Laman

Rabu, 24 Juli 2013

PERIODE PERTAMA KRISTENISASI DI NUSANTARA

Kedatangan bangsa Portugis juga sekaligus membawa misi menyebarkan Kristen Katolik di tengah penduduk pribumi. Pada 1522, sekitar sebelas tahun berlalu dari penaklukan Malaka, gereja Katolik pertama didirikan di Maluku. Empat puluh tahun kemudian, ada sekitar 10.000 orang di Maluku yang memeluk Katolik. Sebagian besar mereka tinggal di Ambon. Jumlah itu meningkat menjadi sekitar 50.000 sampai 60.000 orang pada 1590-an.

Dalam proses kristenisasi tahap pertama itu, misionaris-misionaris dari Ordo Jesuitlah yang paling banyak mengambil peran. Salah seorang di antara mereka adalah Xavier yang telah disebut sebelum ini. Meski tidak lama tinggal di Maluku, peran penting yang dimainkan Xavier di Maluku itu membuat dirinya dijuluki sebagai “Rasul untuk orang-orang Indonesia” oleh rekan-rekannya.

Yang harus menjadi catatan, kita tidak harus selalu memahami bahwa agama Kristen datang pertama kali ke Nusantara dengan menumpang kapal-kapal bangsa Portugis. Ada kemungkinan yang besar bahwa pemeluk-pemeluk Kristen telah masuk ke Nusantara jauh sebelum kedatangan orang-orang Portugis.

Muller Kruger, bahkan, melangkah lebih jauh lagi. Mendasarkan diri pada sumber-sumber Arab kuno, ia meyakini bahwa Kristen telah masuk ke Nusantara sejah abad ketujuh Masehi. Di daerah Sibolga sekarang, tulis Kruger dalam Sedjarah Geredja di Indonesia, para pemeluk Kristen pertama itu mendirikan gereja mereka. Untuk memperkuat keyakinannya, Kruger menunjuk adanya misionaris-misionaris yang menumpang rombongan pedagang-pedagang Eropa ketika melintasi jalur perdagangan dari Asia Tengah ke Asia Timur  pada abad-abad tersebut.

Keterangan Kruger itu patut diragukan kebenarannya. Bagaimana pun, sampai bangsa Portugis datang, tidak ditemukan bukti-bukti apapun yang menunjukkan adanya komunitas Kristiani di Nusantara. Yang ada justru sebaliknya, ada banyak bukti-bukti tak-terbantahkan tentang keberadaan komunitas muslim sejak abad ke-12 Masehi.

Berbeda dengan Islam yang diperkenalkan dengan cara-cara damai, agama Kristen diperkenalkan ke tengah penduduk pribumi oleh bangsa Portugis dengan kekerasan. Mereka melakukan itu, seperti halnya bangsa Spanyol, karena permusuhan akut mereka terhadap Islam. Menurut Bertram Johannes Otto Schrieke yang menulis Indonesian Sociological Studies, tindakan-tindakan Portugis dan Spanyol seperti itu masih dilandasi oleh semangat Perang Salib yang sebenarnya telah belalu beberapa abad sebelumnya.

Bisa ditebak, tindakan-tindakan bangsa Portugis justru mengundang kebencian dan sikap bermusuhan dari sebagian penduduk pribumi. Tahun-tahun pertama bangsa Portugis di Malaka dan Maluku segera menjadi tahun-tahun penuh permusuhan dan pertumpahan darah. Sequeira, misalnya, selain gagal menjalankan tugas dari Raja Portugal ketika singgah di Malaka, juga harus berperang melawan Sultan Mahmud Syah (1488—1528). Sebagian pasukan Sequeira waktu itu ditawan oleh pasukan sultan, sebagian lagi dibunuh.

Misal yang lain, di Ternate, akibat usaha kristenisasi dan perilaku tidak sopan dari orang-orang Portugis, muncul ketegangan antara mereka dan penguasa setempat. Puncaknya, pada 1535, orang-orang Portugis di sana memaksa turun Raja Tabariji (atau Tabarija yang berkuasa selama 1523—1535), membuangnya ke Goa, India, dan membuatnya memeluk Kristen di sana. Malangnya, bekas raja yang bernama baptis Dom Manuel itu meninggal dunia di Malaka pada 1545 dalam perjalanan pulang menuju Ternate.

Di luar Malaka dan Maluku, Portugis juga terpaksa berperang di Solor, Kepulauan Nusa Tenggara sekarang. Mereka dikepung oleh penduduk setempat yang tidak menyukai Portugis dan agama mereka. Karena kewalahan dengan perlawanan besar-besaran dari penduduk sepanjang 1598—1599, Portugis akhirnya mengirimkan armada yang terdiri dari 90 kapal untuk menghentikan perlawanan itu.

Beda dengan di Maluku, di Solor, yang menyebarkan Katolik adalah misionaris-misionaris dari Ordo Dominikan. Mereka membangun benteng dari batang pohon kelapa pada 1562 pada waktu berkecamuk konflik antara Portugis dan penduduk Solor. Benteng tersebut akhirnya dibakar oleh bala bantuan dari Jawa yang datang untuk ikut memerangi Portugis pada 1563.

Orang-orang Portugis tetap bertahan di Solor. Demikian pula dengan para misionaris dari Ordo Dominikan itu. Benteng yang terbakar itu dibangun kembali sebagai pusat kristenisasi di sana. Portugis baru pergi dari Solor, diusir oleh orang-orang Belanda pada 1636.

Bagaimana kristenisasi yang digiatkan oleh orang-orang Belanda?

Rentang waktu 1598—1602 adalah satu zaman yang lebih dikenal sebagai zaman pelayaran-pelayaran liar (wilde vaart). Seperti yang telah lewat, pada rentang waktu itu, perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda berlomba-lomba mengirimkan kapal-kapal layar mereka menuju Nusantara. Tidak semuanya berhasil, namun persaingan yang terjadi membuat suasana menjadi tidak sehat. Parlemen Belanda pun mengusulkan agar perusahan-perusahaan tersebut menggabungkan kepentingan mereka itu ke dalam sebuah perkongsian.

Setelah empat tahun berlalu, usul parlemen akhirnya direalisasikan. Tepat pada tanggal 20 Maret 1602, perusahaan-perusahaan yang bersaing itu mendirikan sebuah kongsi dagang yang disebut Vereenigde Oost-Indische Compagnie[1] (VOC) atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur. Dalam sejarah kita, VOC inilah yang kita kenal lewat istilah Kompeni.

Kompeni memiliki markas di Amsterdam, Belanda. Sebagai sebuah perusahaan, mereka diberi parlemen Belanda hak-hak untuk merekrut personel (yang akan disumpah untuk setia kepada perusahaan) dan membentuk pasukan bersenjata, mengadakan peperangan, membangun benteng-benteng di wilayah taklukan, dan membuat perjanjian-perjanjian dagang di seluruh Asia.

Kompeni segera berlayar ke Nusantara. Pada 1605, mereka berhasil merebut Maluku dan mengusir orang-orang Portugis dari sana. Setelah itu, mereka terlibat perang dengan Portugis, Spanyol dan Inggris untuk merebut wilayah-wilayah lain di Nusantara. Pada 1523, sejumlah wilayah milik Portugis dan Spanyol telah berhasil direbut oleh Kompeni.

Demikian pula dengan misionaris-misionaris Portugis. Pada 1677, misalnya, Kompeni bekerjasama dengan Sultan Ternate untuk mengusir Portugis dan misionaris Ordo Jesuit. Setelah itu, Kompeni memaksa pemeluk-pemeluk Katolik yang bisa mereka temukan untuk masuk agama Protestan.

Dengan diusirnya bangsa Portugis dan masuknya bangsa Belanda, sejarah Protestan di Nusantara mulai dibangun. Kompeni sendiri, sebenarnya, tidak begitu tertarik dengan usaha mengkristenkan penduduk pribumi. Bagi Kompeni, keuntungan ekonomis adalah tujuan utama mereka. Karena itu, tidak heran, ketika penguasa Belanda mewajibkan Kompeni melakukan kristenisasi di Nusantara,[2] tidak ada cara yang terpikir oleh Kompeni kecuali meniru apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Portugis—dan juga Spanyol di wilayah jajahan mereka.

Kompeni pun menempuh cara-cara kekerasan dan pemaksaan dalam kegiatan zending mereka. Mereka, misalnya, mengambil alih kongregasi-kongregasi[3] Katolik milik Portugis dan cenderung ingin menghancurkan apa-apa yang dibangun oleh orang-orang Katolik. Kepada penduduk-penduduk di wilayah taklukan mereka, Kompeni menyatakan bahwa agama Kristen apapun tidak boleh dijalankan kecuali Kristen Protestan.

Kendati sama-sama menggunakan kekerasan, kristenisasi yang dilakukan oleh Kompeni tidak mendatangkan hasil seperti yang dilakukan Portugis. Pendeta-pendeta Kompeni kebanyakan kebanyakan bekerja memimpin kebaktian di kalangan petinggi-petinggi Kompeni atau di rumah-rumah para pedagang bangsa Eropa. Tidak ada usaha serius mendekati penduduk pribumi agar mereka pindah agama. Sebaliknya, jika dilihat usaha-usaha pendekatan yang akan dilakukan kepada penduduk pribumi itu berpengaruh negatif terhadap keuntungan ekonomis mereka, Kompeni menghindari usaha-usaha tersebut. Ketika ingin menaklukkan Kerajaan Blambangan di ujung Jawa Timur pada abad ke-18, misalnya, Kompeni justru mendorong proses islamisasi terjadi di sana. Waktu itu, Blambangan memang masih kental dengan nuansa kehinduannya.

Kompeni berdiri sampai tahun 1799. Selama hampir 200 tahun itu, tidak ada sumbangan berarti dari Kompeni bagi usaha kristenisasi di Nusantara. Barangkali, satu-satunya sumbangan yang dinilai berarti dari Kompeni adalah menerbitkan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Melayu. Penerbitan Alkitab itu sendiri dibangun di atas prinsip dasar bahwa orang-orang Kristen harus secepat mungkin diupayakan memiliki Alkitab masing-masing dan dalam bahasa yang dapat dimengerti mereka. Seperti yang umum dikenal, para pemeluk Protestan didorong untuk dapat mengakses langsung kitab suci mereka, tanpa perlu institusi-institusi khusus semisal kepausan dalam Katolik.

Tentang kurang seriusnya Kompeni dalam mengkristenkan penduduk pribumi, Alwi Shihab yang pernah meneliti sejarah kristenisasi di Indonesia untuk keperluan tugas doktoralnya mengemukakan,

“Pada umumnya cukup aman jika disimpulkan bahwa upaya para misionaris pada tahap-tahap awal lebih lemah dibandingkan pada periode selanjutnya. Ini disebabkan, pada abad ke-17 dan ke-18, agama di Belanda berada di bawah kontrol pemerintah. Karena fungsi pemerintahan di Hindia Belanda (Indonesia) diberikan kepada VOC, maka VOC memandang Gereja sebagai bagian wewenangnya. Mereka mempekerjakan para pendeta Gereja Reformasi untuk mengurus masalah-masalah agama dalam cara yang sama sebagaimana mereka mempekerjakan agen-agen lain untuk mengurusi masalah-masalah perdagangan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan misionaris dilihat sebagai bagian dari pekerjaan pemerintah. Dan karena VOC hanya punya sedikit dorongan untuk menyebarkan misi, mereka tidak mengambil pastor dari orang-orang Kristen di Belanda.”





[1] Baca: Ferenihde Ous Indisye Kompenyi.

[2] Usaha menyebarkan agama Kristen Katolik biasa disebut dengan istilah kegiatan misi dan pelakunya disebut dengan misionaris. Adapun penyebaran agama Kristen Protestan, biasa disebut dengan istilah zending.

[3] Istilah kongregasi di sini mengacu kepada perkumpulan para biarawan, biarawati, rohaniwan, atau rohaniwati Katolik dari satu kesatuan khusus. Sebagai perkmpulan, setiap kongregasi memiliki tujuan, visi dan misi yang berbeda beda. Ada kongregasi yang perhatian kepada pelayanan pendidikan. Ada yang perhatian kepada pelayanan kesehatan. Ada juga yang perhatian kepada pendoa dan yang lainnya. Secara umum, istilah kongregasi juga dapat mengacu kepada jenis struktur administratif dalam Gereja Katolik Roma dalam Kuria Romawi. Istilah kuria pada masa puncak-puncaknya kekuasaan gereja dapat diartikan sebagai pemerintahan, sehingga Kuria Romawi dapat diartikan sebagai Pemerintahan Roma (ingat, Katolik berpusat di Roma). Sekarang, istilah Kuria Romawi diartikan sebagai sebuah perangkat administratif Tahta Suci dan pusat badan pemerintahan seluruh Gereja Katolik Roma yang bersama Paus mengordinasikan dan menyediakan perangkat yang diperlukan agar fungsi Gereja Katolik Roma dapat terus berlangsung dan mencapai tujuan-tujuannya. Yang tertinggi dalam Kuria Romawi adalah Kongregasi. Di bawahnya terdapat Dewan Kepausan dan Komisi Kepausan. Semula anggota-anggota Kongregasi dipilih dari sekelompok kardinal (istilah untuk pejabat senior dalam Gereja Katolik Roma dan berada di bawah Paus) yang ditugaskan untuk mengurusi beberapa bidang kegiatan yang berhubungan dengan Tahta Suci. Setelah Konsili Vatikan II yang berlangsung pada 1962—1965, anggota-anggota Kongregasi dapat mencakup juga uskup-uskup di seluruh dunia yang bukan kardinal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar