Laman

Sabtu, 08 Desember 2012

Turki Usmani

Tidak seperti Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, Turki Usmani bukan suatu kekhalifahan. Semula, kakek-moyang mereka berasal dari wilayah Transoxiana. Mereka kemudian mengembara ke barat kekuasaan kaum muslimin, berpindah dan menetap di wilayah Turki sekarang. Mereka pernah menjadi pengawal kekuasaan pemerintahan Bani Abbasiyah dari ancaman-ancaman yang diberikan oleh kelompok-kelompok Syiah dan Khawarij.

Orang-orang Turki bukan orang-orang Quraisy. Karena itu, mereka tidak memenuhi syarat utama untuk dikatakan sebagai kekhalifahan. Meski demikian, agar diakui sebagai suatu kekhalifahan dalam lembaran sejarah Islam, Turki Usmani mengadakan semacam upaya timbang-terima legitimasi dengan seseorang keturunan Bani Abbasiyah yang lemah. Diharapkan, publik sejarah kelak dapat melihat bahwa itulah peristiwa yang membuat Turki Usmani menjadi pewaris kekhalifahan Islam.

Perpecahan Masa Bani Abbasiyah

Sebelum Bani Abbasiyah mundur, sudah muncul bibit-bibit perpecahan di dalam tubuh pemerintahan. Dapat dikatakan, perpecahan itu mengendap banyak disebabkan oleh kekecewaan terhadap kebijakan pemerintahan.

Di antara kelompok-kelompok yang kecewa dan membangun pemerintahan setengah merdeka di barat wilayah Bani Abbasiyah adalah Bani Umayyah di Spanyol, Bani Idrisiyah dan Bani Aglabiyah di timur Afrika, Bani Thulun dan Bani Hamdaniyah di Mesir dan sebagian Syam. Di timur wilayah Bani Abbasiyah, bergantian berdiri kelompok-kelompok yang ingin mendikte khalifah di Bagdad. Di antara mereka adalah Bani Thahiriyah, Bani Saffariyah, Bani Samaniyah, Bani Ghaznawi, dan Bani Seljuk yang menjadi cikal-bakal Turki Usmani. Semua kelompok itu memakai gelar amir dan masih mengakui khalifah Bani Abbasiyah.

Syiah adalah kelompok yang sangat ingin berpisah dari Bani Abbasiyah. Selain didorong oleh akidah yang dianut, Syiah juga didorong oleh kekecewaan masa lalu terhadap Bani Abbasiyah. Sebagaimana telah lewat, khalifah Bani Abbasiyah pertama menyingkirkan kelompok Syiah dari lingkaran kekuasaan.

Akidah Syiah menjadi suatu kekuatan memberontak bagi beberapa kelompok yang ada. Sebagai misal, Bani Idrisiyah, Bani Hamdaniyah, dan Bani Samaniyah adalah kelompok-kelompok yang berakidah Syiah dan berhasil mendirikan kekuatan politik yang setengah merdeka dari Bani Abbasiyah.

Akan tetapi, dalam sejarah Bani Abbasiyah, Bani Fatimiyah dan Bani Buwaihi tercatat sebagai kekuatan politik Syiah yang paling brutal dalam merongrong kekuasaan Bani Abbasiyah. Jika Bani Fatimiyah terang-terangan mengaku sebagai kekhalifahan dan memisahkan diri dari Bani Abbasiyah, maka Bani Buwaihi menggunakan kekuatan mereka untuk mengatur-atur khalifah-khalifah Bani Abbasiyah.

Bani Abbasiyah memang memasuki kehancuran setelah Bani Buwaihi memegang kekuasaan atas khalifah. Mereka mengatur para khalifah sekehendak hati, termasuk menyingkirkan khalifah yang tidak disukai. Khalifah Bani Abbasiyah baru terlepas dari Bani Buwaihi setelah Bani Seljuk merebut Bagdad pada tahun 1056 dan berkuasa hanya sampai tahun 1194.

Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah setelah itu kembali menjadi permainan orang-orang Syiah sampai muncul serbuan orang-orang Mongol. Bagdad jatuh ke tangan orang-orang Mongol pada tahun 1258. Sejak saat itu, Bani Abbasiyah hanya menjadi nama tanpa kekuasaan sama sekali yang melegitimasi suatu kekuatan politik, baik di timur ataupun di barat wilayah kaum muslimin kecuali pemerintahan Islam di Andalusia.

Mazhab Syafii dan Asy'ari

Di awal kemunduran Bani Abbasiyah, terjadi sebuah bias sejarah yang belum terkoreksi sampai sekarang. Bias yang dimaksud berlangsung dalam aspek akidah. Akibat dari semua itu, sampai hari ini, kebanyakan orang percaya bahwa akidah Asy'ari adalah akidah yang benar atau akidah ahlus sunnah wal jamaah.

Ketika Abu Musa Al-Asy'ari meninggal dunia, banyak pengikutnya tidak mengetahui bahwa ia telah bertobat dari keyakinannya, akidah Asy'ari. Ketidaktahuan ini kemudian terwariskan dan perlahan orang-orang meyakini bahwa akidah itu adalah akidah ahlus sunnah wal jamaah yang menjadi satu-satunya akidah benar dari Rasulullah. 

Para penganut akidah Asy'ari pada nyatanya adalah orang-orang yang menggunakan fikih Imam Syafii. Kenyataan itu memperkuat anggapan bahwa akidah ahlus sunnah wal jamaah adalah juga berfikih mazhab Syafii. Padahal, jika melihat perkembangan yang ada, akidah yang diwarisi dari Rasulullah justru banyak dipelajari dan dipegang oleh guru-guru hadits (muhaddits atau ahlul hadits). Mereka dalam prakteknya tidak bermazhab apa pun dalam fikih, tetapi banyak kesamaan pendapat dengan orang-orang yang bermazhab fikih Hanbali.

Keadaan itu terus ada sampai Turki Usmani memegang kekuasaan atas kaum muslimin. Pemerintah Turki Usmani sendiri lebih memilih mazhab Syafii sebagai mazhab fikih yang resmi dipegang negara. Akidah yang sebenarnya diwariskan dari Rasulullah pun dianggap sebagai bagian mazhab Hanbali. Sikap fanatik terhadap mazhab dan menentang orang-orang yang tidak semazhab membuat akidah yang benar itu tersamarkan. Sejak waktu itu, sampai hari ini, mazhab Hanbali hanya sedikit yang menganut.

Kelompok Sufi, sejak penyerbuan orang-orang Mongol, banyak yang pergi ke pelosok-pelosok negeri kaum muslimin. Bahkan, sebagian mereka ada ikut mengenalkan Islam ke daerah-daerah non muslim. Di tangan mereka pun akhirnya banyak yang masuk Islam. Akibat lebih jauh, berabad-abad lamanya Islam yang berkembang di negeri-negeri kaum muslimin, dari Afrika sampai ke Indonesia, adalah Islam yang diyakini para Sufi. 

Kecenderungan seperti itulah kemudian yang membuat peradaban Islam perlahan-lahan berhenti. Orang-orang yang berakidah kelompok Sufi lebih mementingkan kehidupan yang hening, jauh dari semangat memajukan peradaban dan juga hasrat untuk berjihad melawan ancaman-ancaman bersenjata dari pihak non muslim. Dapat dipahami pula, kiranya, kekosongan tersebut membuat sebagian kaum muslimin berpaling kepada semangat yang dihidupkan oleh peradaban Barat.

Di sisi lain, kelompok Syiah yang terus memiliki hasrat untuk memengaruhi kaum muslimin sebanyak-banyaknya menggunakan keadaan itu untuk menghidupkan peradaban sendiri yang jelas-jelas tidak sesuai dengan tuntunan Qur'an dan Hadis. Selama berabad-abad, pencapaian-pencapaian khusus berhasil didapati dan kemudian diwarisi ke generasi Syiah berikutnya. Kenyataan ini membuat wibawa Turki Usmani sebagai wakil Islam Sunni menurun untuk kemudian hilang.

Kekuatan Politik Turki Usmani

Sebenarnya, kejayaan Islam mulai muncul kembali ketika Turki Usmani berdiri dan berkembang menjadi suatu kekuatan politik di tengah-tengah kaum muslimin. Dengan komitmen membela Islam dari ancaman Kristen Eropa, Turki Usmani perlahan-lahan meluaskan pengaruhnya ke luar dan dalam negeri. Kesultanan Turki Usmani berlangsung sejak tahun 1280 sampai Tahun 1923. Selama periode yang panjang ini, Turki Usmani mesti bersaing dengan dua kekuatan dominan di bagian timur yang juga mengatasnamakan Islam. Mereka adalah Kesultanan Mogul di India dan Kesultanan Safawiyah di Iran.

Dengan identitas keturkian yang mereka miliki, Turki Usmani berusaha meneruskan upaya jihad melawan kekaisaran Romawi yang sedang mengalami kemunduran. Puncak dari usaha itu adalah ketika Konstantinopel berhasil direbut pada tahun 1453 di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad II. Ibukota Turki Usmani pun pindah ke Konstantinopel. Penaklukan itu dicatat sebagai puncak pencapaian kaum muslimin dalam bidang militer.

Kejayaan Turki Usmani diteruskan oleh beberapa sultan berikutnya. Salah satu di antara mereka adalah Sulaiman Al-Qanuni. Di bawah kepemimpinannya, Turki Usmani mewakili nama Islam di dunia. Sampai saat itu juga, Turki Usmani mewakili komunitas Islam Sunni berhadapan dengan kekuasaan Syiah di wilayah Safawilyah. Wilayah taklukan Turki Usmani pun membentang hingga mencapai wilayah-wilayah Eropa Timur dan Rusia. Konstantinopel meneruskan tradisi sebagai pusat peradaban maju dunia.

Turki Usmani mulai mundur ketika muncul konflik-konflik dalam negeri. Intrik-intrik untuk merebut kekuasaan atau merebut pengaruh atas kekuasaan sultan yang memerintah adalah dua bentuk sebab untuk memunculkan konflik dalam negeri. Selain itu, wibawa sultan yang mulai merosot akibat dekadensi moral turut memengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Akibat lebih jauh, muncul pula kekecewaan-kekecewaan di antara rakyat Turki Usmani.

Daerah-daerah yang baru ditaklukkan, seperti daerah-daerah di Balkan, Eropa, menyimpan ketidakpuasan terhadap Turki Usmani. Bagi mereka, Turki Usmani tidak lebih dari penjajah yang hanya mengeruk kekayaan lewat pajak-pajak atas mereka. Di sisi lain, mereka pun menolak untuk masuk Islam. Satu per satu mereka melepaskan diri. Kekuatan militer Turki Usmani yang melemah turut menjadi sebab keberhasilan daerah-daerah itu melepaskan diri.

Puncak dari itu semua adalah ketika muncul ketidakpercayaan pada kaum muslimin terhadap pemerintah Turki Usmani. Suara-suara ketidakpercayaan menghendaki agar kekuasaan atas kaum muslimin diberikan kepada orang-orang Quraisy Arab, sebab kekhalifahan hanya sah di tangan mereka.

Di sisi lain, ketertinggalan dari Barat ikut memengaruhi suara-suara ketidakpercayaan itu. Turki Usmani waktu itu, di mata orang-orang yang kagum terhadap Barat, sudah tertinggal jauh. Bagi mereka, Turki Usmani mesti belajar kepada Barat agar dapat meraih posisi terdepan dalam peradaban dunia.

Semua itu berakhir ketika pandangan bahwa agama mesti dipisahkan dari negara diterima banyak orang, sebagaimana negara-negara Eropa telah melakukan itu. Didorong oleh gagasan tersebut lewat perdebatan-perdebatan sengit banyak kalangan, Turki Usmani berhasil dibubarkan pada tahun 1923. Setahun kemudian Turki diubah menjadi sebuah republik yang sekuler.

5 komentar: