Kedatangan bangsa Portugis juga
sekaligus membawa misi menyebarkan Kristen Katolik di tengah penduduk pribumi. Pada
1522, sekitar sebelas tahun berlalu dari penaklukan Malaka, gereja Katolik
pertama didirikan di Maluku. Empat puluh tahun kemudian, ada sekitar 10.000
orang di Maluku yang memeluk Katolik. Sebagian besar mereka tinggal di Ambon. Jumlah
itu meningkat menjadi sekitar 50.000 sampai 60.000 orang pada 1590-an.
Dalam proses
kristenisasi tahap pertama itu, misionaris-misionaris dari Ordo Jesuitlah yang
paling banyak mengambil peran. Salah seorang di antara mereka adalah Xavier
yang telah disebut sebelum ini. Meski tidak lama tinggal di Maluku, peran
penting yang dimainkan Xavier di Maluku itu membuat dirinya dijuluki sebagai “Rasul
untuk orang-orang Indonesia” oleh rekan-rekannya.
Yang harus menjadi
catatan, kita tidak harus selalu memahami bahwa agama Kristen datang pertama
kali ke Nusantara dengan menumpang kapal-kapal bangsa Portugis. Ada kemungkinan
yang besar bahwa pemeluk-pemeluk Kristen telah masuk ke Nusantara jauh sebelum
kedatangan orang-orang Portugis.
Muller Kruger, bahkan,
melangkah lebih jauh lagi. Mendasarkan diri pada sumber-sumber Arab kuno, ia
meyakini bahwa Kristen telah masuk ke Nusantara sejah abad ketujuh Masehi. Di daerah
Sibolga sekarang, tulis Kruger dalam Sedjarah Geredja di Indonesia, para
pemeluk Kristen pertama itu mendirikan gereja mereka. Untuk memperkuat keyakinannya,
Kruger menunjuk adanya misionaris-misionaris yang menumpang rombongan pedagang-pedagang
Eropa ketika melintasi jalur perdagangan dari Asia Tengah ke Asia Timur pada abad-abad tersebut.
Keterangan Kruger itu patut
diragukan kebenarannya. Bagaimana pun, sampai bangsa Portugis datang, tidak
ditemukan bukti-bukti apapun yang menunjukkan adanya komunitas Kristiani di
Nusantara. Yang ada justru sebaliknya, ada banyak bukti-bukti tak-terbantahkan
tentang keberadaan komunitas muslim sejak abad ke-12 Masehi.
Berbeda dengan Islam
yang diperkenalkan dengan cara-cara damai, agama Kristen diperkenalkan ke
tengah penduduk pribumi oleh bangsa Portugis dengan kekerasan. Mereka melakukan
itu, seperti halnya bangsa Spanyol, karena permusuhan akut mereka terhadap
Islam. Menurut Bertram Johannes Otto Schrieke yang menulis Indonesian
Sociological Studies, tindakan-tindakan Portugis dan Spanyol seperti itu masih
dilandasi oleh semangat Perang Salib yang sebenarnya telah belalu beberapa abad
sebelumnya.
Bisa ditebak, tindakan-tindakan
bangsa Portugis justru mengundang kebencian dan sikap bermusuhan dari sebagian penduduk
pribumi. Tahun-tahun pertama bangsa Portugis di Malaka dan Maluku segera
menjadi tahun-tahun penuh permusuhan dan pertumpahan darah. Sequeira, misalnya,
selain gagal menjalankan tugas dari Raja Portugal ketika singgah di Malaka,
juga harus berperang melawan Sultan Mahmud Syah (1488—1528). Sebagian pasukan
Sequeira waktu itu ditawan oleh pasukan sultan, sebagian lagi dibunuh.
Misal yang lain, di
Ternate, akibat usaha kristenisasi dan perilaku tidak sopan dari orang-orang
Portugis, muncul ketegangan antara mereka dan penguasa setempat. Puncaknya,
pada 1535, orang-orang Portugis di sana memaksa turun Raja Tabariji (atau
Tabarija yang berkuasa selama 1523—1535), membuangnya ke Goa, India, dan
membuatnya memeluk Kristen di sana. Malangnya, bekas raja yang bernama baptis
Dom Manuel itu meninggal dunia di Malaka pada 1545 dalam perjalanan pulang
menuju Ternate.
Di luar Malaka dan
Maluku, Portugis juga terpaksa berperang di Solor, Kepulauan Nusa Tenggara
sekarang. Mereka dikepung oleh penduduk setempat yang tidak menyukai Portugis
dan agama mereka. Karena kewalahan dengan perlawanan besar-besaran dari
penduduk sepanjang 1598—1599, Portugis akhirnya mengirimkan armada yang terdiri
dari 90 kapal untuk menghentikan perlawanan itu.
Beda dengan di Maluku,
di Solor, yang menyebarkan Katolik adalah misionaris-misionaris dari Ordo
Dominikan. Mereka membangun benteng dari batang pohon kelapa pada 1562 pada
waktu berkecamuk konflik antara Portugis dan penduduk Solor. Benteng tersebut
akhirnya dibakar oleh bala bantuan dari Jawa yang datang untuk ikut memerangi
Portugis pada 1563.
Orang-orang Portugis
tetap bertahan di Solor. Demikian pula dengan para misionaris dari Ordo
Dominikan itu. Benteng yang terbakar itu dibangun kembali sebagai pusat
kristenisasi di sana. Portugis baru pergi dari Solor, diusir oleh orang-orang
Belanda pada 1636.
Bagaimana kristenisasi
yang digiatkan oleh orang-orang Belanda?
Rentang waktu 1598—1602
adalah satu zaman yang lebih dikenal sebagai zaman pelayaran-pelayaran liar (wilde
vaart). Seperti yang telah lewat, pada rentang waktu itu,
perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda berlomba-lomba mengirimkan kapal-kapal
layar mereka menuju Nusantara. Tidak semuanya berhasil, namun persaingan yang
terjadi membuat suasana menjadi tidak sehat. Parlemen Belanda pun mengusulkan
agar perusahan-perusahaan tersebut menggabungkan kepentingan mereka itu ke
dalam sebuah perkongsian.
Setelah empat tahun
berlalu, usul parlemen akhirnya direalisasikan. Tepat pada tanggal 20 Maret
1602, perusahaan-perusahaan yang bersaing itu mendirikan sebuah kongsi dagang
yang disebut Vereenigde Oost-Indische Compagnie[1]
(VOC) atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur. Dalam sejarah kita, VOC inilah
yang kita kenal lewat istilah Kompeni.
Kompeni memiliki
markas di Amsterdam, Belanda. Sebagai sebuah perusahaan, mereka diberi parlemen
Belanda hak-hak untuk merekrut personel (yang akan disumpah untuk setia kepada
perusahaan) dan membentuk pasukan bersenjata, mengadakan peperangan, membangun
benteng-benteng di wilayah taklukan, dan membuat perjanjian-perjanjian dagang di
seluruh Asia.
Kompeni segera
berlayar ke Nusantara. Pada 1605, mereka berhasil merebut Maluku dan mengusir
orang-orang Portugis dari sana. Setelah itu, mereka terlibat perang dengan Portugis,
Spanyol dan Inggris untuk merebut wilayah-wilayah lain di Nusantara. Pada 1523,
sejumlah wilayah milik Portugis dan Spanyol telah berhasil direbut oleh
Kompeni.
Demikian pula dengan
misionaris-misionaris Portugis. Pada 1677, misalnya, Kompeni bekerjasama dengan
Sultan Ternate untuk mengusir Portugis dan misionaris Ordo Jesuit. Setelah itu,
Kompeni memaksa pemeluk-pemeluk Katolik yang bisa mereka temukan untuk masuk
agama Protestan.
Dengan diusirnya
bangsa Portugis dan masuknya bangsa Belanda, sejarah Protestan di Nusantara
mulai dibangun. Kompeni sendiri, sebenarnya, tidak begitu tertarik dengan usaha
mengkristenkan penduduk pribumi. Bagi Kompeni, keuntungan ekonomis adalah tujuan
utama mereka. Karena itu, tidak heran, ketika penguasa Belanda mewajibkan
Kompeni melakukan kristenisasi di Nusantara,[2]
tidak ada cara yang terpikir oleh Kompeni kecuali meniru apa yang telah
dilakukan oleh orang-orang Portugis—dan juga Spanyol di wilayah jajahan mereka.
Kompeni pun menempuh
cara-cara kekerasan dan pemaksaan dalam kegiatan zending mereka. Mereka,
misalnya, mengambil alih kongregasi-kongregasi[3]
Katolik milik Portugis dan cenderung ingin menghancurkan apa-apa yang dibangun
oleh orang-orang Katolik. Kepada penduduk-penduduk di wilayah taklukan mereka,
Kompeni menyatakan bahwa agama Kristen apapun tidak boleh dijalankan kecuali
Kristen Protestan.
Kendati sama-sama
menggunakan kekerasan, kristenisasi yang dilakukan oleh Kompeni tidak
mendatangkan hasil seperti yang dilakukan Portugis. Pendeta-pendeta Kompeni
kebanyakan kebanyakan bekerja memimpin kebaktian di kalangan petinggi-petinggi
Kompeni atau di rumah-rumah para pedagang bangsa Eropa. Tidak ada usaha serius mendekati
penduduk pribumi agar mereka pindah agama. Sebaliknya, jika dilihat usaha-usaha
pendekatan yang akan dilakukan kepada penduduk pribumi itu berpengaruh negatif
terhadap keuntungan ekonomis mereka, Kompeni menghindari usaha-usaha tersebut. Ketika
ingin menaklukkan Kerajaan Blambangan di ujung Jawa Timur pada abad ke-18,
misalnya, Kompeni justru mendorong proses islamisasi terjadi di sana. Waktu itu,
Blambangan memang masih kental dengan nuansa kehinduannya.
Kompeni berdiri sampai
tahun 1799. Selama hampir 200 tahun itu, tidak ada sumbangan berarti dari
Kompeni bagi usaha kristenisasi di Nusantara. Barangkali, satu-satunya
sumbangan yang dinilai berarti dari Kompeni adalah menerbitkan Kitab Perjanjian
Baru dalam bahasa Melayu. Penerbitan Alkitab itu sendiri dibangun di atas
prinsip dasar bahwa orang-orang Kristen harus secepat mungkin diupayakan
memiliki Alkitab masing-masing dan dalam bahasa yang dapat dimengerti mereka.
Seperti yang umum dikenal, para pemeluk Protestan didorong untuk dapat
mengakses langsung kitab suci mereka, tanpa perlu institusi-institusi khusus
semisal kepausan dalam Katolik.
Tentang kurang
seriusnya Kompeni dalam mengkristenkan penduduk pribumi, Alwi Shihab yang
pernah meneliti sejarah kristenisasi di Indonesia untuk keperluan tugas
doktoralnya mengemukakan,
“Pada umumnya cukup
aman jika disimpulkan bahwa upaya para misionaris pada tahap-tahap awal lebih
lemah dibandingkan pada periode selanjutnya. Ini disebabkan, pada abad ke-17
dan ke-18, agama di Belanda berada di bawah kontrol pemerintah. Karena fungsi
pemerintahan di Hindia Belanda (Indonesia) diberikan kepada VOC, maka VOC
memandang Gereja sebagai bagian wewenangnya. Mereka mempekerjakan para pendeta
Gereja Reformasi untuk mengurus masalah-masalah agama dalam cara yang sama
sebagaimana mereka mempekerjakan agen-agen lain untuk mengurusi masalah-masalah
perdagangan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan misionaris dilihat sebagai
bagian dari pekerjaan pemerintah. Dan karena VOC hanya punya sedikit dorongan
untuk menyebarkan misi, mereka tidak mengambil pastor dari orang-orang Kristen
di Belanda.”
[2] Usaha menyebarkan agama
Kristen Katolik biasa disebut dengan istilah kegiatan misi dan pelakunya
disebut dengan misionaris. Adapun penyebaran agama Kristen Protestan,
biasa disebut dengan istilah zending.
[3] Istilah kongregasi
di sini mengacu kepada perkumpulan para biarawan,
biarawati, rohaniwan, atau rohaniwati Katolik dari satu kesatuan khusus. Sebagai perkmpulan, setiap
kongregasi memiliki tujuan, visi dan misi yang berbeda
beda. Ada kongregasi
yang perhatian kepada pelayanan
pendidikan. Ada yang perhatian
kepada pelayanan kesehatan. Ada juga yang perhatian kepada pendoa dan yang lainnya. Secara
umum, istilah kongregasi juga dapat mengacu kepada jenis struktur
administratif dalam Gereja Katolik Roma dalam Kuria Romawi. Istilah kuria
pada masa puncak-puncaknya kekuasaan gereja dapat diartikan sebagai pemerintahan,
sehingga Kuria Romawi dapat diartikan sebagai Pemerintahan Roma (ingat, Katolik
berpusat di Roma). Sekarang, istilah Kuria Romawi diartikan sebagai sebuah perangkat administratif Tahta Suci dan pusat badan pemerintahan seluruh Gereja Katolik Roma
yang bersama Paus mengordinasikan
dan menyediakan perangkat yang diperlukan agar fungsi Gereja Katolik Roma dapat terus berlangsung dan mencapai tujuan-tujuannya. Yang tertinggi
dalam Kuria Romawi adalah Kongregasi. Di bawahnya terdapat Dewan Kepausan dan
Komisi Kepausan. Semula anggota-anggota Kongregasi dipilih dari sekelompok
kardinal (istilah untuk pejabat senior dalam Gereja Katolik Roma dan berada di
bawah Paus) yang ditugaskan untuk mengurusi beberapa bidang kegiatan yang
berhubungan dengan Tahta Suci. Setelah Konsili Vatikan II yang berlangsung pada
1962—1965, anggota-anggota Kongregasi dapat mencakup juga uskup-uskup di
seluruh dunia yang bukan kardinal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar