Laman

Sabtu, 08 Desember 2012

Islam Masa Hindia Belanda


Berbeda dengan kebijakan-kebijakan Kompeni, pada mulanya pemerintah Hindia Belanda membawa misi mengangkat perekonomian Kerajaan Belanda yang baru selesai menghadapi perang di Eropa. Di bawah kebijakan-kebijakan khusus gubernur jenderal di Batavia (sebelumnya Sunda Kelapa, sekarang Jakarta), misi itu berhasil dituntaskan. Dalam hitungan matematis, keberhasilan itu malah mendatangkan surplus bagi kas kerajaan Belanda.

Di antara kebijakan-kebijakan khusus yang dimaksud adalah Sistem Tanam Paksa. Menuntut kepala-kepala pemerintahan lokal, pemerintah Hindia Belanda mengerahkan ribuan tenaga kerja di Jawa. Mereka menanam komoditas-komoditas dagang yang menguntungkan di pasar Eropa. Di sisi lain, kebijakan itu mendatangkan kerugian besar. Banyak penduduk yang mati kelaparan atau karena sakit. Tidak sedikit pula yang jatuh miskin karena tidak sempat mengusahakan tanah-tanah milik sendiri.

Islam sebagai Ideologi Perlawanan

Pemerintah Hindia Belanda sendiri menyadari resiko yang timbul dari kebijakan khusus itu. Di beberapa tempat, muncul perlawanan-perlawanan dari penduduk setempat. Banyak di antaranya dapat mudah ditumpas. Akan tetapi, ada juga perlawanan-perlawanan yang sempat membuat pemerintah Hindia Belanda kewalahan.

Para pemimpin perlawanan itu hampir selalu menggunakan Islam sebagai ideologi perlawanan. Mereka mempertentangkan kembali Islam-Kafir dan menggunakan jihad sebagai alasan perlawanan mereka. Menarik untuk dicermati, para pengikut pemimpin perlawanan itu bukan tergolong pemeluk-pemeluk Islam yang taat. Penderitaan yang lama dialami menjadi alasan kuat untuk melakukan perlawanan.

Perlawanan yang dilancarkan oleh Pangeran Diponegoro, meski menggunakan Islam sebagai ideologi perlawanan, berangkat dari kepentingan pribadi yang dilanggar. Untuk meraih pengikut yang banyak, ia menjadikan Islam dan jihad fi sabilillah sebagai ideologi perlawanan mereka. Bagi pemerintah Hindia Belanda, perlawanan itu—atau yang disebut dengan Perang Jawa—menyadarkan mereka tentang bahaya Islam sebagai ideologi perlawanan.

Yang juga meletus pada waktu itu adalah perlawanan yang dilancarkan Tuanku Nan Renceh di Sumatera Barat. Menjadikan Islam yang sempurna sebagai tujuan politik, mereka melawan kaum adat dan tradisi setempat. Pertikaian itu pun meluas hingga menjadi perlawanan antara mereka dan pemerintah Hindia Belanda. 

Berbeda dengan Perang Jawa, sebagian pihak menyandarkan perlawanan di Sumatera Barat itu sebagai perlawanan kaum Wahabi yang menyerukan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafus Saleh. Bahkan Tuanku Imam Bonjol diaku sebagai pemimpin gerakan Wahabi pertama di Nusantara.

Islam yang tumbuh di Nusantara sampai saat itu adalah Islam yang terpaksa berkembang di tengah masyarakat antara. Tidak ada Islam murni, sebagaimana yang datang dari Timur Tengah. Islam membentur aneka tradisi yang masih terus hidup di tengah masyarakat, baik itu di Sumatera, Jawa, atau di pulau-pulau timur Nusantara. Pertemuan unsur-unsur Islam di Jawa dengan kebudayaan setempat, bahkan, jauh lebih intensif ketimbang di daerah-daerah lain. Islam mengalami proses sinkretisasi. Pada akhirnya, Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam hasil perkawinan mazhab Asy'ari dengan tradisi Hindu-Buddha.

Pemerintah Hindia Belanda, sampai abad ke-19, masih belum menyadari kenyataan penting ini. Bagi mereka, Islam di Jawa dan Sumatera memiliki kesamaan dengan Islam di Timur Tengah atau setidaknya Mesir yang pada abad itu mewarisi nama besar Islam pada awal masa Bani Abbasiyah. Karena itu, kekhawatiran akan bangkitnya kaum muslimin dengan ideologi jihad fi sabilillah masih menguasai orientasi mereka.

Tugas pejabat-pejabat pemerintahan di Batavia sebenarnya berkisar pada usaha mengamankan kepentingan ekonomi di daerah-daerah yang telah dikuasai. Jawa, misalnya, diatur sedemikian rupa, sehingga kemungkinan untuk bangkitnya perlawanan rakyat yang berbasiskan Islam dapat diminimalkan. Usaha tersebut berhasil baik. Terbukti, sampai awal abad ke-20, perlawanan-perlawanan rakyat atas nama Islam hanya berupa perlawanan-perlawanan kecil, lokal, dan sementara. 

Di antara para pakar sejarah Indonesia, ada yang menilai bahwa perlawanan tersebut muncul setelah titik terjauh penderitaan ekonomi yang diderita rakyat betul-betul terlewati. Dalam buku-buku sejarah, perlawanan-perlawanan rakyat yang seperti ini dikategorikan sebagai gerakan-gerakan sosial. Perang terakhir yang terjadi di Jawa hanya Perang Jawa.

Politik Kawan dalam Pertikaian

Bahwa mayoritas penduduk di daerah-daerah yang telah dikuasai adalah kaum muslimin adalah satu hal yang tidak bisa ditolak. Sejak abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda mengubah beberapa kebijakan penting mereka. Di antara kebijakan yang dihasilkan itu adalah usaha untuk merangkul kaum muslimin dalam menjalankan kepentingan-kepentingan kolonialisme. Dari politik untuk menghadapi musuh dalam pertikaian, pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik untuk mencari kawan dari pertikaian.

Umat Islam di Jawa memiliki kecenderungan bekerjasama yang baik, meskipun dengan pihak luar yang jelas-jelas membawa pengaruh baru. Tradisi singkretisasi yang telah lama hidup membuat mereka melihat itu semua bukan sebagai sebuah ancaman. Lewat berbagai penelitian tentang Islam di Jawa, pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa kaum muslimin di Jawa memiliki varian yang berbeda dengan kaum muslimin di luar Jawa.

Kenyataan ini turut mendorong pemerintah Hindia Belanda melakukan politik balas budi. Sejak awal abad ke-20, mereka menjalankan usaha membuka jalur-jalur transportasi secara intensif, memperbaiki taraf kesehatan penduduk pribumi, dan mengadakan usaha pendidikan modern. Usaha-usaha ini mendatangkan hasil di Jawa. Dari hasil yang ada, pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan yang sama untuk daerah-daerah kekuasaan mereka di luar Jawa.

Tidak sebagaimana di Jawa, di luar Jawa usaha-usaha tersebut mengalami kendala yang berarti. Di Sumatera, tepatnya di Aceh, meletus Perang Aceh yang sangat lama itu. Perlawanan terjadi bertahun-tahun. Rakyat setempat menggunakan Islam sebagai ideologi perlawanan. 

Selain itu, beberapa daerah di luar Jawa tidak memiliki tradisi sinkretisme yang tebal seperti Jawa. Pendidikan modern seperti yang diinginkan pemerintah Hindia Belanda harus menghadapi waktu yang lama agar dapat diterima di tengah-tengah penduduk pribumi. Kendala utama yang menghalangi penerimaan usaha-usaha itu adalah kenyataan bahwa pemerintah Hindia Belanda adalah orang-orang kafir yang menguasai daerah-daerah mereka.

Pembukaan daerah-daerah pelosok dengan membangun jaringan jalan raya yang menembus hutan-hutan dan lahan-lahan perawan memudahkan arus pengaruh yang diinginkan pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan-kebijakan vital dapat diberlakukan tidak hanya di kota-kota besar yang ada, tetapi juga sampai jauh ke pelosok-pelosok.

Islam yang berkembang di pedalaman secara perlahan ikut terpengaruh oleh pengaruh yang datang dari kota-kota besar itu. Sekali lagi, pertemuan dua budaya memaksa para pemeluk Islam setempat untuk memilih dan pada waktu itu mempertahankan diri menghadapi pengaruh dari luar itu sama berarti membiarkan diri tergerus oleh tekanan sosial.

Kesehatan masyarakat pribumi yang meningkat akibat usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, langsung atau tidak langsung, meningkatkan kepercayaan di masyarakat akan pentingnya kebijakan-kebijakan tersebut. Kepercayaan itu mendorong sebuah kesadaran baru tentang betapa harusnya mereka untuk berubah. Menerima pengaruh yang datang dari luar Islam tidak memestikan mereka untuk pindah keyakinan. Sebaliknya, menerima pengaruh yang datang itu menuntut mereka untuk berubah menjadi muslim yang lebih rasional tanpa membabi buta.

Corak Baru Islam Nusantara

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk membalas budi baik orang-orang pribumi bukan tanpa maksud. Dari pertimbangan ekonomi, menyediakan tenaga terampil tetapi murah karena berasal dari pribumi sendiri adalah pilihan masuk akal yang dapat diterima oleh pemutus kebijakan mana pun. Terlebih lagi, akhir abad ke-19 adalah awal baru bagi peradaban manusia. Pada waktu itu, industrialisasi dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang mesti bagi masyarakat Eropa dan Amerika.

Paruh pertama abad ke-20, sejarah mencatat perubahan penting yang diakibatkan politik balas budi pemerintah Hindia Belanda itu. Masyarakat pribumi yang menerima pendidikan dari pemerintah Hindia Belanda mengenal rasionalitas. Perubahan, bagi mereka, bukan berarti sesuatu yang turun begitu saja dari langit. Untuk sebuah cita-cita perubahan, mesti ada usaha-usaha yang konkret dan terencana. Mereka tidak lagi bersandar pada keterangan-keterangan yang bersifat ramalan dari balik buku-buku tua.

Kesadaran ini juga muncul di tengah kalangan pemeluk Islam yang taat. Meski tetap tidak mengenyampingkan takdir, mereka seolah baru diingatkan kembali tentang arti hidup dan usaha yang mesti dilakukan dalam hidup. Hidup bukan sekedar menunggu dan mengharap. Manusia diciptakan oleh Allah ta'ala sebagai khalifah di muka bumi untuk mengatur dan mengusahakan hidup mereka sendiri. Bukan sekedar pasrah dan menunggu nasib yang telah ditentukan.

Jika dicermati, kesadaran itu muncul akibat rasionalitas yang ditanamkan lewat sekolah-sekolah modern. Kesadaran itu menuntut kesadaran berikutnya bahwa mereka tidak belajar melulu untuk agama. Dunia, bagi mereka, diciptakan untuk diolah. Untuk mampu mengemban itu, mereka butuh pendidikan yang menyiapkan tenaga-tenaganya. Dari situ, muncul pula kesadaran untuk membangun sekolah-sekolah Islami yang menyiapkan mereka untuk mengolah bumi mereka. Mereka harus bekerja dalam dunia yang mereka hadapi pada waktu itu tetapi sekaligus tanpa melupakan kehidupan akhirat mereka.

Dapat dibayangkan, orientasi hidup yang berkembang dalam masyarakat muslimin pada waktu itu perlahan berubah. Kemuliaan dan kehormatan dilihat bukan dari penguasaan atas pengetahuan agama dan tata cara ibadah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki kekayaan tetapi juga taat beribadah. Karena itu, kita bisa memahami alasan di balik ditinggalkannya kehidupan model rahib yang terus-menerus beribadah dan melupakan kehidupan dunianya pada waktu itu.

Di Jawa dan Sumatera, bermunculan banyak sekolah-sekolah Islam yang menerapkan sistem pendidikan modern. Ijazah menjadi syarat untuk maju dalam persaingan hidup. Di sisi lain, pesantren-pesantren yang menyiapkan dai-dai Islam masih terus ada. Akan tetapi, perbandingannya dengan sekolah-sekolah Islam modern jauh. Lebih dari itu, perubahan orientasi hidup juga membuat sebagian besar orang memilih sekolah-sekolah yang khusus menyiapkan tenaga-tenaga terampil untuk diserap industri. Pemerintahan dan kedokteran adalah dua lahan yang sering dicari oleh mereka.

Dalam keadaan seperti itu, dari kalangan segelintir orang hasil pendidikan modern memunculkan kembali cita-cita kemerdekaan yang memerintah secara sendiri. Kemerdekaan, meski terwujud di pertengahan abad ke-20, adalah cita-cita yang sudah lama terkubur di dalam benak-benak penduduk pribumi  yang telah kalah puluhan tahun sebelum itu.

Dalam varian yang agak berbeda, segelintir kaum muslimin di Jawa dan Sumatera kembali menghidupkan pandangan Islam dan kafir. Bahwa pemerintah Hindia Belanda adalah orang-orang kafir, rakyat Indonesia yang mayoritas Islam harus merdeka dari cengkeraman orang-orang kafir itu. Pada titik inilah bertemu berbagai kelompok dalam satu kepentingan utama, kemerdekaan. Politik balas budi yang digulirkan pemerintah Hindia Belanda pada akhirnya hanya membuahkan keinginan bersama di kalangan penduduk pribumi bahwa mereka harus memegang negara sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar