Laman

Senin, 08 Juli 2013

APA DAN SIAPA KELOMPOK SYIAH



PENGERTIAN SECARA BAHASA
Semula, kata syi’ah (dengan s kecil) memiliki arti pendukung atau pengikut. Prinsipnya, seperti disebutkan Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab, dikatakan syi’ah jika ada orang-orang yang sama-sama bersepakat di atas satu hal; mereka satu pendapat, satu pemikiran, dan tidak saling bertentangan. Masing-masing mereka saling membantu dan membela.

Bentuk plural kata syi’ah adalah syiya’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa kita, syiya’ lebih pas diartikan berkelompok-kelompok atau bergolong-golongan. Dalam bentuk seperti ini, menurut Al-Azhari masih dalam Lisanul Arab, masing-masing kelompok itu tidak akur satu sama lain. Mereka memiliki pandangan masing-masing yang karena itu, sering kali, menampik kelompok lain.

Dalam Al-Qur’an, ada beberapa tempat yang menunjuk kepada makna terakhir itu. Ayat ke-65 dan ke-159 Surat Al-An’am, ayat ke-32 Surat Ar-Rum, dan ayat ke-4 Surat Al-Qashash, kita dapat lihat, adalah tempat-tempat yang Allah ta’ala menggunakan kata syiya’ untuk melukiskan sebab dan ihwal perpecahan pada umat manusia. Dengan kata lain, syiya’ digunakan dalam maknanya yang negatif.

Syiya’ juga dapat diartikan sebagai umat-umat dalam ayat ke-10 Surat Al-Hijr ketimbang golongan-golongan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Demikian pula dalam ayat ke-69 Surat Maryam. Ibnu Katsir kembali membahasakannya sebagai umat.

Syi’ah, bentuk singular dari syiya’, muncul lagi dalam ayat ke-15 Surat Al-Qashash dan ayat ke-83 Surat Ash-Shaffat. Jika diindonesiakan, ayat ke-15 Surat Al-Qashash itu berbunyi,

Dan Musa masuk ke kota ketika penduduknya sedang lengah. Ia pun mendapati di kota itu dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Salah seorang mereka adalah golongannya (Bani Israil), sedangkan yang seorang lagi dari golongan musuhnya (golongan Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan musuhnya. Musa lalu memukulnya dan matilah ia. Musa berkata, ‘Ini adalah perbuatan setan. Sungguh, setan itu adalah musuh yang sesat lagi nyata’.” (QS. Al-Qashash: 15)

Sementara ayat ke-83 Surat Ash-Shaffat, berbunyi, “Dan sejatinya, Ibrahim itu benar-benar termasuk golongannya” (QS. Ash-Shaffat: 83). Maksud golongannya dalam ayat terakhir ini adalah golongan Nabi Nuh ‘alaihi as-salam, sebab ayat-ayat sebelum itu berbicara tentang kisah Nabi Nuh ‘alaihi as-salam dan umatnya.

Sebagai catatan, jika Ibnu Katsir mengartikan min syi’atihi sebagai di atas jalan dan agama Nuh alaihis salam, maka Ibnu Ash-Shamad Al-Andalusi—dalam Mukhtashar Tafsir Ath-Thabari—lebih memilih untuk mengartikan min syi’atihi itu sebagai termasuk para pengikut Nuh ‘alaihi as-salam. Dengan demikian, kita bisa bandingkan, kedua arti itu tidak bertolak-belakang.


SYIAH PERTAMA DAN SYIAH BELAKANGAN
Dalam Asy-Syi’ah wa At-Tasyyayu’, Dr. Ihsan Ilahi Zhahir menulis, istilah syi’ah dipakai pertama kali dalam sejarah Islam dengan arti sebenarnya, pendukung atau pengikut. Tepatnya, pemakaian istilah itu banyak terkait dengan peristiwa politik pasca terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.

Waktu itu, sebagian besar kaum muslimin yang ada terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang mendukung kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang dibaiat oleh kaum muslimin untuk menggantikan kepemimpinan Utsman bin Affan. Kedua, mereka yang menuntut adanya qishash atas pembunuhan Utsman bin Affan dan karena itu belum mau berbaiat terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.

Pada akhirnya, kelompok pertama dikenal sebagai sebagai para pendukung dan pembela Khalifah Ali bin Abi Thalib atau Syi’ah Ali, Al-‘Alawiyah. Demikian pula dengan kelompok kedua, mereka disebut sebagai Syi’ah ‘Auliya’ Utsman, Al-‘Utsmaniyah. Jadi, syi’ah adalah pendukung, pembela atau bahkan dikatakan juga sebagai simpatisan terhadap salah satu dari dua kekuatan politik yang ada.

Dalam hal ini, contoh paling bagus adalah Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah Al-Kinani Al-Hijazi radhiyallahu ‘anhu. Melihat Rasulullah ketika Haji Wada’, Abu Thufail dikenal dalam sejarah sebagai sahabat Rasulullah yang paling terakhir hidup di dunia.

Terkait profil Abu Thufail, dalam Siyar A’lam An-Nubala’, Adz-Dzahabi mengatakan, “[Abu Thufail] termasuk syi’ah Imam Ali.” Memang, ketika terjadi perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhuma, Abu Thufail termasuk sahabat-sahabat Rasulullah yang memihak dan membela Ali.

Arti seperti itu mulai bergeser. Dari yang semula bermuatan politis, syi’ah dikenakan pada pandangan tertentu terhadap Ali bin Abi Thalib. Pada titik ini, syi’ah mulai menjadi sebuah nama kelompok dengan doktrin dan ideologi (baca: akidah) tertentu di tengah kaum muslimin waktu itu.

Yang hendak diperikan di sini adalah dalam maknanya sebagai sebuah keyakinan. Orang-orang Syi’ah yang pertama, seperti dikatakan Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqdhi Kalam Asy-Syi’ah Al-Qadariyyah, adalah orang-orang yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang lebih baik dari Utsman bin Affan. Artinya, orang-orang Syi’ah pertama itu tidak menampik bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab lebih baik dan utama dari Ali bin Abi Thalib.

Yang patut kita catat, di luar keyakinan itu, orang-orang Syi’ah yang pertama tersebut memiliki keyakinan yang sama dengan kaum muslimin lainnya. Mereka meyakini Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah, sebagaimana yang diyakini oleh kaum muslimin lainnya. Mereka beribadah dengan praktek-praktek ibadah kaum muslimin lainnya. Mereka tidak menciptakan mazhab tersendiri yang berbeda dari kaum muslimin lainnya.

Akan tetapi, keadaan tersebut berbeda dengan orang-orang yang muncul setelah itu. Seperti dikatakan Ibnu Taimiyah, orang-orang Syi’ah yang muncul belakangan meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib lebih baik dan utama dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab.

Sekarang, orang-orang yang memiliki keyakinan seperti orang-orang Syi’ah pertama diistilahkan dengan mutasyayyi’. Istilah ini adalah bentuk subjek dari tasyayyu’ yang berarti memiliki sedikit kesyi’ah-syiahan pada keyakinan mereka terkait Ali bin Abi Thalib.

Dalam buku-buku yang berisi profil para periwayat hadits (at-tarajim wa ath-thabaqat), mereka yang memiliki keyakinan tasyayyu’ biasa diberi keterangan kana yamilu ila at-tasyayyu’ (ia cenderung memiliki sedikit keyakinan Syi’ah). Kadang-kadang, disebut dengan lahu at-tasyayyu’ (memiliki sedikit keyakinan Syi’ah).

Sebagai misal, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Tahdzib At-Tahdzib, mengomentari Zubaid bin Al-Harits Al-Yami sebagai orang yang cenderung memiliki sedikit keyakinan Syi’ah. Zubaid ini termasuk salah satu periwayat hadits dalam enam induk antologi hadits Rasulullah (Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa-I, Jami’ At-Tirmidzi dan Sunan Ibn Majah).

Contoh bagus lainnya adalah Abu Shalih Abdurrahman bin Shalih Al-‘Ataki. Ibnu Hajar mengutip Ibnu ‘Adi yang mengomentarinya, “illa annahu muhtariqun fi ma kana fihi min at-tasyayyu’.”

Abul Qasim Al-Baghawi pernah mendengar Abu Shalih Al-‘Ataqi itu berkata suatu hari, “Orang terbaik dalam umat ini setelah nabi mereka adalah Abu Bakar kemudian Umar.” Dengan kata lain, Abu Shalih yang dimaksud masih mengakui kalau Abu Bakar dan Umar lebih afdol daripada Ali bin Abi Thalib.

Salah seorang syaikh Salafi di Yaman, Syaikh Muqbil Al-Wadi’i, pernah juga menyebutkan 23 nama periwayat hadits dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim yang memiliki kecenderungan tasyayyu’ ketika sedang mengkaji kitab Ikhtishar ‘Ulum Al-Hadits karya Ibnu Katsir. Di antara nama-nama yang disebutkan waktu itu adalah Abdurrazaq bin Hammam, Al-Fadhl bin Dukain, Aban bin Taghlib Al-Kufi, Abul Bakhtari Sa’id bin Fairuz, ‘Adi bin Tsabit Al-Anshari.

Adapun orang-orang yang memiliki keyakinan seperti orang-orang Syi’ah belakangan diistilahkan dengan rafidhi. Istilah ini adalah bentuk subjek dari kata rafidhah atau rawafidh yang bermakna para penolak. Disebut seperti itu, tentu, bukan tanpa sebab.

Dari situlah, Syi’ah belakangan diistilahkan juga sebagai Syi’ah Rafidhah. Nama seperti ini muncul pertama kali dalam sejarah Islam sebagai penanda untuk orang-orang Syi’ah yang menolak keyakinan Zaid bin Ali, cucu Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma.

Zaid bin Ali termasuk salah satu rawi dalam rantai periwayatan Sunan Abi Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, dan Sunan Ibn Majah. Di tengah para pencari dan pengkaji hadits-hadits Rasulullah, Zaid bin Ali diyakini sebagai salah seorang rawi hadits yang dapat dipercaya.

Semasa hidupnya, Zaid bin Ali pernah didatangi oleh beberapa orang Syi’ah. Sejumlah orang tersebut, waktu itu, mulai meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib lebih baik dan bahkan lebih utama dari Abu Bakar dan Umar. Mereka mendatangi Zaid bin Ali untuk mempertegas keyakinan mereka yang baru itu.

Zaid sendiri adalah keturunan langsung dari Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Sejak kematiannya yang mengenaskan di Karbala, Husein menjadi simbol perlawanan bagi orang-orang Syi’ah. Dari situlah, orang-orang Syi’ah mulai mengangkat keturunan-keturunan Husein langsung sebagai marja’ mereka, rujukan mereka.

Akan tetapi, terkait keyakinannya, Zaid bin Ali memandang bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab lebih baik dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. Karena itu, ketika ditanya tentang kedudukan Abu Bakar dan Umar oleh orang-orang Syi’ah tersebut, Zaid bin Ali justru menunjukkan kecintaannya (al-wala’) kepada dua orang sahabat utama Rasulullah itu.

Sikap seperti itulah kemudian yang dikecam oleh orang-orang Syi’ah tersebut. “Kalian telah menolakku, kalian telah menolakku,” kata Zaid. Dalam bahasa Arab jawaban Zaid itu berbunyi, “Rafadhtumuni, rafadhtumuni.

Sejak itulah, di tengah kalangan muslimin, orang-orang Syi’ah yang memiliki keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih baik dan lebih utama dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab dikenal lewat sebutan Syi’ah Rafidhah, Syi’ah milik para penolak. Mereka mulai memiliki sistem nilai dan praktek beribadah sendiri, seperti keyakinan bada’, raj’ah, taqiyah, imamah, washiyah, ‘ishmah.

Selain itu, yang tak-kalah menarik, orang-orang Syi’ah menganggap bahwa Ali-lah orang yang telah diberi wasiat oleh Rasulullah untuk memegang kepemimpinan dalam Islam. Bukan ketiga khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab serta Utsman bin ‘Affan.

Kepemimpinan yang dimaksud, dalam keyakinan Syi’ah, kemudian seharusnya diwariskan kepada anak-cucu Ali. Di tengah orang-orang Syi’ah, Ali dan anak-cucunya itu disebut sebagai ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di luar semua itu, orang-orang Syi’ah Rafidhah memiliki rujukan-rujukan berbeda dari kaum muslimin pada umumnya. Mereka, misalnya, meyakini bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada di tengah kaum muslimin sekarang telah banyak diubah dan dimanipulasi oleh para sahabat Rasulullah.

Selain mushaf, orang-orang Syi’ah Rafidhah meyakini bahwa hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada di tengah kaum muslimin sekarang ini juga semata-mata hasil rekayasa para sahabat Rasulullah, terutama Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikenal paling banyak meriwayatkan hadits. Orang-orang Syi’ah Rafidhah pun kemudian memiliki antologi-antologi hadits tersendiri. Bagi mereka, yang disebut hadits itu juga mencakup perkataan-perkataan para imam Syiah.

Membangun satu sistem tersendiri, Syi’ah belakangan sangat berbeda dari kaum muslimin yang ada. Disadari atau tidak, dan mungkin banyak yang tidak akan menerima kenyataan ini, Syi’ah Rafidhah telah mendirikan sebuah agama baru di luar Islam yang dibawa Muhammad Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Untuk dicatat, sebagai sebuah entitas tersendiri, kelompok Syi’ah Rafidhah telah berkembang dalam sejarah. Mereka menyebarkan keyakinan mereka dan menanamkan pengaruh yang tidak sedikit di tengah kaum muslimin. Bahkan, jika kita perhatikan, ada masa-masa tertentu ketika Syi’ah Rafidhah menjadi sebuah kekuatan yang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin.

Yang harus juga dicatat baik-baik, sebagai sebuah kelompok, Syi’ah Rafidhah mengalami perpecahan. Muncul di tengah mereka kelompok-kelompok yang masing-masing memiliki nama tetapi juga saling bertikai satu sama lain.


Meski demikian, pada hari ini, tidaklah disebut Syi’ah kecuali mengacu kepada orang-orang Syi’ah Rafidhah, termasuk juga Syiah Zaidiyah. Terbukti, dalam banyak karya tulis di tengah kaum muslimin yang bisa kita temukan sekarang, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Rafidhah sering dipukul rata lewat sebutan Rafidhah.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar