Laman

Sabtu, 08 Desember 2012

Islam Sekarang


Selama hampir tiga belas abad, Islam telah berkembang hampir ke separuh daratan di dunia. Wilayah kaum muslimin pun terbentang dari Maroko di Afrika sampai ke Indonesia di Asia. Akan tetapi, wilayah kaum muslimin yang luas itu berada dalam cengkeraman kekuasaan negara-negara Eropa.

Masalah yang mengemuka sejak abad ke-18 Masehi adalah modernisme. Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan memaksa bangsa-bangsa di dunia memikirkan kembali arah peradaban mereka. Bangsa-bangsa Eropa, tempat penemuan-penemuan itu muncul, telah menyiapkan diri untuk sebuah perubahan besar yang akan mereka alami. Adapun negeri-negeri kaum muslimin, mereka seperti kehilangan arah, terlebih lagi ketika Turki Usmani yang menjadi induk mereka tampil di pentas dunia seperti orang sakit (the sick man).

Akibat lebih jauh yang terjadi adalah kegegaran budaya yang terus melanda negeri-negeri kaum muslimin. Pertanyaan yang sering muncul ke permukaan adalah bagaimana Islam memasuki abad modern ini. Beberapa orang pemikir berdebat tentang pijakan yang dipakai, Islam atau Barat. Masing-masing perdebatan berusaha mencari jawab dan tidak pernah selesai.

Mereka seolah-olah mengulangi kembali pertanyaan yang sempat melanda Alexandria, Mesir, di abad-abad pertama Masehi. "Akal atau Wahyu yang menjadi penting?", demikian pertanyaan itu. Memilih salah satu atau mengompromikan keduanya adalah bentuk jawaban-jawaban yang muncul dan jawaban-jawaban itu tidak kunjung memuaskan. Masing-masing pihak memilih dan menentukan jawaban.

Islam dan Barat

Imperialisme, kolonialisme, atau yang sering hanya diartikan sebagai penjajahan, adalah gejala yang melanda dunia sejak abad ke-15 Masehi. Penemuan-penemuan dunia baru adalah upaya yang sering ditempuh oleh negara-negara Eropa. Langkah itu mereka lakukan untuk kepentingan politik, agama, dan ekonomi mereka. Mereka butuh tempat-tempat baru sebagai produsen dan konsumen dalam perdagangan mereka.

Yang sering terjadi, tempat-tempat produsen dan konsumen itu adalah negeri-negeri kaum muslimin. Penduduk setempat merasakan abad-abad gelap ketika mereka dijajah oleh bangsa-bangsa Barat. Mereka tidak dapat melawan kecuali sedikit sekali. Dalam keadaan seperti itu, bangsa penjajah sebagai pihak yang dominan memberi pengaruh yang luar biasa kepada bangsa terjajah.

Akidah kaum muslimin pun kembali dipertanyakan ulang di hadapan pengaruh-pengaruh bangsa Barat itu. Di pihak lain, tanpa disadari, moral beragama meluntur. Kasus paling baik untuk hal ini adalah Turki Usmani. Sebagaimana telah lewat, Turki Usmani mesti dibubarkan dan digantikan Republik Turki yang lebih modern dan sekuler.

Gejala seperti itu kemudian menimpa negeri-negeri kaum muslimin yang lain. Mesir termasuk negeri kaum muslimin yang lama berdebat menentukan sikap. Sampai pertengahan paruh pertama abad ke-20, Mesir masih dikuasai jawaban bahwa Islam dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan. Ada kompromi yang bisa diraih oleh kaum muslimin dalam menyikapi modernisme. Tokoh-tokoh mereka adalah Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Pemikiran mereka dan jawaban yang mereka pilih memengaruhi banyak negeri, termasuk di negeri-negeri kaum muslimin yang ada di Asia. India adalah salah satu negeri yang berusaha menerima jawaban seperti itu, meski tidak sepenuhnya berhasil. Irak dan Iran seperti itu juga. Beberapa negeri di Afrika masih dipaksa untuk mengesampingkan semua hal di luar Barat dan ilmu pengetahuan. Mereka kebanyakan masih di bawah cengkeraman penjajah sampai lewat pertengahan abad ke-20 Masehi.

Gejala yang berbeda muncul di Jazirah Arab. Arab Saudi adalah negara muslim yang memilih untuk mengesampingkan Barat pada tahun-tahun pertama pendirian negara. Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa Barat adalah kekuatan yang dominan pada abad ke-20 Masehi. Menghadapi Barat, mereka memilih untuk bertahan dengan keislaman seperti yang pernah dijalankan pada zaman Rasulullah hidup.

Beberapa negara di Asia Selatan berusaha mengikuti pilihan yang diambil Arab Saudi, tetapi mereka menyadari usaha itu sia-sia. Kaum muslimin setempat menyadari bahwa masa lalu yang traumatis di bawah pemerintahan agama masih terus lekat dalam ingatan bersama. Mereka pada akhirnya memilih kompromi. Demikian pula yang dialami oleh sebagian negara di wilayah Timur Tengah. Negara-negara bekas wilayah Syam memilih untuk berkompromi dengan keadaan.

Bagi sebagian orang, perang dunia yang terjadi dua kali adalah bukti kuat bahwa kaum muslimin tidak dapat menolak Barat dan segala yang datang dari Barat. Mereka dapat melawan Barat dengan cara-cara yang mereka ambil dari Barat. Usaha itu, bagaimana pun direncanakan sebaik mungkin, tetap belum mendatangkan hasil. Meski demikian, sebagian pihak optimis dengan langkah yang diambil itu.

Kemunculan Radikalisme Islam

Pendirian negara Yahudi (yang banyak disebut sebagai negara Israel) pada tahun 1948 adalah awal kebangkitan radikalisme di dunia muslim. Kekalahan dan ketidakberdayaan untuk melawan negara baru itu seolah membuktikan dengan jelas betapa keterpurukan Islam di depan Barat betul-betul dalam.

Rasa frustasi terhadap keadaan dan kekecewaan terhadap pemerintah-pemerintah negara-negara muslim yang tidak sesuai dengan cita-cita Islam membangkitkan sebuah perlawan baru. Pemikiran-pemikiran Islam radikal muncul di kantong-kantong tempat kaum muslimin tidak berdaya. Mesir dan Pakistan adalah dua kantong yang terus menyiapkan perlawanan orang-orang kalah.

Ada dua nama yang patut disebut pada saat itu. Sayyid Qutb dan Abul A'la Al-Maududi adalah dua tokoh yang memberikan pemikiran radikal dan akan memengaruhi banyak orang di negeri-negeri kaum muslimin. Mereka semua menyadari akan pentingnya perlawanan terhadap dominasi Barat. Mereka juga sekaligus kecewa dengan kebijakan pemerintah-pemerintah kaum muslimin saat itu. Mereka menyatakan kerinduan akan Islam ketika masih berjaya dalam peradaban manusia.

Pola yang muncul ternyata mirip dengan pola yang muncul ketika kelompok Khawarij berkembang di abad-abad pertama Hijriah dulu. Kekecewaan terhadap pemerintah kaum muslimin dan keterbatasan kemampuan membuat mereka sadar akan arti perlawanan dan pemberontakan. Mereka menyebarkan sikap itu di balik ketidakberdayaan massal mereka.

Sejak tahun 1970-an, radikalisme itu meningkat seiring tumbuhnya peradaban Islam yang banyak terpengaruh Barat. Mereka menjadi radikal tanpa diiringi dengan pengkajian terhadap sejarah kaum muslimin dengan teliti. Sebagian dari mereka bahkan tidak mengerti akan sejarah Islam.

Keadaan itu makin meningkat ketika komunisme hancur menjelang tahun 1990-an. Kaum muslimin banyak yang yakin bahwa Islam, mau tidak mau, harus berhadapan dengan Barat sebagai dua peradaban yang saling bertentangan. Di pihak lain, negara-negara Eropa dan Amerika menyadari akan keunggulan peradaban Barat di mata dunia. Satu-satunya yang menghalangi laju keunggulan itu adalah Islam versi Islam radikal itu.

Sampai memasuki abad ke-21 Masehi, perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal muncul sebagai tindakan-tindakan Khawarij. Mereka melawan Barat dengan cara menjatuhkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang mendukung Barat atau tidak sesuai dengan cita-cita Islam radikal. Pada akhirnya, sejauh itu, perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal masih dalam rupa perlawanan orang-orang kalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar