Sederhananya, tajdid
tidak dikatakan seperti itu kecuali ketika ada sesuatu yang berada dalam sebuah
keadaan lalu tiba-tiba datang sesuatu menimpa dan mengubahnya. Jika setelah itu ada yang kembali mengubahnya
menjadi seperti keadaan semula seperti sebelum tertimpa oleh sesuatu yang menimpa
dan mengubahnya seperti sekarang, maka inilah yang disebut dengan tajdid.
Meski demikian, di kalangan ulama kita, istilah tajdid punya
pengertian tersendiri. Ini, bisa kita lihat dalam karya mereka masing-masing.
Di antara mereka adalah Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi Al-Qahirah atau
yang lebih dikenal dengan Al-Munawi. Dalam Faydhul Qadir Syarh Al-Jami’
Ash-Shaghir, beliau mengatakan, “Men-tajdid agamanya artinya adalah
menjelaskan mana yang sunnah dari yang bid’ah, menyebarluaskan ilmu
dan menolong orang-orang yang ber-ilmu (ahl al-‘ilm), sekaligus
menghancurkan dan menghinakan ahlul bid’ah.”
Demikian pula dengan Muhammad Syamsul Haq Al-‘Azhim Abadi Al-Hindi atau
Al-‘Azhim Abadi. Dalam dalam kumpulan komentarnya untuk Sunan Abi Dawud,
‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, beliau mengatakan, “At-Tajdid
adalah menghidupkan apa-apa yang hilang dari beramal dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah, mengajak kepada apa-apa yang dituntut dari keduanya, dan mematikan
apa-apa yang tampak dari perkara-perkara bid’ah dan yang dibuat-buat
(dalam beragama).”
Sebuah pengertian yang diberikan Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi,
sepertinya, patut untuk kita simak di sini. Orang yang sering disebut dengan
Jalaluddin As-Suyuthi ini pernah menulis dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir,
“yang dimaksud dengan men-tajdid agama itu
adalah memperbarui hidayahnya, menjelaskan hakikat dan kebenarannya, mengenyahkan
apa-apa yang datang kepada para pemeluknya dari perkara-perkara bid’ah
dan sikap-sikap ekstrem dalam beragama atau bahkan sikap-sikap futur
dalam menegakkan agama, mempertimbangkan baik-baik apa yang menjadi maslahat
bagi para makhluk, dan menghiasi lingkungan serta peradaban dengan syariat
agama.”
Dalam Sunan Abi Dawud, terdapat sebuah
hadits sahih—yang mungkin kita semua hafal atau tahu dari berbagai kitab-kitab
para ulama—yang menjadi salah satu nash pokok
tentang adanya tajdid dan mujaddid dalam umat Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنّ اللهَ يُبْعَثُ لِهَذِهِ
الأُمَّةِ عَلىَ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا
“Sungguh
Allah ta’ala akan mengutus kepada umat ini di setiap awal seratus tahun
orang yang akan memperbarui kembali agama mereka.” [HR. Abu Dawud dan
Al-Hakim]
Mengutip Al-Munawi
dalam Faydhul Qadirnya ketika menjelaskan hadits itu, Syaikh Shalih bin
Fawzan Al-Fawzan menulis, Sungguh Allah ta’ala akan mengutus kepada
umat ini di setiap awal seratus tahun orang yang akan memperbarui kembali agama
mereka
“maksudnya mendatangkan untuk umatnya. Di
setiap awal seratus tahun itu dalam penanggalan Hijri atau selainnya.
Maksudnya, di sekitar awalnya. Orang artinya satu orang atau
lebih. Yang memperbarui kembali agama mereka artinya menerangkan mana
yang sunnah dari mana yang bid’ah, menyebarluaskan ilmu dan
menolong orang-orang yang ber-ilmu (ahl al-‘ilm), sekaligus menghancurkan
dan menghinakan ahlul bid’ah. Mereka mengatakan, ‘Dan tidaklah ini terjadi
kecuali pada seseorang yang mengilmui ilmu-ilmu agama secara lahir dan batin.’ Ibnu
Katsir pernah mengatakan, ‘Dan sungguh setiap kaum yang ada betul-betul telah membuat
klaim dalam keimaman mereka terkait maksud hadits tersebut. Tetapi yang jelas
adalah bahwa hal itu mencakup umum pada ulama-ulama di setiap kelompok dan
setiap golongan dari kalangan ahli tafsir, ahli hadits, ahli fikih, ahli nahwu,
ahli bahasa, dan seterusnya’.”
Lantas, siapa saja mujaddid-mujaddid
yang pernah ada di muka bumi ini? Lengkapnya, tentu saja, hanya Allah ta’ala
yang tahu.
Kita hanya tahu
beberapa nama. Dalam Min A’lam Al-Mujaddidin, misalnya, Syaikh
Shalih Al-Fawzan tidak ragu menunjuk Imam Ahmad bin Hanbal sebagai mujaddid
pada abad ketiga Hijriah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mujaddid di akhir
abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriah, dan Syaikhul Islam Muhammad bin
Abdil Wahhab mujaddid di abad kedua belas Hijriah.
Lalu, jauh sebelum
Syaikh Shalih Al-Fawzan, Imam Ahmad bin Hanbal pun pernah menyebut dua orang mujaddid
Islam. Pertama, yang menurutnya mujaddid di akhir seratus tahun Hijriah
adalah, Khalifah Umar bin Abdil Aziz dan kedua Imam Asy-Syafi’i. Membuka dan
membaca kembali buku-buku sirah, seperti Siyar A’lam An-Nubala’ karya
Imam Adz-Dzahabi, kita akan tahu alasan Imam Ahmad mendaulat mereka sebagai mujaddid
abad pertama dan mujaddid abad kedua.
Sesuatu yang tak
bisa ditolak, ada mujaddid-mujaddid seperti yang dimaksud di zaman kita
sekarang ini. Dalam Fatawa Al-‘Ulama’ Al-Akabir fi Ma Uhdira min Dima fi
Al-Jazair, misalnya, Syaikh Abdul Malik Ramadhani (atau penerbitnya?)
mencantumkan empat pendapat tentang siapa para mujaddid di zaman ini. Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan Syaikh Abdul Aziz bin Baz-lah mujaddid
zaman ini. Sementara Syaikh Bin Baz sendiri mengatakan bahwa Syaikh Al-Albani-lah
yang menurutnya pantas disebut mujaddid di kolong langit sekarang.
Bagaimana pun, dua ulama
itu disepakati sebagai pembaru ajaran Islam di abad keempat belas Hijriah tanpa
diributkan lagi. Kendati demikian, ada juga yang memasukkan Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin sebagai mujaddid di samping Syaikh Bin Baz dan Syaikh
Al-Albani. Jika kita simak rekam jejak dakwah Syaikh Al-Utsaimin selama
hidupnya, klaim seperti itu bukan isapan jempol belaka.
Sementara itu,
Syaikh Al-Utsaimin sendiri pernah menyebutkan dalam salah satu majelisnya bahwa
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i adalah seorang mujaddid untuk negeri
Yaman. Dengan ini, beliau, Syaikh Al-Utsaimin, seolah-olah ingin menegaskan apa
yang pernah Ibnu Katsir dan Al-Munawi tulis dulu, beberapa abad yang lalu,
tentang ketidakmestian mujaddid itu harus satu orang pada satu zaman
atau tentang seseorang yang dapat dikatakan mujaddid di negeri tempat ia
berdiam dan sekitarnya.
Sayangnya, di
negeri kita, cerita tentang tajdid adalah cerita tentang Muhammadiyah. Sampai
hari ini, banyak orang percaya bahwa gerakan Muhammadiyah adalah sebuah gerakan
tajdid di Indonesia—yang paling sukses dibanding gerakan-gerakan sejenis
lainnya sepanjang sejarah Indonesia—dan pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan, adalah
seorang mujaddid yang memperbarui ajaran Islam di Indonesia.
Taufik Nugroho,
misalnya, pernah memuat postingan berjudul “Tajdid Muhammadiyah dalam
Menyikapi Pemikiran Islam Liberal” di sebuah blog. Memulai tulisan, pengacara
ini mengatakan,
“Muhammadiyah sering dijuluki sebagai organisasi islam
pembaharu, atau gerakan tajdid. Julukan ini tentu tidak datang dari
dalam Muhammadiyah, melainkan dari para pengamat dan pemerhati Muhammadiyah.
Diantara indikator organisasi pembaharu, menurut mereka, adalah karena
organisasi ini berusaha untuk merujuk secara langsung kepada Al-Qur’an dan
Al-Sunnah dan memahaminya secara utuh dan komprehensif. Namun, akhir-akhir ini,
ciri dan indikator itu sering dipermasalahkan. Karena itu, predikat mujaddid
yang diberikan kepada Muhammadiyah merupakan sesuatu yang harus dikritisi.
Kritik itu, tentu harus didasarkan pada kenyataan dan kiprah organisasi ini
dalam merspons segala macam persoalan yang semakin kompleks dan canggih ini.
Kenyataannya, bukan saja Muhammadiyah yang melakukan pembaharuan dan terobosan
baru, bahkan akhir-akhir ini banyak perkumpulan yang telah melakukan perubahan
secara liberal terhadap doktrin dan norma ajaran Islam.”
Di bagian yang mengelaborasi makna tajdid
Muhammadiyah, ia menulis,
“Apa yang dimaksud dengan tajdîd dalam Muhammadiyah dan
bagaimana perkembangannya selama satu abad pertama? Kedua persoalan ini perlu
dianalisis berdasarkan periodesasi dan kurun waktu yang telah ada. Secara garis
besar, perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga
pase, yakni pase aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase rekonstruksi. Ketika
Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum
memikirkan landasan konsepsional dan teoritis tentang apa yang akan
dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan
pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan
Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan yang
dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya
kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri ini. Kecenderungan yang
bersifat reaktif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi mulai terlihat.
Pembetulan arah kiblat dalam pelaksanaan shalat, misalnya, menjadi bukti betapa
reaktifnya tokoh Muhammadiyah saat itu. Jargon yang diusung saat itu adalah
“Kembali Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah” secara apa adanya terutama dalam
masalah aqidah dan ibadah mahdlah. Munculnya istilah TBC (Takhayyul, Bid’ah dan
Churafat) merupakan akibat dari gerakan pemurnian periode ini. Produk pemikiran
yang dihasilkan oleh Majlis Tarjih didominasi oleh upaya memurnikan bidang
akidah dan ibadah itu. Periode ini berlangsung sampai tahun enam puluhan.”
Contoh lain adalah
apa yang ditulis Maman Lukmanul Hakim, salah seorang dosen di Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Gunung Jati Bandung. Dalam paper yang berjudul “Reorientasi
Gerakan Tajdid Muhammadiyah,” ia menulis,
“Bagi Muhammadiyah, tajdid sudah merupakan nalar dan
karakter gerakan umat Islam. Oleh karena itu, tajdid sudah menjadi tema yang
mendarah daging pada pendiri Muhammadiyah. Dalam kenyataannya, gerakan tajdid
muncul dalam pelbagai bentuk, yang masing-masing merupakan tanggapan terhadap
persoalan yang terjadi dinamisasi lingkungannya. Persoalan yang dimaksud muncul
dalam bentuk, pertama, tantangan kemunduran umat Islam dan yang kedua,
tantangan yang muncul dari kemajuan umat Islam. Atas dasar itu, maka tajdid
mengemban amanah sebagai berikut: (a) Mengembalikan semua bentuk keagamaan
kepada contoh masa awal Islam. Hal ini
dilakukan untuk membentengi keyakinan aqidah Islam serta bentuk-bentuk
ibadah yang lain yang berasal dari
ajaran-ajaran di luar Islam. Gerakan ini dinamakan dengan purifikasi. (b) Dengan
landasan universalitas Islam, tajdid dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengeimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan semangat zaman dengan
perkembangan kehidupan manusia. Dalam hal ini, biasanya dilakukan pada
aspek-aspek non-ibadah, seperti sosial kemasyarakatan, muamalah, dan
persoalan-persoslan kemanusiaan yang lainnya. Gerakan ini dikenal dengan
gerakan modernisasi atau dinamisasi. (c) Kerangka tersebut sesuai dengan
rumusan tarjih yang menyebutkan bahwa tajdid menyangkut pada wilayah pemurnian
(purifikasi) dan pembaharuan (dinamisasi). Dengan formulasi ini, maka
Muhammadiyah menyatakan bahwa tajdid meliputi tiga dimensi. Pertama, pemurnian
aqidah dan ibadah serta pembentukan akhlakul karimah. Kedua, pembentukan sikap
hidup yang dinamis, kreatif, prograsif dan berwawasan ke depan. Dan ketiga,
pengembangan kepemimpinan, organisasi dan etos kerja dalam persyarikatan
Muhammadiyah. Dialektika epistmologi ini berkembang dengan kontektualisasi
ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga selalu sesuai dengan
semangat perubahan yang terjadi di masyarakat. Kontektualisasi merupakan upaya
dialogis antara agama yang dalam hal ini direpresentasikan oleh teks suci/wahyu,
dengan realitas kesejarahan manusia (sosio-historis) yang terbingkai dalam
ranah budaya atau peradaban. Kedua dimensi ini diharapkan bisa berjalan
berdampingan seningga membentuk simponi sosial yakni humanitas, dan religiusitas.”
Hal yang serupa
juga diketengahkan oleh salah seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Malang, Roma Hadi Trisusangka. Perhatikan apa yang pernah ia tulis seperti yang
dicuplik di bawah ini.
“Muhammadiyah sejak kelahirannya di Kauman, Yogyakarta
pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H memang memiliki
karakter atau watak kuat sebagai gerakan tajdid. KH. Ahmad Dahlan selaku
pendiri Muhammadiyah dikenal pula sebagai mujadid atau pembaru karena sejumlah
gagasan dan langkah gerakannya yang bersifat pembaruan. Kelahiran Muhammadiyah
dan ketokohan KH. Ahmad Dahlan pada awal abad ke-20 di negeri tercinta ini
memang benar-benar membawa pembaruan ketika saat itu umat Islam berada dalam
kondisi jumud (statis) dari segi paham dan pemikiran keagamaan serta tertinggal
dalam kondisi kehidupan. Muhammadiyah yang kini usianya sudah seabad merupakan
sebuah fenomena tersendiri dalam khasanan sejarah Islam di Indonesia.
Muhammadiyah telah banyak menghiasi berbagai ruang dan tempat sejarah Indonesia
dari mulai pra-kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan, eksistensi Muhammadiyah
dalam mengisi kemerdekaan tak perlu di ragukan lagi. Seiring perkembangan
masyarakat yang dinamis dan sangat kompleks memaksa Muhammadiyah untuk
menyesuaikan dirinya dengan perkembangan tersebut. Sebagaimana
organisasi-organisasi keagamaan lainnya, Muhammadiyah dituntut oleh keadaan
untuk menilai kembali identitasnya agar tetap relevan dan mampu mengatasi
tantangan-tantangan yang ada yang semakin kompleks. Muhammadiyah
menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif dan muliti aspek melalui dakwah
untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al amr bil al makruf wa al nahi al munkar
(mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar) sehingga umat
manusi memperoleh keberuntungan lahir dan bathin dalam kehidupan ini. Dakwah
yang demikian itu mengandung makna bahwa Silam sebagai ajaran selalu bersifat
tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan,
kebaikan, kebenaran, keadilan dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan
serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan,
agama dan lain-lain.”
Kemudian lihat tajdid seperti apa yang
ia maksud dalam tulisan itu.
“Muhammadiyah dikenal sebagai suatu organisasi medernis
(Tajdid). Kesediaan Muhammadiyah untuk mengadopsi metode-metode modern (Barat)
dalam kehidupan organisasi sehari-hari, Misalnya dalam sistem pendidikan,
Muhammadiyah mengambil alih sistem pendidikan barat yakni dengan tanpa
memisahkan (dikhotomi) antara pendidikan agama dan pendidikan umum,
Muhammadiyah hadir dengan memadukan mata pelajaran agama dan umum, ini
merupakan upaya praktis modernisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Itu salah
satunya, dan salah satu studi kasus terbaru adalah Muhammadiyah tengah
mengembangkan strategi dakwah terbaru dengan melibatkan teknologi informasi
(TI) sebagai sarananya. Seiring makin kompleksnya permasalahan yang harus
dihadapai oleh Muhammadiyah, sering pada akhir-akhir ini menimbulkan tudingan
bahwa organisasi ini sedang mengalami kemandekan. Untuk itu, sangat menarik
kiranya Muhammadiyah mencermati dan berdakwah ‘amar ma’ruf nahyi mungkar’
dengan menggunakan media teknologi informasi (TI). Mengingat era kini sudah memasuki
era globalisasi. Dewasa ini teknologi informasi memang sudah menyenyuh di
berbagai lapisan baik masyarakat ke atas, menengah, ke bawah maupun berbagai
organisasi yang tidak bisa lepas dari TI. Muhammadiyah dan TI sudah tentu
saling bersinergi untuk membangun masyarakat yang sebenar-benarnya, sebagaimana
yang menjadi tujuan utama Muhammadiyah. Selain itu, kehadiran TI saat ini
seakan memiliki fungsi dan efek yang sama. Artinya, fungsi dari kehadiran TI
juga telah melahirkan dampak-dampak negatif yang ada di masyarakat. Tidak bisa
ditawar-tawar lagi, umat Islam harus mampu menguasai dan memanfaatkan
sebesar-besarnya perkembangan teknologi informasi untuk berdakwah. Bahkan Ketua
Muslim Information Technology Association (MIFTA) Dr Kun Wardhana Abiyanto mengatakan
‘Dari sisi dakwah, kekuatan internet sangat potensial untuk dimanfaatkan’. Bahkan
ada sejumlah kalangan beranggapan umat Islam sangat jauh tertinggal di bidang
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya globalisasi,
kompetisi tentu akan semakin berat. Maka otomatis kita kan dituntut untuk
berlomba-lomba menguasai bidang teknologi informasi serta mencari ilmu
pengetahuan sebanyak-banyaknya. Karena era globalisasi tentu bukan lagi
bersaing dari segi modal saja, melainkan sumber daya manusia yang bermutu dan
berkualis. Sebagai umat Islam perlu mempersiapkan diri menghadapi tantangan
zaman tersebut. Peran Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid (pembaharuan) harus
mampu menjawab tantangan masa depan. Bagaimana strategi dakwah Muhammadiyah dalam
menjawab tantangan era globalisasi dan informasi saat ini. Muhammadiyah dan
teknologi informasi saling bersinergi. Apabila di cermati sejak kelahiran dan
perkembangannya, Muhammadiyah menunjukan identitas sebagai gerakan Tajdid atau
pembaharuan. Muhammadiyah yakin bahwa dengan memahami secara sungguh-sungguh,
baik dan benar akan ajaran Islam, maka implementasinya tentu akan baik pula.”
Muhammadiyah yang
dimaksud dalam cuplikan-cuplikan tersebut sangat menyadari adanya pengakuan-pengakuan
seperti itu dan balik memperkuatnya. Karena itulah, dalam situs resmi
organisasi Muhammadiyah, ditulis,
“Dengan melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan
persyarikatan Muhammadiyah sejak kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang
melatarbelakangi berdirinya, aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha
dan gerakannya, nyata sekali bahwa didalammya terdapat ciri-ciri khusus yang
menjadi identitas dari hakikat atau jati diri Persyarikatan Muhammadiyah.
Secara jelas dapat diamati dengan mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau
memperhatikan ciri-ciri perjuangan Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut. (1)
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, (2) Muhammadiyah adalah gerakan
dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, (3) Muhammadiyah adalah gerakan tajdid”
Ciri ketiga itu kemudian mereka jabarkan
menjadi:
“Ciri ke tiga yang melekat pada Persyarikatan
Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan Tajdid atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah
sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat
menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan
Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan
menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat
gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid
yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan
nafas, yaitu memerangi secara total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti
syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab semua itu merupakan benalu yang dapat
merusak akidah dan ibadah seseorang.
Sifat Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya
tidak hanya sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai
kotoran yang menempel pada tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah
melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan
bermasyarakat, semacam memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara
penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah
dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan
pelaksanaan kurba dan sebagainya. Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid
dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (purification) dan tajdid
dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation). Dalam
hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka
Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.”
Lalu, bagaimana
dengan sang mujaddid sendiri, K.H. Ahmad Dahlan? Film “Sang Pencerah”
yang disutradarai Hanung Bramantyo adalah buktinya. Film biografis ini menjadi salah
satu film yang laris di pasar, ditonton banyak kalangan sekaligus mendapat
apresiasi positif yang tak-terkira.
Dalam salah satu
resensi film yang diposting di dunia maya, misalnya, ada yang menulis,
“Pada kunjungannya yang kedua ini[1]
sosok Syaikh Rashid Ridha lah yang banyak mempengaruhi pemikiran Ahmad Dahlan
tentang perjuangan Islam. Rashid Ridha mengingatkan bahwa tradisi di belahan
dunia manapun masih tetap ada, bahkan seseorang bisa lebih taat pada tradisinya
ketimbang agama yang dianutnya. Pemikiran Rasyid Ridha ini mengingatkan penulis[2]
terhadap salah satu guru penulis saat belajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah
Yogyakarta. Guru tersebut bernama Ustadz Ridwan Hamidi, Lc. Guru bidang studi
Hadis lulusan dari Madinah. Ia juga adalah alumnus Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah, Yogyakarta. Ustadz Ridwan saat itu menjelaskan Bid’ah. Bid’ah itu
bukanlah sesuatu yang selalu buruk. Karena ada juga yang dinamakan dengan
Bid’ah Hasanah. Bid’ah sendiri berarti sesuatu yang baru. Contoh bid’ah hasanah
adalah sendok. Sendok adalah sesuatu hal yang baru. Sendok merupakan bid’ah,
tapi bid’ah hasanah. Bid’ah hasanah inilah yang ternyata ditunjukkan oleh KH.
Ahmad Dahlan sekembalinya dari tanah suci. Seperti dikisahkan dalam film sang
pencerah karya Hanung Bramantyo, KH. Ahmad Dahlan mulai banyak mengenakan
pernak-pernik orang-orang Belanda seperti mulai dari pakaian hingga alas kaki
berupa sandal. Meskipun KH. Ahmad Dahlan difitnah berbagai macam hal namun KH.
Ahmad Dahlan bergeming. Sesuatu yang baru tidak selamanya buruk. Asal tidak
bertentanggan dengan syariat Islam. Saat itu mulai banyak teknologi yang
dikembangkan oleh orang-orang Eropa. Pada masa itu segala perkembangan
teknologi dan kemajuan zaman dianggap bid’ah dan tidak sesuai dengan Islam.
Karena penciptanya dianggap bukan golongan umat Islam. Namun, ternyata ada
bid’ah hasanah. Kemajuan teknologi yang bermanfaat tentunya bisa dikategorikan
sebagai bid’ah hasanah. Sikap Ahmad Dahlan yang melawan arus ini tentu saja
banyak di tentang dan menjadi sorotan beberapa ulama sepuh di Yogyakarta pada
saat itu.”
Di akhir ulasan, penulis resensi film itu memungkasi
kata-katanya dengan ucapan,
“Apa yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan jelas
merupakan warisan yang tiada terkira. Semua usaha yang dilakukan oleh KH. Ahmad
Dahlan bisa dinikmati hingga anak cucu kita kelak. Sekolah mulai dari tingkat
pendidikan usia dini hingga tingkat Pascasarjana dapat diakses berkat
Muhammadiyah. Belum lagi amal usaha lainnya seperti Panti Asuhan, Rumah Sakit,
Lembaga Amil Zakat dan lain sebaginya. Tidak sedikit pula tokoh nasional yang
lahir dari Sekolah-Sekolah dan Organisasi bernama Muhammadiyah. Satu hal yang
harus selalu diingat bahwa KH. Ahmad Dahlan pernah berpesan pada keluarganya
dan juga sebagai pesan kepada seluruh warga Muhammadiyah ‘Aku titipkan
Muhammadiyah kepadamu. Hidup-hidupilah Muhammadiyah, Jangan mencari penghidupan
di Muhammadiyah’.”
Peresensi yang
lain, bahkan, menilai bahwa film “Sang Pencerah” adalah film wajib tonton
karena sejumlah alasan terkait kiprah K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah.
“’Sang Pencerah’ bukan soal agama siapa yang benar atau
salah tapi berbicara tentang perbaikan terhadap diri sendiri untuk agama. Saya
jarang terbawa secara emosional saat menonton film Indonesia dan film ini
dengan bijaksana dapat menuntun penontonnya untuk duduk bersama dengan Ahmad
Dahlan tanpa terlihat ingin menggurui. Bertemakan film Islam, Hanung dengan
cermat dapat menyingkirkan egonya dan melebarkan celah yang sebelumnya dibilang
sempit menjadi selebar gerbang Mesjid Besar Kauman, yang akhirnya melahirkan
sebuah film yang bisa ditonton semua orang, non-muslim sekalipun. Walau ini
film bercirikan Islam tapi Hanung sanggup mengisi durasi 2 jam filmnya untuk
seimbang, tidak melulu menangkap potret Islam itu sendiri, tapi berhasil juga
memotret sosok Ahmad Dahlan dengan segala pemikiran dan inspirasinya yang
terbalut dengan drama kehidupan yang saya kira bisa diterjemahkan dengan
keyakinan manapun. Saya tidak menyangka Hanung sanggup membalik banyak halaman
sejarah, lalu dengan caranya berhasil memvisualisasikan rentang perjalanan
hidup seorang Ahmad Dahlan dan dia melakukannya dengan baik. Walau sepertinya
film ini terlalu banyak menjejalkan kita dengan potongan demi potongan sejarah
tentang Ahmad Dahlan, tetapi pada akhirnya saya cukup betah mendengarkan cerita
yang dibacakan oleh Hanung. Kejutan lain yang diberikan Hanung selain bagaimana
dia sanggup membuat cerita yang mudah dinikmati, dia juga mengemas film ini
dengan kualitas yang jarang dimunculkan untuk ukuran film Indonesia. Saya
kembali menyebutkan kata ‘jarang’ untuk kedua kalinya, kali ini untuk sebuah
kualitas, karena Hanung berhasil memperlihatkan bagaimana film yang dibangun
dengan pondasi cerita yang kokoh dapat berdiri cantik dengan sisi teknis yang
manis. Lihatlah bagaimana kota Yogyakarta dan sekitarnya termasuk Kauman versi
tahun 1800-an sanggup direka-ulang oleh film ini, berhasil menyatu dengan
cerita dan penonton bisa seperti diajak kembali ke masa lalu. Tentu saja
suasana masa lalu itu juga didukung oleh sinematografi yang apik menangkap
setiap potret keadaan 100 tahun yang lalu, bersama dengan memotretkan setiap
keindahan dari potongan sejarah Ahmad Dahlan.
[...]. Jika dilihat dari sudut pandang lain ‘Sang Pencerah’ terlihat
jelas seperti sebuah cermin bergerak yang memantulkan bayangan atas apa yang
tengah terjadi di masa sekarang. Dimana agama yang seharusnya menyatukan justru
menjadi korban, dijadikan kambing hitam dan alat pemecah belah perdamaian.
Terlepas dari apakah Hanung ingin mencoba mengingatkan bahwa 100 tahun silam ‘kekacauan’
juga pernah terjadi, ‘Sang Pencerah’ jelas lebih terasa seperti pengetuk hati.
Ahmad Dahlan tidak hanya mengajarkan banyak nilai-nilai moral yang bermanfaat,
tetapi lewat film ini kita juga diperkenalkan dengan kisah-kisah inspiratifnya
yang mencerahkan. ‘Sang Pencerah’ layaknya seorang guru yang pandai bermain
biola (oh iya, iringan musik di film ini sangat indah!!) dan bercerita tetapi
tidak memaksa muridnya untuk terasa digurui, serta menjadi panutan bagaimana
seharusnya film Indonesia dibuat, yah kita bisa membuat film bagus jika memang
mau. Wajib tonton!”
Penilaian seperti itu juga membuat Ketua PP.
Muhammadiyah sekarang, Din Syamsuddin, pernah merekomendasikan film tersebut
untuk ditonton setiap pencinta film Indonesia. “Film ini,” kata Din ketika
menghadiri Gala Premier Sang Pencerah di XXI Rasuna Epicentrum, Jakarta,
“menjelaskan gerakan yang dilakukan Ahmad Dahlan dulu
sebagai suatu pencerahan. Sangat layak ditonton seluruh pecinta film Indonesia.
Meski dari sosok Ahmad Dahlan masih ada yang belum tercover karena tentu tidak
memungkinkan untuk menceritakan semuanya dalam media film yang hanya berdurasi
kurang dari 2 jam, tetapi benang merah seorang Ahmad Dahlan dalam film ini
sangat terasa. Film ini menjelaskan Muhammadiyah adalah organisasi anak muda
karena sebagian besar anggota awalnya adalah anak muda yang memiliki visi dan
misi. Hal ini menjadi pesan tersendiri bagi kaum muda agar jangan berpangku
tangan terhadap sesama. Melalui film ini kaum muda dapat mendalami peranan
tersebut.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar