Laman

Sabtu, 08 Desember 2012

Islam Masuk Ke Indonesia


Nama Indonesia baru muncul di awal abad ke-20. Ditinjau dari sisi etimologi, nama Indonesia pada mulanya mengacu ke satu wilayah luas yang mencakup juga Malaysia dan Fillipina sekarang. Untuk sebutan yang pantas, mengacu pada wilayah yang dimiliki oleh Indonesia sekarang, adalah Nusantara.

Sampai hari ini, para pakar sejarah Indonesia belum menemui kata sepakat tentang masuknya Islam ke Nusantara. Perdebatan tersebut berangkat dari ketiadaan sumber-sumber sejarah yang dapat menjelaskan bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara sebelum abad ke-11 Masehi. Beberapa pakar justru memilih untuk meninggalkan perdebatan itu dan memulai tulisan tentang sejarah Islam sejak kemunculan kerajaan Islam pertama di Jawa.

Perdebatan Masuknya Islam di Nusantara

Membicarakan kapan masuknya Islam di Nusantara tidak dapat pula dipisahkan dari membicarakan asal Islam yang masuk itu. Dengan menentukan asal Islam tersebut, seseorang dapat menentukan kapan Islam masuk ke Nusantara. 

Pendapat pertama mengatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dibawa oleh para pedagang dari Gujarat pada abad ke-12 Masehi. Para pedagang ini juga dikenal sebagai orang-orang penganut tasawwuf. Pendapat ini dibangun di atas penelitian tentang artefak-artefak peninggalan muslim di Nusantara seperti bentuk kuburan-kuburan dan nisan-nisan di sejumlah tempat. Terdapat kesamaan antara artefak-artefak yang dimaksud dan artefak-artefak yang ditemukan di Gujarat.

Pendapat kedua mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggala. Artefak-artefak yang ditemukan di Nusantara tersebut justru memiliki kemiripan dengan artefak-artefak sejenis yang ada di Benggala, sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam disebarkan oleh pedagang-pedagang dari sana. Sekarang, wilayah Benggala masuk ke dalam negara Bangladesh.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa Islam bukan disebarkan oleh pedagang-pedagang dari Gujarat tetapi dari pantai Koromandel, India Selatan sekarang. Hal itu disebabkan oleh fakta bahwa Gujarat pada abad ke-12 Masehi masih menjadi kerajaan Hindu. Hanya di sekitar pantai Koromandel kaum muslimin setempat telah memeluk Islam. Pendapat ini menguatkan tetapi sekaligus menyanggah pendapat pertama.

Pendapat keempat mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Persia. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa terdapat tradisi peringatan Karbala di sejumlah pesisir pantai tempat bandar dagang lama di Nusantara. Selain itu, ditemukan banyak kosakata yang menunjukkan adanya pengaruh bahasa Persia dan bukan Arab di pesisir-pesisir tersebut. Pendapat ini, meskipun tidak kuat, tetapi turut mewarnai perdebatan yang berlangsung di kalangan peneliti sejarah Islam di Indonesia.

Pendapat kelima mengatakan bahwa Islam berasal dari Makkah, Arab. Hamka yang menguatkan pendapat ini mendasarkan diri pada fakta bahwa mazhab fikih yang dianut di Nusantara adalah mazhab yang sama dianut di Makkah. Pengaruh dari Makkah ini masuk ke Nusantara seiring dengan keberadaan para pedagang Arab yang telah mencapai Cina pada abad ke-7 Masehi.

Atas dasar itulah, sejumlah pakar sejarah berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara lewat keberadaan pedagang-pedagang muslim dari Cina. Pendapat ini, pendapat keenam, didukung pula fakta bahwa sejumlah masjid tua di Indonesia sekarang adalah masjid muslim Cina. Di beberapa kelenteng Cina di sejumlah kota-kota tua di Jawa mengisyaratkan adanya pedagang-pedagang muslim Cina yang datang menyebarkan Islam ke penduduk setempat. Akan tetapi, akibat politik pemerintah Orde Baru, pendapat ini dibungkam bertahun-tahun. Banyak peneliti sejarah yang lebih tahu dan percaya bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang India.


Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara

Merenungi sejarah Islam di Nusantara, perdebatan yang terjadi itu terus mengemuka disebabkan ketidakjelasan jejak-jejak yang bisa didapat dalam sejarah yang ada. Bangsa yang mendiami Nusantara adalah bangsa antara. Mereka berdiam dan berada di tengah-tengah lalu lintas budaya dan perubahan yang dibawa oleh masing-masing budaya tersebut. 

Hampir bisa dikatakan tidak ada budaya dominan yang bertahan. Selalu saja terjadi perbenturan dan percampuran budaya, baik dengan budaya yang juga datang dari luar atau dengan budaya lokal yang telah ada atau dengan budaya baru hasil campuran budaya-budaya sebelumnya.

Betapa pun ramai perdebatan yang ada, komunitas-komunitas muslim yang pertama kali menetap di daerah-daerah pesisir itu menjalankan rutinitas harian mereka sebagai orang-orang pendatang yang memiliki kepentingan berdagang dengan penduduk setempat. Kebijakan politis belum mereka punyai. 

Karena itu, di tangan penguasa-penguasa setempat yang belum memeluk Islam, keadaan politik, sosial, budaya masih bernuansa Hindu-Buddha. Sebagaimana kita ketahui, Nusantara pra-Islam adalah wilayah-wilayah yang dihuni oleh masyarakat Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan setempat.

Dapat dikatakan, kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tumbuh seiring dengan kemunculan bangsa-bangsa Eropa untuk kepentingan perdagangan. Dari perdagangan, perseteruan melebar ke masalah agama. Selama itu, meletus berbagai bentrokan bersenjata antara Islam dan Kristen di Nusantara. 

Secara umum, ada tiga wilayah besar di Nusantara yang menjadi arena konflik tersebut. Di tiga wilayah ini pula tumbuh dan berkembang kerajaan-kerajaan Islam. Tiga wilayah yang dimaksud adalah Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.

Di Sumatera dan sekitarnya, kerajaan Islam yang pertama kali muncul adalah kerajaan Malaka. Kerajaan ini sudah muncul sejak paruh kedua abad ke-15 Masehi. Bangsa Portugis berhasil merebut pengaruh di sana baru pada paruh pertama abad ke-16 Masehi. Tahun 1511 menjadi tahun penaklukan Malaka oleh bangsa Portugis. 

Meski demikian, di wilayah yang berdekatan muncul kemudian kerajaan Aceh. Kekuasaan mereka berada di sekitar Aceh dan Sumatera Utara sekarang. Jauh ke selatan, muncul pula setelah itu kerajaan Minangkabau, Jambi, Palembang. Masing-masing kerajaan itu berdiri sendiri, menghadapi dominasi kekuatan Portugis dan perusahaan dagang Belanda dalam perdagangan di wilayah Sumatera dan sekitarnya.

Menariknya, keadaan sejenis juga muncul di Jawa. Keruntuhan kerajaan Hindu-Buddha mendorong kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Di belah timur Jawa, muncul berurutan kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Di belah barat Jawa, muncul kerajaan Cirebon, Banten. Masing-masing kerajaan itu berdiri sendiri, menghadapi perusahaan dagang Belanda yang memiliki kedudukan di Sunda Kelapa (Jakarta sekarang).

Ada kalanya, kerajaan-kerajaan Islam yang ada itu berselisih dan berperang antara mereka. Untuk kepentingan politik dan ekonomi, mereka bertikai dan bekerjasama dengan perusahaan dagang Belanda. Keadaan seperti ini juga melanda bagian timur Nusantara. Di sana berdiri kerajaan Ternate, Tidore, dan beberapa kerajaan Islam yang kecil. 

Masuknya Kolonialisme ke Nusantara

Semua kerajaan Islam yang ada di Nusantara pada akhirnya menghadapi pengaruh-pengaruh yang datang dari Eropa, baik dengan bangsa Portugis, Belanda, atau Inggris yang sempat menduduki beberapa tempat penting di Nusantara. Dalam keadaan seperti itu, kerajaan-kerajaan Islam itu mengalami semacam kekalahan budaya, termasuk juga kekalahan politik. Mereka terpaksa menerima atau mengadaptasi pengaruh-pengaruh yang dibawa bangsa Eropa.

Bangsa-bangsa Eropa hadir pertama kali di Nusantara untuk kepentingan perdagangan. Mereka mencapai Nusantara untuk mencari daerah-daerah produsen untuk pasaran masyarakat Eropa. Pada waktu itu, kepentingan agama, penyebaran agama Kristen menempati tempat ketiga dalam kepentingan mereka setelah kepentingan dagang dan politik. Bagaimana pun, Nusantara terkenal sebagai wilayah yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.

Bangsa Portugis mencapai Nusantara mendahului bangsa Belanda. Mereka berniat menguasai Malaka. Ketika niat itu sudah terlaksana, mereka juga menguasai Maluku. Malaka dan Maluku pada waktu itu berperan sebagai bandar dagang terkemuka. Portugis  berusaha memonopoli sumber daya alam setempat. Akan tetapi di antara dua tempat itu, muncul bandar-bandar lain yang tidak kalah penting, seperti Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, dan beberapa kota pesisir di Jawa bagian tengah dan timur.

Di kota-kota pesisir Jawa itulah bangsa Belanda menanam pengaruh. Mereka, dengan kongsi dagang VOC atau dikenal dengan sebutan Kompeni, ingin merebut monopoli perdagangan dari tangan Portugis. Merebut monopoli perdagangan seperti memaksa mereka untuk turut campur dalam politik kerajaan-kerajaan Islam setempat. Bahkan, ada kalanya, kepentingan Portugis dan Belanda mewujud dalam persekutuan masing-masing dengan dua kerajaan Islam yang kebetulan sedang bertikai.

Pada titik tersebut, sepintas dapat dinilai bahwa kepentingan dagang mendominasi politik mereka. Akan tetapi patut untuk dicermati bahwa Belanda dengan kongsi dagang mereka memiliki sentimen keagamaan terhadap Portugis. Sentimen tersebut hampir seumur dengan sejarah agama Kristen Protestan. Sebagaimana dapat dilihat, orang-orang Belanda adalah para pemeluk Kristen Protestan, sedangkan orang-orang Portugis adalah para pemeluk Kristen Katolik. Masing-masing membawa pandangan negatif terhadap satu sama lain.

Sejarah mencatat bahwa bangsa Belanda lebih lama dan luas berdiam di Nusantara. Tidak sepenuhnya benar mendiami selama 350 tahun, Belanda menguasai sebagian wilayah di Nusantara. Bermula dari kepentingan dagang, mereka kemudian membangun sebuah pemerintahan kolonial yang berada di bawah tanggung jawab Menteri Daerah Jajahan di Belanda. 

Selama rentang waktu yang panjang itu, keberadaan Belanda di Nusantara terbedakan menjadi dua periode, periode Kompeni (VOC) dan periode Hindia Belanda. Kompeni bubar akibat kebangkrutan yang dideritanya. Wilayah-wilayah di Nusantara diwariskan ke Kerajaan Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar