Laman

Minggu, 08 September 2013

GERAKAN TAJDID DI INDONESIA, MUHAMMADIYAH?

Tajdid secara bahasa berarti menjadikan sesuatu itu (a) baru kembali atau (b) sesuatu yang baru dan bisa juga (c) jadi baru. Demikian Ibnul Manzhur dan Muhammad bin Abi Bakar Ar-Razi pernah mengatakan yang seperti itu dalam Lisan Al-‘Arab dan Mukhtar Ash-Shihhah.

Sederhananya, tajdid tidak dikatakan seperti itu kecuali ketika ada sesuatu yang berada dalam sebuah keadaan lalu tiba-tiba datang sesuatu menimpa dan mengubahnya. Jika setelah itu ada yang kembali mengubahnya menjadi seperti keadaan semula seperti sebelum tertimpa oleh sesuatu yang menimpa dan mengubahnya seperti sekarang, maka inilah yang disebut dengan tajdid.

Meski demikian, di kalangan ulama kita, istilah tajdid punya pengertian tersendiri. Ini, bisa kita lihat dalam karya mereka masing-masing.

Di antara mereka adalah Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi Al-Qahirah atau yang lebih dikenal dengan Al-Munawi. Dalam Faydhul Qadir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir, beliau mengatakan, “Men-tajdid agamanya artinya adalah menjelaskan mana yang sunnah dari yang bid’ah, menyebarluaskan ilmu dan menolong orang-orang yang ber-ilmu (ahl al-‘ilm), sekaligus menghancurkan dan menghinakan ahlul bid’ah.”

Demikian pula dengan Muhammad Syamsul Haq Al-‘Azhim Abadi Al-Hindi atau Al-‘Azhim Abadi. Dalam dalam kumpulan komentarnya untuk Sunan Abi Dawud, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, beliau mengatakan, “At-Tajdid adalah menghidupkan apa-apa yang hilang dari beramal dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengajak kepada apa-apa yang dituntut dari keduanya, dan mematikan apa-apa yang tampak dari perkara-perkara bid’ah dan yang dibuat-buat (dalam beragama).”

Sebuah pengertian yang diberikan Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi, sepertinya, patut untuk kita simak di sini. Orang yang sering disebut dengan Jalaluddin As-Suyuthi ini pernah menulis dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir,

“yang dimaksud dengan men-tajdid agama itu adalah memperbarui hidayahnya, menjelaskan hakikat dan kebenarannya, mengenyahkan apa-apa yang datang kepada para pemeluknya dari perkara-perkara bid’ah dan sikap-sikap ekstrem dalam beragama atau bahkan sikap-sikap futur dalam menegakkan agama, mempertimbangkan baik-baik apa yang menjadi maslahat bagi para makhluk, dan menghiasi lingkungan serta peradaban dengan syariat agama.”

Dalam Sunan Abi Dawud, terdapat sebuah hadits sahih—yang mungkin kita semua hafal atau tahu dari berbagai kitab-kitab para ulama—yang menjadi salah satu nash pokok tentang adanya tajdid dan mujaddid dalam umat Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنّ اللهَ يُبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلىَ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا
“Sungguh Allah ta’ala akan mengutus kepada umat ini di setiap awal seratus tahun orang yang akan memperbarui kembali agama mereka.” [HR. Abu Dawud dan Al-Hakim]

Mengutip Al-Munawi dalam Faydhul Qadirnya ketika menjelaskan hadits itu, Syaikh Shalih bin Fawzan Al-Fawzan menulis, Sungguh Allah ta’ala akan mengutus kepada umat ini di setiap awal seratus tahun orang yang akan memperbarui kembali agama mereka

“maksudnya mendatangkan untuk umatnya. Di setiap awal seratus tahun itu dalam penanggalan Hijri atau selainnya. Maksudnya, di sekitar awalnya. Orang artinya satu orang atau lebih. Yang memperbarui kembali agama mereka artinya menerangkan mana yang sunnah dari mana yang bid’ah, menyebarluaskan ilmu dan menolong orang-orang yang ber-ilmu (ahl al-‘ilm), sekaligus menghancurkan dan menghinakan ahlul bid’ah. Mereka mengatakan, ‘Dan tidaklah ini terjadi kecuali pada seseorang yang mengilmui ilmu-ilmu agama secara lahir dan batin.’ Ibnu Katsir pernah mengatakan, ‘Dan sungguh setiap kaum yang ada betul-betul telah membuat klaim dalam keimaman mereka terkait maksud hadits tersebut. Tetapi yang jelas adalah bahwa hal itu mencakup umum pada ulama-ulama di setiap kelompok dan setiap golongan dari kalangan ahli tafsir, ahli hadits, ahli fikih, ahli nahwu, ahli bahasa, dan seterusnya’.”

Lantas, siapa saja mujaddid-mujaddid yang pernah ada di muka bumi ini? Lengkapnya, tentu saja, hanya Allah ta’ala yang tahu.

Kita hanya tahu beberapa nama. Dalam Min A’lam Al-Mujaddidin, misalnya, Syaikh Shalih Al-Fawzan tidak ragu menunjuk Imam Ahmad bin Hanbal sebagai mujaddid pada abad ketiga Hijriah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mujaddid di akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriah, dan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab mujaddid di abad kedua belas Hijriah.

Lalu, jauh sebelum Syaikh Shalih Al-Fawzan, Imam Ahmad bin Hanbal pun pernah menyebut dua orang mujaddid Islam. Pertama, yang menurutnya mujaddid di akhir seratus tahun Hijriah adalah, Khalifah Umar bin Abdil Aziz dan kedua Imam Asy-Syafi’i. Membuka dan membaca kembali buku-buku sirah, seperti Siyar A’lam An-Nubala’ karya Imam Adz-Dzahabi, kita akan tahu alasan Imam Ahmad mendaulat mereka sebagai mujaddid abad pertama dan mujaddid abad kedua.

Sesuatu yang tak bisa ditolak, ada mujaddid-mujaddid seperti yang dimaksud di zaman kita sekarang ini. Dalam Fatawa Al-‘Ulama’ Al-Akabir fi Ma Uhdira min Dima fi Al-Jazair, misalnya, Syaikh Abdul Malik Ramadhani (atau penerbitnya?) mencantumkan empat pendapat tentang siapa para mujaddid di zaman ini. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan Syaikh Abdul Aziz bin Baz-lah mujaddid zaman ini. Sementara Syaikh Bin Baz sendiri mengatakan bahwa Syaikh Al-Albani-lah yang menurutnya pantas disebut mujaddid di kolong langit sekarang.

Bagaimana pun, dua ulama itu disepakati sebagai pembaru ajaran Islam di abad keempat belas Hijriah tanpa diributkan lagi. Kendati demikian, ada juga yang memasukkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin sebagai mujaddid di samping Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al-Albani. Jika kita simak rekam jejak dakwah Syaikh Al-Utsaimin selama hidupnya, klaim seperti itu bukan isapan jempol belaka.

Sementara itu, Syaikh Al-Utsaimin sendiri pernah menyebutkan dalam salah satu majelisnya bahwa Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i adalah seorang mujaddid untuk negeri Yaman. Dengan ini, beliau, Syaikh Al-Utsaimin, seolah-olah ingin menegaskan apa yang pernah Ibnu Katsir dan Al-Munawi tulis dulu, beberapa abad yang lalu, tentang ketidakmestian mujaddid itu harus satu orang pada satu zaman atau tentang seseorang yang dapat dikatakan mujaddid di negeri tempat ia berdiam dan sekitarnya.

Sayangnya, di negeri kita, cerita tentang tajdid adalah cerita tentang Muhammadiyah. Sampai hari ini, banyak orang percaya bahwa gerakan Muhammadiyah adalah sebuah gerakan tajdid di Indonesia—yang paling sukses dibanding gerakan-gerakan sejenis lainnya sepanjang sejarah Indonesia—dan pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan, adalah seorang mujaddid yang memperbarui ajaran Islam di Indonesia.

Taufik Nugroho, misalnya, pernah memuat postingan berjudul “Tajdid Muhammadiyah dalam Menyikapi Pemikiran Islam Liberal” di sebuah blog. Memulai tulisan, pengacara ini mengatakan,

“Muhammadiyah sering dijuluki sebagai organisasi islam pembaharu, atau gerakan tajdid. Julukan ini tentu tidak datang dari dalam Muhammadiyah, melainkan dari para pengamat dan pemerhati Muhammadiyah. Diantara indikator organisasi pembaharu, menurut mereka, adalah karena organisasi ini berusaha untuk merujuk secara langsung kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah dan memahaminya secara utuh dan komprehensif. Namun, akhir-akhir ini, ciri dan indikator itu sering dipermasalahkan. Karena itu, predikat mujaddid yang diberikan kepada Muhammadiyah merupakan sesuatu yang harus dikritisi. Kritik itu, tentu harus didasarkan pada kenyataan dan kiprah organisasi ini dalam merspons segala macam persoalan yang semakin kompleks dan canggih ini. Kenyataannya, bukan saja Muhammadiyah yang melakukan pembaharuan dan terobosan baru, bahkan akhir-akhir ini banyak perkumpulan yang telah melakukan perubahan secara liberal terhadap doktrin dan norma ajaran Islam.”

Di bagian yang mengelaborasi makna tajdid Muhammadiyah, ia menulis,

“Apa yang dimaksud dengan tajdîd dalam Muhammadiyah dan bagaimana perkembangannya selama satu abad pertama? Kedua persoalan ini perlu dianalisis berdasarkan periodesasi dan kurun waktu yang telah ada. Secara garis besar, perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga pase, yakni pase aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase rekonstruksi. Ketika Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum memikirkan landasan konsepsional dan teoritis tentang apa yang akan dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan yang dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri ini. Kecenderungan yang bersifat reaktif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi mulai terlihat. Pembetulan arah kiblat dalam pelaksanaan shalat, misalnya, menjadi bukti betapa reaktifnya tokoh Muhammadiyah saat itu. Jargon yang diusung saat itu adalah “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah” secara apa adanya terutama dalam masalah aqidah dan ibadah mahdlah. Munculnya istilah TBC (Takhayyul, Bid’ah dan Churafat) merupakan akibat dari gerakan pemurnian periode ini. Produk pemikiran yang dihasilkan oleh Majlis Tarjih didominasi oleh upaya memurnikan bidang akidah dan ibadah itu. Periode ini berlangsung sampai tahun enam puluhan.”

Contoh lain adalah apa yang ditulis Maman Lukmanul Hakim, salah seorang dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Jati Bandung. Dalam paper yang berjudul “Reorientasi Gerakan Tajdid Muhammadiyah,” ia menulis,

“Bagi Muhammadiyah, tajdid sudah merupakan nalar dan karakter gerakan umat Islam. Oleh karena itu, tajdid sudah menjadi tema yang mendarah daging pada pendiri Muhammadiyah. Dalam kenyataannya, gerakan tajdid muncul dalam pelbagai bentuk, yang masing-masing merupakan tanggapan terhadap persoalan yang terjadi dinamisasi lingkungannya. Persoalan yang dimaksud muncul dalam bentuk, pertama, tantangan kemunduran umat Islam dan yang kedua, tantangan yang muncul dari kemajuan umat Islam. Atas dasar itu, maka tajdid mengemban amanah sebagai berikut: (a) Mengembalikan semua bentuk keagamaan kepada contoh masa awal Islam. Hal ini  dilakukan untuk membentengi keyakinan aqidah Islam serta bentuk-bentuk ibadah yang lain yang berasal  dari ajaran-ajaran di luar Islam. Gerakan ini dinamakan dengan purifikasi. (b) Dengan landasan universalitas Islam, tajdid dimaksudkan sebagai upaya untuk mengeimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan semangat zaman dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalam hal ini, biasanya dilakukan pada aspek-aspek non-ibadah, seperti sosial kemasyarakatan, muamalah, dan persoalan-persoslan kemanusiaan yang lainnya. Gerakan ini dikenal dengan gerakan modernisasi atau dinamisasi. (c) Kerangka tersebut sesuai dengan rumusan tarjih yang menyebutkan bahwa tajdid menyangkut pada wilayah pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan (dinamisasi). Dengan formulasi ini, maka Muhammadiyah menyatakan bahwa tajdid meliputi tiga dimensi. Pertama, pemurnian aqidah dan ibadah serta pembentukan akhlakul karimah. Kedua, pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, prograsif dan berwawasan ke depan. Dan ketiga, pengembangan kepemimpinan, organisasi dan etos kerja dalam persyarikatan Muhammadiyah. Dialektika epistmologi ini berkembang dengan kontektualisasi ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga selalu sesuai dengan semangat perubahan yang terjadi di masyarakat. Kontektualisasi merupakan upaya dialogis antara agama yang dalam hal ini direpresentasikan oleh teks suci/wahyu, dengan realitas kesejarahan manusia (sosio-historis) yang terbingkai dalam ranah budaya atau peradaban. Kedua dimensi ini diharapkan bisa berjalan berdampingan seningga membentuk simponi sosial yakni humanitas, dan religiusitas.

Hal yang serupa juga diketengahkan oleh salah seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, Roma Hadi Trisusangka. Perhatikan apa yang pernah ia tulis seperti yang dicuplik di bawah ini.

“Muhammadiyah sejak kelahirannya di Kauman, Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H memang memiliki karakter atau watak kuat sebagai gerakan tajdid. KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah dikenal pula sebagai mujadid atau pembaru karena sejumlah gagasan dan langkah gerakannya yang bersifat pembaruan. Kelahiran Muhammadiyah dan ketokohan KH. Ahmad Dahlan pada awal abad ke-20 di negeri tercinta ini memang benar-benar membawa pembaruan ketika saat itu umat Islam berada dalam kondisi jumud (statis) dari segi paham dan pemikiran keagamaan serta tertinggal dalam kondisi kehidupan. Muhammadiyah yang kini usianya sudah seabad merupakan sebuah fenomena tersendiri dalam khasanan sejarah Islam di Indonesia. Muhammadiyah telah banyak menghiasi berbagai ruang dan tempat sejarah Indonesia dari mulai pra-kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan, eksistensi Muhammadiyah dalam mengisi kemerdekaan tak perlu di ragukan lagi. Seiring perkembangan masyarakat yang dinamis dan sangat kompleks memaksa Muhammadiyah untuk menyesuaikan dirinya dengan perkembangan tersebut. Sebagaimana organisasi-organisasi keagamaan lainnya, Muhammadiyah dituntut oleh keadaan untuk menilai kembali identitasnya agar tetap relevan dan mampu mengatasi tantangan-tantangan yang ada yang semakin kompleks. Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif dan muliti aspek melalui dakwah untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al amr bil al makruf wa al nahi al munkar (mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar) sehingga umat manusi memperoleh keberuntungan lahir dan bathin dalam kehidupan ini. Dakwah yang demikian itu mengandung makna bahwa Silam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama dan lain-lain.”

Kemudian lihat tajdid seperti apa yang ia maksud dalam tulisan itu.

“Muhammadiyah dikenal sebagai suatu organisasi medernis (Tajdid). Kesediaan Muhammadiyah untuk mengadopsi metode-metode modern (Barat) dalam kehidupan organisasi sehari-hari, Misalnya dalam sistem pendidikan, Muhammadiyah mengambil alih sistem pendidikan barat yakni dengan tanpa memisahkan (dikhotomi) antara pendidikan agama dan pendidikan umum, Muhammadiyah hadir dengan memadukan mata pelajaran agama dan umum, ini merupakan upaya praktis modernisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Itu salah satunya, dan salah satu studi kasus terbaru adalah Muhammadiyah tengah mengembangkan strategi dakwah terbaru dengan melibatkan teknologi informasi (TI) sebagai sarananya. Seiring makin kompleksnya permasalahan yang harus dihadapai oleh Muhammadiyah, sering pada akhir-akhir ini menimbulkan tudingan bahwa organisasi ini sedang mengalami kemandekan. Untuk itu, sangat menarik kiranya Muhammadiyah mencermati dan berdakwah ‘amar ma’ruf nahyi mungkar’ dengan menggunakan media teknologi informasi (TI). Mengingat era kini sudah memasuki era globalisasi. Dewasa ini teknologi informasi memang sudah menyenyuh di berbagai lapisan baik masyarakat ke atas, menengah, ke bawah maupun berbagai organisasi yang tidak bisa lepas dari TI. Muhammadiyah dan TI sudah tentu saling bersinergi untuk membangun masyarakat yang sebenar-benarnya, sebagaimana yang menjadi tujuan utama Muhammadiyah. Selain itu, kehadiran TI saat ini seakan memiliki fungsi dan efek yang sama. Artinya, fungsi dari kehadiran TI juga telah melahirkan dampak-dampak negatif yang ada di masyarakat. Tidak bisa ditawar-tawar lagi, umat Islam harus mampu menguasai dan memanfaatkan sebesar-besarnya perkembangan teknologi informasi untuk berdakwah. Bahkan Ketua Muslim Information Technology Association (MIFTA) Dr Kun Wardhana Abiyanto mengatakan ‘Dari sisi dakwah, kekuatan internet sangat potensial untuk dimanfaatkan’. Bahkan ada sejumlah kalangan beranggapan umat Islam sangat jauh tertinggal di bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya globalisasi, kompetisi tentu akan semakin berat. Maka otomatis kita kan dituntut untuk berlomba-lomba menguasai bidang teknologi informasi serta mencari ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Karena era globalisasi tentu bukan lagi bersaing dari segi modal saja, melainkan sumber daya manusia yang bermutu dan berkualis. Sebagai umat Islam perlu mempersiapkan diri menghadapi tantangan zaman tersebut. Peran Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid (pembaharuan) harus mampu menjawab tantangan masa depan. Bagaimana strategi dakwah Muhammadiyah dalam menjawab tantangan era globalisasi dan informasi saat ini. Muhammadiyah dan teknologi informasi saling bersinergi. Apabila di cermati sejak kelahiran dan perkembangannya, Muhammadiyah menunjukan identitas sebagai gerakan Tajdid atau pembaharuan. Muhammadiyah yakin bahwa dengan memahami secara sungguh-sungguh, baik dan benar akan ajaran Islam, maka implementasinya tentu akan baik pula.”

Muhammadiyah yang dimaksud dalam cuplikan-cuplikan tersebut sangat menyadari adanya pengakuan-pengakuan seperti itu dan balik memperkuatnya. Karena itulah, dalam situs resmi organisasi Muhammadiyah, ditulis,

“Dengan melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan persyarikatan Muhammadiyah sejak kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya, aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha dan gerakannya, nyata sekali bahwa didalammya terdapat ciri-ciri khusus yang menjadi identitas dari hakikat atau jati diri Persyarikatan Muhammadiyah. Secara jelas dapat diamati dengan mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau memperhatikan ciri-ciri perjuangan Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut. (1)  Muhammadiyah adalah gerakan Islam, (2) Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, (3) Muhammadiyah adalah gerakan tajdid”

Ciri ketiga itu kemudian mereka jabarkan menjadi:

Ciri ke tiga yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan Tajdid atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu memerangi secara total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab semua itu merupakan benalu yang dapat merusak akidah dan ibadah seseorang. Sifat Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan pelaksanaan kurba dan sebagainya. Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation). Dalam hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.

Lalu, bagaimana dengan sang mujaddid sendiri, K.H. Ahmad Dahlan? Film “Sang Pencerah” yang disutradarai Hanung Bramantyo adalah buktinya. Film biografis ini menjadi salah satu film yang laris di pasar, ditonton banyak kalangan sekaligus mendapat apresiasi positif yang tak-terkira.

Dalam salah satu resensi film yang diposting di dunia maya, misalnya, ada yang menulis,

“Pada kunjungannya yang kedua ini[1] sosok Syaikh Rashid Ridha lah yang banyak mempengaruhi pemikiran Ahmad Dahlan tentang perjuangan Islam. Rashid Ridha mengingatkan bahwa tradisi di belahan dunia manapun masih tetap ada, bahkan seseorang bisa lebih taat pada tradisinya ketimbang agama yang dianutnya. Pemikiran Rasyid Ridha ini mengingatkan penulis[2] terhadap salah satu guru penulis saat belajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Guru tersebut bernama Ustadz Ridwan Hamidi, Lc. Guru bidang studi Hadis lulusan dari Madinah. Ia juga adalah alumnus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Ustadz Ridwan saat itu menjelaskan Bid’ah. Bid’ah itu bukanlah sesuatu yang selalu buruk. Karena ada juga yang dinamakan dengan Bid’ah Hasanah. Bid’ah sendiri berarti sesuatu yang baru. Contoh bid’ah hasanah adalah sendok. Sendok adalah sesuatu hal yang baru. Sendok merupakan bid’ah, tapi bid’ah hasanah. Bid’ah hasanah inilah yang ternyata ditunjukkan oleh KH. Ahmad Dahlan sekembalinya dari tanah suci. Seperti dikisahkan dalam film sang pencerah karya Hanung Bramantyo, KH. Ahmad Dahlan mulai banyak mengenakan pernak-pernik orang-orang Belanda seperti mulai dari pakaian hingga alas kaki berupa sandal. Meskipun KH. Ahmad Dahlan difitnah berbagai macam hal namun KH. Ahmad Dahlan bergeming. Sesuatu yang baru tidak selamanya buruk. Asal tidak bertentanggan dengan syariat Islam. Saat itu mulai banyak teknologi yang dikembangkan oleh orang-orang Eropa. Pada masa itu segala perkembangan teknologi dan kemajuan zaman dianggap bid’ah dan tidak sesuai dengan Islam. Karena penciptanya dianggap bukan golongan umat Islam. Namun, ternyata ada bid’ah hasanah. Kemajuan teknologi yang bermanfaat tentunya bisa dikategorikan sebagai bid’ah hasanah. Sikap Ahmad Dahlan yang melawan arus ini tentu saja banyak di tentang dan menjadi sorotan beberapa ulama sepuh di Yogyakarta pada saat itu.”

Di akhir ulasan, penulis resensi film itu memungkasi kata-katanya dengan ucapan,

“Apa yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan jelas merupakan warisan yang tiada terkira. Semua usaha yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan bisa dinikmati hingga anak cucu kita kelak. Sekolah mulai dari tingkat pendidikan usia dini hingga tingkat Pascasarjana dapat diakses berkat Muhammadiyah. Belum lagi amal usaha lainnya seperti Panti Asuhan, Rumah Sakit, Lembaga Amil Zakat dan lain sebaginya. Tidak sedikit pula tokoh nasional yang lahir dari Sekolah-Sekolah dan Organisasi bernama Muhammadiyah. Satu hal yang harus selalu diingat bahwa KH. Ahmad Dahlan pernah berpesan pada keluarganya dan juga sebagai pesan kepada seluruh warga Muhammadiyah ‘Aku titipkan Muhammadiyah kepadamu. Hidup-hidupilah Muhammadiyah, Jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah’.”

Peresensi yang lain, bahkan, menilai bahwa film “Sang Pencerah” adalah film wajib tonton karena sejumlah alasan terkait kiprah K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah.

“’Sang Pencerah’ bukan soal agama siapa yang benar atau salah tapi berbicara tentang perbaikan terhadap diri sendiri untuk agama. Saya jarang terbawa secara emosional saat menonton film Indonesia dan film ini dengan bijaksana dapat menuntun penontonnya untuk duduk bersama dengan Ahmad Dahlan tanpa terlihat ingin menggurui. Bertemakan film Islam, Hanung dengan cermat dapat menyingkirkan egonya dan melebarkan celah yang sebelumnya dibilang sempit menjadi selebar gerbang Mesjid Besar Kauman, yang akhirnya melahirkan sebuah film yang bisa ditonton semua orang, non-muslim sekalipun. Walau ini film bercirikan Islam tapi Hanung sanggup mengisi durasi 2 jam filmnya untuk seimbang, tidak melulu menangkap potret Islam itu sendiri, tapi berhasil juga memotret sosok Ahmad Dahlan dengan segala pemikiran dan inspirasinya yang terbalut dengan drama kehidupan yang saya kira bisa diterjemahkan dengan keyakinan manapun. Saya tidak menyangka Hanung sanggup membalik banyak halaman sejarah, lalu dengan caranya berhasil memvisualisasikan rentang perjalanan hidup seorang Ahmad Dahlan dan dia melakukannya dengan baik. Walau sepertinya film ini terlalu banyak menjejalkan kita dengan potongan demi potongan sejarah tentang Ahmad Dahlan, tetapi pada akhirnya saya cukup betah mendengarkan cerita yang dibacakan oleh Hanung. Kejutan lain yang diberikan Hanung selain bagaimana dia sanggup membuat cerita yang mudah dinikmati, dia juga mengemas film ini dengan kualitas yang jarang dimunculkan untuk ukuran film Indonesia. Saya kembali menyebutkan kata ‘jarang’ untuk kedua kalinya, kali ini untuk sebuah kualitas, karena Hanung berhasil memperlihatkan bagaimana film yang dibangun dengan pondasi cerita yang kokoh dapat berdiri cantik dengan sisi teknis yang manis. Lihatlah bagaimana kota Yogyakarta dan sekitarnya termasuk Kauman versi tahun 1800-an sanggup direka-ulang oleh film ini, berhasil menyatu dengan cerita dan penonton bisa seperti diajak kembali ke masa lalu. Tentu saja suasana masa lalu itu juga didukung oleh sinematografi yang apik menangkap setiap potret keadaan 100 tahun yang lalu, bersama dengan memotretkan setiap keindahan dari potongan sejarah Ahmad Dahlan.  [...]. Jika dilihat dari sudut pandang lain ‘Sang Pencerah’ terlihat jelas seperti sebuah cermin bergerak yang memantulkan bayangan atas apa yang tengah terjadi di masa sekarang. Dimana agama yang seharusnya menyatukan justru menjadi korban, dijadikan kambing hitam dan alat pemecah belah perdamaian. Terlepas dari apakah Hanung ingin mencoba mengingatkan bahwa 100 tahun silam ‘kekacauan’ juga pernah terjadi, ‘Sang Pencerah’ jelas lebih terasa seperti pengetuk hati. Ahmad Dahlan tidak hanya mengajarkan banyak nilai-nilai moral yang bermanfaat, tetapi lewat film ini kita juga diperkenalkan dengan kisah-kisah inspiratifnya yang mencerahkan. ‘Sang Pencerah’ layaknya seorang guru yang pandai bermain biola (oh iya, iringan musik di film ini sangat indah!!) dan bercerita tetapi tidak memaksa muridnya untuk terasa digurui, serta menjadi panutan bagaimana seharusnya film Indonesia dibuat, yah kita bisa membuat film bagus jika memang mau. Wajib tonton!”

Penilaian seperti itu juga membuat Ketua PP. Muhammadiyah sekarang, Din Syamsuddin, pernah merekomendasikan film tersebut untuk ditonton setiap pencinta film Indonesia. “Film ini,” kata Din ketika menghadiri Gala Premier Sang Pencerah di XXI Rasuna Epicentrum, Jakarta,

“menjelaskan gerakan yang dilakukan Ahmad Dahlan dulu sebagai suatu pencerahan. Sangat layak ditonton seluruh pecinta film Indonesia. Meski dari sosok Ahmad Dahlan masih ada yang belum tercover karena tentu tidak memungkinkan untuk menceritakan semuanya dalam media film yang hanya berdurasi kurang dari 2 jam, tetapi benang merah seorang Ahmad Dahlan dalam film ini sangat terasa. Film ini menjelaskan Muhammadiyah adalah organisasi anak muda karena sebagian besar anggota awalnya adalah anak muda yang memiliki visi dan misi. Hal ini menjadi pesan tersendiri bagi kaum muda agar jangan berpangku tangan terhadap sesama. Melalui film ini kaum muda dapat mendalami peranan tersebut.”





[1] Maksudnya, kunjungan ke Tanah Suci. Sepanjang hidupnya, K.H. Ahmad Dahlan berangkat ke Mekkah dua kali.
[2] Maksudnya, penulis resensi film itu, Dzulfikar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar