebagai sebagai para pendukung
dan pembela Khalifah Ali bin Abi Thalib atau Syi’ah Ali, Al-‘Alawiyah.
Demikian pula dengan kelompok kedua, mereka disebut sebagai Syi’ah ‘Auliya’
Utsman, Al-‘Utsmaniyah. Jadi, syi’ah adalah pendukung, pembela
atau bahkan dikatakan juga sebagai simpatisan terhadap salah satu dari
dua kekuatan politik yang ada.
Dalam hal ini, contoh paling bagus adalah Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah
Al-Kinani Al-Hijazi radhiyallahu ‘anhu. Melihat Rasulullah ketika Haji
Wada’, Abu Thufail dikenal dalam sejarah sebagai sahabat Rasulullah yang paling
terakhir hidup di dunia.
Terkait profil Abu Thufail, dalam Siyar A’lam An-Nubala’,
Adz-Dzahabi mengatakan, “[Abu Thufail] termasuk syi’ah Imam Ali.”
Memang, ketika terjadi perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah radhiyallahu
‘anhuma, Abu Thufail termasuk sahabat-sahabat Rasulullah yang memihak dan
membela Ali.
Arti seperti itu mulai bergeser. Dari yang semula bermuatan politis, syi’ah
dikenakan pada pandangan tertentu terhadap Ali bin Abi Thalib. Pada titik ini, syi’ah
mulai menjadi sebuah nama kelompok dengan doktrin dan ideologi (baca: akidah)
tertentu di tengah kaum muslimin waktu itu.
Yang hendak diperikan di sini adalah dalam maknanya sebagai sebuah
keyakinan. Orang-orang Syi’ah yang pertama, seperti dikatakan Ibnu Taimiyah
dalam Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqdhi Kalam Asy-Syi’ah
Al-Qadariyyah, adalah orang-orang yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib
adalah orang yang lebih baik dari Utsman bin Affan. Artinya, orang-orang Syi’ah
pertama itu tidak menampik bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin
Al-Khaththab lebih baik dan utama dari Ali bin Abi Thalib.
Yang patut kita catat, di luar keyakinan itu, orang-orang Syi’ah yang
pertama tersebut memiliki keyakinan yang sama dengan kaum muslimin lainnya.
Mereka meyakini Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah, sebagaimana yang
diyakini oleh kaum muslimin lainnya. Mereka beribadah dengan praktek-praktek ibadah
kaum muslimin lainnya. Mereka tidak menciptakan mazhab tersendiri yang berbeda
dari kaum muslimin lainnya.
Akan tetapi, keadaan tersebut berbeda dengan orang-orang yang muncul
setelah itu. Seperti dikatakan Ibnu Taimiyah, orang-orang Syi’ah yang muncul
belakangan meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib lebih baik dan utama dari Abu
Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab.
Sekarang, orang-orang yang memiliki keyakinan seperti orang-orang Syi’ah
pertama diistilahkan dengan mutasyayyi’. Istilah ini adalah bentuk
subjek dari tasyayyu’ yang berarti memiliki sedikit kesyi’ah-syiahan
pada keyakinan mereka terkait Ali bin Abi Thalib.
Dalam buku-buku yang berisi profil para periwayat hadits (at-tarajim wa
ath-thabaqat), mereka yang memiliki keyakinan tasyayyu’ biasa diberi
keterangan kana yamilu ila at-tasyayyu’ (ia cenderung memiliki sedikit
keyakinan Syi’ah). Kadang-kadang, disebut dengan lahu at-tasyayyu’
(memiliki sedikit keyakinan Syi’ah).
Sebagai misal, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Tahdzib At-Tahdzib, mengomentari
Zubaid bin Al-Harits Al-Yami sebagai orang yang cenderung memiliki sedikit
keyakinan Syi’ah. Zubaid ini termasuk salah satu periwayat hadits dalam
enam induk antologi hadits Rasulullah (Shahih Al-Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan An-Nasa-I, Jami’ At-Tirmidzi dan Sunan Ibn
Majah).
Contoh bagus lainnya adalah Abu Shalih Abdurrahman bin Shalih Al-‘Ataki.
Ibnu Hajar mengutip Ibnu ‘Adi yang mengomentarinya, “illa annahu muhtariqun
fi ma kana fihi min at-tasyayyu’.”
Abul Qasim Al-Baghawi pernah mendengar Abu Shalih Al-‘Ataqi itu berkata
suatu hari, “Orang terbaik dalam umat ini setelah nabi mereka adalah Abu Bakar
kemudian Umar.” Dengan kata lain, Abu Shalih yang dimaksud masih mengakui kalau
Abu Bakar dan Umar lebih afdol daripada Ali bin Abi Thalib.
Salah seorang syaikh Salafi di Yaman, Syaikh Muqbil Al-Wadi’i, pernah
juga menyebutkan 23 nama periwayat hadits dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim yang memiliki kecenderungan tasyayyu’ ketika sedang mengkaji
kitab Ikhtishar ‘Ulum Al-Hadits karya Ibnu Katsir. Di antara nama-nama
yang disebutkan waktu itu adalah Abdurrazaq bin Hammam, Al-Fadhl bin Dukain,
Aban bin Taghlib Al-Kufi, Abul Bakhtari Sa’id bin Fairuz, ‘Adi bin Tsabit
Al-Anshari.
Adapun orang-orang yang memiliki keyakinan seperti orang-orang Syi’ah belakangan
diistilahkan dengan rafidhi. Istilah ini adalah bentuk subjek dari kata rafidhah
atau rawafidh yang bermakna para penolak. Disebut seperti itu,
tentu, bukan tanpa sebab.
Dari situlah, Syi’ah belakangan diistilahkan juga sebagai Syi’ah
Rafidhah. Nama seperti ini muncul pertama kali dalam sejarah Islam sebagai
penanda untuk orang-orang Syi’ah yang menolak keyakinan Zaid bin Ali, cucu
Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.
Zaid bin Ali termasuk salah satu rawi dalam rantai periwayatan Sunan
Abi Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, dan Sunan Ibn Majah. Di tengah para
pencari dan pengkaji hadits-hadits Rasulullah, Zaid bin Ali diyakini sebagai
salah seorang rawi hadits yang dapat dipercaya.
Semasa hidupnya, Zaid bin Ali pernah didatangi oleh beberapa orang
Syi’ah. Sejumlah orang tersebut, waktu itu, mulai meyakini bahwa Ali bin Abi
Thalib lebih baik dan bahkan lebih utama dari Abu Bakar dan Umar. Mereka
mendatangi Zaid bin Ali untuk mempertegas keyakinan mereka yang baru itu.
Zaid sendiri adalah keturunan langsung dari Husain bin Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Sejak kematiannya yang mengenaskan di
Karbala, Husein menjadi simbol perlawanan bagi orang-orang Syi’ah. Dari
situlah, orang-orang Syi’ah mulai mengangkat keturunan-keturunan Husein
langsung sebagai marja’ mereka, rujukan mereka.
Akan tetapi, terkait keyakinannya, Zaid bin Ali memandang bahwa Abu
Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab lebih baik dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhum. Karena itu, ketika ditanya tentang kedudukan Abu Bakar dan Umar
oleh orang-orang Syi’ah tersebut, Zaid bin Ali justru menunjukkan kecintaannya
(al-wala’) kepada dua orang sahabat utama Rasulullah itu.
Sikap seperti itulah kemudian yang dikecam oleh orang-orang Syi’ah
tersebut. “Kalian telah menolakku, kalian telah menolakku,” kata Zaid.
Dalam bahasa Arab jawaban Zaid itu berbunyi, “Rafadhtumuni, rafadhtumuni.”
Sejak itulah, di tengah kalangan muslimin, orang-orang Syi’ah yang
memiliki keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih baik dan lebih utama dari Abu
Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab dikenal lewat sebutan Syi’ah
Rafidhah, Syi’ah milik para penolak. Mereka mulai memiliki sistem nilai
dan praktek beribadah sendiri, seperti keyakinan bada’, raj’ah, taqiyah,
imamah, washiyah, ‘ishmah.
Selain itu, yang tak-kalah menarik, orang-orang Syi’ah menganggap bahwa
Ali-lah orang yang telah diberi wasiat oleh Rasulullah untuk memegang
kepemimpinan dalam Islam. Bukan ketiga khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq
dan Umar bin Al-Khaththab serta Utsman bin ‘Affan.
Kepemimpinan yang dimaksud, dalam keyakinan Syi’ah, kemudian seharusnya
diwariskan kepada anak-cucu Ali. Di tengah orang-orang Syi’ah, Ali dan
anak-cucunya itu disebut sebagai ahlul bait Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Di luar semua itu, orang-orang Syi’ah Rafidhah memiliki rujukan-rujukan
berbeda dari kaum muslimin pada umumnya. Mereka, misalnya, meyakini bahwa mushaf
Al-Qur’an yang ada di tengah kaum muslimin sekarang telah banyak diubah dan
dimanipulasi oleh para sahabat Rasulullah.
Selain mushaf, orang-orang Syi’ah Rafidhah meyakini bahwa
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada di
tengah kaum muslimin sekarang ini juga semata-mata hasil rekayasa para sahabat
Rasulullah, terutama Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikenal paling
banyak meriwayatkan hadits. Orang-orang Syi’ah Rafidhah pun kemudian memiliki
antologi-antologi hadits tersendiri. Bagi mereka, yang disebut hadits itu juga
mencakup perkataan-perkataan para imam Syiah.
Membangun satu sistem tersendiri, Syi’ah belakangan sangat
berbeda dari kaum muslimin yang ada. Disadari atau tidak, dan mungkin banyak
yang tidak akan menerima kenyataan ini, Syi’ah Rafidhah telah mendirikan sebuah
agama baru di luar Islam yang dibawa Muhammad Rasululllah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Untuk dicatat, sebagai sebuah entitas tersendiri, kelompok Syi’ah
Rafidhah telah berkembang dalam sejarah. Mereka menyebarkan keyakinan mereka
dan menanamkan pengaruh yang tidak sedikit di tengah kaum muslimin. Bahkan,
jika kita perhatikan, ada masa-masa tertentu ketika Syi’ah Rafidhah menjadi
sebuah kekuatan yang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin.
Yang harus juga dicatat baik-baik, sebagai sebuah kelompok, Syi’ah
Rafidhah mengalami perpecahan. Muncul di tengah mereka kelompok-kelompok yang
masing-masing memiliki nama tetapi juga saling bertikai satu sama lain.
Meski demikian, pada hari ini, tidaklah disebut Syi’ah kecuali mengacu
kepada orang-orang Syi’ah Rafidhah, termasuk juga Syiah Zaidiyah. Terbukti,
dalam banyak karya tulis di tengah kaum muslimin yang bisa kita temukan
sekarang, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Rafidhah sering dipukul rata lewat sebutan
Rafidhah.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar