Laman

Sabtu, 08 Desember 2012

Indonesia Merdeka


Islam di tengah bangsa Indonesia mengalami percepatan tumbuh pada masa pendudukan tentara Jepang. Dalam suasana Perang Dunia II, pemerintah Hindia Belanda yang ingin mengubah penduduk pribumi menjadi lebih rasional dipaksa untuk menghentikan segala usaha itu.

Untuk kepentingan perangnya, Jepang menggunakan Islam sebagai dalih untuk mendapatkan dukungan dari seluruh rakyat pribumi. Orang-orang terpelajar yang lama mengecap kehidupan gaya Eropa dipaksa untuk ikut kebijakan Jepang itu. Kebanyakan di antara mereka, karena latar belakang Islam yang sudah dibawa sejak lahir, dapat menyesuaikan diri dengan suasana baru itu.

Berbeda dengan Belanda yang membatasi kegiatan keislaman, Jepang menyokong penuh semua kegiatan keislaman selama sesuai dengan kepentingan perang mereka. Kebijakan itu menanam pengaruh yang sangat besar di kalangan orang-orang Islam. Setelah kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, pengaruh-pengaruh dari Jepang banyak mewarnai berbagai segi kehidupan di Indonesia. Dalam kaitannya dengan Islam di Indonesia, sampai tahun 1970-an, Islam warna Jepang itu mewarnai cara berpikir banyak kaum muslimin di Indonesia.

Politik Islam dan Budaya Islam

Tidak dapat ditolak kemajemukan yang ada di Indonesia. Faktor inilah mendorong para pengambil kebijakan di tingkat atas untuk mengambil langkah-langkah non-sektarian dalam kehidupan kenegaraan. Indonesia berdiri sebagai sebuah republik sekuler agamis. Undang-undang Republik Indonesia dibuat di atas kerangka rasionalitas yang tidak membabi buta. Tuhan yang maha esa tetap dipertahankan sebagai sesuatu yang tidak boleh dilupakan oleh siapa pun rakyat Indonesia.

Dari gambaran seperti itu, dapat dipahami jika Islam di masa Indonesia merdeka adalah Islam yang sama dari masa-masa sebelumnya. Di satu sisi terdapat keinginan untuk menciptakan hidup yang Islami, di sisi lain terdapat kenyataan bahwa pengaruh yang datang dari luar terus-menerus ada dan tidak dapat ditolak. 

Tahun-tahun dari 1945 sampai 1970 adalah tahun-tahun yang panjang ketika perdebatan untuk menjadikan Islam sebagai dasar aturan hidup di Indonesia mengemuka. Pemuka-pemuka Islam berusaha menempuh jalur politik agar Islam dapat diterima oleh seluruh rakyat negara. Mereka hanya terbentur pada kenyataan bahwa para pemeluk Islam di Indonesia adalah pemeluk-pemeluk Islam yang payah. 

Kebanyakan kaum muslimin memilih Islam sebagai identitas diri, bukan sebagai pandangan hidup. Dari pemilihan umum yang dilakukan pada pertengahan 1950-an, dapat ditarik kesimpulan ini. Partai-partai agama mendapat dukungan yang sedikit. 

Pada masa ini juga terjadi kembali pertentangan antara pandangan Islam murni dan Islam sinkretik. Pandangan pertama tetap menginginkan agar Islam dibangun di atas pondasi dasar, Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang sesuai dengan zaman. Pandangan kedua ingin mempertahankan Islam yang telah berkembang dan bercampur dengan tradisi-tradisi lokal di Nusantara berabad-abad.

Pertentangan antara dua cara pandang itu sudah mengemuka di tengah kaum muslimin di Nusantara sejak awal abad ke-20. Mesir adalah tempat banyak orang di dunia Islam mengambil cara pandang pertama. Lewat tokoh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan kemudian Muhammad Rasyid Ridha cara pandang itu mengemuka ke negara-negara Islam yang ada pada saat itu.

Perdebatan antara dua cara pandang itu belum kunjung usai di Indonesia, hingga muncul ancaman bersama yang datang dari Komunisme. Indonesia, bagaimana pun, berada di tengah konstelasi politik dunia. Perang dingin antara Kapitalisme dan Komunisme ikut merembet ke dalam negeri. Menghadapi ancaman baru ini, dua cara pandang kaum muslimin tersebut untuk sementara waktu dikesampingkan. 

Tahun 1965 – 1966 adalah tahun-tahun berdarah. Sejarah mencatat ratusan ribu penganut Komunisme dieksekusi. Sebagian besar mereka dibunuh oleh kelompok-kelompok Islam. Tindakan ini didukung oleh pemerintah dan tentara. Islam kembali menjadi ideologi perlawanan terhadap Komunisme di Indonesia.

Setelah ancaman bersama hilang, kaum muslimin di Indonesia mulai berdebat kembali. Sikap traumatik yang didapati pada masa 1950-an sampai 1965 menguatkan sebagian kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Bagi mereka, cita-cita Islam dapat ditempuh lewat jalur politik. Nilai-nilai Islami dapat dipaksakan dari atas ke bawah.

Islam Indonesia Sekarang

Pada masa itu, Islam bukan menjadi pendorong untuk membangun sebuah peradaban. Mencari pencapaian-pencapaian yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia sama artinya mencari pencapaian-pencapaian yang telah dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya. Hal itu berbeda dalam bidang pemikiran.

Tahun 1970 menjadi tonggak baru bagi pemikiran Islam di Indonesia. Para peneliti sejarah Islam di Indonesia sepakat bahwa 1970 memulai fase baru dalam sejarah. Fase ini terus berlanjut sampai bangkitnya Islam radikal di akhir millenium kedua.

Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid adalah dua orang dari dua kubu berbeda yang memelopori perubahan itu. Meski dibesarkan dalam dua cara pandang keislaman yang saling bertentangan, mereka berdua sepakat bahwa pemikiran Islam mesti didefinisi ulang. Islam, menurut mereka, harus dibarukan kembali agar dapat mengikuti perkembangan zaman.

Sepintas, pemikiran mereka berdua tidak jauh berbeda dari pemikiran yang pernah tumbuh di awal abad ke-20. Akan tetapi, dalam satu penyederhanaan, pemikiran mereka berporos pada usaha menjadikan Islam hanya sebagai nilai yang bersifat pribadi. Negara, menurut mereka, tidak berhak mengatur keyakinan beragama seseorang. Islam tidak boleh menjadi dasar negara, sehingga negara dan agama harus terpisah.

Sepanjang tahun 1970-an, pemikiran mereka mendapat dukungan dan sekaligus juga tentangan. Akan tetapi, banyak dari kalangan pemuda Islam yang tertarik dengan pemikiran mereka berdua. Bermula dari gagasan, pemikiran mereka berkembang menjadi sebuah gerakan baru dalam sejarah Islam di Indonesia. Nahdhatul Ulama yang dikenal sebagai organisasi masyarakat tradisional dan berusaha mempertahankan Islam yang telah berkembang di Indonesia menjadi basis gerakan pemikiran baru Islam itu. Tahun 1990-an menjadi masa ketika hasil gerakan itu dituai.

Kalangan yang ingin tetap mempertahankan Al-Qur'an dan As-Sunnah mengubah cara berkembang mereka. Tahun 1970-an juga menjadi tahun-tahun ketika mereka memanfaatkan kampus-kampus perguruan tinggi sebagai basis gerakan. Mereka membuat jaringan intelektual yang luas dan menanamkan pemikiran bahwa Islam harus tetap berdiri di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebagai sebuah kelompok, mereka terkesan menarik diri percaturan gagasan di tingkat nasional. Mereka terus fokus pada usaha pengaderan. Usaha mereka menuai hasil juga di tahun 1990-an.

Awal millenium ketiga, Islam Indonesia kembali terkutub pada dua cara pandang keislaman. Berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1950-an, keadaan dunia pada saat ini menuntut banyak pihak untuk mempertanyakan kembali rasionalitas yang pernah agung pada abad ke-20. Seruan-seruan untuk memurnikan ajaran Islam menguat seiring dengan munculnya globalisasi dunia. Pada saat seperti inilah, Islam menjadi ideologi perlawanan bagi sebagian pihak. Mereka menyadari keadaan dunia dan, terlebih lagi, keadaan dunia Islam saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar