Laman

Senin, 08 Juli 2013

BIOGRAFI ALI, BIOGRAFI SANG PAHLAWAN



Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu pahlawan terbesar Islam sepanjang masa. Lahir sekitar tujuh tahun sebelum kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ali adalah salah satu anak laki-laki pasangan Abu Thalib—yang bernama Abdi Manaf bin Abdul Muththalib—dan Fatimah binti Asad radhiyallahu ‘anha.

Meski demikian, sejak kecil Ali sudah diambil dan diasuh Rasulullah yang ingin meringankan beban Abu Thalib. Tidak seperti pedagang-pedagang Quraisy yang lain, hasil kegiatan dagang Abu Thalib banyak terpakai-habis untuk menghidupi keluarganya dan orang-orang yang ditanggungnya. Rasulullah sendiri sempat menjadi tanggungan Abu Thalib ketika ditinggal mati kakeknya, Abdul Muththalib, pada waktu berumur delapan tahun.

Ali memiliki beberapa orang saudara kandung laki-laki dan perempuan. Saudara laki-laki Ali adalah Thalib, ‘Aqil dan Ja’far. Mereka semua lebih tua daripada Ali. Adapun saudara-saudara perempuan, mereka adalah Ummu Hani’ dan Jumanah.

Ketika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi dan rasul lewat lima ayat pertama surat Al-‘Alaq dan Al-Muddatstsir, Ali menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kalangan kanak-kanak bangsa Quraisy. Ali kemudian mempelajari Islam langsung dari sang nabi.

Menjadi anak asuhan Rasulullah, Ali menyaksikan langsung perjalanan dakwah Rasulullah di Makkah. Lebih dari itu, ia mengetahui dan sering pula menyaksikan penderitaan yang dialami oleh Rasulullah dan para sahabatnya akibat perlakuan orang-orang musyrikin Quraisy.

Ketika Rasulullah diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala untuk hijrah menyusul sahabat-sahabat beliau yang telah dahulu ke Madinah, Ali diminta Rasulullah untuk tidur di pembaringan beliau. Malam itu adalah malam ketika jagoan-jagoan musyrikin Quraisy mengepung rumah Rasulullah untuk membunuh beliau berdasarkan keputusan musyarawah di Darun Nadwah.

Darun Nadwah adalah nama bangunan yang didirikan di samping utara Masjidil Haram pada masa jahiliyyah dulu. Di tengah kita sekarang, Darun Nadwah dapat dibahasakan sebagai balai pertemuan masyarakat.

Para tokoh musyrikin Quraisy berkumpul di sana dan bermusyawarah untuk mencari cara memadamkan dakwah Islam yang diemban Rasulullah. Atas usul Abu Jahal, ‘Amr bin Hisyam, mereka kemudian mengutus sekitar sebelas orang untuk bersama-sama mengepung dan menghabisi nyawa Rasulullah.

Sebelas orang itu adalah Abu Jahal, Al-Hakam bin Abu Al-‘Ash, ‘Uqbah bin Abu Mu’ith, An-Nadhar bin Al-Harits, Umayyah bin Khalaf, Zam’ah bin Al-Aswad, Thua’imah bin ‘Adi, Abu Lahab, Ubay bin Khalaf, Nabh bin Al-Hajjaj dan Munabbih bin Al-Hajjaj. Mereka semua adalah pemuda-pemuda dari kabilah-kabilah Quraisy yang gagah-berani.

Pada waktu yang telah direncanakan, mereka berkumpul di depan pintu rumah Rasulullah. Mereka mengintai dalam kegelapan malam, menunggu keluarnya Rasulullah dari rumah. Biasanya, Rasulullah bangun malam untuk pergi shalat di depan Ka’bah pada sekitar dua pertiga malam.

Lewat perantaraan Malaikat Jibril, Rasulullah mengetahui rencana orang-orang Quraisy itu. Kepada Ali yang sudah berusia 21 tahun, Rasulullah memintanya untuk tidur di atas pembaringan Rasulullah sambil mengenakan kain penutup bewarna hijau.

Rasulullah sendiri keluar lewat pintu yang sedang diintai oleh pemuda-pemuda Quraisy. Dengan sebuah mukjizat yang Allah berikan, Rasulullah dapat melewati mereka dan pergi menjumpai Abu Bakar di rumahnya. Malam itu juga, mereka berdua pergi melakukan perjalanan jauh.

Dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri memastikan riwayat tentang cara Rasulullah keluar dari rumah itu. Dalam riwayat itu, diceritakan bahwa Rasulullah mengambil setangkup debu dan menaburkannya ke arah jagoan-jagoan Quraisy itu berada seraya membaca ayat ke-9 surat Yasin.

Dengan itulah, Allah halangi pandangan mereka, sehingga Rasulullah dapat melenggang tenang pergi ke rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Wallahu a’lam, hanya Allah-lah yang paling mengetahui semua ini.

Dengan Ali berselimut, jagoan-jagoan Quraisy itu akhirnya menunggu sampai pagi, mengira bahwa yang tidur berselimut kain adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka baru menyadari kekeliruan mereka, ketika Rasulullah telah jauh pergi ke luar Makkah, menuju Gua Tsur yang terletak di jalur ke arah Yaman.

Kepergian ke Gua Tsur itu, lagi-lagi, dalam rangka mengelabui para pengejar mereka yang mengendarai tunggangan masing-masing. Bagaimana pun, jika Rasulullah dan Abu Bakar segera pergi ke Madinah malam itu, para pengejar itu akan dapat menyusul mereka berdua.

Ali baru pergi ke Madinah setelah Rasulullah keluar dari Makkah. Sebelum itu, Ali dipercaya untuk membereskan segala urusan Rasulullah di kota Makkah, seperti melunasi hutang atau menagih piutang, mengembalikan barang-barang yang pernah dipinjam Rasulullah dari orang-orang lain atau barang-barang yang pernah dititip ke Rasulullah.

Pindah ke Madinah, Ali radhiyallahu ‘anhu segera dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu. Proses persaudaraan seperti ini termasuk salah satu tindakan yang Rasulullah lakukan untuk mengurangi beban hidup yang mendera sahabat-sahabat beliau dari kalangan Muhajirin.

Ali tidak banyak membawa harta ke Madinah. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, Ali segera menjadi salah seorang pemuda yang diandalkan Rasulullah dalam banyak peperangan dan—karena itu—sering mendapat jatah dari harta rampasan perang atau hasil sebuah penyerbuan tanpa perang.

Dalam Perang Badar yang terjadi pada tahun kedua Hijriah, misalnya, Ali ditugaskan Rasulullah untuk memegang bendera perang milik Kaum Muhajirin. Selain itu, sebelum perang dimulai, Ali menjadi salah seorang wakil kaum muslimin untuk menghadapi perang tanding satu-lawan-satu dengan wakil-wakil musyrikin Quraisy.

Demikian pula dalam Perang Uhud yang terjadi pada tahun ketiga Hijriah. Ali menjadi salah seorang wakil kaum muslimin yang maju untuk menghadapi wakil kaum musyrikin dalam perang tanding. Ketika perang telah berkecamuk, Ali diperintah Rasulullah untuk memegang bendera perang setelah pemegang bendera sebelumnya—Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu—tewas menjumpai syahid.

Pada Perang Ahzab atau yang juga disebut sebagai Perang Khandaq (parit) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskan Ali sebagai penyergap pasukan berkuda orang-orang musyrikin. Pada hari itu juga, Ali terpaksa berduel dengan salah satu jagoan orang-orang Quraisy di dalam parit. Selama perang, Ali berhasil menunaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.

Kepahlawanan Ali makin tampak ketika Rasulullah dan para sahabat menaklukkan Benteng Khaibar pada tahun keenam Hijriah. Pada penaklukan inilah, Rasulullah bersabda, “Betul-betul akan kuberikan bendera perang ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan RasulNya dan Allah serta RasulNya juga mencintainya.” [HR. Muslim]

Orang yang dimaksud Rasulullah adalah Ali yang pada hari itu berhasil membuka salah satu benteng dari benteng-benteng Yahudi di Khaibar. Sebelum penaklukan selesai, Ali sempat berduel dengan salah satu jagoan Yahudi yang tak-terkalahkan, Marhab. Jagoan Yahudi ini tewas mengenaskan di tangan Ali.

Hanya satu perang bersama Rasulullah yang Ali lewatkan. Perang itu adalah Perang Tabuk yang terjadi pada Rajab tahun 9 H. Ali dipercaya Rasulullah untuk menjaga anak-anak, kaum wanita dan sahabat-sahabat Rasulullah yang uzur tidak bisa ikut perang karena sakit atau berusia lanjut.

Pada perang yang dikenal juga lewat sebutan Sa’atu ‘Usrah itu, Ali bukan sekedar dipercayakan sebuah kota yang dihuni oleh orang-orang lemah. Lebih dari itu, Ali dipercaya oleh Rasulullah untuk mengawal Madinah dari segala makar yang mungkin dilakukan oleh orang-orang munafik Madinah. Seperti yang dilukiskan ulang oleh Allah ta’ala dalam Surat At-Taubah, banyak orang-orang munafik sengaja meminta izin untuk tidak ikut serta pada perang itu dengan 1001 alasan yang dibuat-buat mereka.

Pada titik itulah, keadaan Ali dimisalkan Rasulullah dengan keadaan Nabi Harun ‘alaihi as-salam ketika dulu dititipkan Bani Israil yang ditinggal sementara waktu oleh Nabi Musa ‘alaihi as-salam. Dalam kata-kata kenabian, permisalan Rasulullah itu berbunyi, “Tidakkah kau rela, jika kedudukanmu terhadapku sekarang, seperti kedudukan Harun terhadap Musa—hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku?” [HR. Al-Bukhari]

Tidak hanya di medan laga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memercayakan beberapa permasalahan penting di luar perang untuk ditangani Ali. Pada bulan Dzul Hijjah tahun 9 Hijriah juga, misalnya, Ali diutus Rasulullah untuk membacakan Surat At-Taubah ke hadapan khalayak yang berhaji di Makkah waktu itu. Pada tahun 10 H, Ali diutus Rasulullah bersama Khalid bin Walid ke Yaman untuk kembali membawa 100 ekor onta yang akan disembelih Rasulullah di Makkah ketika Haji Wada’.

Ali termasuk salah seorang keluarga Rasulullah yang diminta untuk membantu Rasulullah ketika sakit. Misalnya, ketika Rasulullah ingin datang ke masjid, Ali adalah orang yang memapah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abbas bin Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu. Ali pun menjadi salah seorang yang dipercaya untuk memandikan, mengafankan, dan menguburkan jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena bentuk kepercayaan seperti itu, tidak mengherankan jika ada sebagian dari kaum muslimin yang mencoba membuat riwayat-riwayat palsu tentang Ali. Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan Ali dengan diri beliau pada hari-hari pertama tiba di Madinah.

Termasuk pula ke dalam riwayat-riwayat yang dimaksud adalah riwayat yang mengetengahkan ucapan Rasulullah, “Engkau adalah saudaraku, pewarisku, pemimpin penggantiku (khalifah rasulullah) dan pemimpin terbaik sepeninggalku.” Riwayat ini bertentangan dengan sebuah riwayat sahih dalam Shahih Al-Bukhari.

Imam Al-Bukhari pernah meriwayatkan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, Abbas berkata kepada Ali,

‘Mari kita pergi ke Rasulullah. Lalu, segera kita tanyakan ke Rasulullah tentang siapa yang berhak memegang kepemimpinan nanti. Jika itu ada pada orang-orang kita, niscaya kita akan tahu tentangnya. Adapun jika itu ada pada orang-orang selain kita, kita pun tahu siapa itu. Dengan begitu, Rasulullah berarti telah memberikan wasiat di depan kita (tentang kepemimpinan itu sebelum wafatnya).’

Ketika itu, Ali menjawab,

‘Sesungguhnya kita, demi Allah, jika menanyakan itu kepada Rasulullah kemudian beliau tidak memberikannya kepada kita, niscaya kepemimpinan itu tidak akan diberikan manusia kepada kita sepeninggal beliau. Dan sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam’.” [HR. Al-Bukhari]

Bersama sembilan sahabat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaminkan untuknya Surga dan ini adalah di antara keutamaan Ali yang tak bisa dilupakan oleh kaum muslimin dari dulu sampai sekarang. Dalam sebuah hadits sahih, Rasulullah pernah bersabda,

“Sepuluh orang di Surga. Abu Bakar di Surga. Umar di Surga. Utsman, Ali, Zubair, Thalhah, Abdurrahman (bin ‘Auf), Abu ‘Ubaidah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash di Surga.” [HR. At-Tirmidzi nomor 3748 dan disahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani]

Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan juga Imam Abu Dawud. Dalam kelengkapan riwayat itu, orang ke-10 yang dijamin masuk Surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu.

Sebagai sahabat Rasulullah yang telah dijamin masuk Surga, Ali radhiyallahu ‘anhu sejatinya adalah seorang laki-laki yang berkulit coklat muda. Kedua matanya besar dan pada putih bola matanya terlihat warna kemerah-merahan—sebuah tanda akan keberanian dan sikap pantang menyerah yang ada pada dirinya. Kepalanya botak dan jenggotnya lebat.

Ali berperawakan pendek. Akan tetapi, ketika berjalan, langkah-langkahnya terlihat ringan. Langkah-langkahnya itu akan terlihat setengah berlari ketika berjalan di tengah perang.

Ali menikah dengan Fatimah, putri bungsu Rasulullah. Darinya, Ali mendapat anak yang bernama Hasan, Husain, Muhsin, dan Ummu Kultsum.

Sepeninggal Fatimah, sebagaimana diriwayatkan dalam Ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad dan Tarikh Ar-Rusul wa Al-Muluk Imam Ath-Thabari, Ali menikah dengan beberapa orang wanita. Dari beberapa orang istri itu, Ali mendapat banyak putra dan putri.

Salah seorang istri Ali adalah Ummul Banin binti Hizam Al-Kalbiyah. Darinya, Ali mendapat empat orang putra. Mereka adalah Abbas, Ja’far, Abdullah, Utsman. Kecuali Abbas, mereka semua terbunuh di bumi Karbala, Irak.

Ali juga menikahi Laila binti Mas’ud At-Tamimiyah. Darinya, Ali mendapat dua orang putra, Ubaidullah dan Abu Bakar. Jika Abu Bakar terbunuh di Karbala, maka Ubaidullah dibunuh oleh Al-Mukhtar Ats-Tsaqafi, sang nabi palsu.

Sebenarnya, Ali memiliki seorang istri dari Bani Tsaqifah, kabilah sang nabi palsu itu. Wanita tersebut bernama Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafiyah. Dari istri yang ini, Ali memiliki dua orang putri yang bernama Ummul Hasan dan Ramlah Al-Kubra.

Istri Ja’far bin Abi Thalib bernama Asma’ binti Umais Al-Khats’amiyah radhiyallahu ‘anhuma. Setelah ditinggal mati pada Perang Mu’tah, Asma’ dinikahi Abu Bakar Ash-Shiddiq dan melahirkan untuknya seorang putra yang bernama Muhammad. Setelah Abu Bakar wafat pada tahun ke-13 Hijriah, Asma’ dinikahi Ali. Untuknya, Asma’ melahirkan Yahya dan ‘Aun.

Ada yang mengatakan, anak kedua Ali dari Asma’ itu bukan ‘Aun, tetapi Muhammad Al-Ashghar. Pendapat inilah yang benar, sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah.

Muhammad Al-Ashghar berarti Muhammad yang kecil. Selain dirinya, Ali memiliki anak-anak lain yang juga bernama Muhammad. Mereka adalah Muhammad Al-Akbar dan Muhammad Al-Awsath.

Muhammad Al-Awsath adalah satu-satunya putra Ali dari istri yang bernama Umamah binti Abil Ash bin Rabi’. Wanita ini adalah cucu Rasulullah dari putri beliau yang bernama Zainab radhiyallahu ‘anhu, kakak perempuan Fatimah yang sulung. Tentu saja, pernikahan Ali dan Umamah baru terjadi setelah Fatimah wafat dan itu atas wasiat Fatimah langsung ke Ali.

Muhammad Al-Akbar dikenal pula sebagai Muhammad bin Al-Hanafiyyah atau sering disebut Ibnul Hanafiyyah. Ibunya adalah Khaulah binti Ja’far dari Bani Hanifah. Semula, Khaulah adalah salah satu wanita yang ditawan pasukan Khalid bin Walid ketika memerangi orang-orang murtad pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebagai tawanan, Khaulah kemudian diberikan kepada Ali dan dinikahinya.

Selain Khaulah, Ali juga pernah mendapat wanita tawanan lain dari pasukan Khalid bin Walid ketika mereka menyerbu daerah yang bernama ‘Ain At-Tamar. Wanita itu bernama Ummu Habib binti Rabi’ah. Wanita dari Bani Taghlib ini diberikan kepada Ali dan dinikahinya. Darinya kemudian Ali mendapat seorang putra yang dinamai Umar dan seorang putri yang dinamai Ruqayyah.

Istri Ali yang terakhir bernama Bintu Amru-ul Qais bin ‘Adi. Wanita ini berasal dari Bani Kalb. Darinya, Ali mendapat seorang putri yang lucu.

Semua istri yang disebut tidak dinikahi Ali dalam sekali waktu, sebab Islam melarang seorang laki-laki beristri lebih dari empat orang sekaligus, seperti termaktub dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala ayat ke-2 dan ke-4 surat An-Nisa’. Ada empat orang istri, sembilan belas budak wanita, empat belas putra dan tujuh belas orang putri yang menyertai Ali sampai penghujung hidupnya.

Dari keturunan sebanyak itu, ternyata, hanya lima orang yang meneruskan garis keturunan Ali radhiyallahu ‘anhu, karena bangsa Arab—kemudian Islam—hanya mengenal sistem keturunan yang bersifat patrilineal. Mereka adalah Hasan, Husen, Muhammad bin Al-Hanafiyah, Abbas bin Al-Kalbiyah, Umar bin At-Taghlibiyah.

Pada tahun 40 H, Ali meninggal dunia di kota Kufah, Irak. Wajah Ali dihantam pedang oleh Abdurrahman bin Muljam. Waktu itu, Ali menjabat sebagai khalifah kaum muslimin, menggantikan Utsman bin ‘Affan yang telah dibunuh orang-orang Khawarij pada tahun 35 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar